• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

2.3 Korosi

2.3.1 Jenis-jenis Korosi

Jenis jenis korosi pada logam bisa bermacam-macam tergantung dari faktor-faktor berikut yaitu lingkungan, jenis logam, bentuk bendanya, kehalusan permukaan bendanya dan lain-lain. Pada gambar 2.10 menunjukan jenis-jenis korosi.

1. Uniform Attack (Korosi Merata)

Uniform Attack (Korosi Merata) adalah korosi yang terjadi pada permukaan logam akibat reaksi kimia karena pH air yang rendah dan udara yang lembab, sehingga makin lama logam makin menipis. Biasanya ini terjadi pada pelat baja atau profil, logam homogen seperti pada Gambar 2.2.

Korosi jenis ini bisa dicegah dengan cara:

a. Diberi lapis lindung yang mengandung inhibitor seperti gemuk.

b. Untuk jangka pemakain yang lebih lama disarankan diberi logam berpaduan tembaga 0,4%,

c. Dengan melakukan pelapisan dengan cat atau dengan material yang lebih anodicc. Melakukan inhibitas dan proteksi katodik (cathodik protection)

Gambar 2.2 Contoh korosi merata

(Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

2. Pitting corrosion (Korosi Sumur)

Korosi sumuran pada westafle seperti Gambar 2.3 adalah korosi lokal dari permukaan logam yang dibatasi pada satu titik atau area kecil, dan membentukn bentuk rongga. Korosi sumuran adalah salah satu bentuk yang paling merusak dari korosi, karena sulit terlihat Kerusakannya jika tanpa alat bantu.

Mekanisme Korosi Sumur: Untuk material bebas cacat, korosi sumuran disebabkan oleh lingkungan kimia yang mungkin berisi spesies unsur kimia agresif seperti klorida. Klorida sangat merusak lapisan pasif (oksida) sehingga

pitting dapat terjadi pada dudukan oksida. Lingkungan juga dapat mengatur perbedaan sel aerasi (tetesan air pada permukaan baja, misalnya) dan pitting dapat dimulai di lokasi anodik (pusat tetesan air).

Gambar 2.3 Korosi sumuran pada westafle (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

3. Errosion Corrosion (korosi erosi)

Korosi yang terjadi karena keausan dan menimbulkan bagian-bagian yang tajam dan kasar, bagian–bagian inilah yang mudah terjadi korosi dan juga diakibatkan karena fluida yang sangat deras dan dapat mengkikis film pelindung pada logam. Korosi ini biasanya terjadi pada pipa dan propeller seperti Gambar2.4.

Gambar 2.4 Sebuah blade akibat korosi erosi (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

4. Galvanis corrosion (korosi galvanis)

Gambar 2.5 Galvanic atau bimetalic corrosion adalah jenis korosi yang terjadi ketika dua macam logam yang berbeda berkontak secara langsung dalam media korosif. Mekanisme korosi galvanik: korosi ini terjadi karena proses elektro kimiawi dua macam metal yang berbeda potensial dihubungkan langsung di dalam elektrolitsama. Dimana electron mengalir dari metal kurang mulia (Anodik) menuju metal yang lebih mulia (Katodik), akibatnya metal yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan electron.

Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion negatif yang berada di dalam elektrolit menjadi garam metal. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda kehilangan metal sehingga terbentuklah sumur–sumur karat (Surface Attack) atau serangan karat permukaan.

Gambar 2.5 Korosi Galvanic pada Sambungan Baut (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 5. Stress corrosion (korosi tegangan)

Logam korosi retak tegangan (SCC) seperti Gambar 2.6 adalah proses retak yang memerlukan aksi secara bersamaan dari bahan perusak (karat) dan berkelanjutan dengan tegangan tarik. Initidak termasuk pengurangan bagian yang terkorosi akibat gagal oleh patahan cepat. Hal ini juga termasuk intercrystalline atau transkristalin korosi, yang dapatmenghancurkan paduan

tanpa tegangan yang diberkan atau tegangan sisa. Retak korosi tegangan dapat terjadi dalam kombinasi dengan penggetasan hidrogen.

Mekanisme SCC: terjadi akibat adanya hubungan dari 3 faktor komponen, yaitu:

a. Bahan rentan terhadap korosi.

b. Adanya larutan elektrolit (lingkungan).

c. Adanya tegangan. Sebagai contoh, tembaga dan paduan rentan terhadap senyawa amonia, baja ringan rentan terhadap larutan alkali dan baja tahan karat rentan terhadap klorida.

Gambar 2.6 Korosi SCC pada sebuah logam (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 6. Crevice corrosion (korosi celah)

Korosi celah (Crecive Corrosion) ialah sel korosi yang diakibatkan oleh perbedaan konsentrasi zat asam. Korosi yang terjadi pada Gambar 2.7 logam yang berdempetan dengan logam lain diantaranya ada celah yang dapat menahan kotoran dan air sehingga kosentrasi O2 pada mulut kaya dibanding pada bagian dalam, sehingga bagian dalam lebih anodic dan bagian mulut jadi katodik.

Mekanisme Crevice Corrosion: dimulai oleh perbedaan konsentrasi beberapa kandungan kimia, biasanya oksigen, yang membentuk konsentrasi sel elektrokimia (perbedaan sel aerasi dalam kasus oksigen). Di luar dari celah (katoda), kandungan oksigen dan pH lebih tinggi-tetapi klorida lebih rendah.

Gambar 2.7 Korosi celah pada sambungan pipa (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 7. Korosi mikrobiologi

Gambar 2.8 adalah korosi yang terjadi karena mikroba Mikroorganisme yang mempengaruhi korosi antara lain bakteri, jamur, alga dan protozoa.

Korosi ini bertanggung jawab terhadap degradasi material di lingkungan.

Pengaruh inisiasi atau laju korosi di suatu area, mikroorganisme umumnya berhubungan dengan permukaan korosi kemudian menempel pada permukaan logam dalam bentuk lapisan tipis atau biodeposit. Lapisan film tipis atau biofilm. Pembentukan lapisan tipis saat 2–4 jam pencelupan sehingga membentuk lapisanini terlihat hanya bintik-bintik dibandingkan menyeluruh di permukaan.

Gambar 2.8 Korosi mikrobiologi

(Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

8. Fatigue corrosion (korosi lelah)

Korosi ini terjadi karena logam mendapatkan beban siklus yang terus berulang sehingga smakin lama logam akan mengalami patah karena terjadi kelelahan logam seperti Gambar 2.9. Korosi ini biasanya terjadi pada turbin uap, pengeboran minyak dan propeller kapal.

Gambar 2.9 Fatigue corrosion (korosi lelah) (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 2.3.2 Laju Korosi

Laju korosi adalah kecepatan rambatan atau kecepatan penurunan kualitas bahan terhadap waktu. Menurut American Standart Testing and Material (ASTM) dalam menghitung hasil yang didapatkan setelah proses korosi selesai perlu digunakan rumus. Berikut rumus yang digunakan dalam menghitung laju korosi:

𝐶𝑃𝑅 (Corrosion Rate )

=

𝐴×𝑇×𝜌𝐾×𝑊 mdd (2-1) Keterangan:

K = Konstanta 2,40 x 106 x D W = Selisih berat (g)

A = Area (cm²) T = Waktu (hours)

ρ

= Densitas baja karbon 7,86 (g/cm3)

2.3.3 Faktor–Faktor Laju Korosi

Berbagai factor lingkungan yang dapat memengaruhi proses korosi antara lain, yaitu:

1. Suhu

Suhu merupakan faktor penting dalam proses terjadinya korosi, dimana kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya kecepatan reaksi korosi. Hal ini terjadi karena makin tinggi suhu maka energi kinetik dari partikel-partikel yang bereaksi akan meningkat sehingga melampaui besarnya harga energi aktivasi dan akibatnya laju kecepatan reaksi (korosi) juga akan makin cepat, begitu juga sebaliknya (Fogler, 1992).

2. Kecepatan Alir Fluida atau Kecepatan Pengadukan

Laju korosi cenderung bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara zat pereaksi dan logam akan semakin besar sehingga ion-ion logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan korosi (Krik Othmer, 1965).

3. Konsentrasi Bahan Korosif

Hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam dimana logam yang berada didalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat menyebabkan korosi pada reaksi katodanya karena reaksi katoda selalu serentak dengan reaksi anoda (Djaprie, 1995).

4. Oksigen

Adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan dengan permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi lebih besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan korosi (Djaprie, 1995).

2.4 Uji Tarik

Pengujian tarik yaitu pengujian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang sifat-sifat dan keadaan dari suatu logam. Pengujian tarik

dilakukan dengan penambahan beban secara perlahan-lahan, kemudian akan terjadi pertambahan panjang yang sebanding dengan gaya yang bekerja.

Kesebandingan ini terus berlanjut sampai bahan sampai titik propotionality limit. Setelah itu pertambahan panjang yang terjadi sebagai akibat penambahan beban tidak lagi berbanding lurus, pertambahan beban yang sama akan menghasilkan penambahan panjang yang lebih besar dan suatu saat terjadi penambahan panjang tanpa ada penambahan beban, batang uji bertambah panjang dengan sendirinya. Hal ini dikatakan batang uji mengalami yield (luluh). Keadaan ini hanya berlangsung sesaat dan setelah itu akan naik lagi.

Kenaikan beban ini akan berlangsung sampai mencapai maksimum, untuk batang yang ulet beban mesin tarik akan turun lagi sampai akhirnya putus. Pada saat beban mencapai maksimum, batang uji mengalami pengecilan penampang setempat (local necting) dan penambahan panjang terjadi hanya disekitar necking tersebut. Pada batang getas tidak terjadi necking dan batang akan putus pada saat beban maksimum.

Gambar 2.10 Skema peralatan yang digunakan dalam uji Tarik

(Sumber: Jurnal J-Ensitec: Vol 03|No. 01, November 2016)

Dari Gambar 2.10 dapat dilihat beberapa komponen utama yang terdapat pada mesin uji tarik. Komponen utama tersebut terdiri dari alat pencatat gaya (load cell), alat pencatat pertammaterial panjang Spesmen (extensometer), batang penarik (moving crosshead), dan spesimen. Load cell digunakan untuk mencatat besarnya pembebanan (F) yang dialami oleh spesimen, sedangkan

extensometer digunakan untuk mencatat besarnya pertammaterial panjang (ΔL) yang terjadi pada spesimen. Hubungan antara gaya (F) terhadap pertammaterial panjang (ΔL) inilah yang nantinya akan dikonversikan ke dalam kurva tegangan (σ) terhadap regangan teknik (e).

Pengujian ini memiliki fungsi untuk mengetahui tingkat kekuatan suatu material dan untuk mengenali karakteristik pada material tersebut. Prinsipnya, uji tarik ini dilakukan menggunakan mesin yang dapat memberikan gaya tarik yang cukup kuat pada material dan juga memberikan cengkraman yang kencang sehingga material tidak terlepas ketika diberikan gaya tarik.

Ada banyak hal yang bisa didapatkan dari uji tarik, dengan memberikan gaya tarik pada material sampai putus maka semua susunan struktur material bisa diketahui dengan jelas sehingga dapat menentukan kualitas dari material tersebut.

2.4.1 Rumus Uji Tarik

Dalam menghitung hasil yang didapatkan setelah proses uji tarik selesai perlu digunakan rumus. Berikut rumus-rumus yang digunakan dalam metode uji tarik:

1. Kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength) 𝑈𝑇𝑆 =F Max

A (2-2)

2. Presentase perpanjangan (Elongation) Elongasi, ε(%) = [ (L𝑓−Lo)

Lo ] x 100% (2-3)

2.4.2 Kurva Tegangan-Regangan

Bentuk dan besaran pada kurva tegangan-regangan suatu logam tergantung pada komposisi, perlakukan panas, deformasi plastis yang pernah dialami, laju regangan, temperatur, dan keadaan tegangan yang menentukan selama pengujian. Parameter-parameter yang digunakan untuk menggambarkan kurva tegangan-regangan logam adalah kekuatan tarik, kekuatan luluh atau titik luluh, persen perpanjangan, dan pengurangan luas. Parameter pertama adalah

parameter kekuatan, sedangkan yang kedua menyatakan keuletan bahan. Pada Gambar 2.11 adalah contoh gambar diagram tegangan vs regangan.

Gambar 2.11 Diagram Tegangan vs Regangan (Sumber : George E. Dieter, hal 277)

1. Kelenturan (ductility)

Merupakan sifat mekanik bahan yang menunjukkan derajat deformasi plastis yang terjadi sebelum suatu bahan putus atau gagal pada uji tarik. Bahan disebut lentur (ductile) bila regangan plastis yang terjadi sebelum putus lebih dari 5%, bila kurang dari itu suatu bahan disebut getas (brittle).

2. Derajat kelentingan (resilience)

Derajat kelentingan didefinisikan sebagai kapasitas suatu bahan menyerap energi dalam fase perubahan elastis. Sering disebut dengan Modulus Kelentingan (Modulus of Resilience), dengan satuan strain energy per unit volume (Joule/m3 atau Pa).

3. Derajat ketangguhan (toughness)

Kapasitas suatu bahan menyerap energi dalam fase plastis sampai bahan tersebut putus. Sering disebut dengan Modulus Ketangguhan (modulus of toughness).

4. Pengerasan regang (strain hardening)

Sifat kebanyakan logam yang ditandai dengan naiknya nilai tegangan berbanding regangan setelah memasuki fase plastis.

5. Tegangan sejati, regangan sejati (true stress, true strain)

Dalam beberapa kasus definisi tegangan dan regangan seperti yang telah dibahas di atas tidak dapat dipakai. Untuk itu dipakai definisi tegangan dan regangan sejati, yaitu tegangan dan regangan berdasarkan luas penampang bahan secara real time.

2.5 Pengamatan Bentuk Patahan

Pengamatan ini mengamati bentuk patahan dari benda uji akibat pengujian tarik. Benda uji memperlihatkan beberapa jenis patahan yang berbeda-beda. Jenis perpatahan yang umum adalah patah getas dan patah ulet.

1. Perpatahan Ulet

Perpatahan ulet memberikan karakteristik berserabut dan gelap seperti pada Gambar 2.12 ditunjukkan tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sempel ji tarik, sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir dan terang seperti ditunjukkan pada Gambar 2.12.

Perpatahan ulet umumnya lebih dipilih karena bahan yang ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan. Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat streosacan macroscope.

Gambar 2.12 Tahapan Perpatahan Ulet Pada Sempel Uji Tarik (Sumber: Sriati Djaprie.Metalurgi Mekanik p.262 Edisi 3)

a. Penyempitan awal

b. Pembentukan rongga-rongga kecil

c. Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu retakan d. Perambatan retak

e. Perpatahan geser akhir pada sudut 45°

2. Perpatahan Getas

Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material

b. Perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-atom material.

c. Pada material lunak dengan butir kasar maka dapat dilihat pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dari daerah awal kegagalan.

d. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang mudah dibedakan.

e. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan bercahaya dan mulus.

Gambar 2.13 Patah Getas Pada Spesimen Uji Tarik (Sumber : Calister, 2007)

Sampel dari hasil uji Tarik dapat menampilkan beberapa patahan. Pada Gambar 2.14 adalah ilustrasi perpatahan pada hasil Uji Tarik.

Gambar 2.14 (a) bentuk patahan ulet, (b) bentuk patahan ulet setelah terjadi necking, (c) bentuk patahan getas tanpa terjadi deformasi plastis

(Sumber: Callister,2007)

2.6 Ujian Impak

Menurut George E Dieter (1988) uji impak digunakan dalam menentukan kecenderungan material untuk rapuh atau ulet berdasarkan sifat ketangguhannya.

Hasil uji impak juga tidak dapat membaca secara langsung kondisi perpatahan batang uji, sebab tidak dapat mengukur komponen gaya-gaya tegangan tiga dimensi yang terjadi pada batang uji. Hasil yang diperoleh dari pengujian impak ini, juga tidak ada persetujuan secara umum mengenai interpretasi atau pemanfaatannya. Sejumlah uji impak batang uji bertakik dengan berbagai desain telah dilakukan dalam menentukan perpatahan rapuh pada logam. Metode yang telah menjadi standar untuk uji impak ini ada 2, yaitu uji impak metode Charpy dan metode Izod.

Metode charpy banyak digunakan di Amerika Serikat, sedangkan metode izod lebih sering digunakan di sebagian besar dataran Inggris. Batang uji metode charpy memiliki spesifikasi, luas penampang 10 mm x 10 mm, takik berbentuk V. Proses pembebanan uji impak pada metode charpy dan metode izod dengan sudut 45°, kedalaman takik 2 mm dengan jari-jari dasar 0.25 mm. Batang uji charpy kemudian diletakkan horizontal pada batang penumpu dan diberi beban secara tiba-tiba di belakang sisi takik oleh pendulum berat berayun (kecepatan pembebanan ±5 m/s). Batang uji diberi energi untuk melengkung sampai kemudian patah pada laju regangan yang tinggi, kira-kira 103 detik−1. Batang uji izod, lebih banyak dipergunakan saat ini, memiliki luas penampang berbeda

dan takik berbentuk v yang lebih dekat pada ujung batang. Dua metode ini juga memiliki perbedaan pada proses pembebanan. (Dieter, George E., 1988)

Gambar 2.15 Ilustrasi skematis pengujian Impak

(Sumber: Jurnal Imiah Teknik Mesin, Vol. 1, No. 2, Agustus 2013, Universitas Islam 45, Bekasi)

Para peneliti kepatahan getas logam telah menggunakan berbagai bentuk benda uji untuk pengujian impak bertakik. Secara umum benda uji dikelompokkan kedalam dua golongan standar Antara lain:

1. Metoda Charpy

Pada metoda ini banyak digunakan di Amerika Serikat, dan merupakan cara pengujian dimana spesimen dipasang secara horizontal dengan kedua ujungnya berada pada tumpuan, sedangkan takikan pada spesimen diletakkan di tengah-tengah dengan arah pembebanan tepat diatas takikan. Pada metoda memiliki beberapa kelebihan seperti:

a. lebih mudah dipahami dan dilakukan

b. Menghasilkan tegangan uniform di sepanjang penampang c. Harga alat lebih murah

d. Waktu pengujian lebih singkat dan memiliki beberapa kekurangan seperti:

a. Hanya dapat dipasang pada posisi horizontal

b. Spesimen dapat bergeser dari tumpuannya karena tidak dicekam c. Pengujian hanya dapat dilakukan pada spesimen yang kecil d. Hasil pengujian kurang dapat atau tepat dimanfaatkan dalam

perancangan karena level tegangan yang diberikan tidak rata.

Gambar 2.16 Peletakan spesimen berdasarkan metoda charpy

(Sumber: Jurnal Imiah Teknik Mesin, Vol. 1, No. 2, Agustus 2013 , Universitas Islam 45, Bekasi)

2. Metoda Izood

Pada metoda ini banyak digunakan di Eropa terutama Inggris dan merupakan cara dimana Spesmen berada pada posisi vertical pada tumpuan dengan salah satu ujungnya dicekam dengan arah takikan pada arah gaya tumbukan. Tumbukan pada Spesmen dilakukan tidak tepat pada pusat takikan melainkan pada posisi agak diatas dari takikan.

Gambar 2.17 Peletakan spesimen berdasarkan metoda izood

(Sumber: Jurnal Imiah Teknik Mesin, Vol. 1, No. 2, Agustus 2013 , Universitas Islam 45, Bekasi)

Pada metoda memiliki beberapa kelebihan seperti:

a. Tumbukan tepat pada takikan karena benda kerja dicekam.

b. Dapat menggunakan spesimen dengan ukuran yang lebih besar.

c. Spesimen tidak mudah bergeser karena dicekam pada salah satu ujungnya.

dan memiliki beberapa kekurangan seperti:

a. Biaya pengujian yang lebih mahal.

b. Pembebanan yang dilakukan hanya pada satu ujungnya, sehingga hasil yang diperoleh kurang baik.

c. Waktu yang digunakan cukup banyak karena prosedur pengujiannya yang banyak, mulai dari menjepit benda kerja sampai tahap pengujian.

2.6.1 Prinsip Dasar Alat Uji Impak Charpy

Secara skematik alat uji impak charpy seperti gambar 2.18 dibawah ini:

Gambar 2.18 Ilustrasi Skematis Pengujian Impak

(Sumber: Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, Vol. 1, No. 2, Agustus 2013 , Universitas Islam 45, Bekasi)

Bila pendulum pada kedudukan h

ı

dilepaskan, maka akan mengayun sampai kedudukan fungsi akhir pada ketinggian h

yang juga hampir sama dengan tinggi semula h

ı

dimana pendulum mengayun bebas. Usaha yang

dilakukan pendulum waktu memukul benda uji atau energi yang diserap benda uji sampai patah didapat rumus yaitu:

𝑊 = 𝐺 × 𝑅 (cos 𝛽 − cos 𝛼) × 𝑔 joule

(2-4) 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑢𝑙𝑒𝑡𝑎𝑛 =

𝑊

𝐴 joule/𝑚𝑚2

(2-5)

Keterangan:

W= Tenaga Patahan (joule)

A = Luas Penampang Patahan (mm²)

G = Berat pendulum/masa dikalikan percepatan gravitasi (23,87 N) R = Panjang jari-jari/radius pendulum (0,674m)

α = Sudut ayun awal/sudut yang di bentuk pendulum tanpa beban (tanpa benda uji)

β = Sudut ayun akhir/sudut yang di bentuk setelah mematahkan benda uji g = Gravitasi bumi (9,8 m/s²)

2.7 Tinjauan Pustaka

Dalam jurnal yang disusun oleh Gunawan Dwi Haryadi (2006) yang berjudul “PENGARUH SUHU TEMPERING TERHADAP KEKERASAN, KEKUATAN TARIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA K-460” bahan yang di gunakan untuk penelitian adalah Baja K-460, Baja K-460 merupakan baja produk BOHLER, baja ini mengandung karbon (C)=0,95%, Mangan (Mn)=1%, Chrom (Cr)=0,5%, Vanadium (V)=0,1%, dan Wolfram (W)=0,5%.

Baja K-460 termasuk jenis baja karbon tinggi yaitu antara (0,70 < 0,95 < 1,40).

Baja ini digunakan untuk alat-alat perkakas potong karena kekerasannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kekerasan logam yaitu baja k-460. Baja k-460 mempunyai kekerasan yang tinggi dan diharapkan mempunyai keuletan. Dengan tempering baja akan menambah sifatsifatnya, seperti kekerasan, keuletan dan tegangan tariknya.

Hasil pengujian yang telah dilakukan setelah proses tempering dengan variasi suhu telah merubah kekerasannya. Kekerasan baja setelah pemanasan menurun ketika suhu tempering dinaikkan. Perubahan suhu tempering juga

mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Pada suhu 100°C kekuatan tarik maksimumnya 2014,8 Mpa, dan pada suhu 200°C, 300°C, dan 400°C masing-masing kekuatan tarik maksimumnya adalah 1671,1 Mpa, 1444,6 MPa dan 1023,3 MPa.

Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kekerasan, kekuatan tarik dan struktur mikro dipengaruhi oleh suhu tempering. Ketika suhu tempering dinaikkan kekerasan dan kekuatan tariknya akan menurun.

Penelitian dari Silvester Taufan Dwi Christiyanto (2017) yang berjudul

“PENGARUH LINGKUNGAN PANTAI TERHADAP LAJU KOROSI DAN SIFAT MEKANIK PADA BAJA KARBON SEDANG DENGAN PERLAKUAN PANAS QUENCHING DAN NORMALIZING” menyatakan bahwa ingin mengetahui laju korosi, kekuatan tarik dan struktur mikro baja dengan perlakuan panas quenching normalizing dan normalizing di lingkungan pantai.

Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan adalah baja karbon sedang dengan kadar karbon 0,65%. Proses terkorosinya spesimen dengan cara spesimen diletakkan pada lingkungan pantai setelah itu dilakukan pengambilan dan pengujian secara berkala 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa perhitungan laju korosi spesimen quenching normalizing dan spesimen normalizing yang terkorosi dibulan pertama sebesar 99,10 mdd (mg/mm²/day) dan nilai laju korosi dibulan keempat terkorosi sebesar 204,78 mdd. Spesimen quenching normalizing mengalami kenaikan nilai laju korosi sebesar 106,47%. Sedangkan nilai laju korosi pada spesimen normalizing yang terkorosi dibulan pertama terkorosi sebesar 105,41 mdd dan nilai laju korosi dibulan keempat terkorosi sebesar 213,10 mdd.

Spesimen normalizing mengalami kenaikan sebesar 102,16%. Hasil pengujian tarik untuk mengetahui kekuatan tarik maksimal spesimen quenching normalizing serta spesimen normalizing dengan media pendinginan oli memiliki fasa ferit (putih), perlit (hitam), bainit (keabu-abuan). Sedangkan spesimen normalizing memiliki fasa ferit (putih) dan perlit (hitam).

Dalam jurnal yang disusun oleh Sheng-Guan Qu, Ya-Long Zhang, Fu-Qiang Lai and Xiao-Fu-Qiang Li (2018) yang berjudul “EFFECT OF TEMPERING TEMPERATURES ON TENSILE PROPERTIES AND ROTARY BENDING FATIGUE BEHAVIORS OF 17CR2NI2MOVNB STEEL” Dengan pesatnya perkembangan industri otomotif di Cina, baja roda gigi umum tidak lagi memenuhi persyaratan kecepatan tinggi dan beban berat industri otomotif. Baja 17Cr2Ni2MoVNb adalah jenis baru dari baja roda gigi di industri otomotif, tetapi sifat mekanik 17Cr2Ni2MoVNb tidak terdokumentasi dengan baik. Dalam penelitian ini, sifat-sifat tarik dan perilaku kelengkungan rotari dari 17Cr2Ni2MoVNb diselidiki, (padam pada 860 _C dan tempered pada 180, 400, 620_C) struktur mikro dan permukaan fraktur dianalisis menggunakan mikroskop optik, pemindaian mikroskop elektron dan transmisi elektron.

mikroskopi. Hasilnya menunjukkan bahwa pada suhu temper yang lebih tinggi, jaringan lebih padat, dan residu austenit berubah menjadi bainit atau martensit yang lebih rendah. Kepadatan dislokasi berkurang sementara suhu temper meningkat. Selain itu, sampel dengan suhu temper 180_C menunjukkan kekuatan tarik tertinggi 1456 MPa, di samping batas kelelahan 730, 700 dan 600 MPa masing-masing pada suhu 180, 400, dan 620 _C.

Dalam jurnal yang disusun oleh R. Kumar, R. K. Behera, S. Sen yang berjudul “EFFECT OF TEMPERING TEMPERATURE AND TIME ON STRENGTH AND HARDNESS OF DUCTILE CAST IRON” Efek suhu dan waktu tempering pada sifat mekanik besi cor ulet diselidiki dalam penelitian ini.

Spesimen diestenitisasi pada 900°C selama 120 menit dan kemudian didinginkan dalam minyak mineral pada suhu kamar. Segera setelah quenching spesimen di-tempered pada suhu 400° C dan 200° C selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Pada kisaran suhu temper 200° C-400° C, tiba-tiba ada peningkatan kekuatan impak, keuletan dan ketangguhan material, karena suhu

Spesimen diestenitisasi pada 900°C selama 120 menit dan kemudian didinginkan dalam minyak mineral pada suhu kamar. Segera setelah quenching spesimen di-tempered pada suhu 400° C dan 200° C selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Pada kisaran suhu temper 200° C-400° C, tiba-tiba ada peningkatan kekuatan impak, keuletan dan ketangguhan material, karena suhu