• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

JAMBAR JUHUT DI KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA PADA UPACARA MATE SAUR MATUA

( Studi Kasus di Desa Kp. Beringin Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Salatan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial

Dalam Bidang Antropologi

OLEH:

TIORISMA IDA SITORUS 150905029

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMI POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

JAMBAR JUHUT DI KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA PADA UPACARA MATE SAUR MATUA

(Studi Kasus di Desa Kp. Beringin Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Salatan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juli 2019 Penulis

Tiorisma Ida Sitorus

(5)

ABSTRAK

Tiorisma Ida Sitorus, NIM 150905029. 2019. Judul Skripsi : Jambar Juhut Di Kalangan Masyarakat Batak Toba Pada Upacara Kematian Saur Matua (Studi Kasus di Desa Kp. Beringin Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Selatan). Skripsi terdiri dari 5 Bab, 140 Halaman, 3 Tabel, 6 Gambar, dan 13 Foto.

Penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang Jambar Juhut Di Kalangan Masyarakat Batak Toba Pada Upcara Mate Saur Matua di Desa Asam Jawa Dusun Kampung Beringin Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui pembagian Jambar dalam acara Mate Saur Matua yang dilakukan sebagaimana biasanya dilakukan oleh masyarakat Kampung Beringin. Selain untuk mengetahui tentang pembagian Jambar, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui tentang adat Mate Saur Matua di Kampung Beringin.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik mengumpulkan data yang dilakukan ketika berada dilapang yakni teknik pengumpulan data primer melalui wawancara dan pengobservasian, dimana penulis akan terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh informasi yang akurat dari masyarakat Kampung Beringin. Serta teknik pengumpulan data sekunder dengan mencari buku, jurnal, dan situs internet yang berkaitan dengan judul penelitian.

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan selama penelitian memperlihatkan bahwa pembagian Jambar yang ada di Kalangan masyarakat Kampung Beringin tidaklah sama dengan cara pembagian yang ada di daerah lainnya, dan inilah ciri khas adat yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Beringin. Kematian Saur Matua adalah hal yang paling fenomena di Kalangan masyarakat ini. Ketika ada acara Kematian Saur Matua, maka semua Para Na Tua-Tua Ni Huta serta sebahagian kerabat dalam unsur Dalihan Natolu akan melakukan suatu mufakat bersama untuk merancang konsep acara yang akan terlaksana pada hari “H”. Dan pembagian Jambar ini adalah hal yang sangat penting. Hal itu dikarena bahwa Jambar melambangkan persatuan ikatan kekerabatan ataupun kekeluargaan.

Kata-Kata Kunci: Masyarakat Batak Toba, Kematian Saur Matua, Jambar Juhut

(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan Syukur Peneliti sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus, dimana oleh karena kasih dan anugerah-Nyalah Peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul “JAMBAR JUHUT DI KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA PADA UPACARA MATE SAUR MATUA (Studi Kasus di Desa Kp. Beringin Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Selatan)”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dalam bidang Antropologi Sosial pada Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Selama dalam penyelesaian skripsi ini, peneliti mendapat banyak masukan, bantuan, dukungan, serta motivasi baik dari dosen pembimbing, keluarga, tema-teman serta dari berbagai pihak, oleh sebab itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

Penghargaan terbesar peneliti persembahkan kepada Tuhan Yeuss Kristus sahabat serta kekasih sejati yang senantiasa menjadi tempat dimana peneliti berbagi hidup. Kepada keluarga Peneliti yang telah membesarkan, mendidik dan menjadi sumber material maupun segi moral, serta tetap memotivasi peneliti selama berada dibangku sekolah hingga bangku perkuliahan.

Kepada kedua orangtua peneliti tercinta yakni Bapak Pardomuan Sitorus dan Ibu Syahroni Br.Sibarani yang selalu memberikan ketulusan cinta, perhatian dan kesabaran untuk peneliti dalam menyemangati, agar mampu menjadi pribadi yang baik, demikian pula perhatiannya dalam memenuhi kebutuhan serta mendukung pendidikan peneliti mulai dari awal hingga sampai saat ini. Sungguh

(7)

peneliti tidak mampu membalas semua itu, kiranya Tuhan yang membalas semua kebaikan yang telah kalian beri Ma, Pa serta panjang umur dan sehat selalu.

Peneliti juga tidak lupa menyampaikan terimakasih kepada Oppung tercinta yang juga tak bosannya memotivasi bahkan memberikan nasehat kepada peneliti akan segala hal, semoga Tuhan memberkati diberi panjang umur dan kesehatan. Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada Ito ku Erwin Sitorus yang selalu memberikan semangat bahkan motivasi kepada peneliti.

Kepada adik-adikku yang tersayang Elvi Shinta Uli Sitorus, Jukkun Hamongan Sitorus, Jelita Putri Sitorus, Martua Riski Sitorus, Baginda Lorenzo Benigno Aquino Sitorus. Kepada keponakanku yakni Permai Sari Sitorus yang selalu menjadi peyemangat peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih telah memberikan semangat, dukungan serta doa untuk peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Semua oleh karena doa serta dukungan dari semua pihak keluarga yang tak dapat disebutkan satu per satu namanya.

Peneliti juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Pak Nurman Ahmad, S. Sos, M. Soc, Sc selaku Dosen Pembimbing dan juga selaku Dosen PA Saya terimakasih atas waktu, tenaga, dan ketulusannya dalam membimbing Saya mulai dari pengajuan judul, penyusunan proposal hingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Semoga Tuhan memberikan umur yang panjang, kesehatan, dan rezeki kepada Bapak agar tetap mampu memberikan pendidikan dan pengajaran bagi mahasiswa/i.

(8)

Peneliti juga mengucapkan rasa terimakasih kepada Ibu Dra. Rytha Tambunan M.Si selaku Dosen pembimbing peneliti juga yang telah memberikan waktu serta ketulusannya dalam mengajari dan membimbing peneliti menjadi tempat dimana peneliti berkonsultasi hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Semoga Tuhan memberkati, panjag umur, sehat selalu.

Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta jajarannya, Kepada Ketua Departemen Antropologi Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant dan Bapak Agustrisno, M.SP selaku Sekretaris Departemen Antropologi, kepada Ibu Aida, Pak Herman, Bu Tjut, Bu Nita, Pak Lister, Pak Wan, Pak Yance, Pak Hamdani, Kak Nur juga, Kak Sophie, Kak Sri, Pak Zulkifli, serta semua jajaran dosen Antropologi Sosial, Universitas Sumatera Utara. Secara umum peneliti juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan, dengan berbagai pengalaman yang berbeda tentunya. Semoga dengan ilmu pengetahuan yang telah Saya peroleh selama duduk dibangku perkuliahan dapat bermanfaat dengan baik nantinya.

Peneliti juga berterimakasih kepada Bapak dan adik peneliti yang selalu menemani dalam melakukan wawancara selama penelitian, memotivasi bahkan menyemangati peneliti supaya cepat menyelesaikan perkuliahan ini, seluruh informan Peneliti dan masyarakat di Desa Kp. Beringin, kepada Bapak ST. A.

Tampubolon selaku penatua di kampung, terimakasih telah memberikan waktunya selama wawancara dan memberikan izin kepada peneliti untuk memofoto setiap acara/pesta kematian saur matua selama penelitian dikampung ini.

(9)

Pada kesempatan ini, Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa/i Antropologi FISIP USU angkatan 2015, terimakasih atas pengalaman, cerita yang tak pernah terlupakan selama masa perkuliahan kita, terkhusus buat adik Antropologi FISIP USU angkatan 2016.

Peneliti juga berterimakasih kepada sahabat-sahabat yang selalu memotivasi bahkan menyemangatiku selama menulis skripsi ini yaitu Friska Susanti Sinaga, Windi Sinaga, Petrus Silalahi, Johanes Mangunsong, Evi Darmayanti Gajah Manik terimakasih buat semua kisah kita selama ini atas suka duka yang kita lalui. Semoga kita sama-sama sukses nantinya dengan ilmu pengetahuan yang telah kita peroleh.

Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada teman-teman satu pelayanan di Jl. Marakas yakni PD/PA Filipi yang tidak dapat Saya sebutkan satu per satu namanya di dalam skripsi ini. Secara khusus untuk satu KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yakni Bang Lodewijk Girsang, Dostahi Malau, dan Sayuti Melik Purba terimakasih atas motivasi serta semangat kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan perkuliahan serta skripsi ini dengan baik.

Juga kepada Bibi Karo selaku orangtua peneliti selama diperantauan ini yang telah memberikan motivasi, didikan, serta pengalamannya kepada peneliti didalam menyelesaikan perkuliahan. Peneliti juga mengucapkan terimakasih buat orang terkasih yakni Bang Freddy Sanjaya Butar-Butar yang juga telah memberi semangat bahkan dukungan kepada peneliti hingga sampai tahap akhir ini dimana skripsi ini selesai dengan tepat waktu.

(10)

Serta kepada teman-teman satu kost peneliti yang ada di Jl. Marakas No.

16 Psr 2 P. Bulan, terimakasih atas suka dukanya yang melengkapi cerita kita selama diperantauan. Sungguh Peneliti sangat bersyukur dapat menjadi bagian dari teman-teman selama diperantauan ini, sama-sama berjuang untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara ini. Peneliti tidak dapat membalas semua perbuatan dari teman-teman.

Akhir kata Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu Saya berharap agar pembaca mau memerikan kritikkan, saran dan masukan maka penulis akan menerimanya dengan baik, agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi kedepannya dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu Antropologi sekian dan Terimakasih.

Medan, Juli 2019

Peneliti

Tiorisma Ida Sitorus

(11)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Tiorisma Ida Sitorus Lahir di Kp. Beringin Pada tanggal 07 Desember 1997 dari Pasangan Bapak Pardomuan Sitorus dan Ibu Syahroni Br. Sibarani anak ke 2 dari Tujuh bersaudara. Riwayat Pendidikan Dimulai dari SD Negeri 112243 Kota Pinang Kab.

Labuhan Batu Selatan. Kemudian Melanjutkan ke SMP N 1 Kota Pinang Kab. Labuhan Batu Selatan.

Selain itu penulis melanjutkan studi lagi ke SMA 1 Kota Pinang Kab. Labuhan Batu Selatan. Setelah lulus dari SMA N 1 Kota Pinang pada tahun 2015, Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan ke Jenjang Perguruan Tinggi Negeri di Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mengambil jurusan Antropologi Sosial.

Alamat Email: tiorismasitorus27@gmail.com.

Kegiatan yang pernah diikuti selama perkuliahan antara lain:

1. Terdaftar Sebagai Mahasiswi INSAN Pada tahun 2015.

2. Terdaftar Sebagai Peserta Seminar Pada Kegiatan Festival Konstitusi Dan Anti Korupsi “Mengawal Demokrasi Konstitusi, Melawan Korupsi” Pada 14-15 Mei 2018.

3. Terdaftar Sebagai Peserta Seminar Dalam Kegiatan Seminar Sehari

“Arkeologi Sebagai Penguat Karakter Bangsa” Pada 24 April 2018.

4. Terdaftar Sebagai Peserta Seminar Nasional Kepemudaan Dalam Rangka Memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan “Pemuda

(12)

Mengawal Ke-bhineka-an Bangsa. Revitalisasi dan Aktualisasi” Pada 18 November 2017.

5. Terdaftar Sebagai Peserta Seminar Nasional “Melalui Inovasi Teknologi Untuk Menciptakan Mahasiswa Kreatif dan Mandiri” Pada 15 April 2017.

6. Terdaftar Sebagai Peserta Seminar Dalam Kegiatan Hari Pekerja Sosial Sedunia “Membumikan Profesi Pekerjaan Sosial” Pada 31 Maret 2016.

7. Terdaftar Sebgagai Peserta Seminar Sosialisasi Pilkada Kota Medan

“Mahasiswa Sebagai Agen Pensukses Pesta Demokrasi” Pada 24 November 2015.

8. Peserta Inisiani dalam kegiatan penyambutan Mahasiswa/i Baru (PMB) Departemen Antropologi Sosial pada tahun 2015 FIFIP USU.

9. Panitia Inisiani dalam kegiatan penyambutan Mahasiswa/i baru Departemen Antropologi Sosial pada tahun 2016 FIFIP USU.

10. Melakukan Pelatihan „‟Training of Facilitator‟‟ (TOF) angkatan ke-20 oleh Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara di Grand Cetral Medan.

11. Melakukan PKL (Praktek Kerja Lapangan) di Instansi Pemerintahan Negara DinSos ( Dinas Sosial ) di Jalan Pinang Baris No. 114 Medan.

12. Melakukan kegiatan riset penelitian pasar tradisional, mata kuliah MPA II (Metode Penelitian Antropologi I) pada 10 Desember 2016 di Pasar Tradisional Pancur Batu, Medan.

(13)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “JAMBAR JUHUT DI KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA PADA UPACARA MATE SAUR MATUA” (Studi Kasus di Desa

Kp. Beringin Kec. Torgamba Kab. Labuhan Batu Selatan). Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial (S1) dalam bidang Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berisikan kajian mengenai JAMBAR JUHUT DI KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA PADA UPACARA MATE SAUR MATUA.

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi, Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) Bab pokok yang disusun secara kronologis.

Bab I merupakan satu kesatuan. Dalam bab I ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan kerangka teoritis dan permasalahan. Dimana permasalahan itu terdiri dari, latar belakang masalah, tinjauan pustaka, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metodologi penelitian yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu lokasi penelitian dan metode penelitian. Di dalam bab I ini juga Saya menjelaskan tentang latarbelakang mengapa Saya tertarik melakukan penelitian ini.

Bab II berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian dibagi menjadi tempat dimana Saya melakukan penelitian. Dalam bab ini juga Saya menjelaskan gambaran lokasi Kp. Beringin mengenai sejarah singkat daripada Kp. Beringin,

(14)

Aspek Geografi dan Demografi Desa Kampung Beringin, Keadaan Sosial dan Budaya Kampung Beringin, Keadaan Ekonomi Kampung Beringin, dan Tingkat Pendidikan.

Bab III menjelaskan tentang Konsep Kematian dan Upacara Adat Kematian Saur Matua di Desa Kp. Beringin.

Bab IV merupakan hasil dan pembahasan tentang Pembagian Jambar dalam Masyarakat Batak Toba di Kampung Beringin.

Bab V merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan hasil penelitian dan penyelesaian masalah tentang semua persoalan yang diajukan serta saran . Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Juli 2019

Peneliti

Tiorisma Ida Sitorus

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Foto ... xv

Daftar Tabel ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Tinjauan Pustaka ... 6

1.2.1. Pengertian Jambar... 6

1.2.2. Jambar Hata ... 8

1.2.3. Jambar Juhut ... 9

1.2.4. Dalihan Na Tolu ... 9

1.2.5. Unsur-unsur Dalihan Natolu ... 15

1.2.6. Pengertian Persepsi masyarakat ... 20

1.2.7. Adat Istiadat dan Sistem Kepercayaan ... 21

1.2.8. Kebudayaan ... 21

1.2.9. Kematian Adat Saur matua ... 24

1.2.10. Teori Perubahan Sosial... 25

1.2.11. Perkawinan Adat Batak Toba ... 27

1.3.Rumusan Masalah ... 28

1.4.Tujuan Dan Manfaat ... 28

1.5.Metode Penelitian ... 29

1.6.Lokasi penelitian ... 32

1.7.Pengalaman Penelitian ... 33

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Kp. Beringin ... 39

2.1. Jumlah Penduduk Kp. Beringin ... 41

2.3. Mata Pencaharian Masyarakat Kp. Beringin ... 42

2.4. Pendidikan Di Kampung Beringin ... 42

2.5. Keadaan Masyarakat Secara Budaya ... 43

2.6. Sarana Umum Di Kampung Beringin ... 44

2.6.1. Sarana Kesehatan ... 44

2.6.2. Sarana Ibadah ... 45

2.6.3. Sarana Transfortasi ... 46

2.6.4. Sarana Pendidikan ... 46

2.6.5. Sarana Tempat Belanja ... 47

(16)

BAB III KONSEP KEMATIAN DAN UPACARA KEMATIAN BATAK TOBA

3.1. Konsep Kematian Pada Masyarakat Batak Toba... 49

3.2. Jenis-Jenis Kematian Masyarakat Batak Toba ... 56

3.3. Upacara Adat Kematian ... 61

3.4. Dalihan Natolu Dalam Upacara Adat Kematian ... 65

BAB IV JAMBAR JUHUT DALAM UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA 4.1. Jenis Binatang Kurban ... 71

4.2. Nama dan Jenis Jambar ... 76

4.3. Penerima Jambar Juhut (Daging) Dalam Adat Saur Matua ... 87

4.4. Studi Kasus Pembagian Jambar Juhut Adat Saur Matua Op. Clara ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 114

5.2. Saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN GLOSSARY

(17)

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Peta Wilayah Lokasi Penelitian Kabupaten LaBuSel ... 33 Gambar 4.1. Babi atau Pinahan Lobu ... 77 Gambar 4.2. Kerbau (Horbo) atau Lembu ... 84 Gambar 4.3. Skema Perkawinan Keluarga Op. Clara Tampubolon/Br.Siagian .. 104 Gambar 4.4. Skema Perkawinan Pihak Tampubolon... 105 Gambar 4.5. Skema Perkawinan Pihak Siagian ... 106

(18)

Daftar Foto

Foto 2.1. Jembatan Penghubung Kampung Beringin... 39

Foto 2.2. Poliklinik Puskesmas ... 44

Foto 2.3. Gereja GPI ... 45

Foto 2.4. Keadaan Transfortasi ... 46

Foto 2.5. Gedung Indomaret ... 47

Foto 3.1. Acara Panggarapotti atau Maria Raja Saur Matua ... 52

Foto 4.1. Ulu-Namarngingi Parsiamun Hambirang ... 77

Foto 4.2. Osang (Leher Ternak) ... 78

Foto 4 3. Ihur-ihur (Ekor) ... 79

Foto 4.4. Aliang (Bagian Lingkaran Rusuk) ... 79

Foto 4.5. Somba... 80

Foto 4.6. Somba-Somba ... 81

Foto 4.7. Panamboli (Bagian Dada) ... 81

Foto 4.8. Soit (Paha) ... 82

Foto 4.9. Rimpusu babi... 82

Foto 4.10. Batisan ... 83

Foto 4.11. Suasana Adat Saur Matua Op. Clara Tp. Bolon ... 95

Foto 4.12. Acara Moppo (memasukkan mayat ke dalam peti) ... 98

Foto 4.13. Jambar Na Gok ... 102

(19)

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Nama-Nama Informan Menurut Usia, Pendidikan, Pekerjaan ... 32 Tabel 2.1. Jumlah Penduduk ... 41 Tabel 4.1. Pembagian Jambar Juhut ... 112

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang hidup dalam keanekaragaman budaya. Yang mana, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Setiap suku yang ada di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan suku bangsa lainnya, dan hal ini tentulah menjadikan kearifan lokal di Indonesia semakin bertambah. Dan setiap suku-suku bangsa yang ada di negara Indonesia mengandung dasar filosofis yang dapat menggambarkan jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Setiap kebudayaan memiliki simbol-simbol yang cenderung dibuat untuk dimengerti oleh setiap warganya dengan berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam jangka waktu tertentu.

Kebudayaan adalah hasil cipta dari peradaban manusia. Masyarakat adat dengan sederet keunikannya yang genius merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan inilah merupakan modal sosial yang sangat berharga untuk membangun bangsa. Masyarakat menggunakan simbol kebudayaan berdasarkan latar belakang kebudayaan yang dipegang. Manusia menggunakan simbol sejak lahir sampai meninggal seperti penggunaan simbol ketika lahir, berinteraksi dengan orang lain, perkawinan dan kematian. Simbol ini dilakukan untuk tetap menjaga keselarasan dalam lingkungan sosial budaya oleh individu ataupun masyarakat yang satu dengan yang lain, inilah yang dimaksud

(21)

dengan kearifan lokal1. Setiap daerah mempunyai simbol dalam adat-istiadat yang berbeda yang menjadi ciri khas atau identitas dari masing-masing budaya suku bangsa yang ada.

Seperti halnya budaya Batak Toba yang memiliki ciri khas tertentu dalam simbol adat istiadatnya dalam perkawinan dan upacara Kematian Saur Matua.

Yang mana simbol adat ini tidak dapat dilepaskan dalam pelaksanaan adat, yang biasanya menjadi suatu harapan yang baik oleh pemberi simbol tersebut.

Masyarakat Batak Toba banyak yang tidak mengerti makna dari simbol yang biasanya diberikan pada upacara adat tertentu. Masyarakat saat ini menganggap pemberian simbol-simbol hanya sebagai hal yang biasa saja dan bukan hal penting, namun simbol-simbol dalam kebudayaan tersebut menyimpan nilai-nilai yang begitu bermakna.

Bila kita perhatikan berbagai segi kehidupan kemasyarakatan serta beberapa hal penting, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga Orang Batak Toba, maka dapat dilihat adanya benang merah yang terjallin di dalamnya, yakni kaitan yang erat dengan hubungan-hubungan kerabat yang dalam Istilah Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu (Tungku nan tiga).

Memiliki dan melaksanakan simbol adat perkawinan dan Saur Matua merupakan suatu upaya pelestarian keselarasan tatanan masyarakat adat demi terciptanya keutuhan kolektivitas kedua belah pihak yang melaksanakan upacara adat tersebut. Masyarakat Batak Toba memiliki beragam simbol yang sampai saat ini masih melekat sekali dalam pelaksanaan upacara adatnya antara lain:

1 Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri (Wibowo 2015:17 ).

(22)

Pemberian Ulos, Boras Si Pir Tondi (beras penguat roh), Mandar Hela (sarung menantu laki-laki) dan Pembagian Jambar.

Ciri utama Masyarakat Batak adalah tata adat kemasyarakatannya yang disebut “Masyarakat Dalihan Natolu”. Tata adat ini selalu muncul dalam setiap pengungkapan adat Batak Toba. Ada tiga pihak yang termasuk dalam sistem ini yaitu: Hula-Hula (kelompok pemberi istri), Boru (kelompok penerima istri), dan Dongan Sabutuha (kelompok yang berasal dari satu perut atau kelompok yang satu marga) dengan Raja Huta sebagai pemersatu. Semua pihak ini harus ada dalam setiap upacara adat agar adatnya dapat dinyatakan sah. Dan setiap orang yang hadir ke dalam sebuah upacara adat pasti sudah mengetahui posisinya, apakah Dia Hula-Hula, Boru atau Dongan Tubu. Falsafah Batak ini juga yang membentuk relasi ketiga pihak itu, Sombà Marhulahùla (bersikap sembah terhadap Hula-Hula), Elèk Marbòru (bersikap membujuk kepada Boru), Hormàt Mardòngan Tùbu (bersikap hati-hati terhadap teman semarga). Dan, falsafah inilah yang menjiwai aktifitas Padalan Jambar.

Salah satu bentuk budaya yang terdapat di Indonesia khususnya dalam kebudayaan Batak Toba adalah aktifitas “Mambagi Jambar”. Jambar adalah potongan daging yang dipotong menjadi beberapa bagian yang kemudian dibagi kepada kelompok masyarakat yang berhak menerimanya. Jambar (daging) ini terdiri dari daging Babi, Sapi/Lembu, Ayam dan juga daging Kerbau. Daging tersebut tidaklah dimasak melainkan dalam keadaan mentah (belum masak).

adapun daging yang dimasak ialah daging babi yang disajikan kepada seluruh masyarakat yang hadir dalam acara Kematian Saur Matua. Tetapi, daging babi

(23)

tersebut tidak dijadikan sebagai Jambar pada saat acara Kematian Saur Matua melainkan daging Kerbau atau Lembu. Daging Babi biasanya dijadikan sebagai Pembagian Jambar pada acara Perkawinan Batak Toba.

Pembagian Jambar Juhut (daging) dianggap sebagai perwujudan sebuah hak yang diberikan oleh si pembuat acara (pesta) kepada para kelompok-kelompok yang memiliki hubungan kekerabatan dengan si pembuat acara (pesta). Jambar adalah istilah yang sangat khas batak. Dimana, kata Jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang). Kultur Batak menyebutkan bahwa ada tiga jenis Jambar yakni hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (Jambar Juhut), hak untuk berbicara (Jambar Hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (Jambar Ulaon).

Aktifitas kultural ini muncul dalam setiap upacara adat Batak Toba. Dengan prinsip dasar Dalihan Na Tolu (DNT), aktifitas ini diatur dengan sedemikian rupa agar relasi antar pihak yang termasuk dalam DNT tetap terjaga dan semakin erat.

Mambagi jambar dengan kata lain adalah aktifitas penjagaan relasi antar beberapa pihak yang terkait dalam suatu upacara.

Tiap-tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (Hula- Hula, Dongan Sabutuha, Boru, Dongan Sahuta) sangat menghayati dirinya sebagai Parjambar. Begitu pentingnya penghayatan akan Jambar itu, sehingga bila ada Orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelehkan soal Jambarnya maka dia bisa marah besar dan menimbulkan perselisihan. Ketiga

(24)

Jambar selalu terdapat dalam setiap upacara-upacara Masyarakat Batak Toba umumnya.

Pada Masyarakat Batak Toba selalu melibatkan seluruh kerabat dalam setiap pelaksanaan upacara apapun itu. Karena Dalihan Natolu sudah berakar dalam urat nadi Masyarakat Batak Toba. Hal yang menjadi fokus penelitian ini adalah menganalisis salah satu simbol yang terdapat pada upacara adat kematian saur matua adat Batak Toba dalam hal pembagian Jambar Juhutnya. Yang mana, pembagian Jambar memiliki hubungan timbal balik antara kedua belah pihak yang melakukan upacara kematian Saur Matua. Pembagian Jambar dalam upacara adat Batak Toba tidak hanya pembagian hak atau jatah begitu saja, tetapi terkandung makna dalam pembagian Jambar tersebut dengan orientasi kepada solidaritas Masyarakat Batak Toba.

Fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang bagaimana Jambar yang ada di kalangan Masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Asam Jawa Dusun Kp.

Beringin khususnya pada acara Kematian Saur Matuanya. Pada masyarakat Batak Toba, kematian (Mate) di usia yang sudah sangat tua, merupakan kematian yang paling diinginkan. Terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (Khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai Mate Saur Matua.

Adapun yang melatar belakangi penelitian ini ialah disebabkan oleh 4 hal dari yang penulis lihat. Keempat hal itu ialah pertama, seringkali ketika di upacara adat Saur Matua sering terjadi konflik antar sesama pada saat pembagian Jambar.

(25)

Kedua, dalam pembagian Jambar, ternyata tidaklah sembarangan dibagikan, melainkan terdapat aturan tertentu. Ketiga, masyarakat Batak Toba Di Desa Asam Jawa Dusun Kp. Beringin sampai pada saat ini masih kental dengan Jambar tersebut. Keempat, Jambar yang dibagikan adalah daging yang dibagikan dalam keadaan mentah (belum dimasak) juga yang sudah dimasak.

Tentu hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti hal ini, karena hampir dalam setiap adat upacara dikalangan masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kp. Beringin itu selalu mengadakan pembagian Jambar. Pada hal Masyarakat Batak Toba sudah berada di era modern, tetapi mereka tetap memegang teguh adat istiadat mereka dari terdahulunya. Dan masih mereka junjung tinggi sampai sekarang ini.

1.2. Tinjauan Pustaka 1.2.1. Pengertian Jambar

Kata Jambar merupakan istilah yang sangat penting dalam budaya Batak.

Menurut kamus elektronik Batak-Indonesia, ”Jambar adalah bagian, pembagian yang seorang berhak menerima menurut adat; Marjambar, mendapat bagian, dapat jatah; Parjambaran, penjatahan bagian daging binatang sembelihan yang berhak diterima seseorang; Manjambari, membagi dalam bagian-bagian, menjatah”2. Defenisi ini menegaskan bahwa adanya hak dan kewajiban merupakan alasan mengapa terjadi pembagian itu. Semua hak itu harus terpenuhi

2www. Batak toba.com

(26)

agar upacara dimana aktifitas Mambagi Jambar (pembagian daging) itu dapat berlangsung dengan baik.

Dengan demikian, Jambar merupakan suatu keharusan dalam suatu upacara adat Batak Toba. Apa lagi, menurut AA. Sitompul, ada dua alasan utama mengapa Jambar menjadi sangat penting dalam upacara adat. Pertama, Jambar menentukan kedudukan seseorang dalam status sosialnya; dan kedua, dalam pembagian Jambar, hak dan kewajiban harus dimanifestasikan sebagai tanda solidaritas kebersamaan (komunitas) dan kegotong-royongan masyarakat adat.3 Berdasarkan alasan di atas, Jambar menjadi satu cara untuk menunjukkan kehadiran ketika kelompok DNT.

Ketika upacara adat sampai pada pembagian Jambar, saat itulah manifestasi tanda solidaritas kebersamaan itu muncul secara nyata. Sikap sembah kepada Hula-Hula, Boru dan Dongan Tubu terwujud ketika bagian mereka diberikan dengan baik dan dalam porsi yang tepat. Dalam kultur Batak terdapat tiga jenis jambar, pertama: Jambar Juhut (hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan dalam acara; kedua: Jambar Hata (hak untuk mendapatkan kesempatan berbicara; ketiga: Jambar Ulaon (hak untuk mendapat peran dan tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas. Dalam pembagian ini, tidak terjadi pemisahan secara rigid karena ketiganya tetap memiliki keterkaitan.

Keterkaitan itu menjadi sangat jelas dalam kepribadian orang Batak yang dibentuk oleh aktifitas ini. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak selalu merasa bahwa dia memiliki ketiga hak ini: hak berbicara, hak mendapat sumber

3 AA. Sitompul, Manusia dan Budaya: Teologi Antropologi (Jakarta: BPK

(27)

kehidupan, dan hak untuk mendapat peran dalam masyarakat. Dengan demikian, pendefenisian tentang istilah Jambar menjadi proses perwujudan hak, pengakuan atas pribadi yang lain dan peneguhan relasi merupakan defenisi yang lebih tepat.

Jambar merupakan salah satu simbol yang digunakan dalam perkawinan adat Batak Toba. Pemberian dan penerimaan Jambar tidak dapat terlepas dari Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak Toba. Pertukaran Jambar sebagai simbol adat tersebut merupakan unsur kekerabatan untuk mengikat tali kekeluargaan.

1.2.2. Jambar Hata

Jambar Hata merupakan suatu hak untuk bicara. Dalam kalangan masyarakat Batak Toba, Jambar Hata juga adalah komponen yang penting dalam peradatan baik perkawinan maupun kematian. Tiap-tiap orang dalam komunitas batak toba (kecuali anak-anak dan orang lanjut usia yang sudah pensiun dari adat atau Naung Manjalo Sulang-Sulang Hariapan) itu diakui memiliki hak untuk bicara (Jambar Hata). Oleh karena itu, dalam setiap even pertemuan pada komunitas Batak Toba tiap-tiap orang juga tiap-tiap kelompok harus diberikan kesempatan bicara (Mandok Hata) di depan publik.

Apabila karena lokasi waktu Jambar Hata harus direpresentasikan (terbatas) melalui kelompok/horong (Hula-Hula, Dongan Tubu, Boru, dll) maka orang yang telah ditunjuk itu pun mampu berbicara atas nama kelompok yang diwakilinya. Sebagai simbol, dia harus memanggil semua anggota kelompoknya untuk berdiri bersama-sama dengannya.

(28)

1.2.3. Jambar Juhut

Jambar Juhut adalah simbol pengakuan akan hak tiap-tiap orang untuk mendapat bagian dari hewan sembelihan dalam acara pesta. Dengan demikian, Jambar Juhut ini merupakan simbol bahwa tiap-tiap orang berhak mendapat bagian dari sumber-sumber daya (resources) kehidupan atau berkat yang diberikan Tuhan. Sebab itu bukan potongan daging (atau tulang) itu yang terpenting malainkan pengakuan akan keberadaan dan hak pada tiap-tiap orang.

Sebab itu, dalam setiap even pertemuan batak toba yang dapat kita lihat pada tiap acara pesta bukanlah hanya hasil pembagian hewan itu yang penting namun yang utama ialah proses dalam pembagian Jambar itu pun harus dilakukan secara terbuka (transparan) dan juga melalui perundingan serta kesepakatan dari semua pihak yang hadir dan tidak boleh langsung ditentukan oleh tuan rumah atau seorang toko. Setiap kali daging atau Juhut diserahkan kepada yang berhak maka protokol (Parhata) harus mempubliasikan (Manggorahon) di depan publik.

Begitu juga setiap kali orang yang menerimanya juga harus mempublikasikannya kepada masing-masing anggota kelompoknya bahwa Jambar (hak) sudah diterima.

1.2.4. Dalihan Na Tolu

Dalihan Natolu merupakan sesuatu yang unik di dunia, lahir sendiri di tanah Batak sejak zaman dahulu kala dan masih dihayati serta diamalkan oleh Suku Bangsa itu. Tanah Batak adalah daerah pedalaman di Sumatera Utara dengan Danau Toba sebagai pusatnya. Arti kata Dalihan Na Tolu ini secara harafiah ialah “Tungku Nan Tiga” yang merupakan lambang jika diasosiasikan

(29)

dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga tiang penopang yaitu Dongan Sahuta, Hula-hula dan Boru.4 Dalihan Na Tolu merupakan tatanan sosial kemasyarakatan orang Batak yang diibaratkan dengan pemilihan tungku masak berkaki tiga. Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan Na Tolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu.

Ketiga Dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.

Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup.

Demikianlah Tua-Tua pendahulu melakukan rekayasa sosial (sosial engineering) pranata masyarakat Batak dengan rinci agar impiannya tewujud, yaitu menciptakan keteraturan dan ketertiban (Rue and Order) bermasyarakat bagi keturunannya. Ketiga kelompok tesebut selalu dijumpai ber-inter-relasi dan berinteraksi, selaras, seimbang dan kokoh dengan Marga sebagai perekat dan Hukum Marga sebagai pengikat.

Orang yang satu marga tetap menganggap dirinya satu darah karena berasal dari satu leluhur pemersatu yang mewariskan marga mereka. Tidak dipermasalahkan bentangan generasi pemisah diantara mereka. Fakta tersebut

4 Gultom, Rajamarpodang. Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak, Medan: Phorus Media, 1995. Hlm 32

(30)

telah membuktikan bahwa marga itu memiliki daya rekat yang luar biasa kepada warganya. Ketiga struktur dan fungsi sosial tersebut adalah dasar berpijak dan tonggak penopang (pilar) dari pergaulan hidup masyarakat Batak atau dengan kata lain sebagai suatu tatananan sosial masyarakat.

Oleh sebab itu, setiap pribadi orang Batak dapat berkedudukan atau berfungsi sebagai Dongan Sabutuha, Hula-hula atau Boru. Dengan kata lain setiap pribadi Batak memiliki tiga fungsi. Dongan sabutuha atau kawan semarga merupakan kelompok yang bersifat tetap atau hot, permanen sementara Hula-hula dan Boru bersifat tidak tetap atau berubah pada waktunya. Masyarakat Batak telah menganut paham patrilineal atau garis ayah karena leluhur pemersatu yang mewariskan marga adalah laki-laki, Ayah dari keturunannya.

Dalam adat Dalihan Natolu adapun nilai-nilai adat yang dipercayakan mempunyai keterkaitan erat dengan hubungan adat kebudayaan Dalihan Natolu dalam kehidupan masyarakat suku Batak Toba dikota Tegal yaitu: Kekerabatan (hubungan kasih, kerukunan antar sesama masyarakat), Religi (hubungan kepercayaan agama), Hagabeon (keturunan), Hasangapon (kemuliaan), Hamoraon (kekayaan), Hamajuon (kemajuan dan perkembangan), Hukum patik dohot uhum (aturan dan hukum), Pengayoman (pengayom atau perlindungan), Konflik kesembilan nilai adat budaya Batak ini sangat memiliki keterkaitan dengan kebudayaan Dalihan Natolu. kesembilan nilai adat budaya ini juga merupakan ketentuan yang dipatuhi oleh masyarakat suku Batak Toba baik itu di kampung halaman maupun diperantauan sebagai pengenalan identitas budaya masyarakat suku Batak Toba.

(31)

Fakta atau kenyataan membuktikan bahwa tatanan Dalihan Natolu telah dihayati dan diramalkan ratusan tahun yang lalu dan masih terus dihayati dan diamalkan mayoritas masyarakat Batak hingga sekarang. Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

Pengertian ketiga kaki tungku yang melambangkan struktur sosial masyarakat Batak tersebut secara lebih jelas yaitu sebagai berikut:

a. Somba Marhula-Hula

Hula-Hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan Tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut Bagot Tumandangi Sige. Dalam budaya Batak makna dari Bagot Tumandangi Sige ini yaitu, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat. Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.

Hula-Hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu).

Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulang Rorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan Hula-hula. Disebutkan, Naso somba Marhula-Hula, Siraraon Ma Gadong Na. Gadong dalam masyarakat Batak

(32)

dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu Tugo atau kerja . Siraraon adalah kondisi Gadong atau ubi jalar yang rasanya Hambar atau seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati Hula- Hula akan menemui kesulitan mencari nafkah. Dalam adat Batak, pihak Boru lah yang menghormati Hula-Hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai Hula-Hula, tanah adat selalu dikuasai oleh Hula-Hula. Sehingga Boru yang tinggal di kampung Hula-Hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati Hula-Hulanya.

b. Manat Mardongan Tubu

Dongan Tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk.

Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Gambaran Dongan Tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian.

(33)

Seperti umpama “Angka Naso Manat Mardongan Tubu, Na Tajom Ma Adopanna”.5 Ungkapan itu mengingatkan, Na Mardongan Tubu (yang semarga) mempunyai potensi akan terjadinya suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah Panombol atau Parhata yang menetapkan perwakilan Suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan.

Panombol atau Parhata adalah orang yang menjadi juru bicara.6 Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) Namardongan Tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau Parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

c. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah Elek Marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat atau Pasu-Pasu. Istilah Boru dalam adat Batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan. Oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat Batak karena posisinya saat itu sebagai Boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yang diselenggarakan misalnya, waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-Hula, dan

5Sihombing. T.M. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat, Tulus Jaya, Medan, 1989. Hlm 57

6Sinaga, Drs. Richard. Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Dian Utama, Jakarta, 2012. Hlm. 37

(34)

sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai Boru dan sebagai Dongan Tubu saat teman semarganya melakukan pesta.

1.2.5. Unsur-unsur Dalihan Natolu

Secara filosofis, Dalihan Natolu terdiri dari 3 unsur, yaitu sebagai berikut:

a. Hula-Hula

Hula-hula secara singkat dapat digambarkan sebagai keluarga pihak mempelai wanita. Hula-Hula adalah sapaan terhadap saudara laki-laki istri kita, saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek kita.

Selain yang disebut diatas, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan istri kita, saudara laki-laki dari istri saudara kita laki-laki, dan orang tua dari istri anak kita adalah juga sebagai Hula-Hula. Sebagai contohnya yaitu misal seorang gadis Boru Simbolon (dari keluarga marga Simbolon) menikah dengan seorang pemuda bermarga Sihotang. Maka Hula-Hula dari pemuda bermarga Sihotang tersebut adalah marga Simbolon. Setelah terikat oleh pernikahan, si gadis akan masuk keluarga Sihotang, dan secara adat sudah menjadi tanggungan pihak keluarga Sihotang (pihak laki-laki).

Dalam kehidupan sehari-harinya, Hula-Hula berperan sebagai pemberi pasu-pasu atau restu. Itu sebabnya jika Manortor, Hula-Hula akan memposisikan tangannya dengan telapak menghadap ke bawah dan sedikit lebih tinggi dari bahu, atau sejajar dengan kepala. Gerakan ini di simbolkan sebagai pemberian restu atau berkat. Dalam kehidupan sehari-hari, Hula-Hula juga ditempatkan sebagai pemberi nasehat tertinggi di dalam adat.

(35)

Hula-Hula ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Hula-Hula Tangkas

Marga asal seorang isteri, Misalnya, kalau isteri dalam satu keluarga Sihotang adalah Boru (putri) dari keluarga Simbolon maka keluarga Simbolon khususnya kerabat dekat orangtua Boru Simbolon tersebut adalah Hula-Hula tangkas keluarga Sihotang tersebut.

2) Tulang

Keluarga marga asal ibu. Kalau seorang suami adalah putra seorang Boru Silalahi, maka keluarga Silalahi darimana ibunya berasal adalah Hula-Hula keluarga suami tersebut, yang disebut juga Tulang.

3) Tulang Rorobot

Keluarga marga asal ibu seorang istri, atau kalau ibu yang melahirkan istri adalah Boru Simatupang, maka semua kerabat dekat yang semarga dengan keluarga Simatupang tersebut adalah Hula-Hula keluarga si isteri tersebut, yang disebut Tulang Rorobot.

4) Bona Ni Ari

Keluarga marga asal nenek. Misalnya nenek satu keluarga dari pihak pria adalah Boru Nainggolan, maka keluarga Nainggolan darimana sang nenek berasal adalah Hula-Hula keluarga keturunan nenek tersebut, yang selanjutnya disebut Bona Ni Ari.

(36)

5) Bona Tulang

Keluarga marga asal nenek buyut. Kalau nenek buyut dari pihak laki-laki satu keluarga adalah Boru Simanjuntak, maka keluarga marga Simanjuntak dari mana sang nenek buyut berada adalah Hula-Hula dan dikelompokkan Bona Tulang.

b. Dongan Tubu

Dongan Tubu adalah semarga. Setiap orang Batak pasti punya marga. Marga adalah identitas keluarga dalam suku Batak. Karena bersifat patrilineal, maka marga hanya dapat diturunkan atau diwariskan oleh kaum lelaki saja. Di dalam realita kehidupan sehari-harinya, Dongan Tubu (semarga) memiliki tugas yang sangat penting dan sangat banyak. Baik suka maupun duka, Dongan Tubu akan tetap berkewajiban membantu. Dalam upacara perkawinan, Dongan Tubu lah yang harus pertama kali diberitahu rencana untuk melamar seorang gadis.

Cakupan semarga ini bisa sampai puluhan generasi keturunan seorang moyang sepanjang semua keluarga itu masih tetap memelihara garis keturunan atau silsilahnya dan masih tetap setia untuk tidak saling mengawinkan keturunan masing-masing.

c. Boru

Dalam bahasa Batak, Boru artinya anak perempuan. Boru ini adalah kebalikan dari Hula-Hula. Boru ini ialah para suami anak perempuan Suhut dan suami anak perempuan Dongan Tubunya. Anak dari anak perempuan suhut yang sudah berkeluarga yang disebut Bere itu juga tergolong Boru di sebuah acara adat.

Misal, apabila ada sebuah keluarga bermarga Simbolon memiliki seorang anak gadis yang kemudian menikah dengan seorang laki-laki bermarga Sihotang, maka

(37)

marga Sihotang akan menjadi Boru bagi keluarga Simbolon karena salah satu anggota keluarga mereka telah menikahi putri dari keluarga mereka. Sebaliknya keluarga Simbolon adalah Hula-Hula keluarga Sihotang.

Adapun landasan filosofis interaksi dari unsur-unsur Dalihan Na Tolu dalam sebuah upacara adat terkhusus dalam pelaksanaan upacara adat kematian saurmatua dapat ditemukan empat peran utama (Suhi Ni Ampang Naopat). Empat peran utama (Suhi Ni Ampang Naopat) yang didasarkan pada kekerabatan Dalihan Natolu itu berinteraksi dalam satu upacara adat yang digambarkan atau diilustrasikan sebagai berikut:

a. Suhut

Suhut adalah suatu kelompok atau pihak keluarga yang semarga atau yang memiliki garis keturunan yang sama dalam Huta atau Kampung yang merupakan Bonabulu atau pendiri kampung. Seorang Suhut dalam satu adat umumnya tinggal pasif, yag seharusnya berperan adalah saudara semarga terdekatnya. Suhut memiliki posisi kedudukan sebagai tuan rumah di dalam pelaksanaan upacara- upacara adat. Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut.

Mengenai cakupan siapa saja yang berperan sebagai Suhut itu tergantung pada banyaknya cakupan Hula-Hula dan Dongan Tubu yang dilibatkan.

Jika satu keluarga itu mengundang Hula-Hulanya mulai dari marga nenek, ibu, istri, mantu, maka semua keturunan satu nenek tersebut dianggap berperan sebagai Suhut. Yang tergolong Suhut dari masing-masing pihak adalah inti pemikul kewajiban dan penerima hak adat sesuai kedudukan masing-masing

(38)

apakah sebagai Hula-Hula atau sebagai Boru dalam satu upacara adat yang dilaksanakan.

b. Dongan Tubu

Dalam hal ini suhut dan Dongan Tubu semarga berada di satu pihak untuk menghadapi Hula-Hula maupun Boru. Cakupan Dongan Tubu ini biasanya sampai beberapa generasi diatas Suhut sepanjang komitmen „Sisada Anak Sisada Boru‟ yang dalam artiannya bahwa tidak ada yang saling mengawinkan keturunan mereka masing-masing karena masih dipegang teguh. Pihak Dongan Tubu yang berperan sebagai Boru dalam satu acara adat karena dipihak pengantin pria mempunyai kewajiban adat untuk ikut berpartisipasi menunjukkan rasa hormat dan menunaikan kewajiban adat kepada Hula-Hula sebagai wujud dukungan kepada Suhut (tuan rumah).

Disisi lain Dongan Tubu pihak keluarga pengantin juga ikut berpartisipasi memberikan berkat melalui doa dan simpul-simpul budaya berupa penyerahan Ulos kepada pengantin dan kerabat keluarga pengantin pria dan sebaliknya ikut memperoleh hak adat yang diberikan keluarga pengantin laki-laki. Demikian pula halnya dalam acara adat kematian (Mate) Saur Matua masyarakat Batak Toba.

Dimana Songan Tubu ini juga akan ikut didalam menuntaskan segala rangkaian acara adat Mate Saur Matua ini.

c. Hula-Hula

Dalam satu upacara perkawinan, peran Hula-Hula dapat digolongkan menjadi dua, yakni Hula-Hula dalam kedudukan sebagai keluarga asal pengantin perempuan dan Hula-Hula Suhut pengantin laki-laki. Kedudukan Hula-Hula

(39)

sebagai keluarga asal pengantin perempuan merupakan kedudukan Boru karena Boru resmi dalam upacra tersebut. Sedangkan untuk kedudukan Hula-Hula Suhut pengantin laki-laki dalam hal ini merupakan keluarga semarga asal pengantin perempuan.

d. Boru

Boru dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu Boru yang berasal dari keluarga yang istrinya semarga dengan pengantin pria dan Boru yang berasal dari keluarga pengantin perempuan. Boru berasal dari keluarga yang istrinya semarga dengan pengantin pria dalam hal ini merupakan kelompok Boru yang berperan untuk membantu suhut keluarga pengantin laki-laki. Sedangkan untuk Boru yang berasal dari keluarga pengantin perempuan dalam hal ini juga mempunyai kewajiban dan hak adat.

1.2.6. Pengertian Persepsi masyarakat

Pengertian Masyarakat menurut Maclver dan page dalam Soejono Soekanto7, Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan masyarakat”. Sedangkan menurut Ralph Linton dalam Abdul Syani, Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga

7 Simanjuntak, Junita Eva. (2016). Upacara Kematian Saur Matua Pada Adat Masyarakat Batak Toba (Studi Kasus Tentang Kesiapan Keluarga) Di Desa Purbatua Kecamatan Purbatua Kabupaten Tapanuli Utara. Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Riau Kampus Bina Widya, Jalan H. R. Soebrantas Km 12,5 Simpang Baru, Panam, Pekanbaru, Riau.

(40)

mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri Berdasarkan pendapat para ahli diatas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat adalah cara pandang suatu masyarakat atas suatu gejala atau peristiwa yang ada di sekitar tempat tinggal maupun yang dilihat, dirasakan. Sebagai hasil dari suatu pandangan dari masyarakat yang memberikan kesimpulan dalam suatu peristiwa atau objek yang berdasarkan pada pengetahuan dan pengamatan, sehingga masyarakat satu dengan yang lain dapat mengalami perbedaan pandangan atau pendapat walaupun objek yang mereka amati adalah sama.

1.2.7. Adat Istiadat dan Sistem Kepercayaan

Masyarakat Batak Toba mengenal sistem kekerabatan yang disebut patrilineal – menurut garis keturunan ayah. Seorang Batak menyebut anggota marganya dengan sebutan Dongan-Sabutuha (berasal dari rahim yang sama).

Siklus kehidupan masyarakat Batak Toba, mulai dari lahir, kemudian dewasa, memiliki keturunan sampai meninggal merupakan peristiwa penting, sehingga perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan dan agama. Upacara yang dilakukan pada masa anak-anak, seperti upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya. Ketika menginjak dewasa, upacara yang dilakukan, seperti upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain.

1.2.8. Kebudayaan

Pada dasarnya manusia tidak akan terlepas dari kebudayaan. Hal itu dikarenakan bahwa kebudayaan adalah bahagian dari aktivitas dari setiap manusia. Kebudayaan ═ cultuur (bahasa belanda) ═ culture (bahasa inggris),

(41)

berasal dari perkataan lain: “colere” yang artinya mengelolah, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengelolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengelolah dan mengubah alam”.

Ditinjau dari bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta

“buddhaya”, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti budi atau akal.

Kebudayaan (ilmu sosial dan budaya dasar, 2006). Budaya merupakan bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa. Kebudayaan adalah sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia itu sendiri dengan belajar.

Menurut Koentjaraningrat “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri”. Dengan demikian, dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan cara yang dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara biologis, sosial, organanisasi dan ekonomi untuk dapat mempertahankan dan melindungi dirinya dalam lingkungan sekitarnya.

Koentjaraningrat juga mengatakan bahwa kebudayaan terdari dari 7 unsur yang meliputi sistem religi, ssistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, bahasa, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1985). Akan tetapi, hal itu berbeda dengan pendapat menurut J.J Honigman yang mana 7 unsur tadi dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu wujud kebudayaan, ide/gagasan, dan benda/artefak.

(42)

Seorang ilmuwan yakni Clifford Geerts melihat bahwa kebudayaan itu sebagai “suatu sistem konsepsi yang diwariskan dan diekspresikan dalam bentuk simbolik dengan bantuan kebudayaan manusia mengkomunikasikan, mengabdikan dan mengembangkan pengetahuan serta sikap terhadap kehidupan (1973:89)”. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu dari pola-pola prilaku yang normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir merasakan dan bertindak (Soerjono Sokanto, 1982). R. Linton mengatakan bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.

Manusia adalah mahluk yang berbudaya melalui akalnya, manusia dapat mengembangkan kebudayaannya. Demikian pula manusia hidup dan bergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan memberikan aturan bagi manusia dalam mengelolah lingkungannya dengan teknologi yang merupakan hasil dari ciptaan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan setiap etnik yang ada.

Setiap etnis yang ada sebenarnya memiliki kebudayaan sendiri dan tidak dapat dinilai apakah kebudayaan itu tinggi atau rendah.

Pada masyarakat Batak Toba, kebudayaan bukanlah hanya sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup semua dimensi aspek kehidupan jasmani dan rohani manusia itu sendiri, pada masa kini maupun pada masa depan, dan hubungan dengan sesama maupun dengan “sang pencipta”, keselarasan antara si aku (mikro kosmos) dan seluruh jagad raya (makro kosmos), ( J.S. Aritonang, 1988).

(43)

Tradisi pada masyarakat Batak Toba dimulai dari nenek moyang mereka terdahulu, seperti tradisi upacara Mate Saur Matua (Kematian Yang Sempurna).

Upacara tradisi pada mate saurmatua telah digenerasikan sampai pada saat ini, jadi dimana pun masyarakat Batak Toba berada jika seseorang dari anggota keluarga ada yang meninggal pada usia yang sudah sempurna (Saur Matua), pada umumnya akan dilakukan upacara kematian yang disebut Saur Matua dan tradisi ini sudah menjadi kebudayaan bagi seluruh masyarakat Batak Toba.

Upacara kematian adalah merupakan produk dari sebuah kebudayaan erat kaitannya dengan religi (agama) yang masih dianut dan diyakininya. Menurut Durkheim yang dikutip oleh Koentjoroningrat bahwa “suatu religi itu merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan upacara yang keramat, artinya yang terpisah dati pantang. Keyakinan-keyakinan dan upacara beroriatas kepala suatu komunitas moral yang disebut umat” (Koentjoroningrat, 1982).

1.2.9. Kematian Adat Saurmatua

JP Sitanggang (2014), beliau mengatakan bahwa secara etimologi, saur

matua berasal dari dua kata yaitu Saur dan Matua. Saur artinya sempurna sedangkan Matua artinya usia tua. Jadi orang yang meninggal dalam usia yang sudah tua (sempurna). Kesempurnaan hidup bagi orang Batak Toba adalah status anak dalam perkawinan.

Dalam pelaksanaan upacara Saur Matua semua keluarga, saudara, orangtua, anak muda dan seluruh warga masyarakat dimana pun dia barada seperti: diperantauan, diladang, pemukiman penduduk dalam usaha tani yang

(44)

letaknya jauh dari kampung atau permukiman lain. Mereka semua akan hadir, bersatu, dan berkumpul bersama untuk menghantarkan jenazah ketempat peristirahatan terakhir.

Karena sudah sempurna kematiannya, maka acara pemberangkatannya harus dilakukan sempurna juga yang disebut Ulaon Na Gok (acara dengan adat penuh). Acara ini dilaksanakan dihalaman rumah (maralaman). Boan (makanan) yang disiapkan adalah Sigagat Duhut (kerbau).

Saur Matua adalah tradisi masyarakat purba tua yaitu ucapan syukur

karena salah satu anggota keluarga mereka meninggal dalam keadaan sempurna.

Karena seseorang yang meninggal dalam keadaan sempurna maka keluarga tidak sedih karena almarhum sudah sepantasnya meninggal karena semua hutangnya sudah lunas.

Etnik Batak Toba yang terdiri dari marga-marga, setiap marga-marga dikepaai oleh seorang kepala adat. Oleh masyarakat etnik Batak Toba kepala adat memiliki pengaruh besar dalam segala hal termasuk dalam acara pelaksanaan upacara Saur Matua. dari struktur sosial yang ada menjadikan perubahan dalam pelaksanaan Saur Matua. dengan kurangnya ajaran adat istiadat dan agama masyarakat Batak Toba di Desa Purba Tua. Sehingga bergantinya tradisi yang baik kepada budaya lain. Upacara Saur Matua dijadikan sebagai tolak ukur status sosial seseorang dalam masyarakat.

1.2.10. Teori Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat.

Perubahan-peruahan yang terjadi di dalam masyarakat akan menimbulkan

(45)

ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada di dalam masyarakat, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak sesuai fungsionalnya bagi masyarakat yang bersangkutan.

William F. Ogburn mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan- perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan yang materil maupun immaterial dengan menekankan bahwa pengaruh yang besar dari unsur-unsur immaterial. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam fungsi dan struktur masyarakat.

Perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari peruahan kebudayaan. Hal ini disebabkan kebudayaan merupakan hasil dari adanya masyarakat, sehingga tidak akan ada kebudayaan apabila tidak ada masyarakat yang mendukungnya dan tidak ada satupun masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan.

Kebudayaan Saur Matua pada masyarakat Batak Toba tidak dapat terlepas, hal itu dikarenakan masyarakat Batak Toba ini masih sangat kental dengan adat istiadatnya. Dengan begitu dimana pun masyarakat Batak Toba ini berada mereka tetap menjalankan adat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, seperti upacara Saur Matua.

Upacara ini pada masyarakat Batak Toba sangat penting sebagai ungkapan sukacita keluarga karena salah satu anggota keluarganya meninggal dalam usia sempurna (Saur Matua). Keluarga yang akan melakukan upacara Saur Matua ini harus siap dari segi material, karena untuk melaksanakan upacara Saur Matua ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Keluarga harus mampu memberi makanan dan minuman (Menjamu) kepada semua masyarakat yang hadir selama mayat

(46)

belum disemayamkan. Besarnya biaya untuk melaksanaka upacara ini membuat masyarakat Batak Toba yang tidak mampu pada umumnya akan mengganti hewan hantaran dengan ternak yang lebih murah seperti Babi agar upacara tetap dapat terlaksanakan atau tetap berlangsung. Bahkan ada keluarga yang sama sekali tidak mampu melaksanakan upacara Saur Matua akhirnya mengubur kerabat mereka begitu saja tanpa melakukan upacara ucapan syukur dengan hantaran.

1.2.11. Perkawinan Adat Batak Toba

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup masyarakat sebab perkawinan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan dalam suatu keluarga. Dengan perkawinan maka status hukum seorang laki-laki yang semula berstatus perjaka kini berubah menjadi status seorang suami, demikian pula halnya terhadap hukum status seorang perempuan sebelum menikah berstatus gadis tapi setelah menikah status itupun berubah kini menjadi berstatus seorang istri. Dalam pelaksanaan acara adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba ini akan melibatkan sebuah kelompok yang turut dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara adat perkawinan yang berlangsung. Kelompok pengurus acara adat itu ialah Dalihan Natolu. unsur Dalihan Natolu inilah menjadi pondasi dalam berjalannya sebuah acara adat dalam budaya Batak Toba baik acara adat perkawinan, maupun kematian.

Tujuan dari sebuah perkawinan bagi masyarakat Batak Toba ialah bersifat sistem kekerabatan untuk mempertahankan serta untuk meneruskan keturunan sesuai dengan garis kebapakan atau keibuan ataupun keibu-bapakan. Bagi masyarakat patrilineal, tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk

(47)

mempertahankan garis keturunan dari bapak, sehingga anak laki-laki (tertua) harus melakukan bentuk perkawinan ambil istri (dengan pembayaran uang Jujur/Sinamot), di mana setelah terjadinya perkawinan istri ikut (masuk) dalam

kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan diatas maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana proses pembagian Jambar Juhut pada acara kematian saur matua Kp. Beringin”. Adapun yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana konsep kematian dan upacara kematian pada masyarakat Batak Toba di Kp. Beringin?

2. Bagaimana konsep Jambar Juhut pada upacara kematian Saur Matua di Kp. Beringin?

1.4. Tujuan Dan Manfaat

Penelitian tentu harus memiliki tujuan dan manfaat penelitian, adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Bagaimana konsep kematian dan upacara kematian pada masyarakat Batak Toba di Kp. Beringin.

2. Untuk mengetahui Bagaimana konsep Jambar Juhut pada upacara kematian Saur Matua di Kp. Beringin.

(48)

Adapun manfaat dari pada penelitian ini ialah:

 Sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama namun dilokasi yang berbeda.

 Sebagai bahan bacaan bagi setiap orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan suku Batak Toba.

 Menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan dalam pola pikir

penulis, khususnya dibidang penelitian.

1.5. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Dalam penerapannya, pendekatan kualitatif menggunakan metode pengumpulan data dan metode analisis yang bersifat non kuantitif, seperti penggunaan instrumen wawancara mendalam dan observasi partisipasi.

2. Sumber data

Dalam penelitian ini data dikategorikan atas dua bagian yaitu :

 Data Primer Merupakan data utama yang diperoleh dari observasi dan wawancara.

 Observasi

Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi, dimana Peneliti ikut melibatkan diri dalam menghadiri acara pesta adat Mate Saur Matua di Desa Kp. Beringin Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Peneliti juga membantu para kelompok Parboru untuk Marhobas dalam mempersiapkan hidangan makanan minuman serta mempersiapkan Jambar Juhut

Gambar

Foto 4 3   Ihur-ihur (Ekor)
Foto 4.10. Batisan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum yaitu, kurangnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai Program pencapaian investasi sosial yang dilakukan Freeport dan juga

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa masyarakat dampingan YAKMI di Kelurahan Polonia memiliki respon positif terhadap program

Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan

Jika dibandingkan dengan pandangan Sajogo (1989:14) yang mengatakan bahwa partisipasi masyarakat timbul dari kreasi yang lahir oleh kesadaran dan rasa tanggung jawab masyarakat

mangarangrangi yaitu membicarakan segala sesuatu yang menyangkut persiapan pelaksanaan adat perkawinan antara lain bentuk pesta (dialap jual atau taruhon jual), tempat

Hasil dari penelitian ini adalah peran Serikat Petani Indonesia Basis Sei Litur Tasik dalam Mewujudkan Kampung Reforma Agraria adalah sebagai katalisator di dalam

Skripsi ini berisi penelitian mengenai pengaruh komunikasi pembangunan lingkungan oleh Remaja Masjid Pencinta Alam (REMPALA) terhadap partisipasi masyarakat dalam membangun