• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN SUNGAI SEBAGAI SUMBER DAYA ALAM MILIK BERSAMA DAN KEARIFAN LOKAL SUNGAI ALAS

SUNGAI ALAS

IV.4. Muatan Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Sungai Alas

IV.4.2. Jenis-jenis Kearifan Lokal

Pada masyarakat Aceh Tenggra terdapat beberapa kearifan lokal/tradisi yang masih dijalankan suku Alas ini, kearifan lokal tersebut ada beberapa macam. Kearifan lokal ini terkait dengan ekonomi, keamanan, keagamaan, syukuran, silaturahmi dan sebagainya. Kearifan ini berupa cerita, mitos, legenda, kejadian alam, dongeng dan juga hikayat. Dalam hal ini tradisi yang akan dibicarakan terutama tradisi yang bersentuhan dan turun langsung ke Sungai Alas. Adapun kearifan lokal yang masih dapat peneliti data adalah:

1.)Meugang adalah serangkaian kegiatan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan bagi umat Islam, dimana masyrakat Aceh Tenggara mayoritas terdiri dari agama Islam, sudah barang tentu tradisi ini disambut dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh walau tidak secara besar-besaran dan meriah, seperti acara rakyat kebanyakan di penjuru negeri ini. Meugang diisi dengan berbagai kegiatan, diantaranya diawali dengan masyarakat yang menjalankan tradisi memasak lemang. Menjelang Ramadhan atau Idul Adha, masyarakat Aceh Tenggara biasanya tidak lupa dengan persiapan untuk menjalankan tradisi memasak lemang. Hal tersebut mereka lakukan tiga kali dalam setahun, yaitu setiap memperingati dan menyambut Ramadhan, Idul Adha dan Maulid Nabi Muhamad SAW. Selain sebagai teradisi dari leluhur, masyarakat suku Alas juga percaya bahwa dengan memasak lemang dapat mempererat Ukhuwah Islamiah (tali persaudaraan) di antara mereka. Seperti yang dikatakan Salihin (Pria/35 Tahun):

“bakar lemang tradisi dari zaman dulu, dari zaman nenek moyang kami udah ada. Bakar lemang terus kita antarkan ke tempat sodara bisa mempererat tali persaudaraan kita semua disini.”

Tradisi perayaan hari besar Islam dengan cara memasak (membakar) lemang merupakan tradisi dari sang leluhur dan tradisi tersebut juga berfungsi untuk mempererat hubungan sesama saudara. Mempererat tali persaudaraan dengan cara, mereka yang berkunjung ke tempat saudaranya akan membawa lemang sebagai buah tangan (oleh-oleh) saat bertamu dan saat sang tamu pulang, tuan rumah juga akan memberikannya untuk dibawa tamu pulang.

Selain masak lemang, masyarakat juga sengaja memasak makanan yang lebih istimewa dari hari biasanya, seperti memotong ayam, memasak daging dan masakan ini juga ikut diantarkan bersama lemang tersebut untuk kerabat mereka. Setelah acara silahturahmi dengan memberi makanan dengan kerabat mereka tersebut. Masyarakat akan turun ke Sungai Alas untuk mandi dan membersihkan diri dengan bunga-bunga khusus dan jeruk purut, tidak lupa membawa lemang beserta daging yang telah mereka persiapkan untuk disantap di tepi Sungai Alas. Pemuda setempat juga biasanya ikut larut dalam kegiatan Meugang dengan cara bakar (Manggang, dalam bahasa setempat-Red) ikan atau ayam di pinggir Sungai Alas. Seperti yang dipaparkan Wandi Selian (Pria/25 Tahun):

“Pada saat perayaan bersama teman-teman masing-masing kita

bawa lemang yang sudah matang yang agak hangus-hangus sedikit dibawa ke Lawe Alas sambil membawa Jala utk menangkap Ikan di Lawe alas itu. Tangkapan lumayan banyak dan dibakar dan setelah itu Lemang dimakan dengan Ikan bakar tersebut dan rasanya U..wenak Tenaannnn, sambil memandang Cewek-cewek yang sedang nyuci diseberang, sungguh kenangan yang tak terlupakan.

Begitulah cara masyarakat Aceh Tenggara dalam menyambut hari besar keagamaan yang sedikit banyak ikut memanfaatkan Sungai Alas. Selain yang bersangkutan dengan keagamaan ada juga upaya dari masyrakat setempat untuk menjalankan tradisi mereka terkait Sungai Alas.

2.) Bacakan Nakan, yang dalam bahasa setempat berarti membacakan makanan atau nasi. Nakan berarti nasi dalam bahasa penduduk setempat. Nasinya adalah nasi kuning dengan kunyit dan diberi ayam panggang. Tapi tidak selalu dan harus seperti ini dalam prosesi Bacakan Nakan ini, semua lebih berdasar pada maksud dan tujuan kegiatan, apabila dana untuk itu kurang memamadai, biasanya masyarakat akan membuatnya seadanya saja. Kegiatan ini seperti syukuran atau kenduri yang disertai doa-doa kepada Tuhan untuk menolak bala. Dengan waktu yang tentative, tidak ditentukan kapan ritual ini dilakukan, biasanya apabila dianggap perlu saja. Seperti seusai terjadi banjir yang meninmpa kampung mereka, masyarakat sekitar merasa perlu untuk melaksanakan ritual Bacakan Nakan dengan swadaya bersama untuk terlaksananya kegiatan tersebut.

3.) Tawar Sejuk sama halnya dengan Bacakan Nakan, disini tawar sejuk lebih mengarah kepada arti pendinginan suasana yang sedang tidak baik, dimana suapaya tidak ada perkelahian antar pemuda dikampung tersebut denganmembacakan doa bersama suapaya rukun damai, tidak panas kampung tersebut baik dari gangguan masyrakat sendiri maupun makhluk-makhluk halus, dimana dilaksanakanlah acara tawar sejuk ini dengan tokoh-tokoh masyarakatnya yang ditawari.

4.) Sungai Alas juga menurut cerita masyrakat sekitar memiliki hawa mistik, jika tidak berhati-hati dan berbicara tidak baik di sekitar sungai bukan tidak mungkin penunggu sungai tidak senang. Setiap tahunnya juga Sungai Alas ini memakan korban jiwa.

5.) Sebuah lokasi yang bernama Naga Kesiangan, di percaya masyrakat sekitar sebagai tempat bersemedinya seekor naga untuk menjaga Sungai Alas. Pada zaman dahulu menurut kepercayaan masyarakat sekitar Naga Kesiangan dengans setia menunggui sungai ini dan Naga Kesiangan akan marah dan bagun dari tidurnya apabila ada orang-orang yang berbuat tidak baik di sekitar Sungai Alas.

Mandi Meugang. Menyambut bulan suci ramadhan atau hari besar keagamaan, masyarakat melakukan tradisi atau ritual Mandi Meugang di Sungai Alas (Foto: Sidriani Handayani)

Makan di Pinggir Sungai, merupakan rangkaian dari tradisi mandi Meugang, dimana makanan yang dibawa merupakan makanan yang istimewa dari hari biasa dikarenakan menyambut hari besar keagamaan. (Foto:Sidriani Handayani)

Panggang Ayam di Pinggir Sungai. Dalam tradisi dan ritual Meugang ada sebuah kebiasaan masyarakat setempat untuk memanggang ayam ataupun ikan yang akan disantap di tepi Sungai Alas. (Foto: Sidriani Handayani )

Ritual-ritual ini dilakukan pada saat masyarakat mengiginkan sesuatu atau meminta permohonan. Seperti permohonan tolak bala agar tidak banjir dan longsor, kedamaian dan kesejukan sesama warga, agar tidak diusik makhluk halus yang mungkin datang dari Sungai atau Gunung, memohon keberkahan dan rejeki, pada saat kemarau panjang dan ingin meminta hujan, dan upacara-upacara lainnya yang terkait dengan alam

IV .4. 3. Kearifan Lokal yang Masih Bertahan dan yang Sudah Hilang

Saat ini kearifan lokal yang masih bertahan tidak begitu banyak. Namun demikan kenyakinan masyarakat di dalam kepercayaan terhadap hal yang gaib masih ada. Saat ini kearifan yang masih bertahan antara lain; Meugang,Tawar

Sejuk, Bacakan Nakan, dan pantangan berbicara kotor. Dari beberapa kearifan

lokal yang masih bertahan, terdapat juga kearifan lokal yang mulai hilang. Masyarat Ketambe hanya sebagian kecil yang masih menyakininya. Kearifan yang dimaksud adalah sesajian yang dilempar ke Sungai Alas, hal ini hilang dikarenakan tuntutan zaman dan sulitnya kehidupan, dimana melempar sesajian tersebut membutuhkan biaya. Akan tetapi ada juga dari kearifan lokal masyarat Ketambe yang tidak diyakini oleh masyarakat penganutnya. Artinya kearifan lokal tersebut sudah menghilang dari kehidupan masyarakat Ketambe. Kearifan tersebut antara lain adalah Lagenda Naga Kesiangan, yang menurut cerita masyarakat setempat Seekor Naga yang ingin turun ke Sungai Alas, tapi ia turun dari gunung sudah menjelang fajar, hingga ia disebut Naga Kesiangan. Cerita lain tentang kepercayaan masyarakat setempat adalah Lagenda Bru Dihe dan Bru Dinam

dimana Sungai Alas menjadi tempat mereka bertemu. Bru Dihe dan Bru Dinam merupakan lagenda kisah cinta masyarakat Aceh Tenggara pada zaman dahulu.

Adanya ritual yang sudah mulai hilang ini tidak lagi dijalankan dan ritual ini telah ditinggakan oleh masyarakat. Adapun faktor hilangnya ritual tersebut adalah:

1.) Semakin majunya zaman.

2.) Sarana komunikasi, media eletronik dan cetak sebagai saran informasi. yang semakin pesat sehingga membuat masyarakat Ketambe tidak begitu percaya lagi dengan hal-hal keramat.

3.) Semakin banyak pengaruh agama dalam pengetahuan masyarakat sehingga banyak yang meninggalkan ritual tersebut.

4.) Karena kesibukan ekonomi dalam mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk melakukan ritual tersebut.

5.) Bergantinya generasi yang kurang memperhatikan acara ritual seperti itu. Kurang perhatian generasi muda dalam hal acara adat karena kurangnya sosialisasi orang-orang tua terhadapat anaknya. Hal ini tentunya disebabkan dari faktor orang tua dan anak itu sendiri. Dari faktor orang tua misalnya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk bercerita dengan anak-anak mereka. Dari faktor anak-anak yang tidak tertarik dan memperdulikan kegiatan adat atau ritual.

BAB V

Dokumen terkait