• Tidak ada hasil yang ditemukan

JENIS-JENIS BENDA YANG DAPAT DIJADIKAN JAMINAN KUASA MENJUAL DALAM PERJANJIAN KREDIT

A. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Dasar Timbulnya Kuasa Menjual

Sebelum kita memasuki lebih jauh lagi perihal jenis-jenis benda jaminan apa saja yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan, ada baiknya kita memahami lebih dahulu pengertian dari bank, pengertian kredit, serta pengertian perjanjian kredit bank sebagai perluasan dari pengertian hutang-piutang dan kemudian menjadi dasar dari timbulnya jaminan Kuasa Menjual yang diberikan oleh Debitur sebagai konsekuensi atas dana yang dipinjamkan atau hutang yang diberikan Kreditur padanya.

Menurut Pasal 1 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa

yang dimaksud dengan :

Bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”41 Bank Umum adalah “Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

41 Himpunan Perundangan-Undangan Republik Indonesia Tentang Perbankan Dan Lembaga

Bank Perkreditan Rakyat adalah “Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran.” 42

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Jenis Bank terdiri dari :

a. Bank Umum;

b. Bank Perkreditan Rakyat

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Usaha Bank Umum, meliputi :

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. Memberikan kredit;

c. Menerbitkan surat pengakuan utang;

d. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya, seperti :

d.1. Surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan perdagangan surat dimaksud; d.2. Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya

tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; d.3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

d.4. Sertifikat Bank Indnesia (SBI); d.5. Obligasi;

d.6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

d.7. Instrumen surat berharga loan yang berjangka waktu sampai 1 (satu) tahun. e. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

nasabah;

f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga;

i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

k. Membeli melalui pelelangan agunan, baik semua maupun sebahagian dalam hal Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;

l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; m.Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh perbankan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.43

Menurut Pasal 13 Bagian Ketiga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Usaha Bank Perkreditan Rakyat, meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito

berjangka, tabungan dan/ atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Memberikan kredit;

c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah;

d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/ atau tabungan pada bank lain sebagaimana termaktub dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.44

Uraian tersebut di atas adalah merupakan salah satu usaha dari pihak perbankan termasuk Bank dalam hal memberikan kredit terhadap pihak Debitur. Sebelum pihak bank memberikan kredit kepada pihak Debitur, pihak Bank harus memperhatikan asas kehati-hatian, karena dana pinjaman yang diberikan kepada pihak Debitur tersebut bersumber dari dana masyarakat yang dipercayakan untuk disimpan oleh

43Ibid

, hal. 16-18. 44Ibid

masyarakat dalam bentuk simpanan berupa tabungan nasabah, deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Tujuan dari azas kehati-hatian ini diberlakukan dalam setiap langkah Bank sebagai pihak Kreditur di dalam menyalurkan dananya berupa kredit ke masyarakat selaku Debitur adalah agar pihak bank selaku Kreditur harus selalu dalam keadaan sehat, dimana uang yang diberikan dalam bentuk pinjaman dapat kembali dengan cara angsuran pembayaran kredit atau hutang oleh pihak Debitur.

Menurut pendapat Muhammad Abdulkadir dan Rilda Murniati terhadap Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.45

Menurut Muchdarsyah Sinungan, dalam bukunya brjudul “Manajemen Dana Bank”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan disertai dengan suatu kontra-prestasi berupa bunga”.46

45

Abdulkadir Muhammad, dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Cetakan Pertama, hal. 58-85.

46

Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah Debitur.47

Perihal perjanjian kredit ini, dapat kita ketahui bahwa dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam yang terdapat dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa “Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” 48

Melihat pengertian dari perjanjian kredit di atas, dapat kita ambil suatu pengertian bahwa unsur-unsur dari Perjanjian Kredit adalah sama dengan unsur-unsur dari terjadinya perikatan sebagaimana terdapat dalam undang-undang. Unsur-unsur tersebut, yaitu sebagai berikut :

1. Hubungan hukum yaitu hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya, sehingga bila 1 (satu) pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi, maka hukum akan memaksakan agar hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan kembali. 49 2. Kekayaan, yang disebut sebagai objek perikatan, artinya bahwa walaupun suatu

hubungan hukum tersebut tidak dapat dinilai dengan uang, namun jika masyarakat

47

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2006, hal. 33. 48

Subekti, Hukum Perjanjian (Buku I), Internusa, Jakarta, 1979, hal. 451-452. 49

atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan tersebut diberi akibat hukum, maka hukum akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.50

3. Pihak-pihak, bahwa hubungan hukum tersebut di atas harus terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang disebut sebagai subjek perikatan, dimana terdapat pihak yang berhak atas prestasi (yaitu pihak yang aktif, bertindak sebagai Kreditur atau yang berpiutang) serta pihak yang wajib memenuhi prestasi (yaitu pihak yang pasif bertindak sebagai Debitur atau yang berhutang). 51

Marhaenis Abdul Hay dalam bukunya Hukum Perdata, memberikan beberapa pendapat perihal pengertian dari perjanjian kredit tersebut, antara lain bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian perjanjian pinjam-mengganti, sehingga dalam masalah sengketa perjanjian kredit tersebut kita dapat mempergunakan dasar hukum perjanjian pinjam-mengganti menurut KUH Perdata tersebut. Ketentuan umum dalam pinjam mengganti menurut KUH Perdata dapat dipergunakan untuk perjanjian kredit seperti yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Pokok Perbankan. Pengertian lainnya bahwa perjanjian kredit merupakan hal yang khusus (lex specialis) dari perjanjian pinjam-mengganti. 52

Pengertian lain lagi tentang Perjanjian Kredit diberikan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dimana beliau berkata bahwa perjanjian kredit bank adalah “Perjanjian Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) obligator, yang dikuasai oleh Undang-Undang Pokok Perbankan 1967 dan Bagian Umum KUH Perdata. “Penyerahan uangnya” sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uangnya dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit bagi kedua pihak.53

50 Ibid, hal. 2. 51Ibid , hal. 3. 52

Muchdarsyah Sinungan, Op.Cit, hal. 155. 53Ibid

Dari kedua pengertian yang diberikan oleh dua pakar yang berbeda di atas, yang paling mendekati kebenaran perihal pengertian perjanjian kredit bank ialah pengertian yang diberikan oleh Mariam Darul Badrulzaman, karena perjanjian kredit bank dalam pengertiannya memiliki 3 (tiga) ciri yaitu :

1. Perjanjian kredit bank bersifat konsensuil, yang tidak terdapat pada pengertian dasar dari peminjaman uang.

Dalam hal ini diambil pengertian dari asas konsensuil (asas konsensualisme) bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat yang mengenai hal-hak pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik tersebut, perjanjian sudah sah dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Dan sekaligus perlu ditegaskan tentang detik lahirnya sepakat itu.54

2. Kredit yang diberikan oleh Bank kepada Debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tidak tertentu oleh Debitur, sebagaimana dilakukan oleh Debitur pada peminjaman uang biasa, karena pada perjanjian kredit bank, tujuan penggunaan kredit harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam clausul perjanjian kredit yang telah dibuat oleh para pihak sesuai kesepakatan bersama.

3. Syarat dan cara penggunaan perjanjian kredit bank hanya dapat dilakukan menurut cara tertentu saja, dimana kredit tersebut tidak pernah diserahkan oleh Bank kedalam kekuasaan mutlak Debitur, namun diserahkan dalam bentuk rekening Koran yang mana penggunaannya selalu di bawah pengawasan Bank. Dalam hal

54

ini, tata cara penggunaan perjanjian kredit sepenuhnya diatur oleh pihak Kreditur sebagai pemberi dana dan Debitur wajib untuk mematuhinya.

Selain ciri dari perjanjian kredit sebagaimana tersebut di atas, terdapat beberapa fungsi dari dilakukannya Perjanjian Kredit (khususnya perjanjian kredit yang dilakukan antara Bank sebagai Kreditur dan individu sebagai Debitur), sebagaimana diungkapkan oleh Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, antara lain :

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara Kreditur dan Debitur;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.55 Dari ciri dan fungsi perjanjian kredit Bank yang tercantum dalam pengertian Perjanjian Kredit Bank sebagaimana tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa kuasa menjual adalah salah satu hal yang wajib untuk dimasukkan ke dalam klausul perjanjian, sehingga dapat dikatakan bahwa kuasa menjual ini adalah salah satu syarat yang harus ada dalam setiap perjanjian kredit sebagai konsekuensi bagi Debitur atas pinjaman yang diberikan Kreditur padanya.

Sedangkan bagi Kreditur sendiri perihal Kuasa Menjual tersebut adalah sebagai jaminan bahwa Debitur beritikad baik bahwa uang yang dipinjamkannya tersebut akan dikembalikan berikut bunga serta biaya lain yang timbul atasnya sebagaimana telah diperjanjikan sebelumnya antara para pihak.

55

Ch. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank Dan Manajemen,

Itikad baik maksudnya bahwa diwaktu membuat suatu perjanjian, berarti adanya kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang burukyang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan tertentu. Adagium ini pada hakekatnya berguna untuk melindungi pembeli namun kemudian diperluas juga untuk melindungi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian apapun, khususnya dalam bidang keperdataan.56

Hal tersebut diatas sesuai dengan dasar hukum dari Perjanjian itu sendiri yang dituangkan di dalam pasal 1338 ayat (3) dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian).

Itikad baik tersebut harus ada pada kedua belah pihak yang melaksanakan perjanjian, sehingga itikad baik ini kemudian dijadikan oleh pembuat undang-undang menjadi salah satu hukum yang tegas dan mengikat dan memiliki sanksi apabila tidak dipenuhi, sebagai salah satu syarat untuk sahnya perjanjian, mengingat betapa pentingnya unsur itikad baik ini.

Dari berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa Perjanjian Kredit adalah sebagai dasar dan sumber utama dari timbulnya suatu Kuasa Menjual, yang artinya bahwa Kuasa Menjual timbul, karena adanya perjanjian kredit yang terjadi antara Debitur dan Kreditur sebelumnya, sehingga apabila Perjanjian Kredit tidak terjadi (tidak dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan) maka Kuasa Menjual juga tidak akan pernah ada.

56Ibid