• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KEMATIAN DAN UPACARA KEMATIAN BATAK TOBA 3.1. Konsep Kematian Pada Masyarakat Batak Toba

3.2. Jenis-Jenis Kematian Masyarakat Batak Toba

Ada beberapa jenis-jenis kematian dikalangan masyarakat Batak Toba pada umumnya, yakni sebagai berikut ini:

1. Mate Poso

Beberapa masyarakat Batak Toba mengatakan Mate Poso adalah seseorang yang meninggal dalam umur yang sangat mudah (mati bayi). Mate Poso ini sudah dibuat acaranya yakni acara pemberian Ulos sebagai penutup mayat/yang mati. Ulos penutupan mayat ini akan diberikan dari orangtuanya.

Apabila seseorang meninggal pada usia 2-11 tahun maka akan disebut Mate DakDanak (mati anak-anak). Jika seseorang meninggal pada usia remaja maka akan disebut Mate Bulung. Mate DakDanak dengan Mate Bulung sudah ada acara Ulos penutupan mayat yang akan diberi oleh Tulangnya. Namun, acara Jambar tidak ada.

2. Mate Ponggol

Apabila sudah dewasa, Doli-Doli atau Namarbaju (anak muda), maka sebutan untuk meninggal seperti ini disebut Mate Ponggol atau Mate Matipul.

Kata Ponggol atau Matipul ialah patah. Adat untuk Mate Ponggol ini biasanya

akan dibuat acara sederhana saja. Dan mayat yang meninggal dalam keadaan ini akan sesegera mungkin dikuburkan. Ulos penutup mayat yang meninggal dalam keadaan seperti ini disebut Ulos Parsirangan (Ulos perpisahan), Ulos ini akan diberikan dari Tulangnya.

3. Mate Di Paralang-Alangan

Disebut Mate Paralang-Alangan adalah apabila seseorang itu meninggal sudah berumah tangga namun belum memiliki anak atau keturunan. Orang yang meninggal dalam keadaan seperti ini disebut punu, yang artiannya tidak ada keturunan. Pada acara pemberangkatan seseorang yang meninggal seperti ini akan ada dua macam Ulos yang disematkan pada mayatnya yakni Ulos penutup mayat (Ulos Saput) dan ulos tujung yang dikerudungkan diatas kepala pasangan yang ditinggalkan. Dan setelah selesai penguburan, maka akan diadakan acara pembukaan tujung sekaligus acara penghiburan atau pengapulan.

4. Mate Mangkar

Seseorang yang meninggal dimana semua anak-anaknya ditinggalkan masih kecil-kecil. Jika si suami yang ditinggalkan (mati) disebut matompas tataring, sebaliknya jika si istri yang ditinggalkan (mati) disebut Matipul Ulu.

Secara harfiah, Matompas Tataring artinya tempat perapian memasak rusak atau ambruk, dan Matipul Ulu artinya patah kepala. Untuk anak-anak yang ditinggalkan (mati) disebut Saksak Mardum artinya belum ada yang bisa mengurusi diri sendiri.

Ulos diacara adat untuk mate mangkar ada dua macam. Ulos Saput untuk penutup mayat yang meninggal dan Ulos Tujung kepada pasangan yang ditinggal

mati. Para pelayat yang datang (roh) tidak diberi makan. Namun, setelah pulang dari kuburan maka akan diadakan acara membuka tujung dan makan bersama.

Biasanya seekor anak Babi akan disembelih untuk itu. Dan Hula-Hula yang akan membuka Tujung pun membawa Dekke. Tudu-Tudu Ni Sipanganon dari anak Babi yang disembelih tadi tidak diperhadapkan kepada Hula-Hula yang membuka tujung tadi, melainkan Tudu-Tudu Ni Sipanganon tadi diperhadapkan kepada semua yang hadir. Tudu-Tudu ini disebutlah Lompa Mangan, lauk untuk makan, dan ini tidak dibagikan secara resmi kepada kerabat Dalihan Natolu.

5. Mate Hatungganeon

Dilihat dari segi usianya sudah pantas bercucu, anak-anaknya sudah pada dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum juga bercucu, apabila meninggal dalam keadaa seperti itu disebut Mate Hatungganeon. Acara adat yang dilaksanakan untuk orang meninggal seperti ini hampir sama dengan acara Mate Mangkar. Yang dalam artiannya, meskipun dia kaya tidaklah berhak Marboan, yakni menyembelih seekor ternak untuk dibagikan kepada kerabat Dalihan Natolu.

Kalaupun ternak Babi disembelih, itu tidak dapat disebut Boan atau Ola.

Ternak babi yang disembelih itu menjadi lauk pada acara Pertangiangan (acara ibadah gereja). Tetapi, kebiasaan orang Batak Toba di Kampung ini daging ternak Babi yang disembelih itu sebagian untuk para pelayat. Untuk Jambar akan diperhadapkan kepada Hula-Hula pemberi Ulos saput diacara Pertangiangan (acara ibadah gereja/berdoa) sehabis dari kuburan, dan akan dibagikan secara resmi kapada kerabat Dalihan Natolu serta kepada Dongan Sahutanya.

6. Mate Sarimatua

Kata Mate Saur Matua adalah kata yang dipakai terhadap seseorang yang meninggal dalam keadaan sudah bercucu. Sebutan Saur Matua adalah jika seseorang itu meninggal dalam keadaan masih ada yang ditanggungjawabkan, dipikirkan yang dalam bahasa bataknya Disarihon. Artian dari kata Disarihon disini ialah kepada anak atau keturunannya yang belum menikah atau kawin.

Dalam masyarakat Toba, jika satu anaknya sudah menikah atau kawin dan memberi Cucu, namun yang lima lagi beluNm menikah atau sebaliknya, hal itu juga masih tergolong Mate Sari Matua.

Untuk yang Mate Sari Matua, adat pemberian Ulos sudah berbeda dengan Mate Hatungganeon, dan Mate Mangkar. Bila di acara Mate Hatungganeon dan Mate Mangkar hanya ada Ulos Saput dan Ulos Tujung, maka di acara Mate Sari Matua sudah ada Ulos Holong yang diberi oleh pihak Hula-Hula ke anak almarhum. Sedangkan untuk ganti Ulos Tujungnya (ulos diatas kepala) ialah Ulos Sampetua (ulos sampai tua).

Seseorang yang Mate Sari Matua, secara adat sudah seharusnya Marboan (membawa), yakni menyembelih atau memotong ternak sebagai Boan atau Ola yang akan dibagikan kepada para kerabat Dalihan Natolu. Pada umumnya ternak yang lazim untuk dijadikan Boan adalah Lombu Sitio (sapi) atau Gaja Toba (kerbau). Untuk Sari Matua cukup ideal apabila Boannya Lombu Sitio yang digolongkan sebagai Natinutungan (dibakar). Disebut Natinutungan ialah dimana bulu-bulu ternak itu dibuang dengan cara dibakar. Kemudian dagingnya dan Na

Margiar Ni Juhut direbus. Karena sebagian daging ternak dijadikan untuk lauk pauk para pelayat atau orang-orang yang hadir pada acara itu.

Menyembelih ternak sebagai Boan untuk yang Mate Sari Matua merupakan aturan adat, tetapi hal itu tidaklah sebagai sebuah keharusan untuk dipenuhi. Bagi keluarga yang tidak mampu bisa saja menyembelih ternak Babi namun tidak dapat disebut sebagai boan. Daging ternak yang disebut sebagai Boan itu dibagikan saat mayat masih dirumah duka, ada kalanya dibagikan setelah pulag dari kuburan. Mengenai adat Ungkap Hombung dan Piso Naganjang kurang lebih masih sama dengan dalam Adat Mate Hatungganeon, kecuali pihak keluarga terdorong untuk melaksanakan acara ini.

Uniknya, semua jenis-jenis kematian ini tidak sama pembagian jambarnya, acaranya, serta pemberian ulos pun sudah berbeda. Tentu hal itu membuat peneliti tertarik untuk menjadikannya sebagai penelitian penulis. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan dibawah ini Tiarma Sibutar-butar:

“...Ai beda do molo mate saurmatua dohot mate saur matua bulung (mauli bulung) songoni dohot tu mate mangkar dohot sarimatua.

Beda do i dohot parjambaran”.(Bedanya kalau mati saur matua dengan mati saur matua mauli bulung begitu juga dengan mati mangkar dengan mati sarimatua. Begitu juga dalam parjamarannya).

Dari kalimat diatas, dapat simpulkan bahwa ternyata dalam adat Batak Toba itu mempunyai aturan adat yang berbeda termasuk dalam acara kematiannya. Tidak semua sama adatnya, ada tingkatan di dalamnya. Apabila seseorang meninggal dengan usia yang sudah sangat tua, dimana semua

anak-anaknya sudah berumah tangga serta sudah memiliki Cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan maka itu disebut Mate Saur Matua atau mati sempurna.

Salah satu jenis upacara kematian yang menjadi fokus penelitian skripsi ini adalah melihat dan mengamati bagaimana tahapan dalam upacara kematian Saur Matua serta pembagian Jambar Juhut yang ada di dalamnya. Kematian Saur Matua ini sudah layak untuk melakukan upacara adat yang besar, dan sudah berhak Mamboan (membawa). Bagi orang Batak Toba, Mate Saur Matua adalah kematian yang paling di harapkan dalam hidupnya. Ketika semua keturunannya sudah berumah tangga serta sudah mempunyai cucu bahkan mempunyai Nini, atau Nono. Upacara Kematian Saur Matua ini akan melibatkan banyaknya unsur Dalihan Natolu didalamnya.

Dokumen terkait