• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Kuasa Menjual Obyek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk. Cabang Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eksistensi Kuasa Menjual Obyek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk. Cabang Medan)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI KUASA MENJUAL OBYEK JAMINAN

DALAM PERJANJIAN KREDIT

(STUDI PADA PT. BANK EKONOMI RAHARJA, Tbk.

CABANG MEDAN)

TESIS

Oleh

BANGUN KANTATE LUKAS TOTAYS SIBARANI

077011008/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EKSISTENSI KUASA MENJUAL OBYEK JAMINAN

DALAM PERJANJIAN KREDIT

(STUDI PADA PT. BANK EKONOMI RAHARJA, Tbk.

CABANG MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

BANGUN KANTATE LUKAS TOTAYS SIBARANI

077011008/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : EKSISTENSI KUASA MENJUAL OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT (STUDI PADA PT. BANK EKONOMI RAHARJA, Tbk. CABANG MEDAN)

Nama Mahasiswa : BANGUN K. L. T. SIBARANI Nomor Pokok : 077011008

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

( Prof. Sanwani Nasution, SH ) Ketua

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH, MS. CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum)

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal : 17 Maret 2010

Panitia Penguji Tesis :

Ketua : Prof. SANWANI NASUTION, SH.

Anggota : Prof. Dr. BUDIMAN GINTING, SH, M.Hum.

Prof. Dr. SUHAIDI, SH, MH.

Prof. Dr. MUHAMMAD YAMIN, SH, MS, CN.

(5)

ABSTRAK

Kuasa Menjual adalah suatu kemampuan dengan hak substitusi (hak yang dapat digantikan) yang diberikan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur apabila Debitur wanprestasi untuk menjual benda jaminan yang telah diserahkan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur dengan harga dan syarat yang dianggap baik oleh Kreditur, hasil penjualan mana digunakan untuk menutupi hutang Debitur.

Pengertian Kredit sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Perjanjian kredit adalah pernyataan kesanggupan untuk berbuat sesuatu yaitu membayarkan sesuai pernyataan. Perjanjian Kredit pengertiannya secara lengkap adalah perjanjian yang dibuat antara Debitur dan Kreditur (bank maupun non bank) yang merupakan perjanjian pinjam meminjam uang, dan Debitur setelah jangka waktu tertentu diwajibkan untuk mengembalikan uang pinjaman beserta dengan bunganya.

Hal tersebut diteliti Penulis dengan memakai metode hukum yuridis Normatif atau Doktriner, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka (misalnya Undang-undang, buku, dan lain-lain) yang membahas kuasa menjual, prinsip, aspek, fungsi serta peranannya khususnya dalam perjanjian kredit yang sering terjadi dalam dunia perbankan, serta menganalisa bagaimana Bank sebagai Kreditur dan masyarakat luas umumnya sebagai Debitur di dalam mempraktekkannya secara nyata di lapangan.

Penelitian ini bersifat deskriktif analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian yang mencari tahu, lalu menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan bagaimana posisi, keberadaan maupun peranan dari Kuasa Menjual objek jaminan di dalam perjanjian kredit.

Hasil penelitian ini adalah bahwa Kuasa Menjual objek jaminan yang berada dalam ruang lingkup hukum jaminan ini sangat efektif berlaku di masyarakat, karena masyarakat dan lembaga keuangan (khususnya Bank) di Kota Medan pada umumnya mempergunakan lembaga ini dalam menyelesaikan permasalahan seputar kebutuhan akan finansial yang mereka alami.

(6)

ABSTRACT

Selling power is the ability with right of substitution (the right whict can be substituted) given by the Debtor ( the owner of the guarantees) the Creditor when the Debtor can not keep his promise to sell the guarantees which heve been submitted by the Debtor (the owner of the guarantees) to the Creditor with the price and condition which are regarded being right by the Creditor, and the money obtained from the selling will be used to pay the Debtor’s debt.

According to the Law of the Republic of Indonesia No. 10/1998 as the amendment of Low No. 7/1992 on Banking, ”Credit is a supply of money or a similar account receivable based on the credit agreement made by the bank and the other party which requires the debtor to pay his credit / debt after a certain period of time together with its interest, commission, or share of profit”.

Credit agreement is a statement of ability to do pay as stated in the agreement. Credit Agreement can be completely understood as an agreement made by a Debtor and a Creditor (bank or non – bank) as an agreement of borrowing and lending money, and afterr a certain periot of time, the Debtor must pay the money he borrowed back together wint its interest.

This study employed the normative juridical legal method or doctrine, a legal study done by studying written materials such as laws, books, and so forth, that discuss about the selling power, its principles, aspects, function and rule especially the ones found in tha a credit agreement which commonly occur in banking world and by analyzing how bank as creditor and society in general as debtor do this practice in a real life situation.

This is a analytical descriptive study which belongs to a scope of study which finds out, describes, anaiyzes, and explains the position, existence or role of the power of selling the guarantees in the credit agreement.

The result of this study showed that this institution of power of selling the guarantees in the scope of low on guarantee works effectively in the society because the society and the finance institution (especially the banks) in Medan usually uses this institution frequently to settle the financial problem they are facing.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNyalah Penulis dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ”Eksistensi Kuasa Menjual Obyek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit (Studi pada PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk

Cabang Medan)”.

Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi di Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini Penulis banyak memperoleh dorongan, pengarahan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini Penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTMH&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan studi hingga dapat memperoleh gelar magister di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara di Medan.

(8)

4. Bapak Darwis selaku Pimpinan Wilayah I dan Ibu Roslainy selaku Kepala Bagian Kredit PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk Cabang Medan, yang telah membantu Penulis dalam memberikan bahan-bahan yang berkaitan dalam penulisan tesis ini. 5. Kepada seluruh staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu dan mengurus administrasi Penulis selama perkuliahan berlangsung.

6. Secara khusus Penulis haturkan sembah sujud kepada yang tercinta Orang tua Penulis, ayahanda Pdt. K. Sibarani, SPAK dan Ibunda M. Simare-mare, yang telah mendukung Penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi, yang selalu berdoa dan memberikan kasih sayang, serta memberikan dorongan baik moril dan materil.

7. Kepada saudara-saudari Penulis, Kennedy N. P. Sibarani, SH dan Kakak ipar Dr. Rossaederita dan saudari Westerhousen P. S. Sibarani, SH serta anakku tersayang Keith Musa Mian Parlinggoman Sibarani dan Kirenius Jonathan Sibarani, yang selalu mendorong dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi dan untuk penyelesaian tesis ini.

8. Kepada rekan-rekan yang saya sayangi dan cintai selaku inspirator dalam menjalani hari ke hari untuk menyelesaikan studi ini, yakni Rismawati Simarmata, Dr. Debora Manurung, Dr. Rotua Sitanggang, Sabrina Tutupoly, SH., MKn, Herly Gusti Siagian, SH., MKn, Wira Manalu, SH., MKn, Krisftof Tampubolon, Hakim Janter Sitorus, serta sahabatku Lukman Antoni Silalahi, SH dan Arwin Engsun, SH., MKn, terima kasih atas bantuan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

(9)

Penulis menyadari bahwa tesis ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis terlebih dahulu memohon maaf apabila ditemukan kesalahan dalam penulisan tesis ini. Penulis juga sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan kita bersama. Atas perhatiannya Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 17 Maret 2010

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

A. Keterangan Pribadi

1. Nama : Bangun Kantate Lukas Totays Sibarani 2. Tempat / Tanggal Lahir : Lumbanjulu, 23 April 1978

3. Status Perkawinan : Belum Kawin

4. Alamat : Jalan Binjai Km 7,8 / Pasar IV Jalan Buntu No. 53 Medan

5. Pekerjaan : Karyawan Swasta

6. Agama : Kristen Protestan

B. Keterangan Keluarga

1. Nama Orang Tua

a. Ayah : Pdt. Krisman Sibarani, SPAK b. Ibu : Mutiara br. Simare-mare

C. Riwayat Pendidikan

1. SD : Tahun 1990

2. SLTP : Tahun 1993

3. SMU : Tahun 1997

4. S1 Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen : Tahun 2002 5. Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

(11)

DAFTAR ISI

(12)

A. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Dasar Timbulnya Kuasa Menjual ..

... 40

B. Jenis-Jenis Benda Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... ... 49

C. Objek Jaminan Yang Dapat Dikenakan Kuasa Menjual Dalam Perjanjian Kredit ... ... 58

BAB III FUNGSI DAN PERANAN SURAT KUASA MENJUAL TERHADAP OBJEK JAMINAN KREDIT DALAM PERJANJIAN KREDIT... 63

A. Surat Kuasa Menjual ... 70

B. Fungsi Kuasa Menjual Objek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit... 77

C. Peranan Kuasa Menjual Objek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit... 79

BAB IV KEBERADAAN KUASA MENJUAL OBJEK JAMINAN KREDIT TERHADAP PERJANJIIAN KREDIT DALAM DUNIA PERBANKAN ... 87

A. Asas-asas Hukum Perjanjian Yang Melandasi Kuasa Menjual .... 87

B. Keberadaan Kuasa Menjual Terhadap Objek Jaminan Kredit ... 99

C. Kuasa Menjual Dalam Praktek Perbankan ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(13)

ABSTRAK

Kuasa Menjual adalah suatu kemampuan dengan hak substitusi (hak yang dapat digantikan) yang diberikan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur apabila Debitur wanprestasi untuk menjual benda jaminan yang telah diserahkan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur dengan harga dan syarat yang dianggap baik oleh Kreditur, hasil penjualan mana digunakan untuk menutupi hutang Debitur.

Pengertian Kredit sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Perjanjian kredit adalah pernyataan kesanggupan untuk berbuat sesuatu yaitu membayarkan sesuai pernyataan. Perjanjian Kredit pengertiannya secara lengkap adalah perjanjian yang dibuat antara Debitur dan Kreditur (bank maupun non bank) yang merupakan perjanjian pinjam meminjam uang, dan Debitur setelah jangka waktu tertentu diwajibkan untuk mengembalikan uang pinjaman beserta dengan bunganya.

Hal tersebut diteliti Penulis dengan memakai metode hukum yuridis Normatif atau Doktriner, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka (misalnya Undang-undang, buku, dan lain-lain) yang membahas kuasa menjual, prinsip, aspek, fungsi serta peranannya khususnya dalam perjanjian kredit yang sering terjadi dalam dunia perbankan, serta menganalisa bagaimana Bank sebagai Kreditur dan masyarakat luas umumnya sebagai Debitur di dalam mempraktekkannya secara nyata di lapangan.

Penelitian ini bersifat deskriktif analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian yang mencari tahu, lalu menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan bagaimana posisi, keberadaan maupun peranan dari Kuasa Menjual objek jaminan di dalam perjanjian kredit.

Hasil penelitian ini adalah bahwa Kuasa Menjual objek jaminan yang berada dalam ruang lingkup hukum jaminan ini sangat efektif berlaku di masyarakat, karena masyarakat dan lembaga keuangan (khususnya Bank) di Kota Medan pada umumnya mempergunakan lembaga ini dalam menyelesaikan permasalahan seputar kebutuhan akan finansial yang mereka alami.

(14)

ABSTRACT

Selling power is the ability with right of substitution (the right whict can be substituted) given by the Debtor ( the owner of the guarantees) the Creditor when the Debtor can not keep his promise to sell the guarantees which heve been submitted by the Debtor (the owner of the guarantees) to the Creditor with the price and condition which are regarded being right by the Creditor, and the money obtained from the selling will be used to pay the Debtor’s debt.

According to the Law of the Republic of Indonesia No. 10/1998 as the amendment of Low No. 7/1992 on Banking, ”Credit is a supply of money or a similar account receivable based on the credit agreement made by the bank and the other party which requires the debtor to pay his credit / debt after a certain period of time together with its interest, commission, or share of profit”.

Credit agreement is a statement of ability to do pay as stated in the agreement. Credit Agreement can be completely understood as an agreement made by a Debtor and a Creditor (bank or non – bank) as an agreement of borrowing and lending money, and afterr a certain periot of time, the Debtor must pay the money he borrowed back together wint its interest.

This study employed the normative juridical legal method or doctrine, a legal study done by studying written materials such as laws, books, and so forth, that discuss about the selling power, its principles, aspects, function and rule especially the ones found in tha a credit agreement which commonly occur in banking world and by analyzing how bank as creditor and society in general as debtor do this practice in a real life situation.

This is a analytical descriptive study which belongs to a scope of study which finds out, describes, anaiyzes, and explains the position, existence or role of the power of selling the guarantees in the credit agreement.

The result of this study showed that this institution of power of selling the guarantees in the scope of low on guarantee works effectively in the society because the society and the finance institution (especially the banks) in Medan usually uses this institution frequently to settle the financial problem they are facing.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Manusia adalah mahluk sosial” hal tersebut memiliki arti bahwa di dalam kehidupan kesehariannya manusia tersebut tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari manusia lainnya. Dengan kata lain bahwa manusia tersebut haruslah berhubungan dengan manusia lain, baik secara langsung maupun tidak langsung dan hubungan tersebut pada akhirnya menimbulkan suatu ikatan tertentu antara manusia satu dan lainnya yang memiliki suatu ketergantungan akibat adanya kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi lewat manusia lain.

Hubungan tersebut pada awal peradaban manusia pada zaman purba dimulai dengan sistem barter yaitu sistem tukar menukar barang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka satu sama lain. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, kemudian diciptakan suatu alat tukar yang sah yaitu uang dan kemudian dengan uang hubungan tersebut menjadi semakin kompleks. Semakin kompleks karena dengan adanya uang maka kemudian timbul berbagai macam sistem perjanjian yang dibuat oleh manusia itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

(16)

sehingga pada tiap-tiap perjanjian yang mereka buat tersebut kadangkala tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Seiring kemajuan peradaban manusia, manusia kemudian menjadi semakin mengerti dan semakin memperbaharui sistem perjanjian yang ada yang pada akhirnya pengaturan tentang perjanjian tersebut diserahkan pada penguasa yaitu pemimpin negara demi kepentingan seluruh masyarakat yang dipimpinnya sehingga pada saat ini telah banyak aturan-aturan atau perundang-undangan yang dibuat oleh pemimpin masing-masing negara demi kepentingan masyarakatnya, termasuk salah satunya adalah Negara Indonesia, yang membuat salah satu undang-undangnya dari hasil adopsi undang-undang Negara Belanda, yang dahulu pernah menjajah negara kita, yaitu Burgerlijk Wetboek (untuk selanjutnya disebut BW).

Sebelum kita memasuki lebih jauh perihal perjanjian atau persetujuan ada baiknya kita harus mengerti lebih dahulu pengertian dasar atau defenisi dari perjanjian atau persetujuan tersebut yang diambil dari dasar hukum perihal perjanjian atau perikatan itu sendiri yaitu dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata) tentang Perikatan.

(17)

Dari perjanjian yang telah dilakukan tersebut, maka melahirkan suatu perikatan atau “verbintenis” (bahasa Belanda), yang artinya suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu dan disebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Istilah lain dari perikatan dalam bahasa Inggris, yaitu “Obligation” yang dipakai untuk melukiskan hal yang sama, secara kurang lengkap hanya menunjuk pada satu sudut dari hubungan yang timbal balik itu, yaitu sudut kewajibannya, meskipun adanya suatu kewajiban mengandung pengertian bahwa di sudut lain ada suatu hak. 1

Perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas, merupakan suatu pengertian abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita, maka dengan seorang atau lebih melakukan suatu perjanjian ia dengan sendirinya secara langsung akan mengikatkan dirinya pula terhadap mana ia melakukan perjanjian tersebut. Mengikatkan diri maksudnya bahwa dengan melakukan perjanjian tersebut, maka merekapun melakukan suatu perikatan tertentu, oleh satu pihak terhadap pihak lainnya diantara mereka.

Sehingga dapat kita ambil suatu pengertian bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Dengan perkataan lain, perjanjian adalah sumber, bahkan sumber utama dari perikatan. Karena disamping itu, masih ada sumber-sumber lainnya yang juga bisa melahirkan perikatan. Secara tepatnya, dapat dirumuskan bahwa perikatan itu dilahirkan dari perjanjian, undang-undang dan hukum tak tertulis.2

(18)

Perikatan adalah suatu pengertian abstrak (dalam arti tidak dapat dilihat dengan mata) dan suatu perjanjian adalah peristiwa atau kejadian yang kongkritnya.3

Pengertian lain dari perikatan dikemukakan oleh L. C. Hofmann, yaitu sebagai berikut “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seseorang atau beberapa orang dari padanya (Debitur atau para Debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, berhak atas sikap yang demikian itu”. 4

Dari pengertian perjanjian dan perikatan sebagaimana tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa nyata dan sumber utama dari lahirnya suatu perikatan tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau lebih terhadap seorang atau lebih lainnya.

Perjanjian yang telah diperbuat tersebut memiliki akibat hukum pula bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Akibat hukum maksudnya bahwa apabila isi perjanjian tidak dilaksanakan oleh para pihak, maka pihak yang lain (yang merasa dirugikan akibat tidak dilaksanakannya isi perjanjian tersebut) dapat saja menuntut secara hukum, sebab kedudukannya dilindungi secara hukum oleh undang-undang.

Sehingga oleh karena hal tersebut, maka para pihak yang turut serta dalam perjanjian tersebut, wajib dan harus mematuhi serta melaksanakan seluruh isi dari

3

Ibid, hal. 3. 4

(19)

perjanjian tersebut tanpa terkecuali, karena hal tersebut telah menjadi hukum atau undang-undang tersendiri khusus bagi mereka (secara intern).

Tentang hal tersebut diatas dilindungi oleh undang-undang, karena telah dicantumkan dengan tegas dalam salah satu peraturan perundang-undangan kita, yaitu KUH Perdata.

Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam beberapa pasal di dalam undang-undang KUH Perdata, antara lain :

Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) yang isinya bahwa :

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Selain pasal di atas, hal tersebut juga dinyatakan dengan tegas kembali di dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang isinya bahwa :

(1) Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang telah diatur dalam Pasal 1317.

Sedangkan Pasal 1317 KUH Perdata isinya adalah sebagai berikut

(20)

seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.

(2) Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

Dari ketiga pasal tersebut di atas, maka dapat diambil suatu pengertian tentang perjanjian bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan sendirinya menjadi hukum dan peraturan yang khusus hanya berlaku secara intern dan mengikat diantara mereka, serta memiliki akibat hukum tertentu, apabila isi perjanjian tersebut dilanggar.

Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan, dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan.

Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk tersebut tidak dituruti, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut itu. Misalnya perjanjian kredit, perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas, dan lain-lain. 5

Seiring dengan kemajuan zaman dan peradaban manusia, maka perjanjian tersebut semakin kompleks pula. Semakin kompleks karena perjanjian tersebut tidak lagi hanya meliputi hal perjanjian tukar-menukar (barter), perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, atau perjanjian kerja saja. Namun juga telah sampai kepada hubungan perjanjian yang lebih jauh lagi yaitu perjanjian pinjaman uang atau perjanjian kredit.

5

(21)

Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia memberikan pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu, melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya. Dengan demikian, kegiatan pinjam-meminjam uang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini. 6

Dalam pembahasan kali ini, yang bertindak sebagai pihak peminjam adalah individu perorangan atau suatu lembaga yang diatas-namakan pada nama seseorang, yang kemudian sering disebut dengan Debitur, sedangkan pihak pemberi pinjaman adalah suatu lembaga atau badan tertentu, yang sering disebut dengan istilah Bank.

Bunyi Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak Bank dengan pihak lain. Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam defenisi atau pengertian kredit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang tersebut di atas mempunyai beberapa maksud antara lain :

a. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah Debitur yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga tentang Perikatan Pada Umumnya sebagaimana yang termaktub dalam KUH Perdata;

b. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau semata-mata hanya dari

6

(22)

bunyi Ketentuan Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang tersebut, maka sulit kiranya untuk menafsirkan bahwa Ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis. Namun Ketentuan Undang-Undang tersebut harus dikaitkan dengan Instruksi Presedium Kabinet No. 15/ EK/ IN/ 10/ 1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/ 539/ UPK/ Pemb., tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/ 649/ UPK/ Pemb., tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presedium Kabinet Ampera No.10/ EK/ IN/ 2/ 1967 tanggal 6 Pebruari 1967, yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk akad perjanjian kredit.7

Dalam hal ini perjanjian dengan segala syaratnya dan hal lain yang berkaitan dengan masalah tersebut telah diatur oleh undang-undang tersendiri yang dibuat oleh Pemerintah agar dipatuhi oleh masyarakat umum untuk kebaikan seluruh pihak. Sehingga dalam hal perjanjian pinjaman uang atau hutang-piutang ini memiliki cara atau aturan tertentu sesuai perintah undang-undang yang mana seluruh pihak wajib mematuhinya.

Hal ini dapat terjadi karena dengan kemajuan zaman dan semakin kompleksnya pola hidup masyarakat, maka kebutuhan manusia akan uang semakin meningkat sehingga manusia kemudian dengan sendirinya akan berusaha mencari cara untuk dapat memenuhi kebutuhannya terhadap uang, untuk membiayai kebutuhan terutama dalam kebutuhan usaha.

Sehingga salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pinjaman (meminjam) kepada orang atau badan tertentu yang dapat memenuhi kebutuhannya akan uang tersebut.

7

(23)

Cara-cara tersebut, antara lain dengan memberikan suatu kepercayaan tertentu terhadap orang lain atau badan tertentu yang dapat memenuhi kebutuhan akan sejumlah uang yaitu dengan melalui cara-cara tertentu, agar orang lain atau badan tertentu tersebut akan memberikan pinjaman dana yang dibutuhkannya pada dirinya. Tindakan tersebut misalnya, memberikan barang miliknya sebagai jaminan bahwa uang yang dipinjamkan, pasti akan dibayar kembali kepada si pemberi pinjaman.

Jaminan tersebut sangat penting artinya karena dengan adanya jaminan maka

kedua belah pihak merasakan kenyamanan. Di satu pihak si pemberi pinjaman (untuk selanjutnya disebut Kreditur) merasa nyaman, karena dengan adanya barang

jaminan yang diberikan si peminjam (untuk selanjutnya disebut Debitur) maka dapat meyakinkan dirinya bahwa uang miliknya akan dikembalikan si peminjam dan jika si peminjam melalaikan kewajibannya untuk melunasi hutangnya, maka Kreditur dapat menjual barang yang dijadikan jaminan tersebut untuk melunasi hutang Debitur pada dirinya.

(24)

Dalam pemberian pinjaman, pihak Kreditur selalu mencari sarana jaminan yang lebih baik atas piutang yang diberikannya kepada Debitur. Selain itu, Kreditur juga melihat sarana pengambilan pelunasan atas piutangnya terhadap Debitur, dalam hal Debitur melalaikan kewajibannya untuk melunasi hutangnya tersebut karena sesuatu hal misalnya karena Debitur wanprestasi.

Pada umumnya di masa sekarang ini pihak yang menjadi Kreditur adalah suatu badan atau lembaga tertentu yaitu badan atau lembaga keuangan yang biasa disebut dengan Bank maupun badan usaha lainnya bukan Bank namun tetap bergerak di bidang keuangan, misalnya lembaga atau badan perkreditan, koperasi, dan lain sebagainya.

Badan usaha tersebut umumnya secara tegas memberikan syarat kepada pihak Debitur untuk menyerahkan suatu barang (benda) sebagai objek jaminan hutang Debitur kepada Kreditur. Jaminan hutang yang diajukan Debitur tersebut kemudian akan dinilai badan usaha atau Kreditur tersebut sebelum diterima oleh Kreditur sebagai objek jaminan atas pinjaman yang diberikannya.

Penilaian tersebut meliputi beberapa aspek penilaian yaitu penilaian dari segi hukum dan penilaian dari segi ekonomi, yang kemudian diharapkan dari penilaian tersebut akan dapat disimpulkan kelayakan benda/barang jaminan tersebut dapat digunakan sebagai jaminan hutang bila Debitur cidera janji.

(25)

Jaminan pinjaman yang telah disetujui oleh Kreditur tersebut memiliki beberapa fungsi antara lain untuk mengamankan pelunasan pinjaman atau kredit (untuk selanjutnya disebut kredit saja) apabila Debitur wanprestasi atau cidera janji sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar hutangnya berikut bunga maupun biaya lain yang timbul akibat perjanjian itu, sebagaimana diuraikan dalam akta perjanjian mereka. Sehingga, bila kredit yang diterima Debitur tersebut tidak dilunasinya dan disimpulkan sebagai kredit macet, jaminan hutang yang diterima Kreditur akan dicairkan untuk pelunasan kredit macet tersebut.

Dengan demikian, dalam hal ini jaminan kredit memiliki peranan yang sangat penting bagi pengamanan pengembalian dana Kreditur yang telah disalurkannya kepada pihak Debitur melalui pemberian kredit tersebut sebelumnya. Dalam praktik perbankan, dapat diperhatikan tentang terjadinya penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang dilakukan untuk memperoleh kembali pelunasan uang yang dipinjamkannya karena Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank sesuai dengan Perjanjian Kredit.

Hasil dari penjualan jaminan kredit ini kemudian akan digunakan untuk melunasi hutang Debitur, sehingga diharapkan akan dapat meminimalkan kerugian Bank dan juga untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perbankan.

(26)

sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan.

Hal ini terutama untuk kepentingan Kreditur agar jangan sampai ia dirugikan oleh karena Debitur yang mengalami wanprestasi sehingga tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar kredit pinjaman Debitur pada Kreditur. Terdapat juga suatu objek jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan. Dalam hal ini, Bank tidak melakukan pengikatan objek jaminan berdasarkan pertimbangan tertentu antara lain berkaitan dengan pemberian kredit mikro yang nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit yang pendek, dokumen jaminan kredit yang tidak memenuhi persyaratan, beban biaya pengikatan yang tidak seimbang dengan jumlah kredit yang disetujui, dan lain sebagainya.

Terhadap objek jaminan yang tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan, Bank biasanya menempuh kebijaksanaan antara lain berupa penyerahan surat kuasa menjual oleh Debitur kepada Bank.8 Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Bank dimungkinkan menerima agunan berupa tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain sejenisnya, sementara pengikatan jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan dengan Hak Tanggungan, maka Bank kadangkala menggunakan Kuasa Menjual untuk mengikat objek jaminan atas tanah dengan bukti kepemilikan yang belum bersertifikat.

(27)

Perkembangan pemberian kuasa secara luas dengan berdasarkan asas kebebasan berkontrak tersebut merupakan kenyataan bahwa dengan semakin luasnya penggunaan lembaga kuasa, maka semakin banyak pula masalah yang timbul berkaitan dengan itu yang perlu mendapat penyelesaiannya.10 Semakin banyak masalah yang timbul, karena semakin kompleks pola hidup masyarakat kita yang diakibatkan pengaruh kemajuan zaman dan teknologi yang akhirnya mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk salah satunya aspek hukum, terutama hukum perdata dan hukum di bidang perbankan dan termasuk salah satunya penggunaan lembaga kuasa ini.

Adanya pemberian Kuasa Menjual dari pemberi jaminan kepada Kreditur adalah dimaksudkan untuk memberikan kepastian agar kewajiban Penerima kuasa benar-benar dapat terlaksana, dibuat dengan klausal perjanjian hutang-piutang, dan berdasarkan asas kebebasan berkontrak serta atas dasar kehendak kedua belah pihak (yang melakukan perjanjian), dilakukan secara sadar, dan oleh orang yang cakap dalam hukum (dewasa, waras, berakal sehat, tidak berada dibawah pengampuan, dan lainnya bukan karena keterpaksaan, kekeliruan, dibawah ancaman atau hal lain yang dilarang oleh undang-undang maupun peraturan lainnya yang dapat menjadikan

perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum karena telah melanggar undang-undang maupun peraturan lainnya.

10

(28)

Hal tersebut diatas dituangkan di dalam Pasal 1320, Pasal 1321, Pasal 1330, serta Pasal 1338 ayat (3) dari KUH Perdata. Dengan kata lain bahwa pasal-pasal tersebut di atas adalah dasar hukum dari sahnya suatu perjanjian menurut undang-undang, termasuk dalam hal ini adalah perjanjian di dalam pemberian Kuasa Menjual, yaitu kekuasaan untuk mampu atau dapat menjual jaminan yang diberikan oleh Debitur atau pihak ketiga demi kepentingan Debitur sendiri kepada Kreditur.

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata diuraikan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat a dan b disebut syarat subjektif, sedangkan syarat c dan d disebut syarat objektif. Hal tersebut mengandung arti bahwa apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian dibatalkan melalui pengadilan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian sejak semula dianggap tidak pernah ada.

(29)

Sepakat dapat juga mengandung arti pertemuan antara kedua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Sehingga dalam hal ini yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan di sini menurut Pasal 1320 KUH Perdata, adalah sepakat pada saat lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya.11

Dalam Pasal 1321 KUH Perdata dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kekhilafan menurut Pasal 1321 KUH Perdata yaitu bahwa “kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”.

Menurut Pasal 1323 KUH Perdata, paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat. Dan pasal 1324 KUH Perdata yang menyatakan bahwa paksaan telah terjadi apabila perbuatan tersebut sedemikian rupa, hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung makna sebagaimana

tercantum dalam dasar hukum Pasal 1329 KUH Perdata yang menyatakan bahwa

11

(30)

“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang - undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Pasal 1330 KUH Perdata menguraikan bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian:

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3. Orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undan-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu.

Orang-orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”

Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan menurut Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan bahwa “setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh dibawah pengampuan karena keborosannya.”

(31)

tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan tindakan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Demikian juga dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah memberikan ketentuan yang mengatur mengenai kecakapan seorang isteri. Pasal 31 sub (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, baik suami maupun isteri berhak melakukan perbuatan hukum.

Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tersebut secara lebih lengkapnya diuraikan sebagai berikut : “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.” 12

Sehingga di dalam praktek perbankan, khususnya yang terjadi saat ini, seorang isteri sudah dapat mengajukan kredit ke bank dengan ketentuan ada persetujuan dari suaminya, tidak lagi harus seorang suami saja yang berhak untuk mengajukan kredit ke bank.

Perihal suatu hal tertentu (berhubungan dengan adanya pemenuhan suatu prestasi atas perikatan tersebut), oleh Ridwan Syahrani dalam bukunya berjudul “Seluk Beluk Dan Azas-Azas Hukum Perdata,” bahwa prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :

12

(32)

1. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1335 KUH Perdata);

2. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas (Pasal 1320 ayat 3 dan Pasal 1333 KUH Perdata);

3. Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika prestasinya secara objektif tidak akan timbul perikatan. Sedangkan jika prestasinya secara subjektif tidak mungkin dilaksanakan maka tidaklah demikian.) 13

Perihal sebab yang halal, di dalam pasal 1321 KUH Perdata dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Dan pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata diuraikan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini, itikad baik tersebut harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

Kuasa Menjual dalam prakteknya diberikan guna kepentingan Kreditur, maka

pada umumnya Kuasa Menjual tersebut dibuat dengan tidak mengindahkan syarat-syarat berakhirnya kuasa sebagaimana dimaksud Pasal 1813 KUH Perdata,

yang isinya sebagai berikut : pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si perempuan yang memberi atau menerima kuasa.

Keberatan utama pada kuasa yang tidak dapat dicabut kembali terletak bukan pada penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata atau pada keadaan diperlukan untuk diberikannya kuasa tersebut, melainkan lebih pada pelanggaran terhadap hak (kebebasan) individu untuk menentukan. Pada kuasa mutlak, kedudukan

13

(33)

hukum seseorang (pemberi kuasa) ditentukan oleh orang lain (Penerima Kuasa) sehingga kebebasannya menentukan sendiri menjadi hilang. 14

Perjanjian jaminan yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur maupun yang dibuat oleh pihak ketiga yang masuk atau turut serta ke dalam perjanjian tersebut, adalah bertujuan untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum atas pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.

Hal tersebut terutama untuk menjaga kepentingan Kreditur yang beritikad baik dalam memberikan bantuan kredit kepada Debitur, agar jangan sampai Debitur melalaikan kewajibannya dalam membayar kredit yang diberikan Kreditur sebagaimana telah diperjanjikan di antara mereka sebelumnya. Adapun perjanjian jaminan pada umumnya yang dilakukan berdasarkan lembaga jaminan yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan adalah Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan, dan Fidusia, serta jenis lembaga jaminan lainnya yang diatur oleh undang-undang.

Adanya lembaga jaminan yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas kemudian menimbulkan pertanyaan

apakah Kuasa Menjual dapat dijadikan sebagai ikatan jaminan untuk pelunasan perikatan perjanjian kredit dan kemudian Kuasa Menjual yang diberikan oleh Debitur kepada Kreditur tersebut apakah tidak bertentangan dengan asas hukum jaminan yaitu penjualan objek jaminan hanya dapat dilakukan dengan cara penjualan di muka

14

(34)

umum serta sampai dimana kekuatan hukum dari akta Kuasa Menjual yang biasanya dibuat dengan akta Notaris.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka hal tersebut diatas kemudian Penulis jadikan sebagai dasar atau titik tolak untuk meneliti lebih dalam lagi perihal praktek penggunaan Kuasa Menjual di dalam kaitannya terhadap perjanjian kredit. Praktek penggunaan Kuasa Menjual dalam kaitannya terhadap perjanjian kredit tersebut diatas juga akan diteliti lebih jauh lagi oleh Penulis, dengan mendasarkan terutama pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, maupun undang - undang lainnya yang berhubungan dengan topik pembahasan Penulis.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang dijadikan Penulis sebagai dasar dan titik tolak dari penelitian yang akan dilakukan, antara lain sebagai berikut :

1. Objek jaminan apakah yang dapat dijadikan sebagai jaminan dalam Kuasa Menjual berkaitan dengan Perjanjian Kredit ?

2. Bagaimana fungsi dan peranan dari Surat Kuasa Menjual terhadap objek Jaminan dalam Perjanjian Kredit ?

(35)

C. Tujuan Peneltian

Penelitian ini dilakukan untuk memperjelas pengertian dan pemahaman dari perumusan-perumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas. Mengacu pada hal tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai Penulis di dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Objek jaminan apakah yang dapat dijadikan sebagai jaminan

dalam Kuasa Menjual berkaitan dengan Perjanjian Kredit.

2. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Surat Kuasa Menjual terhadap objek Jaminan dalam Perjanjian Kredit.

3. Untuk mengetahui keberadaan dari surat Kuasa Menjual terhadap Objek Jaminan dalam Perjanjian Kredit dalam dunia perbankan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, baik untuk Penulis sendiri, untuk para akademis maupun masyarakat luas, sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangsih untuk perkembangan pengetahuan hukum secara umum dan dunia perbankan pada khususnya.

2. Secara praktis hasil penelitian dapat digunakan :

(36)

b. Sebagai pedoman atau bahan masukan bagi Notaris khususnya bila terjadi sengketa perihal lembaga jaminan dalam Perjanjian Kredit.

c. Bagi kalangan perbankan, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan penambahan wawasan bagi mereka dalam prakteknya di dunia kerja, terutama dalam hal pelayanan di bidang perkreditan bagi para nasabah Debitur.

d. Sebagai bahan kajian bagi kaum akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian hukum di bidang lembaga jaminan dalam dunia perbankan, baik asas-asas hukum, sistematika, sinkronisasi hukum perbankan terhadap hukum lain yang berlaku di Indonesia (misalnya hukum perdata ).

e. Untuk menambah wawasan kaum akademisi perihal hukum jaminan dalam dunia perbankan, dimana nantinya akan dapat dipergunakan oleh kaum akademisi tersebut dalam aktivitas perkuliahan mereka.

E. Keaslian Penelitian

Penulis telah melakukan penelitian sebelumnya pada kepustakaan umum di Universitas Sumatera Utara maupun pada kepustakaan khusus Program Magister

Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ada penelitian yang membahas tentang “Eksistensi Kuasa Menjual Objek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit”.

(37)

Hak Atas Tanah” oleh Amelia Prihartini, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Nim : 037011004. Dimana pada tesisnya tersebut Amelia membahas faktor apa yang menyebabkan kuasa mutlak dalam perikatan jual beli hak atas tanah masih diberlakukan, bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi pemegang hak atas tanah yang tanahnya dialihkan berdasarkan kuasa mutlak.

Oleh karena, permasalahan-permasalahan yang diteliti oleh peneliti sebelumnya berbeda dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan penelitian ini asli baik dari sisi judul maupun permasalahannya, oleh karena itu dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi substansi maupun dari segi metodologi dan pertanggung jawaban secara moril maupun materil.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi15, dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya 16.

Burhan Ashshofa berpendapat bahwa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep17.

15

J. J. J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universita Indonesia, Jakarta,1996, hal. 203.

16Ibid

(38)

Sedangkan Snelbecker mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati 18.

Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu pengertian perihal

Kerangka Teori, yaitu bahwa kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang

menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis 19 .

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum untuk menemukan hukum baru diperlukan adanya suatu penelitian lebih lanjut terhadap objek yang akan diteliti. Dan, di dalam melakukan penelitian tersebut, Penulis harus berpedoman pada metodologi, imajinasi sosial, dan teori yang dipakai sebagai dasar dari penelitian yang akan dilakukan.

Fungsi teori di dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan menjelaskan hal yang akan diteliti, sehingga oleh karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori ini diarahkan secara khas ilmu hukum, dan secara khusus pada masalah Perjanjian Kredit sebagai dasar dari timbulnya Kuasa Menjual objek jaminan tersebut.

17

Burhan Ashshof, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19. 18

Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Jakarta, 1990, hal. 103.

19

(39)

Teori juga memiliki fungsi untuk dapat memahami bahwa pemberian Kuasa Menjual objek jaminan dalam perjanjian kredit sebagai kaidah hukum telah ditentukan dan diatur pula di dalam peraturan perundang-undangan (khususnya KUH Perdata).

Dalam penelitian yang dilakukan Penulis kali ini, kerangka teori yang dipakai oleh Penulis adalah:

a. Teori Mandat, Menurut teori mandat pelaksanaan penjualan yang dilakukan oleh kreditur dalam hal wanprestasi berdasarkan kuasa menjual terdapat unsur perwakilan, oleh karenanya kreditur di dalam melakukan penjualan adalah bertindak mewakili dan selaku kuasa dari Debitur/pemilik jaminan.

b. Teori Eksekusi yang disederhanakan, menurut teori eksekusi yang disederhanakan dalam pelaksanaan penjualan yang dilakukan oleh kreditur tidak terdapat unsur perwakilan, melainkan kreditur bertindak guna memperoleh haknya sendiri, bukan untuk kepentingan debitur, bahkan dalam hal ini bertentangan dengan kepentingan debitur. 20

Dari kerangka teori ini dapat diambil suatu pengertian bahwa sebagaimana peraturan perundang-undangan Perbankan (Pasal 12A Undang-Undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan) menyatakan bahwa di dalam perjanjian kredit disertakan Kuasa Menjual objek jaminan, maka Penulis ingin mencari tahu lebih dalam lagi bagaimana aspek-aspek Kuasa menjual, fungsi serta peranan maupun hal lainnya dari Kuasa menjual tersebut.

Hubungan kerangka teori tersebut di dalam penulisan penelitian ini adalah bahwa dengan semakin pesat dan kompleksnya perkembangan masyarakat, mengakibatkan terjadinya perubahan pola pikir, gaya hidup, serta perkembangan

20

(40)

zaman yang semakin pesat, sehingga mengakibatkan perubahan hukum yang dibuat oleh Penguasa atau Pemimpin Negara (Pemerintah), termasuk salah satunya adalah peraturan perundang-undangan tentang Perbankan, khususnya Kuasa menjual objek jaminan dalam kaitannya terhadap perjanjian kredit yang sering terjadi di dalam masyarakat dalam dunia perbankan.

Sehingga Penulis ingin menjabarkan lebih lanjut lagi perihal Kuasa Menjual tersebut dalam kaitannya dengan perjanjian kredit ditinjau dari kedua kerangka teori tersebut di atas.

2. Konsepsi

Konsepsi dalam bahasa Latin memiliki arti hal yang dimengerti. Sehingga konsepsi adalah merupakan salah satu bagian terpenting dari teori, dimana peranan konsepsi di dalam penelitian adalah agar dapat menghubungkan suatu teori dan observasi, antara abstraksi dan realita atau kenyataan. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.21

Konsep juga diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional. Pentingnya defenisi operasional ini adalah untuk menghindarkan perbedaan

21

(41)

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.22

Oleh sebab itu, agar dapat menjawab permasalahan di dalam penelitian ini haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar dapat diperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan dari penelitian ini dilakukan. Suatu konsep atau kerangka konsepsionil adalah merupakan suatu pengarah, pedoman, pembatasan pengertian secara konkret dari kerangka teori, dimana kerangka teori masih bersifat abstrak, dan konsep ini masih sangat diperlukan oleh Peneliti nantinya selama proses penelitian berlangsung.

Adapun konsepsi dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut : pengertian dari Eksistensi, Kuasa Menjual, Objek Jaminan, dan juga pengertian Perjanjian Kredit.

Eksistensi23 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “keberadaan,

kemampuan bertahan, dapat menahan”.

Kuasa menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya mampu.24

Kuasa (Voltmacht) merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa guna kepentingan pemberi

22

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. 23

Dani K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (dilengkapi dengan Ejaan Yang Disempurnakan), Putra Harsa, Surabaya, 2002, hal. 99.

24

(42)

kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (HR 24 Juni 1983 N7 1939-337). 25

Menurut ketentuan Pasal 1792 KUH Perdata, yang isinya adalah “Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang yang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”

Berdasarkan pasal diatas, bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah sebagai berikut :

1. Adanya persetujuan

2. Memberikan kuasa kepada penerima kuasa

3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan

Pengertian lebih lengkap dari Pasal 1792 KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa: pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dimana seseorang memberi kekuasaan atau wewenang (lastgeving) kepada seorang lain yang menerimanya (voltmacht/Lasthebber) untuk dan atas namanya (Lastgever) menyelenggarakan suatu urusan.26

Menjual menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah menukarkan barang atau sesuatu dengan uang, dan sebagainya.27

25

Herlien Budiono, Larangan Kuasa Mutlak-Majalah Projustitia, Nomor 17, Maret, 1982. 26

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Jakarta, 2003, hal. 85. 27Ibid,

(43)

Kuasa Menjual adalah kekuasaan yang diberikan pada seseorang untuk mampu atau dapat menyelenggarakan urusan si pemberi kuasa dalam hal menukarkan barang atau sesuatu lainnya dengan uang dan lain sebagainya.

Secara lengkap, pengertian Kuasa Menjual adalah suatu kemampuan dengan hak substitusi (hak yang dapat digantikan) yang diberikan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur apabila Debitur wanprestasi untuk menjual benda jaminan yang telah diserahkan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur dengan harga dan syarat yang dianggap baik oleh Kreditur, hasil penjualan mana digunakan untuk menutupi hutang Debitur.

Objek, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah hal, perkara atau orang yang menjadi pokok pembicaraan.28

Jaminan, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah menanggung tentang segala sesuatu. 29

Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.

Objek Jaminan adalah suatu hal pokok yang menanggung segala sesuatu. 30

Secara lengkap Objek Jaminan memiliki pengertian yaitu sesuatu benda milik Debitur atau pihak ketiga yang dijadikan jaminan untuk pelunasan hutang Debitur kepada Kreditur.

28Ibid,

hal. 254. 29Ibid,

hal. 161. 30

(44)

Perjanjian, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. 31

Pengertian Kredit dapat kita lihat dengan sangat jelas dalam dasar hukumnya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nmor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mana isinya sebagai berikut :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Pengertian lain Kredit, diungkapkan O.P. Simorangkir, sebagai berikut : Pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra-prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara Kreditur dengan Debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.) 32

Hutang-Piutang, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah suatu yang harus dibayar.33

Perjanjian hutang-piutang adalah pernyataan kesanggupan untuk berbuat sesuatu yaitu membayarkan sesuai pernyataan.

31

Op.Cit, hal. 162. 32

O. P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersil, Aksara Persada, Jakarta, 1986, Cetakan Kelima, hal. 91.

33Ibid

(45)

Perjanjian Kredit pengertiannya secara lengkap adalah perjanjian yang dibuat antara Debitur dan Kreditur (bank maupun non bank) yang merupakan perjanjian pinjam meminjam uang, dan Debitur setelah jangka waktu tertentu diwajibkan untuk mengembalikan uang pinjaman beserta dengan bunganya.

Jadi, pengertian yang lengkap dari Eksistensi Pemberian Kuasa Menjual Objek Jaminan di dalam Perjanjian Kredit yaitu keberadaan dari pemberian suatu kemampuan dengan hak substitusi yang diberikan oleh Debitur (pemilik jaminan) kepada Kreditur untuk dapat menjual benda milik Debitur/pihak ketiga yang dijadikan sebagai objek jaminan untuk pelunasan kredit/hutang Debitur kepada Kreditur, apabila Debitur wanprestasi atau karena sebab lain yang menyebabkan Debitur tidak mampu untuk membayar hutangnya tersebut sebagaimana seharusnya telah diperjanjikan, di dalam perjanjian kredit atau pinjam meminjam uang yang dilakukan oleh Debitur kepada Kreditur.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian hukum yang dilakukan Penulis adalah penelitian hukum Normatif atau Doktriner, dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka (misalnya Undang-undang, buku, dan lain-lain) dan data sekunder (jika dibutuhkan).

(46)

1. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

2. Data yang dianalisa beraneka ragam memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikualifisir.

3. Sifat dasar data yang dianalisa dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), di mana hal itu menunjukkan adanya keaneka-ragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information).34

Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, maka sifat penelitian yang sesuai untuk dipakai Penulis di dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis.

Penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek dan peristiwanya.35

Penelitian ini bersifat deskriktif analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian yang mencari tahu, lalu menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan bagaimana posisi, keberadaan maupun peranan dari Kuasa Menjual objek jaminan di dalam perjanjian kredit yang terjadi.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh penulis, yaitu di Kota Medan. Lokasi penelitian akan berlangsung di salah satu Bank umum swasta, yaitu di PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk. yang berlokasi di Kota Medan.

34

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil Penelitian Hukum Dan Hasil Penulisan Penelitian Pada Makalah Akreditas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003, hal. 2.

35

(47)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, baik berupa pengetahuan ilmiah maupun untuk menemukan suatu fakta, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Studi Kepustakaan ( Library Research ) yaitu menghimpun data-data dengan melakukan penelaahan kepustakaan, berupa buku, arsip atau dokumen yang berkaitan

dengan topik pembahasan yang akan diteliti oleh penulis yaitu “Eksistensi Kuasa Menjual Objek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit”.

4. Bahan Penelitian

(48)

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan keterangan

maupun penjelasan lebih lanjut perihal bahan hukum primer, seperti buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, pendapat para sarjana, dan

lain sebagainya.

c. Bahan Tertier ( Penunjang ) yaitu bahan-bahan yang berada di luar dari bahan hukum seperti kamus umum Bahasa Indonesia, kamus Hukum, internet, dan lainnya yang berhubungan dengan topik permasalahan.

5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh penulis, baik data yang bersumber dari bahan pustaka maupun data yang bersumber dari lapangan dianalisa penulis secara Kualitatif, Induktif, dan Generatif.

Kualitatif maksudnya bahwa data diperoleh dari hasil interaksi antara Peneliti dan sumber data baik dari manusia (informan) maupun benda (berupa Surat Keterangan Camat).

Induktif maksudnya data dianalisis mulai bukan dari teori dan hipotesis tetapi dimulai dari informasi yang diperoleh.

Generatif maksudnya mencoba menemukan suatu bentukan yang bisa mengarah ke proposisi atau hipotesa dengan menggunakan data itu sendiri sebagai titik berangkat analisis. 36

36

(49)

BAB II

JENIS-JENIS BENDA YANG DAPAT DIJADIKAN JAMINAN KUASA MENJUAL DALAM PERJANJIAN KREDIT

Dalam perjanjian kredit, pihak Kreditur sebagai penyalur dana (biasanya Kreditur adalah Bank) memerlukan suatu kepastian dari nasabahnya yaitu pihak Debitur yang hendak memerlukan dana, bahwa dana yang disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kepada Kreditur seutuhnya berikut bunganya serta biaya-biaya lain yang kemudian timbul setelah perjanjian tersebut dilakukan.

Kepastian tersebut memerlukan suatu jaminan yang harus diberikan oleh Debitur kepada Kreditur bahwa ia dapat melunasi pinjaman dana atau hutangnya (selanjutnya disebut kredit) tersebut terhadap Kreditur sebagai pihak penyalur kredit.

Oleh karena lembaga jaminan mempunyai tugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) adalah :

1. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya.

2. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) kegiatan usahanya.

3. Yang memberikan kepastian kepada pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dengan mudah dapat diuangkan untuk melunasi hutangnya penerima (pengambil) kredit.37

Hal tersebut di atas, sesuai dengan persyaratan kredit yang dikemukakan oleh Hasanuddin Rahman di dalam bukunya, yang menyatakan bahwa prototype suatu

37

(50)

perjanjian kredit atau pengakuan hutang-piutang pada dasarnya harus memenuhi

Isi perjanjian kredit atau pengakuan utang yang termuat dalam pasal-pasal klausula perjanjian, dari pengembangan hal tersebut di atas, adalah sebagai berikut: 39 1. Jumlah maksimum kredit (plafond) yang diberikan oleh Bank kepada Debiturnya.

Dalam praktek, Bank dapat juga memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk menarik dana melebihi plafond kreditnya (overdraft);

2. Cara media penarikan kredit (plafond) yang diberikan tersebut, yang mana penarikan dana tersebut dilakukan di kantor Bank yang bersangkutan dan pembayaran yang dilakukan pada hari dan jam kantor buka.

3. Jangka waktu dan cara pembayaran sampai jatuh tempo, ada 2 (dua) cara bentuk rekening koran diberikan salinannya setiap bulan oleh pihak bank kepada pihak Debitur;

5. Pembayaran bunga, administrasi, provisi dan denda (bila ada), kecuali pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan provisi harus dibayar di muka oleh pihak Debitur. Sedangkan denda harus dibayar oleh pihak Debitur bila terdapat tunggakan angsuran ataupun bunga;

6. Klausula opeersbaarheid, yaitu klausula yang memuat hal-hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak-haknya pihak Debitur untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian Debitur untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit atau pengakuan utang,

38

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 159.

39

Referensi

Dokumen terkait

Pada kedua aspek ini, Anda akan menemukan bagaimana praktek eksploitasi ekonomi dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa Indonesia dan Anda bisa membandingkan dampak

Dalam Penulisan Ilmiah ini Penulis menjelaskan bagaimana membuat suatu Aplikasi Try-Out Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang merupakan aplikasi yang dapat dipakai oleh

Jika yang menghadiri bukan merupakan direktur/penanggung jawab perusahaan, harus membawa surat kuasa bermaterai Rp.6.000,- dan fotokopi KTP yang dikuasakan.. Membawa

Aplikasi multimedia merupakan bentuk baru untuk penggambaran program komputer yang menggunakan dan menggabungkan lebih dari satu media, didalamnya terdapat elemen gambar, teks,

Pokja ULP UPTP Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja – Bekasi pada Kementerian ketenagakerjaan RI akan melaksanakan Seleksi Sederhana dengan pascakualifikasi secara

[r]

Berdasarkan nilai daya serap klasikal dan ketuntasan belajar klasikal pada kegiatan pembelajaran siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

Tabel 2.. Hasil survei pada tabel 2 juga memperlihatkan bahwa cakupan semua jenis imunisasi berdasarkan survei menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan laporan rutin. Hal