• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

POLA INTERAKSI SOSIAL NARAPIDANA LAKI-LAKI DALAM KELOMPOK YANG SAMA (IN GROUP) DAN KELOMPOK YANG

BERBEDA (OUT GROUP) PADA LEMBAGA PERMASYARAKATAN KELAS II/A

PEMATANG SIANTAR

SKRIPSI

OLEH : OBED SIHITE

140901052

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjakan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat terselesaikan sesuai harapan dengan judul “Pola Interaksi Sosial Narapidana Laki-Laki Dalam Kelompok Yang Sama (In Group)Dan Kelompok Yang Berbeda (Out Group) Pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar”. Adapun tujuan penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Secara simbolis, skripsi ini penulis hadiahkan untuk orang-orang yang turut berperan serta dan menjadi motivasi di dalam penyususun skripsi ini.

Terutama kepada ibu tercinta, orang tua penulis “Marihaty L. Sihombing S.Pd”, yang menjadi penyokong utama dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih untuk setiap tetesan keringat, motivasi, nasehat dan doa yang tiada hentinya beliau lakukan kepada penulis.

Sebagai mahluk sosial, penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan pertolongan orang lain, secara umum penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh jajaran civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Sosiologi yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, arahan dan bimbingan yang telah didberikan bapak-ibu dosen FISIP-USU terutama departemen Sosiologi merupakan kenangan yang tidak akan

(3)

pernah penulis lupakan. Terdapat manis pahit selama proses perjalanan penyelesaian skripsi yang seyogianya mampu menempa kepribadian penulis.

Skripsi ini dapat berhasil diselesaikan dari awal hingga akhir tentunya oleh bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan hormat dan ketulusan hati saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si selaku Dekan Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra.Harmona Daulay, M.Si selaku ketua jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si sebagai dosen pembimbing akademis penulis, pembimbing skripsi penulis dan penguji. Terimakasih atas arahan dan bimbingan ibu dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan, kritikan dan masukan yang ibu berikan yang sangat membangun dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Junjungan, SBP, M.Si selaku penguji ahli dan dosen pembanding bebas yang telah bersedia memberikan arahan dan masukan yang membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Ibu Dosen, Staf Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Bang Abel serta kak Ernita di Departemen Sosiologi yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.

7. Kepada pimpinan dan staff pengamanan Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar, terkhusus kepada Ibu Liong Hui Mart Sinaga dan ibu

(4)

Debora Hutagalung yang banyak bekerja sama dan memberikan keleluasaan dalam melakukan penelitian,

8. Ibunda tercinta, ibu dari penulis MArihaty L. Sihombing S.Pd yang telah mendukung dari awal baik dari segi materil dan moril selama mengenyam pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Kasih ibu sepanjang masa.

9. Kepada seluruh saudara kandung penulis dan kepada keluarga yang banyak memberikan doa dan dukungan agar segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Kepada Tulang Virgo Hutapea dan seluruh rekan-rekan keluarga besar Pemuda Pemudi (PP) GKPI Maranatha Resort Sintar IV yang telah banyak memberikan masukan secara moral dan moril selama proses penelitian di dalam penjara.

11. Kepada rekan-rekan Mahasiswa Departemen Sosiologi Stambuk 2014, terkhusus kepada Fenny Kie S.Sos dan Yanda Triana Sirait S.Sos yang banyak memberikan koreksi dalam penyusunan skripsi ini.

12. Kepada keluarga besar Ikatan Mahasiswa Humbang Hasundutan USU (IMHU), terkhusus kepada Gapson Pandiangan, Armansyah Sihite, dan Ningsih Banjarnahor yang banyak memberikan bantuan dan dukungan, terlebih disaat pelaksanaan seminar proposal dan seminar hasil sehingga terlaksana dengan baik.

13. Kepada seluruh sahabat yang telah banyak memberikan dukungan, motivasi maupun sindiran untuk segera menyelesasikan perkuliahan, Grace Silaban S.H, Raniarta Purba, Elisa Ananda Sirinngo-ringo, Arie Simanungkalit dan Novita sihombing.

(5)

14. Dan kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mengalami kendala dan masalah sehingga hingga terdapat banyak kekurangan. Namun penulis sadar dan berusaha semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan agar pada pembaca dapat memberikan kritik maupun saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis menucapkan terimakasih atas segala perhatian dan semoga bermanfaat.

Medan, Juli 2019 Penulis

Obed Sihite 140901052

(6)

POLA INTERAKSI SOSIAL NARAPIDANA LAKI-LAKI DALAM KELOMPOK YANG SAMA (IN GROUP)DAN KELOMPOK YANG BERBEDA (OUT GROUP) PADA LEMBAGA PERMASYARAKATAN

KELAS II/A PEMATANG SIANTAR ABSTRAK

Interaksi sosial merupakan instrumen dan kunci utama dalam segala proses sosial yang berlangsung di dalam masyarakat. Baik buruknya interaksi sosial yang terjadi memberikan pengaruh dan dampak secara langsung terhadap masing- masing pelaku interaksi itu sendiri. Interaksi sosial juga terjadi di dalam lembaga permasyarakatan yaitu interaksi yang melibatkan narapidana dengan narapidana, dan narapidana dengan petugas permasyarakatan atau sebaliknya.

Penelitian ini menggunakan teori interaksi sosial, baik secara asosiatif maupun disosiatif diantaranya kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi serta persaingan, kontravensi dan pertentangan. Interaksi dan segala aktivitas yang terjadi di dalam penjara merupakan suatu fenomena yang unik dan belum banyak diketahui oleh publik dimana secara tidak langsung proses yang terjadi mempengaruhi baik buruknya tindakan warga binaan lembaga permasyarakatan.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif dengan pendekatan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan interaksi sosial yang terjadi di dalam Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar terbagi menjadi dua, yaitu interaksi sosial In Grorup (dalam kelompok yang sama) dan interaksi sosial Out Group (dalam kelompok yang berbeda), dimana warga binaan dalam kelompok yang sama memiliki kedekatansangat baik dan intens serta saling memahami satu sama lain, berbeda dengan warga binaan dalam kelompok yang berbeda yang cenderung renggang dan terbentuk hanya sesaat. Warga binaan di dalam PLP memiliki tradisi tersendiri yang sudah dilakukan sejak lama, bertujuan untuk membangun rasa solidaritas sebagai sesama warga binaan.

Kata kunci: interaksi Sosial, Warga binaan, interaksi Sosial In Group, interaksi sosial Out Group

(7)

THE PATTERN OF SOCIAL INTERACTION BETWEEN IN GROUP AND OUT GROUP PRISONERS OF CORRECTIONAL INSTITUTION CLASS II/A

PEMATANG SIANTAR ABSTRACT

Social interaction is an instrument and the main key in all social processes that occur in society. The good and bad social interactions will directly bring influence and impact on each interaction actors. Social interactions also occur at correctional institution that involve within in group and out group prisoners, prisoners with correctional officers or the other way around.

The theory used in this study is social interaction, both associative and dissociative, these are cooperation, accommodation, assimilation, acculturation, competition, controversy and opposition. Interaction and all activities that occur in prison is an unique phenomenon and still widely unknown by the public which the process that occurs indirectly will affects the good and bad actions of the prisoners in correctional institution.

The method used in this research is a descriptive research with a qualitative approach. The results in this study indicate social interactions that occur within the correctional institution class II / A Pematang Siantar city is divided into two type, namely in group social interaction and out group social interaction. In group social interaction have very good closeness and intense in understanding each other, while the out group social interaction tend to be tenuous and formed only for a moment. The assisted citizens in the correctional institution has its own traditions that have been done for a long time, aiming to build solidarity as Assisted Citizen.

Keywords: Social interaction, Assisted Citizens, In Group Social Interaction, Out Group Social Interaction

(8)

DAFTAR ISI

Kata pengantar ... i

Abstrak ... v

Dafar Isi ... vii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Diagram... xii

Daftar Gambar ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penilitian ... 9

1.4 Manfaat Penilitian ... 9

1.4.1 Manfaat Toeritis ... 9

1.4.2 Manfaat Praktis ... 10

1.5 Definisi Konsep ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sosial Menurut Gillin Dan Gillin ... 13

2.2 Interaksi Sosial Warga Binaan ... 16

2.3 Kelompok Sosial (In Group-Out Group) ... 18

2.4 Lembaga Permasyarakatan Atau Penjara ... 19

BAB III METODE PEMILIHAN 3.1 Jenis Penelitian ... 22

3.2 Lokasi Penelitian ... 22

3.3 Unit Analisis ... 23

3.3.1 Unit Analisis ... 23

3.3.2 Informan ... 23

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4.1 Data Primer ... 24

3.4.2 Data Sekunder ... 24

3.4.3 Wawancara Mendalam ... 25

3.4.4 Metode Dokumentasi ... 25

3.4.5 Observasi ... 25

(9)

3.4.6 Interpretasi Data ... 26

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 27

4.1.1 Sejarah Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 27

4.1.2 Letak Dan Kondisi Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 28

4.1.3 Kondisi Demografi Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 31

4.1.4 Aktivitas Warga Binaan Di Dalam Penjara ... 34

4.2 Profil Informan ... 35

4.2.1 Identitas Informan ... 35

4.2.2 Latar Belakang Kehidupan Informan ... 38

4.3 Pembagian Peran dan Proses Interaksi Sosial Warga Binaan Pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 51

4.3.1 Tamping (Tenaga Pendamping) ... 54

4.3.2 Penghulu (Kepala Blok) ... 58

4.3.3 Palkam (Kepala Kamar) ... 59

4.4 Pola Interaksi Sosial Petugas Permasyarakatan kepada Warga Binaan ... 60

4.5 Dilema Masa Peralihan Tahanan Menjadi Warga Binaan ... 65

4.6 Pola Interaksi Sosial Warga Binaan Di Dalam Sel penjara (Interaksi Sosial Tahap Pertama) ... 68

4.7 Tradisi Perkenalan Warga Binaan Baru ... 71

4.8 Pola Interaksi Sosial Warga Binaan Di Luar Sel (Interaksi Sosial Tahap kedua) ... 80

4.9 Pembinaan Kemandirian dan Kepribadian Warga binaan ... 86

4.10 Interaksi Sosial Warga Binaan Dalam Kelompok Yang Sama (In-Group) ... 91

4.10.1 Interaksi Sosial Dongan Sapanganan ... 95

4.10.2 Aturan Dan Tradisi Konsep Di Dalam Penjara... 97

(10)

4.11 Interaksi Sosial Warga Binaan Dalam Kelompok Yang

Berbeda (Out-Grup) ... 101

4.11.1 Interaksi Sosial Antar Blok Dan Kamar Yang Berbeda ... 103

4.11.2 Interaksi Sosial Warga Binaan Penduduk Setempat (Ps) Dan Warga Binaan Kiriman ... 105

4.11.3 Interaksi Warga Binaan Dengan Warga Binaan Kasus Khusus ... 111

4.12 Penjara sebagai tempat belajar ... 116

4.13 Kehidupan Terorisme Di Dalam Penjara ... 119

4.14 Peran Pemuka Dan Ban Itam ... 122

4.15 Istilah-Istilah Di Dalam Penjara ... 127

BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 131

5.2 Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 134

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jenis Kasus Dan Jumlah Narapidana Pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 4 Tabel 1.2 Pembinaan Narapidana Pada Lembaga Permasyarakatan Kelas

II/A Pematang Siantar ... 6 Tabel 4.1 Jarak Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar

Dengan Instansi Terkait ... 28 Tabel 4.2 Jumlah Kamar Warga Binaan Berdasarkan Kapasitas Daya

Tampung Kamar ... 31 Tabel 4.3 Jumlah Petugas Permasyarakatan Pada Lembaga

Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 32 Tabel 4.4 Jumlah Penghuni lembaga Permasyarakatan Kelas II/A

Pematang Siantar Berdasarkan Kasus ... 33 Tabel 4.5 Jadwal Kegiatan Warga Binaan Dalam Satu Hari ... 34 Tabel 4.6 Identitas Warga Binaan Sebagai Informan Dalam Penelitian

Dilembaga Permasyarakatan Kelas II A Pematang Siantar ... 36 Tabel 4.7 Identitas Petugas Permasyarakatan Sebagai Informan Dalam

Penelitian Dilembaga Permasyarakatan Kelas II A Pematang Siantar... 37 Tabel 4.8 Jenis-Jenis Pembinaan Warga Binaan Pada Lembaga

Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 86

(12)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Alur 4.1 Struktur Peran Dan Pola Interaksi Warga Binaan Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 52 Diagram Alur 4.2 Pola Interaksi Sosial Petugas Permasyarakatan Kepada

Warga Binaan61

Diagram Alur 4.3 Pola Interaksi Sosial Warga Binaan Kepada Petugas Permasyarakatan ... 63 Diagram Alur 4.4 Tahapan Interaksi Sosial Antar Sesama Warga Binaan

Di Dalam Lembaga Permasyarakatan71

Diagram Alur 4.5 Tradisi Perkenalan Warga Binaan Baru Di Dalam Sel ... 75 Diagram Alur 4.6 Tradisi Perkenalan Warga Binaan Kiriman Di Dalam

Sel... 79 Diagram Alur 4.7 Pola Interaksi Sosial Warga Binaan Tahap Kedua ... 84

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Sketsa Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 30 Gambar 4.2 Musyawarah Bersama Warga Binaan Beragama Islam

Dengan Petugas LP Serta Pihak Ketiga Pembinaan Kerohanian Islam88

Gambar 4.3 Latihan Koor Bersama Warga Binaan Kristen dalam Persiapan Menyambut Natal ... 89 Gambar 4.4 Pembagian Jatah Makan Siang Warga Binaan Di Dalam

Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar ... 90 Gambar 4.5 Wawancara Dengan Narapidana Dengan Kasus Hukum

Terorisme ... 115

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Lembaga permasyarakatan atau yang dahulu kita kenal dengan istilah penjara adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik permasyarakatan. Pada lembaga permasyarakatan (selanjutnya ditulis LP) terdapat sistem permasyarakatan yang diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, sistem permasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Permasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas warga binaan permasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Warga binaan diharapkan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Secara sosiologis, penjara atau lembaga permasyarakatan merupakan sebuah institusi total (dalam Pujileksono Sugeng, 2017), dimana kita dapat menemukan adanya sistem LP yang didesain secara khusus untuk mengubah (resosialisasi) perilaku individu. Institusi total dalam proses pelaksanaannya, secara sengaja memutus kontak individu dengan dunia luar kemudian individu tersebut diberikan berbagai perlakukan (sosialisasi), dengan pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk merubah kepribadian individu tersebut, sesuai dengan harapan masyarakat.

Sama halnya dengan LP yang memiliki sistem pembinaan serta regulasi aturan

(15)

yang ditujukan untuk membentuk kepribadian individu (warga binaan), sehingga warga binaan setelah keluar dari dalam LP dapat diterima kembali sebagai anggota masyarakat.

Lembaga permasyarakatan tidak dapat dipisahkan dengan adanya warga binaan sebagaimana maksud dan tujuan dari pengadaan lembaga itu sendiri, yang pada dasarnya diperuntukkan bagi warga binaan. Narapidana berasal dari kata nara: orang dan pidana: hukum dan kejahatan (dalam Cahyo 2015). Narapidana adalah terpidana yang menjalani hukuman pidana hilang kemerdekaan di dalam LP. Terpidana merupakan seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Narapidana atau warga binaan pada dasarnya merupakan produk dari kondisi masyarakat dimana dalam proses interaksi sosial yang terjadi, terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh anggota masyarakat atau dapat disebut sebagai perilaku penyimpangan.

Penyimpangan sosial sebagaimana dikatakan oleh Robert K. Merton (dalam Dwi J. Narmoko dan Bagong Suyanto, 2006) dalam teori anominya, ia berasumsi bahwa penyimpangan adalah berbagai ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Situasi dan kondisi individu yang ingin meningkatkan status sosialnya di dalam lingkungan masyarakat pada saat ini, sering kali di dalam prosesnya diikuti dengan praktik-praktik atau cara-cara yang tidak sah seperti melalui cara kejahatan dan penyimpangan. Munculnya tindakan penyimpangan dan kejahatan merupakan sebab akibat dari struktur sosial yang tidak mampu

(16)

menyediakan kesempatan yang sama bagi semua anggota masyarakat untuk dapat meraih status yang lebih baik.

Kondisi sosial yang tidak mampu menyediakan kesempatan yang sama untuk meningkatkan status sosial di dalam masyarakat, menyebabkan munculnya cara-cara curang seperti mencuri, merampok dan berbagai bentuk kejahatan lain yang terorganisir serta pelacuran atau praktik kegiatan prostitusi lainnya, untuk mencapai tujuan-tujuan status yang lebih baik di dalam masyarakat. Hal tersebut merupakan bentuk adaptasi sebahagian masyarakat, sebagai upaya untuk mengimbangi keadaan dan kondisi sosial pada saat ini. Adaptasi tersebut tentu bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Hal tersebut merupakan salah satu penyebab tingginya jumlah warga binaan di dalam LP.

Memudarnya nilai-nilai dan norma-norma (anomi) di dalam lingkungan sosial masyarakat pada saat ini dapat kita lihat dari adanya perubahan sudut pandang terhadap nilai, apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk di dalam masyarakat, misalnya, seorang anak remaja dilingkungan pergaulannya dianggap keren apabila sudah merokok dan menggunakan narkoba, walaupun hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dan norma hukum yang berlaku. Pada lingkungan orang dewasa, menyogok petugas untuk mempercepat urusan usahanya dianggap biasa dan wajar. Memudarnya nilai dan norma tersebut juga dapat lihat melalui kasus-kasus penyumbang tingginya jumlah warga binaan pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar, pada tabel 1.

(17)

Tabel 1.1: Jenis Kasus Dan Jumlah Narapidana Pada Lembaga Permasyarakatan KELAS II/A Pematang Siantar

No Pelanggaran Hukum Jumlah

Narapidana Tahanan

1 Perjudian 9 43

2 Pembunuhan 26 6

3 Pencurian 192 119

4 Perampokan 3

5 Penipuan 5 13

6 Narkotika/ fsikotropika 724 442

7 Korupsi 8 2

8 Teroris 1

9 Perlindungan Anak 66 20

10 KDRT 2 8

11 Senjata Tajam 1

12 DLL 131 113

Jumlah 1167 767

Jumlah Keseluruhan 1934

Sumber : Observasi Lapas KELAS II/A Pematang Siantar tanggal 22 Mei 2018 Terdapat beberapakasus penyumbang tingginya jumlah penghuni Lapas Kelas II/A Pematang Siantar seperti yang dimuat dalam tabel 1.1, yaitu : pertama disebabkan oleh kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkotika) dengan jumlah narapidana 724 jiwa dan tahanan 442 jiwa, diikuti dengan kasus pencurian, dimana terdapat narapidana 192 jiwa dan tahanan sebanyak 119 jiwa.

Kasus penyumbang terbesar ketiga adalah kasus perlindungan anak dengan jumlah narapidana sebanyak 66 jiwa dan tahanan sebanyak 20 jiwa.

Lapas Kelas II/A Pematang Siantar memiliki luas wilayah 8 Hektar dengan 78 ruangan (kamar) bagi warga binaanlaki-laki dan 6 kamar untuk warga binaanperempuan dengan kapasitas daya tampung 500 jiwa. Dari total keseluruhan luas wilayah Lapas Kelas II/A Pematang Siantar, 1/3 luas wilayahnya dipergunakan untuk pekarangan/taman dan perkantoran lapas Kelas II/A Pematang Siantar. Jika kita membandingkan jumlah warga binaan laki-laki

(18)

dengan jumlah kamar yang tersedia, maka kita akan menemukan satu ruangan (kamar) diisi dengan kepadatan 25 jiwa.

Berdasarkan tabel 1.1, kita dapat melihat bahwa kondisi Lapas Kelas II/A Pematang Siantar telah melebihi kapasitas (overcapacity), 3 kali lipat dari kapasitas seharusnya. Jumlah penghuni yang sangat melebihi kapasitas, menciptakan kesenjangan antara jumlah petugas LP dengan jumlah warga binaan, hal tersebut menyebabkan kurangnya kemampuan petugas dalam mengontrol keseluruhan aktivitas penghuni LP. Jumlah penghuni LP yang sudah sangat kelebihan kapasitas, secara tidak langsung menunjukkan gambaran dan kondisi sosial masyarakat kita pada saat ini. Overcapacity antara jumlah penghuni dengan kapasitas LP yang seharusnya, hanya akan melahirkan permasalahan- permasalahan baru sebagai akibat dari kepadatan warga binaan (dalam Galih Puji Mulyo 2016), diantaranya: proses pembinaan dan rehabilitas warga binaan tidak berjalan dengan maksimal. Berdirinya lembaga permasyarakatan, pada dasarnya ditujukan untuk menghasilkan warga binaan, yang setelah menjalanani hukuman hilang kemerdekaan serta pembinaan oleh petugas permasyarakatan akan menghasilkan penyadaran atas kesalahan-kessalahannya dan mengalami perubahan di dalam hidupnya (resosialisasi).

Pembinaan yang telah dilaksanakan oleh LP Kelas II/A Pematang Siantar kepada warga binaan dapat kita lihat pada tabel 1.2. Pembinaan kepribadian pada umumnya diutamakan melalui sisi kerohanian, seperti penelaahan alkitab atau pengajian dengan cara mendatangkan pembina keagamaan dari luar (pihak ketiga) misalnya Ustad untuk pembinaan umat Muslim, penelaahan alkitab dengan cara bekerjasama dengan diakoni HKBP, serta pembinaan kesadaran berbangsa dan

(19)

bernegara oleh petugas permasyarakatan. Pembinaan secara fisik lebih diutamakan kepada pengasahan keterampilan individu yang diharapkan setelah masa tahanan habis, narapidana memiliki keterampilan untuk bertahan hidup dan tidak mengulangi kelasalahan yang sama.

Tabel 1.2: Pembinaan Warga Binaan Pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar

No Pembinaan Narapidana

Mental (psikis) Fisik

1 Pembinaan kepribadian Tenun ulos angkola

2 Pengajian (Muslim) Menjahit

3 Ibadah (kristen), pendidikan Alkitab Salon bagi wanita 4 Pembinaan Berbangsa dan

bernegara

Salon bagi pria (pangkas Rambut) 5 Upacara setiap hari senin Pembuatan gagang sapu

6 Senam setiap pagi Pertukangan kayu dan semen

7 Olahraga (futsal) Pertanian

Sumber: Observasi Lapas Kelas II/A Pematang Siantar pada tanggal 22 Mei 2018

Namun secara tidak langsung, keberadaan LP menjadi salah satu tempat yang mempertemukan para pelaku penyimpangan (lihat tabel 1.1), mempertemukan para pelaku penyimpangan yang berasal dari berbagai jenis latar belakang masalah (kasus), dan terhimpun dalam satu ruang lingkup yang terbatas (LP) dengan tingkat kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini tentu akan menciptakan interaksi sosial yang intens bagi sesama warga binaan, dimana sesama warga binaan menghabiskan secara keseluruhan waktunya (24 jam dalam sehari), hidup berdampingan dengan warga binaan lainnya. Terbukanya peluang interaksi sosial yang intens antar warga binaan tersebut disebabkan oleh jumlah warga binaan yang tidak seimbang dengan jumlah petugas LP sehingga menyebabkan kurangnya pengawasan terhadap aktivitas warga binaan. Hal ini juga menyebabkan kurang efektifnya pembinaan warga binaan selama menjalani masa

(20)

hukuman hilang kemerdekaan di dalam LP, walaupun terdapat beberapa program pembinaan yang dilakukan oleh LP itu sendiri, seperti pada tabel 1.2.

Interaksi sosial yang intens pada awalnya merupakan upaya warga binaan untuk menghibur diri dari rasa kebosanan di dalam penjara, namun secara tidak langsung melalui interaksi sosial tersebut, terjadi sosialisasi nilai-nilai dan norma- norma antar sesama warga binaan. Terjadi pertukaran informasi dan pengetahuan yang berasal dari pengalaman masing-masing pelaku penyimpangan (narapidana), hal inilah yang menyebabkan LP seolah-olah berperan sebagai “sekolah” bagi warga binaan, sekolah tempat dimana mereka dapat berbagi dan bertukar ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Sebagaimana teori belajar mengatakan bahwa perilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar, Edwin H Suntherland (dalam Dwi J. Narmoko, Bagong Suyanto, 2006) mengatakan penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau diantara teman-teman sebaya yang menyimpang.

Setiap warga binaan yang terhimpun di dalam LP akan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sebagaimana disampaikan oleh George Herbert Mead (dalam George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008) dalam konsep Generalized othernya bahwa orang lain yang digeneralisir adalah sikap seluruh anggota kelompok/komunitas. Dalam hal ini, seseorang harus menunjukkan kesamaan sikapnya dengan sikap komunitas. Demikian juga halnya didalam penjara, kita tidak dapat memungkiri bahwa di dalam LP secara tidak langsung terjadi pembentukan kepribadian. Pembentukan kepribadian warga binaan tersebut, tidak terlepas dari pergaulan dan dan pola interaksi sosial sesama

(21)

warga binaan di dalam penjara yang dipenuhi para pelaku penyimpangan, sebagaimana tahapan-tahapan pembentukan kepribadian yang diutarakan Mead.

Pada hari senin, 23 September 2013 pada pukul 10.30 WIB terjadi kerusuhan besar di Lapas Pematang Siantar yang pada awalnya dipicu oleh perkelahian antar individu, namun karna rasa solidaritas, perkelahian tersebut membesar menjadi kerusuhan antar blok, antara blok Beringin dengan blok Status Sosial Ekonomi. Peristiwa tersebut merupakan salah satu bukti nyata dari interaksi sosial yang intensif yang terjadi antar sesama warga binaandidalam penjara. Kerusuhan tersebut menunjukkan adanya kelompok-kelompok sosial didalam lembaga permasyarakatan kelas II/A Pematang Siantar. Kerusuhan 23 september 2013, seakan menunjukkan adanya sosialisasi nilai-nilai tentang apa yang dianggap baik oleh individu dan kelompok warga binaan, sehingga menghasilkan rasa solidaritas serta kerja sama antar warga binaan di dalam penjara.

Fenomena LP pada saat ini, bahkan fakta membuktikan bahwa banyak peredaran narkotika yang dikendalikan dari dalam LP, bahkan LP dijadikan sebagai tempat peredaran narkotika (dalam Josias, 2011). Fenomena lain seperti munculnya bos-bos kecil di dalam LP serta adanya narapidana-narapidana kambuhan yang telah berulang-ulang kali keluar masuk penjara, seakan warga binaan tidak memiliki efek jera, bahkan kembali kepenjara dengan pelanggaran yang lebih besar dari pelanggaran sebelumnya. Hal ini semakin menegaskan bahwa LP pada saat ini seolah-olah berperan sebagai “sekolah” untuk meningkatkan kemampuan warga binaan. Hal inilah yang menjadi perhatian saya dalam penelitian ini, bagaimana proses berlangsungnya interaksi sosial warga

(22)

binaan baik interaksi sosial di dalam kelompok maupun interaksi sosial terhadap kelompok lain di dalam LP, serta hasil dari interaksi sosial yang terjadi baik yang bersifat aosisatif maupun disosiatif.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana interaksi sosial warga binaan di dalam kelompok yang sama (in group) pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar?

2. Bagaimana interaksi sosial antar kelompok warga binaan yang berbeda di dalam Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar?

1.3 Tujuan Penilitian

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pola interaksi sosial yang terjadi antar sesama warga binaan dalam kelompok yang sama (in group) pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pola interaksi sosial yang terjadi antar kelompok warga binaan yang berbeda (out group) di dalam Lembaga permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar.

1.4 Manfaat Penilitian 1.4.1 Manfaat Toeritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan kajian ilmiah ilmu Sosiologi bagi kalangan akademisi, terkhusus mahasiswa/i jurusan Sosiologi dan secara umum kepada khalayak banyak, serta dapat menjadi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan sosial. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu pengetahuan tentang interaksi sosial yang terjadi antar sesama warga binaan di dalam kelompok yang sama (in group) dan interaksi

(23)

sosial antara kelompok warga binaan yang berbeda (out Group) pada Lembaga Permasyarakatan kelas II/A Pematang Siantar.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada LP tentang proses interaksi sosial yang berlangsung antara sesama warga binaan di dalam kelompok yang sama (in Group) dan kelompok yang berbeda (out group) serta dapat menjadi bahan pertimbangan LP dalam pengambilan kebijakan pembinaan warga binaan pada lembaga permasyarakatan. Bagi masyarakat, penelitian ini dimampukan dapat memberikan gambaran secara langsung proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam LP.

1.5 Definisi Konsep a. Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah proses terjadinya kontak sosial dan komunikasi di dalam masyarakat, baik yang terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok dan berupaya untuk saling mempengaruhi masing-masing kedua belah pihak yang berinteraksi.

b. Proses sosial asosiatif

Proses sosial yang bersifat asosiatif merupakan hasil dari terjadinya interaksi sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok di dalam masyarakat, proses sosial asosiatif pada umumnya menghasilkan proses sosial yang bersifat positif, diantaranya kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi.

(24)

c. Proses sosial disosiatif

Proses sosial yang bersifat disosiatif merupakan hasil dari terjadinya interaksi sosial didalam masyarakat yang cenderung berdampak negatif kepada masing- masing pelaku interaksi. Proses sosial disosiatif terdiri dari persaingan (competition), kontravensi (contravention) dan pertentangan atau pertikaian/conflict (dalam Soyomukti Nurani, 2016).

d. Kelompok sosial (In group-out group)

Kelompok sosial merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu-individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur. Kelompok sosial in group atau kelompok kita merupakan individu-individu yang tergabung dalam satu kelompok yang sama, sedangkan kelompok out group atau kelompok luar dianggap sebagai orang lain atau kelompok lain.

e. Lembaga Permasyarakatan

Lembaga permasyarakatan atau yang dahulu dikenal dengan istilah penjara adalah tempat pembinaan dan pembimbingan (resosialisasi) narapidana pasca putusan peradilan sebelum narapidana dikembalikan ke dalam masyarakat.

f. Narapidana atau Wargabinaan

Narapidana adalah wargabinaan lembaga permasyarakatan atau anak didik permasyarakatan atau orang yang sedang menjalani masa hukuman hilang kemerdekaan karena tindak pidana dan dibina di dalam lembaga permasyarakatan (dalam Cahyo, 2015).

(25)

g. Tamping (Tenaga Pendamping)

Tenaga pendamping (Tamping) adalah warga binaan yang secara langsung dihunjuk oleh petugas permasyarakatan sebagai perpanjangan tangan dalam membantu kegiatan pendampingan terhadap warga binaan di dalam lembaga permasyarakatan.

h. Palkam (kepala Kamar)

Kepala kamar atau yang biasa disebut dengan istilah palkam adalah warga binaan yang berperan sebagai kepala dan perwakilan tiap-tiap sel narapidana, yang dipilih secara bersama-sama oleh warga binaan yang terhimpun dalam satu sel yang sama.

i. Penghulu

Penghulu adalah warga binaan yang berperan untuk membuka dan menutup sel tahan (kerangkeng) yang ditunjuk secara langsung oleh petugas permasyarakatan.

Penghulu merupakan perwakilan blok yang bertugasnya memastikan keamanan tiap-tiap sel dalam blok.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Sosial Menurut Gillin Dan Gillin

Interaksi sosial merupakan kunci utama dalam segala proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi sosial. terjadinya sebuah kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut, sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah apa bila seseorang memberikan tafsiran kepada sesuatu tindakan atau perlakuan orang lain.

Proses sosial merupakan bentuk-bentuk atau cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apa bila para individu maupun kelompokyang berinteraksi, saling menentukan sistem atau bentuk pola proses sosial yang terjadi. Dalam proses sosial yang sedang berlangsung, apa bila ada terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada, hal tersebut merupakan hasil dari pengaruh timbal-balik dari proses sosial yang terjadi. Menurut Gillin dan gillin (dalam Soerjono Soekanto, 2009), ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial yaitu proses. sosial yang asositif dan proses sosial yang bersifat disosiatif. Proses sosial asosiatif terdiri dari kerja sama,

(27)

akomodasi, asimilasi dan akulturasi dan proses sosial disosiatif terdiri dari persaingan, kontravensi dan pertentangan atau pertikaian.

Hasil interaksi sosial berupa kerja sama biasanya ditandai dengan adanya usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerja sama timbul, dimana masing-masing anggota masyarakat menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan dan tujuan yang sama pada saat yang bersamaan. Proses sosial akomodasi merupakan upaya untuk mencapai penyelesaian suatu pertikaian atau konflik oleh pihak-pihak yang bertikai yang mengarah pada kondisi atau keadaan selesainya suatu konflik atau pertikaian tersebut (dalam Setiadi, Elly, M. Usman, Kolip, 2011). Upaya mengurangi pertentangan tersebut dapat dilakukan melalui bentuk paksaan (coercion), saling mengurangi tuntutan (compromise), dengan pihak ketiga (arbitration), mediasi, konsiliasi, toleransi, berhenti dengan sendirinya (stalemate) maupun penyelesaian masalah dengan pengadilan (adjudication).

Proses sosial yang terjadi melalui interaksi sosial menghasilkan asimilasi.

Asimilasi merupakan proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada antara orang perorangan, kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama (dalam Soerjono Soekanto, 2009). Di dalam proses terjadinya asimilasi, masing-masing anggota masyarakat mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok tersebut.

Asimilasi terjadi apabila terdapat kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda, adanya interaksi yang intensif sehingga kebudayaan

(28)

dari masing-masing kelompok mengalami penyesuaian diri. Sedangkan akulturasi ditandai dengan adanya perpaduan dua budaya yang berbeda menghasilkan satu kebudayaan yang baru.

Proses sosial yang bersifat disasosiatif merupakan keadaan dari kondisi masyarakat yang tidak terkendali, sebagai wujud dari realitas sosial yang disharmoni akibat dari adanya pertentangan di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan munculnya disintegritas sosial. Proses sosial disosiatif terdiri dari persaingan (competition), kontravensi (contravention) dan pertentangan atau pertikaian (conflict). Individu dan kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada masa tertentu menjadi pusat perhatian dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan disebut persaingan (competition). Masing- masing pihak yang bersaing ingin mencapai sesuatu yang sama-sama diinginkan (dalam Soyomukti Nurani, 2016).

Kontravensi merupakan proses sosial yang berada diantara persaingan dengan pertentangan atau pertikaian yang ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidak pastian tentang diri seseorang atau rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang (dalam Soerjono Soekanto, 2000). Hal ini juga dapat dikatakan sebagai sikap mental yang tersembunyi terhadap orang lain atau kebudayaan tertentu yang berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai kepada pertentangan atau pertikaian. Sedangkan pertentangan atau pertikaian adalah proses sosial dimana masing-masing pihak yang berinteraksi berusaha untuk saling menghancurkan, menyingkirkan dan mengalahkan, karena berbagai alasan seperti rasa kebencian

(29)

atau rasa permusuhan. Konflik dapat terjadi dikarenakan perbedaan antar orang- perorangan atau antar kelompok, perbedaan kebudayaan, bentrokan antar kepentingan, dan perubahan-perubahan sosial.

2.2 Interaksi Sosial Warga Binaan

Interaksi sosial warga binaan merupakan interaksi yang terjadi diantara sesama warga binaan yang berada di dalam lembaga permasyarakatan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung atau simbolik. Interaksi sosial antara sesama warga binaan di dalam LP memberikan dampak dan pengaruh terhadap kesadaran dan perubahan perilaku individu warga binaan itu sendiri selama menjalani masa tahanan (pembinaan). Hidup bersama di dalam LP memungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai tentang apa yang dianggap baik dan buruk oleh para warga binaan.

Pada Lembaga Permasyarakatan, para warga binaan berusaha saling menghilangkan dan mengurangi deprivasi terutama deprivasi keamanan dengan cara bergabung dengan sebagian warga binaan berpengaruh di lingkungan LP (dalam Suharti 1997). Kadang kala, untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman, seringkali seseorang warga binaan harus mengikuti sikap dan perilaku yang lazim dilakukan oleh sebahagian besar warga binaan, yang sudah menjadi suatu kebiasaan warga binaan di dalam lembaga permasyarakatan.

Steven Box (dalam Angkasa, 2010) mengatakan bahwa pada hakikatnya seorang warga binaan yang baru masuk adalah merupakan bagian dari sebuah segitiga. Dalam sudut yang pertama adalah organisasi atau wakil-wakil resmi yaitu petugas, sudut yang kedua berdirilah kelompok-kelompok warga binaan

(30)

yang menawarkan berbagai macam penyelesaian masalah, diantaranya mengatasi suatu perampasan yang merupakan penderitaan. Pada sudut ketiga terdapat warga binaan itu sendiri. Dengan demikian terjadi adaptasi terhadap kepedihan atau penderitaan yang dialami oleh seorang warga binaan. Pada hakikatnya seorang warga binaan yang masuk dalam penjara akan dihadapkan pada dua pilihan.

Pilihan pertama adalah masuk atau mengikuti aturan petugas yang berarti mengalami perampasan dengan rasa penderitaan yang kuat, pilihan kedua adalah masuk dalam budaya masyarakat warga binaan yang berarti mengurangi pederitaan atas perampasan yang dialami.

Menurut Syarif (dalam Riskyani Shanti, 2016), ketika berada di dalam LP, teman sesama warga binaan menjadi tempat berdiskusi dan berbagi ketika keluar dari LP. Misalnya sesama pengguna narkoba, akan saling berdiskusi tentang narkoba dan dampak buruk dari penggunaannya serta mencari tahu lebih banyak upaya untuk menanggulanginya. Rasa kebersamaan antara sesama warga binaan ditunjukkan melalui pertukaran informasi, terlebih mereka yang berada di dalam sel yang sama.

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain: faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak dengan sendirinya maupun secara keseluruhan bergabung.

Interaksi secara individu oleh warga binaan yang terjadi didalam LP, cenderung hanya ditujukan sebagai benteng untuk mampu bertahan selama berada di dalam lembaga permasyarakatan. Demikian juga halnya dengan interaksi mantan warga binaan ditengah masyarakat setelah bebas dan kembali hidup didalam lingkungan masyarakat, serta di dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya sehari-hari sangat

(31)

sulit berinteraksi, hubungan dengan masyarakat serta keluarga sangat sulit dijalin kembali (dalam Mahmudah, 2017).

2.3 Kelompok Sosial (In Group-Out Group)

Kelompok sosial merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu-individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur. Dalam sebuah kelompok sosial terdapat pembagian tugas, struktur serta norma-norma tertentu yang berlaku bagi mereka. Terbentuknya kelompok sosial di dalam masyarakat pada umumnya didasarkan pada suatu persamaan bagi sesama anggota kelompok, misalnya, nasib yang sama, kepentingan yang sama dan tujuan yang sama.

Klasifikasi kelompok in group (kelompok kita) dan kelompok out group (kelompok lain) merupakan klasifikasi kelompok sosial yang diperkenalkan oleh W. G Sumner (dalam Kamanto Sunarto, 2004). Dikalangan anggota kelompok pada umumnya dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan serta kedamaian, sedangkan hubungan kelompok dengan kelompok luar cenderung ditandai dengan kebencian, permusuhan, perampokan dan kejahatan lainnya. Anggota kelompok menganggap nilai-nilai di dalam kelompoknya sebagai titik acuan atas segala tindakan terhadap kelompok lain.

Kelompok sosial in group dan out group, merupakan kelompok sosial yang didasarkan pada adanya kepentingan yang sama yang menjadikan seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut (dalam Soerjono Soekanto, 2000). Sikap in group pada umumnya ditunjukkan melalui faktor simpati dan perasaan yang dekat diantara anggota-anggota kelompoknya,

(32)

sedangkan kelompok out group selalu ditandai dengan sikap antipati dengan kelompok lainnya. Kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat pada umumnya mengembangkan perasaan kelompok dalam (in group feeling)yang kuat serta rasa ketidak percayaan, bahkan mengembangkan perasaan permusuhan terhadap kelompok lain.

2.4 Lembaga Permasyarakatan Atau Penjara

Istilah penjara (panitentiary) diambil dari bahasa latin, secara luas digunakan sebagai sinonim kata prison. Awalnya digunakan untuk menjelaskan tempat di mana seseorang dikirim untuk menebus dosa-dosanya terhadap masyarakat. Pemberian hukuman penjara merupakan alat hukuman yang bertujuan untuk memperbaiki perilaku para pelaku tindakan kriminal dan pelanggaran hukum. Berdasarkan asal usul katanya, penjara berasal dari kata penjoro (bahasa Jawa) yang berarti tobat atau jera, di penjara berarti dibuat tobat atau dibuat jera.

Konsepsi permasyarakatan pertama sekali dinyatakan oleh Dr. Sahardjo SH, pada tahun 1963 dimana istilah penjara dirubah menjadi lembaga permasyarakatan. Lembaga permasyarakatan berarti perlakuan mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi pada narapidana yang

“tersesat jalan” dan memberi bekal hidup bagi narapidana setelah kembali kedalam masyarakat (dalam Soedjono, 1972). Dimana lembaga permasyarakatan melalui pembinaan dan pembimbingan narapidana bertujuan untuk menjaga agar narapidana tidak terasing dari masyarakat dimana ia akan kembali nanti.

(33)

Konsep kelembagaan permasyarakatan menjadi lebih jelas sejak tahun 1963, setelah DR Sahardjo S.H mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan di Lembang Bandung, bahwa tujuan pemidanaan adalah permasyarakatan, di mana mereka yang menjadi narapidana bukan lagi dibuat jera, namun dibina dan kemudian dimasyarakatkan (dalam Harsono C.I 1995). LP merupakan pelaksana teknis yang berada dibawah direktorat Jenderal Permasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Orang yang tinggal di dalam Lapas disebut Narapidana atau Warga Binaan Permasyarakatan (WBP). Petugas yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di Lapas disebut sebagai petugas permasyarakatan atau yang dahulu dikenal dengan istilah sipir penjara.

Pemidanaan narapidana didalam LP diselenggarakan dalam bentuk pembinaan dan pembimbingan atau permasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi perilaku menyimpang sehingga dapat kembali diterima sebagai anggota masyarakat.

Tujuan dari permasyarakatan adalah bahwa pemidanaan terhadap seseorang terpidana, selain menimbulkan rasa derita karena hilang kemerdekaan, LP juga turut ambil bagian dalam mendidik warga binaan agar menjadi warga negara yang baik dan berguna.

Menurut Soerjono Soekanto (2002), lembaga masyarakat memiliki beberapa fungsi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, yaitu: memberikan pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bersikap atau bertingkah laku di dalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan hidup kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social

(34)

control), yang artinya adanya pengawasan tingkah laku oleh lembaga masyarakat terhadap anggota-anggotanya

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang merupakan salah satu cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan oleh suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah (dalam Sugiono, 2015). Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong J.

L, 2007) pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Metode penelitian ini merupakan cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman terhadap suatu permasalahan. Metode penelitian deskritif dengan pendekatan kualitatif ini diharapkan dapat menggambarkan (mendeskripsikan) secara tepat, pola dan proses interaksi sosial kelompok warga binaan dalam kelompok yang sama (in group) dan warga binaan dalam kelompok yang berbeda (out group) yang berlangsung selama masa pembinaan warga binaan di dalam lembaga permasyarakatan kelas II/A Pematang Siantar.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada pada lembaga Permasyarakat Kelas II/A Pematang Siantar yang terletak di jalan Asahan KM.7 No. 8 Pematang Siantar.

(36)

Pemilihan lokasi ini didasarkan pada: Lokasi penelitian merupakan salah satu lembaga permasyarakatan (LP) yang berada diwilayah Sumatera Utara dan berstatusaktif. Lembaga permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar memiliki warga binaan yang dibina dan dibimbing petugas permasyarakatan. Lembaga permasyarakatan ini setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah penghuni (warga binaan) hingga melebihi daya tampung pada saat ini (over kapasitas).

3.3 Unit Analisis Dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek dalam penelitian dan keseluruhan unsur yang terdapat di dalamnya yang menjadi fokus dalam penelitian (Bungin, 2007). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah proses interaksi sosial warga binaan yang berlangsung di dalam lembaga permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar.

3.3.2 Informan

Informan adalah subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007).

Informan penelitian terdiri dari dua yaitu informan kunci dan informan tambahan.

Yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah warga binaan yang ada di dalam Lembaga Permasyarakatan kelas II/A Pematang Siantar sedangkan informan tambahan yaitu petugas permasyarakatan atau pegawai atau sipir permasyarakatan.

Penentuan informan dilakukan dengan tenik purposive sampling yaitu pengambilan data sample secara sengaja dengan persyaratan sample yang

(37)

ditentukan sesuai dengan sample yang diperlukan. Teknik pengambilan sample ini juga dengan jugmental sampling yaitu pengambilan sample berdasarkan penilaian, mengenai siapa-siapa yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sample (dalam Nashihun Ulwan M, 2014).

Dengan demikian Informan yang akan digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pada lamanya warga binaan menjalani hukuman pidana, sudah menjalani hukuman di dalam LP, khusus pada warga binaan laki-laki yang ada di lembaga permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar. Setiap informan mewakili masa tahanan 0 bulan-12 bulan dan mewakilkan secara keseluruhan jenis pelangaran yang ada di dalam penjara.

3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari informan yang ditemukan dilapangan baik melalui observasi, wawancara secara partisipatif maupun secara mendalam. Data primer dapat juga dikatakan sebagai data yang diperoleh secara langsung dari tangan pertama (yang bersangkutan).

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian, melalui studi kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung data yang diperoleh, baik dari buku-buku ilmiah, tulisan ilmiah atau laporan penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang dianggap sesuai dan relevan dengan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan dan pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri data-data atau literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.

(38)

3.4.3 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam merupakan proses tanya jawap yang dilakukan peneliti kepada orang-orang yang menjadi objek penelitian atau informan secara langsung yang berhubungan dengan objek yang sedang diteliti. Tanya jawap yang dilakukan peneliti terhadap informan merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang sedang diteliti, secara lengkap dan mendalam disertai dengan interview guide sebagai panduan wawancara.

Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses interaksi sosial warga binaan yang berlansung di dalam lembaga permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar selama dalam masa pembinaan warga binaan

3.4.4 Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi ini merupakan salah satu teknik penghimpunan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Metode ini merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen yang dihimpun dipilih sesuai dengan tujuan dan fokus masalah yang diteliti. Metode ini bertujuan untuk mendukung metode yang lainnya.

3.4.5 Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menghimpun data penelitian dengan melakukan pengamatan maupun pengindraan (Bungin, 2007). Observasi merupakan pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran yang tetap sesuai dengan objek yang sedang diteliti. Dengan demikian

(39)

peneliti dapat mengidentifikasi dan mengkategorikan dan melihat sejauh mana gejala yang harus diamati dan perlu untuk diteliti.

3.4.6 Interpretasi Data

Data yang diperoleh sebagai hasil wawancara melalui bantuan catatan lapangan, hasil observasi langsung dan hasil kajian pustaka akan ditelaah dan diseleksi kembali dan disesuaikan dengan kategori-kategorinya. Kemudian data selanjutnya dievaluasi relevansinya terhadap pokok permasalahan yang diteliti.

Setelah hal tersebut dilakukan, kemudian data-data tersebut dianalisis dengan mengacu kepada tinjauan pustaka.

Data-data yang diperoleh akan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang telah ditetapkan, lalu dipisahkan secara kategorial dan dicari hubungan yang muncul dari data, yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu analisis data yang baik serta dapat mengungkapkan permasalahan atau hasil dari pelitian yang sedang dilakukan. Sedangkan hasil observasi akan diuraikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Berdasarkan data yang ditemui, data akan diinterpretasikan untuk mendeskripsikan interaksi sosial antar narapidana yang ada di dalam Lapas yang sebenarnya.

(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar Lembaga permasyarakatan kelas II/A Pematang Siantar berada di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya Jl. Asahan Km.VII No.08 Siantar, Kabupaten Simalungun. LP Pematang Siantar berdiri sejak tahun 1926, dimana LP tersebut merupakan penjara peninggalan dari Kolonial Belanda yang sebelumnya beralamat dijalan Sutomo kota Pematang Siantar. Seiring dengan perkembangan kota Pematang Siantar, maka sejak tahun 1982 LP tersebut dipindahkan kejalan Asahan Km. VII No.8 (tempat LP pada saat ini berada), di atas areal tanah seluas 7,08 ha dengan luas bangunan 28.845 meter persegi dan dioperasikan sejak tahun 1988. Pemindahan penjara dari jalan dari jalan Sutomo ke jalan Asahan didasari oleh adanya tuntutan pengelolaan tata ruang kota yang tidak memungkinkan menempatkan LP tepat berada dipusat kota, sehingga dibutuhkan pemindahan lokasi (relokasi).

Lembaga permasyarakatan merupakan sebuah konsep inovasi dari sebuah sistem pemidanaan yang dulu akrab kita kenal dengan istilah penjara, konsep kelembagaan permasyarakatan menjadi lebih jelas sejak tahun 1963, setelah DR Sahardjo S.H mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan di Lembang Bandung, bahwa tujuan pemidanaan adalah permasyarakatan, dimana mereka yang menjadi warga binaan bukan lagi dibuat jera, namun dibina dan kemudian dimasyarakatkan. LP merupakan pelaksana teknis yang berada dibawah direktorat

(41)

Jenderal Permasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Orang yang tinggal di dalam lembaga permasyarakatan disebut Narapidana (napi) atau Warga Binaan Permasyarakatan (WBP). Petugas yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di LP disebut petugas permasyarakatan atau yang dahulu dikenal dengan istilah sipir penjara.

4.1.2 Letak Dan Kondisi Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar

Lembaga permasyarakatan kelas II/A Pematang Siantar merupakan lembaga pembinaan warga binaan dengan tekstur bangunan yang terbuat dari beton. LP tersebut terletak diatas areal tanah seluas 7,08 ha dengan luas bangunan 28.845 meter persegi. Kondisi bangunan pada saat ini tergolong baik namun diperlukan rehab dan penambahan blok hunian melihat jumlah penghuni yang melebihi kapasitas..

Tabel 4.1: Jarak Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar Dengan Instansi Terkait

Jarak Lembaga Permasyarakatan Dengan Instansi Terkait.

Polres Simalungun ± 6 KM

Polres Pematang Siantar ± 7 KM

Kejaksaan Negeri Simalungun ± 3 KM

Kejaksaan Negeri Pematang Siantar ± 7 KM

Pengadilan Negeri Simalungun ± 3 KM

Pengadilan Negeri Pematang Siantar ± 7 KM

RSUD Djasarmen Saragih ± 6 KM

Sumb: Format profil Lapas KELAS II/A Pematang Siantar

Berdasarkan tabel 4.1, LP Kelas II/A Pematang Siantar yang berlokasi di jalan Asahan Km. VII No.8 berjarak 6 kilo meter dari Polres Simalungun dan

(42)

RSUD Djasarmen Saragih dan berada 7 kilo meter dari Polres Pematang Siantar, Kejaksaan Negeri Pematang Siantar dan pengadilan Negeri Pematang Siantar, sedangkan Kejaksaan Negeri Simalungun dan Pengadilan Negeri Simalungun dapat ditempuh sejauh 3 kilo meter menuju kearah pusat kota Pematang Siantar.

Kondisi hunian di dalam LP Kelas II/A Pematang Siantar, terdiri atas 10 perkampungan (blok) warga binaan yaitu: perkampungan Dr. Ir Soekarno, perkampungan Jenderal Raden Sudirman, perkampungan Tuanku Iman Bonjol, kampung Sisingamangaraja, kampung pengasingan, kampung Sahardjo, Raden Ajeng Kartini, Drs Mhd Hatta (Tipikor), kampung AA, Kampung BB. Terdapat 1 ruangan poliklinik dengan kapasitas 3 orang, 2 kamar straff cell (register F) atau ruang isolasi dengan kapasitas 1 orang. Fasilitas yang terdapat didalam LP yaitu:

1 unit Gereja, 1 unit Musholah, 1 unit ruang bertamu bagi wargabinaan, 3 unit aula, 4 unit menara penjagaan dan 3 unit pos penjagaan serta perkantoran LP Kelas II/A Pematang Siantar. Sementara diluar bangunan, pada sisi sebelah kiri dan kanan terdapat lahan pertanian yang digunakan oleh petugas permasyarakatan dalam pelatihan dan pembinaan keterampilan bertani warga binaan, dihalaman belakang terdapat 10 unit perumahan yang diperuntukkan bagi petugas permasyarakatan, sementara dihalaman depan terdapat ruang pendaftaran bertamu/ruang tunggu, parkiran dan rumah dinas Kepala Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar dan pekarangan taman Lapas.

(43)

Gambar 4.1: Sketsa Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar

Sumber data: Format Profil Lembaga Permasyarakatan KELAS II/A Pematang Siantar

Secara keseluruhan, wargabinaan LP kelas II/A Pematang Siantar terhimpun di dalam 91 kamar tahanan (selanjutnya di tulis sel), dimana pada perkampungan Dr. Ir Soekarno terdapat 20 sel, perkampungan Jenderal Raden Sudirman terdapat 8 sel, perkampungan Tuanku Iman Bonjol terdapat 8 sel, kampung Sisingamangaraja terdapat 12 sel, kampung pengasingan diisi 6 sel, pada perkampung Sahardjo terdapat 15 sell, Raden Ajeng Kartini dilengkapi dengan 7 kamar hunian, Drs Mhd Hatta (Tipikor) 1 sel, kampung AA terdiri dari 7 kamar wargabinaan dan Kampung BB dilengkapi dengan 7 sel narapidana. Berdasarkan kapasitas daya tampung sel, kita akan menemukan sel tahanan dengan kapasitas 1 orang sebanyak 23 sel, dengan kapasitas 5 orang terdapat 8 sel, daya tampung dengan kapasitas 6 orang terdapat 2 sel, daya tampung 7 orang terdapat sebanyak 17 sel, kamar warga binaan dengan kapasitas 9 orang terdapat 17 sel, ruangan dengan kapasitas daya tampung 11 orang terdapat sebanyak 2 sel dan 2 sel dengan kapasitas 13 orang serta 20 sel dengan kekuatan daya tampung 15 per sel. Maka

(44)

berdasarkan kapasitas daya tampung sel tersebut, LP Kelas II/A Pematang Siantar memiliki kapasitas daya tampung sebanyak 695 orang.

Tabel 4.2: Jumlah Kamar Warga Binaan Berdasarkan Kapasitas Daya Tampung Kamar

N O

Nama Kamar/Unit Kapasitas Kamar/ Jiwa

01 05 06 07 09 11 13 15 30

I Dr. Ir Soekarno 12 8 1

II Jenderal Raden Sudirman 8 1

III Tuanku Iman Bonjol 8 1

IV Sisingamangaraja 6 3 3

V Pengasingan 6

VI Sahardjo 10 2 2 1

VI I

Raden Ajeng Kartini (wanita)

5 2

VI II

Drs, H. Mhd Hatta (Tipikor) 1

IX Kampung AA 7

X Kampung BB 7

Total Kamar 23 8 2 17 17 2 2 20 3

Sumber : daftar isi penghuni lembaga permasyarakatan KELAS II/A Pematang Siantar, Jumat 02 November 2018

4.1.3 Kondisi Demografi Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar

Kondisi dan keadaan jumlah petugas permasyarakatan pada saat inisangat berbanding terbalik dengan kondisi jumlah petugas pada tahun 2016 (dapat dilihat pada tabel 4.3), dimana kondisi jumlah petugas permasyarakatan LP Kelas II/A Pematang Siantar meningkat signifikan, peningkatan jumlah tersebut baru terjadi pada satu tahun terakhir (tahun 2018). Terdapat 156 pegawai permasyaraktan yang terdiri dari 22 orang pegawai staf, 14 orang pejabat struktural, dan 42 orang petugas pengamanan serta 78 orang pegawai. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ka. KPLP (Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Permasyarakatan) Sahat Bangun A.Md, Ip, SH, satu tahun sebelumnya hanya terdapat 5 orang petugas

(45)

pada blok setiap hari, artinya hanya 5 orang saja yang mengawasi ribuan warga binaan, namun setelah adanya penerimaan pegawai baru yaitu yang dilaksanakan melalui tes CPNS 2016 yang dilakukan oleh KEMENKUHAM, barulah terjadi penambahan kekuatan petugas permasyarakatan secara signifikan.

Tabel 4.3: Jumlah Petugas Permasyarakatan Pada Lembaga Permasyarakatan KELAS II/A Pematang Siantar

Petugas Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar

Pegawai staf 22 Orang

Pejabat Struktural 14 Orang

Petugas pengamanan 42 Orang

Pegawai 78 Orang

Total Jumlah Pegawai 156 Orang

Sumber : Format profil Lembaga Permasyarakatan KELAS II/A Pematang Siantar Jumlah warga binaan permasyarakatan lapas Kelas II/A Pematang Siantar pada saat ini dihuni oleh 2.458 jiwa dapat kita lihat pada tabel 4.4, dijelaskan bahwa penghuninya terdiri dari warga binaan sebanyak 1.337 jiwa dan tahanan sebanyak 1.121 jiwa. Warga binaan terdiri dari satu orang kasus terorisme, satu orang penjualan manusia (tracfiking), satu orang warga binaan dengan kasus penggelapan dan penipuan cukai, dan 2 orang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta 7 orang tindak pidana korupsi (tipikor). Sementara itu, penyumbang terbanyak wargabinaan berasal dari kasus Narkotika yaitu sebanyak 77% dari keseluruhan jumlah warga binaan atau sebanyak 1.027 jiwa, diikuti dengan kasus pencurian yang menjadi penyumbang terbanyak kedua setelah narkotika sebesar 14,36% yaitu 192 jiwa. Kasus lainnya penyumbang tingginya jumlah warga binaan pada LP Kelas II/A Pematang Siantar adalah kasus pelanggaran hukum perlindungan anak sebesar 4,86% yaitu sebanyak 65 jiwa, pelanggaran hukum penganiayaan 2,01% atau 27 jiwa dan pelanggaran hukum perjudian sebesar 1,04% atau sebanyak 14 jiwa.

(46)

Tabel 4.4: Jumlah Penghuni Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar Berdasarkan Kasus

Komposisi penghuni Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang Siantar Kasus Narapidana Persentase

%

Tahanan Persentase

%

Terorisme 1 0,07 - -

Perlindungan anak 65 4,86 27 2,46

Tracfiking/penjualan manusia

1 0,07 2 0,17

Tipikor 7 0,52 1 0,08

Penyalahgunaan Narkotika

1.027 77,00 900 80,28

Pencurian 192 14,36 108 9,63

KDRT 2 0.14 2 0,17

Kehutanan - - 2 0,17

Cukai 1 0,07 - -

Penganiayaan 27 2.01 37 3,30

Judi 14 1.04 42 3,74

Jumlah 1.337 100 % 1.121 100 %

Jumlah total 2.458

Sumber : observasi dan data isi penghuni lembaga permasyarakatan KELAS II/A Pematang Siantar, November 2018

Tingginya jumlah penghuni LP Kelas II/A Pematang Siantar juga tidak terlepas dari banyaknya tahanan yang masih menunggu proses hukum serta putusan pengadilan/vonis. Tahanan yang terdapat pada LP tertanggal 01 november 2018 sebanyak 1.121 jiwa, dimana 80,28% dari keseluruh jumlah tahanan berasal dari kasus penyalahgunaan narkotika, yaitu sebanyak 900 jiwa. Kasus lain penyumbang tingginya jumlah tahanan juga diikuti oleh kasus pencurian yang menyumbang 9,63% dari keseluruhan tahanan atau sebanyak 108 jiwa, diikuti oleh kasus perjudian sebanyak 42 jiwa atau 3,74%, kasus penganiayaan sebesar 3,30% dan kasus perlindungan anak sebanyak 27 orang mewakili 2,46% dari keseluruhan jumlah tahanan. Kasus tahanan lainnya adalah kasus penjualan manusia (trackfiking) sebanyak 2 orang, kasus kekerasan dalam rumah tangga

(47)

sebanyak 2 orang, kasus kehutanan (ilegal logging) sebanyak 2 orang serta kasus tindak pidana korupsi yang masih menunggu proses hukum sebanyak 1 orang.

4.1.4 Aktivitas Warga Binaan Di Dalam Penjara

Sehari-harinya, warga binaan berada di dalam LP dan melakukan segala aktivitas di dalam LP. Di mulai dari kegiatan pada pukul 06.00 WIB sebagaimana yang diuraikan pada tabel 4.5, warga binaan bangun pagi dan mempersiapkan diri di dalam kamar masing-masing, lalu pada pukul 07.30 wib warga binaan akan makan pagi. Makan pagi warga binaan dilaksanakan di dalam sel masing-masing dengan kondisi kamar terkunci, di mana petugas yang terhimpun dalam tamping (tenaga pendamping) dapur yang berperan melayani makanan kepada seluruh warga binaan.

Tabel 4.5: Jadwal Kegiatan Warga Binaan Dalam Satu Hari

No Pukul Kegiatan Warga Binaan

1 06.00- 07.30

Bangun pagi 2 07.30-

08.00

Makan pagi

3 08.00 Buka kereng (kamar narapidana) 4 08.00-

10.00

Kebersihan, olahraga dan upacara serta kegiatan pribadi lainnya

5 11.30 Melakukan kegiatan masing-masing seperti bertenun, ibadah atau kegiatan pakarya lainnya

6 12.00- 13.00

Makan siang warga binaan 7 13.30-

16.00

Warga binaan menerima kunjungan 8 16.00-

17.30

Mandi dan bersihkan diri

9 17.30 Wajib masuk kereng (masuk kedalam penjara) 10 17.30 Makan malam

11 18.00- Aktivitas sendiri di dalam kamar

Sumber : observasi lapangan oktober-november pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II/A Pematang siantar

Referensi

Dokumen terkait

peneliti menyimpulkan bahwa ketika lansia melakukan gerakan Latihan gerak sendi lutut secara bertahap maka akan berdampak pada penurunan nyeri sendi dikarenakan

 Mendiskusikan informasi yang diperolah dari berbagai sumber tentang dampak persatuan dan kesatuan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kerja sama dan percaya diri.

[r]

[r]

[r]

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk pertunjukan Kesenian Dames Group Laras Budaya di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, serta

Dari hasil koefisien determinasi diperoleh nilai Adjusted R Square (R 2 ) sebesar 0,293 hal ini berarti 40,6% variabel kinerja karyawan dapat dijelaskan oleh variabel disiplin

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah bahan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi