• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui laju korosi, sifat mekanis, hasil uji tarik dan uji impak dari baja S45C yang mengalami perlakuan panas quenching tempering dengan suhu 600º C terhadap lingkungan pantai selama 45 hari sampai 90 hari.

Dapat diketahui bahwa proses perlakuan panas dapat mengembalikan karakteristik baja yang sudah rusak. Hal yang menjadikan permasalahan adalah:

1. Bagaimana hasil uji tarik pada baja S45C yang mendapat perlakuan panas quenching tempering suhu 600oC sebelum dan sesudah terkorosi dipantai.

2. Bagaimana hasil uji impak pada baja S45C yang mendapat perlakuan panas quenching tempering suhu 600oC sebelum dan sesudah terkorosi dipantai.

3. Seberapa tinggi laju korosi baja S45C yang mendapat perlakuan panas quenching tempering suhu 600oC akibat pengaruh dari lingkungan pantai.

1.3 Manfaat dan Tujian Penelitian

Manfaat penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta memberikan manfaat-manfaat lain antara lain:

1. Dapat menjadikan refrensi pada penelitian selanjutnya.

2. Dapat menentukan laju korosi pada baja S45C, kekuatan tarik dan harga keuletan impak dari baja S45C yang mengalami perlakuan panas tempering dengan suhu 600° C di lingkungan pantai dari waktu ke waktu.

3. Memberikan data yang berguna untuk pembangunan yang menggunakan baja S45C di lingkungan pantai.

Tujuan yang ingin diperoleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah untuk:

1. Mengetahui kekuatan spesimen uji tarik baja S45C dengan perlakuan tempering suhu 600°C dengan spesimen baja S45C tanpa perlakuan panas akibat pengaruh lingkungan sekitar pantai.

2. Mengetahui harga keuletan spesimen uji impak baja S45C dengan perlakuan tempering suhu 600°C dengan spesimen baja S45C tanpa perlakuan panas akibat pengaruh lingkungan sekitar pantai.

3. Mengetahui laju korosi uji tarik dan impak baja S45C dengan perlakuan tempering suhu 600°C dengan spesimen baja S45C tanpa perlakuan panas akibat pengaruh lingkungan sekitar pantai.

1.4 Batasan Masalah

Batasan masalah yang ditentukan oleh penulis dalam penelitian ini dan penyusunan tugas akhir agar terfokus dan sistematis. Lingkup penelitian adalah:

a. Spesmen yang harus digunakan adalah baja S45C.

b. Spesmen diberikan perlakuan panas quenching tempering suhu 600° C.

c. Waktu penelitian adalah 0 hari, 45 hari dan 90 hari.

d. Pengujian dan pengamatan yang akan dilakukan: laju korosi, kekuatan tarik dan harga keuletan impak dari baja S45C.

e. Pengujian dilakukan di Laboratorium Teknik Mesin, Universitas Sanata Dharma, dan IST AKPRIND Yogyakarta.

f. Lokasi penelitian Spesmen di pantai Baru, Bantul Yogyakarta.

1.6. Metode Pengumpulan Data

Penyusunan hasil penelitian dan analisa yang dilakukan diharapkan bisa mendapatkan hasil yang akurat dan sistematis serta tidak melenceng jauh dari landasan teori yang ada, maka penulis melakukan beberapa metode pengumpulan data, antara lain:

a. Literatur

Studi literatur digunakan sebagai dasar acuan dan referensi yang diantaranya mencakup: Landasan teori, gambar, tabel, grafik, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian. Persamaan untuk perhitungan yang berkaitan dengan analisa data diambil sebagai pembanding antara hasil dari penelitian dan pembahasan.

b. Konsultasi dan Diskusi

Konsultasi dan diskusi dilakukan dengan dosen pembimbing, laboran yang membantu proses penelitian dan rekan-rekan mahasiswa lain yang bertujuan untuk mendapatkan hasil penelitian, analisa, dan pembahasan yang baik, juga berguna untuk bertukar informasi, masukan antar mahasiswa yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

c. Pengujian spesimen

Data diperoleh berdasarkan proses korosi di pantai Baru, dengan cara spesimen digantung pada ketinggian 2 meter selama 45 hari dan 90 hari. Kemudian spesimen diambil dan diuji tarik di laboratorium ilmu logam program studi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Uji komposisi dilakukan di PT ITOKOH CEPERINDO, Klaten, Jawa Tengah. Uji impak dilakukan di Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta.

5 meningkatkan kekerasan baja. Baja merupakan paduan besi dan karbon yang dapat berisi konsentrasi dari elemen campuran lainnya. Ada ribuan campuran logam lainnya yang mempunyai komposisi berbeda. Sifat mekanis dari baja sangat sensitif terhadap kandungan karbon, yang mana secara normal kurang dari 1,5%. sebagian dari baja digolongkan menurut konsentrasi karbon, yakni ke dalam baja karbon rendah, medium dan jenis karbon tinggi, sedangkan berdasarkan kandungan karbonnya, baja dibagi menjadi tiga macam, yaitu baja karbon rendah yang mengandung karbon kurang dari 0,3%, baja karbon sedang yang mengandung karbon 0,3% 0,6%, dan baja karbon tinggi yang mengandung karbon 0,6% - 1,5%. (Budi Syahri, Zonny Amanda Putra, dan Nofri Helmi 2017)

2.1.1 Klasifikasi Baja

Baja karbon adalah paduan besi karbon dimana unsur karbon sangat menentukan sifat-sifatnya, sedangkan unsur-unsur paduan lainnya yang biasa terkandung di dalamnya terjadi karena proses pembuatannya. Sifat baja karbon ditentukan oleh persentase karbon dan struktur mikro. Disamping itu baja juga mengandung unsur-unsur lain seperti sulpur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan (Mn), dan sebagainya yang jumlahnya dibatasi. Sifat baja pada umumnya sangat dipengaruhi oleh prosentasi karbon dan struktur mikro. Struktur mikro pada baja karbon dipengaruhi oleh perlakuan panas dan komposisi baja. Karbon dengan unsur campuran lain dalam baja membentuk karbid yang dapat menambah kekerasan, tahan gores dan tahan suhu baja. Perbedaan prosentase karbon dalam campuran logam baja karbon menjadi salah satu cara mengklasifikasikan baja.

(Budi Syahri, Zonny Amanda Putra, dan Nofri Helmi 2017)

Berdasarkan kandungan karbon, baja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Baja Karbon Rendah

Baja karbon rendah (low carbon steel) mengandung karbon dalam campuran baja karbon kurang dari 0,3%. Baja ini bukan baja yang keras karena kandungan karbonnya yang rendah kurang dari 0,3% C. Baja karbon rendah tidak dapat dikeraskan karena kandungan karbonnya tidak cukup untuk membentuk martensit. Baja ini dapat dijadikan mur, baut, ulir sekrup, peralatan senjata, alat pengangkat presisi, batang tarik, perkakas silinder, dan penggunaan yang hampir sama.

b. Baja Karbon Sedang

Baja karbon sedang (medium carbon steel) mengandung karbon 0,3%-0,6%C dan dengan kandungan karbonnya memungkinkan baja untuk dikeraskan sebagian dengan pengerjaan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai. Baja karbon sedang lebih keras serta lebih kuat dibandingkan dengan baja karbon rendahBaja karbon sedang digunakan untuk sejumlah peralatan mesin seperti roda gigi otomotif, poros penghubung, poros engkol dan alat angkat presisi.

c. Baja Karbon Tinggi

Baja karbon tinggi (hight carbon steel) mengandung karbon 0,6%-1,5%C dan memiliki kekerasan yang tinggi namun keuletannya lebih rendah hampir tidak dapat diketahui jarak tegangan lumernya terhadap tegangan proporsional pada grafik tegangan regangan.

2.1.2 Sifat Mekanis Baja

Sifat mekanik adalah kemampuan suatu bahan untuk menahan beban yang dikenakan terhadapnya. Beban tersebut dapat berupa beban tarik, bengkok, geser, puntir, atau tekan. Sifat-sifat mekanik yang lainº:

1. Kekakuan

Sifat bahan yang mampu renggang pada tegangan tinggi tanpa diikuti regangan yang besar. Ini merupakan ketahanan terhadap deformasi.

Kekakuan bahan merupakan fungsi dari Modulus elastisitas E. Sebuah

material yang mempunyai nilai E tinggi seperti baja, E = 207.000 Mpa akan berdeformasi lebih kecil terhadap beban (sehingga kekuatannya lebih tinggi) daripada material dengan nilai E lebih rendah misalnya kayu dengan E= 7000 Mpa atau kurang.

2. Kekuatan

Sifat bahan yang ditentukan oleh tegangan paling besar material mampu renggang sebelum rusak (failure). ini dapat didefinisikan oleh batas proposional, titik mulur atau tegangan maksimum. Tidak ada satu nilai yang cukup bisa untuk mendefinisikan kekuatan, karena perilaku bahan berbeda terhadap beban dan sifat pembebanan.

3. Elastisitas

Sifat material yang dapat kembali ke dimensi awal setelah beban dihilangkan. Sangat sulit menentukan nilai tepat elastisitas. Yang bisa dilakukan adalah menentukan rentang elastisitas atau batas elastisitas.

4. Keuletan

Sifat bahan yang mampu deformasi terhadap beban tarik sebelum benar-benar patah (rupture). Material ulet adalah material yang dapat ditarik menjadi kawat tipispanjang dengan gaya tarik tanpa rusak.

Keliatan ditandai dengan persen perpanjangan panjang ukur spesimen selama uji tarik dan persen pengurangan luas penampang.

5. Kegetasan

Menunjukkan tidak adanya deformasi plastis sebelum rusak.

Material yang getas akan tiba-tiba rusak tanpa adanya tanda terlebih dahulu. Material getas tidak mempunyai titik mulur atau proses pengecilan penampang (necking down process) dan kekuatan patah = kekuatan maksimum. Material getas, misalnya: Besi cor, batu, dan semen cor, yang umumnya lemah dalam uji tarik, sehingga penentuan kekuatan dengan menggunakan uji tekan.

6. Kelunakan

Sifat bahan yang mengalami deformasi plastis terhadap beban tekan yang bekerja sebelum benar-benar patah. Kebanyakan material yang sangat liat adalah juga cukup lunak.

7. Ketangguhan

Sifat material yang mampu menahan beban impack tinggi atau beban kejut. jika sebuah benda mendapat beban impack, maka sebagian energi diserap dan sebagian energi dipindahkan. Pengukuran ketangguhan = luasan di bawah kurva tegangan-regangan dari titik asal ke titik patah.

8. Kelenturan

Sifat material yang mampu menerima beban impack tinggi tanpa menimbulkan tegangan lebih pada batas elastis. ini menunjukkan bahwa energi yang diserap selama pembebanan disimpan dan dikeluarkan jika material tidak dibebani. Pengukuran kelenturan sama dengan pengukuran ketangguhan.

2.1.3 Diagram Fasa Fe-C

Diagram kesetimbangan besi karbon adalah diagram yang menunjukkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang sangat lambat dengan kadar karbon. Gambar 2.1 Diagram Fasa Fe-C ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Dimana fungsi diagram fasa untuk memudahkan memilih temperatur pemanasan agar sesuai terhadap setiap proses perlakuan panas baik anil, normalizing maupun proses pengerasan.

Gambar 2.1 Diagram Keseimbangan Besi Karbon (Sumber : Dedi Suprianto, 2017)

2.2 Heat Treatment (Perlakuan Panas)

Perlakuan panas atau heat treatment adalah kombinasi operasi pemanasan pada logam di bawah temperatur lebur logam tersebut dan pendinginan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat dengan waktu tertentu.

1. Pemanasan (heating)

Pada proses ini logam dipanaskan sampai pada suhu tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Tujuan dari proses ini agar molekul-molekul logam dapat mengalami perubahan struktur kristal atau struktur mikro yang terkandung didalamnya.

2. Penahanan (holding)

Mempertahankan suhu pada waktu tertentu sehingga temperaturnya merata dan perubahan strukturnya terjadi secara merata pula.

3. Pendinginan (cooling)

Proses ini merupakan akhir dari proses heat treatment dalam membentuk sifat fisik dan sifat mekanik logam. Media pendingin yang biasa digunakan antara lain: gas, air, oli dan lain sebagainya. (Edi Widodo, Miftahul Huda 2016)

2.2.1 Quenching

Proses quenching merupakan proses pengerjaan logam dengan pendinginan secara cepat. Sehingga melalui quenching akan mencegah adanya proses yang dapat terjadi pada pendinginan lambat seperti pertumbuhan butir.

Secara umum, quenching akan menyebabkan menurunnya ukuran butir dan dapat meningkatkan nilai kekerasan pada suatu paduan logam. Laju quenching tergantung pada beberapa faktor yaitu suhu, panas pada penguapan, viskositas, media pendingin dan aliran media pendingin. Kecepatan pendinginan quenching dengan air lebih besar dibandingkan pendinginan dengan oli, sedangkan pendingin dengan udara memiliki kecepatan yang paling kecil. (Syaefudin, 2001).

Pada umumnya baja yang telah mengalami proses quenching memiliki kekerasan yang tinggi serta dapat mencapai kekerasan yang maksimum tetapi agak rapuh. Dengan adanya sifat yang rapuh, maka kita harus menguranginya dengan melakukan proses lebih lanjut seperti tempering. (Mulyadi dan Suitra, 2010).

Tujuan utama dari Quencing adalah menghasilkan baja dengan kekerasan tinggi. Sekaligus terakumulasi dengan kekuatan Tarik dan kekuatan luluh, melalui transformasi austenite ke martensit. Proses quenching akan optimal jika selama proses transformasi, struktur austenite dapat dikonversi keseluruhan membentuk struktur martensit.

Hal penting untuk menjamin keberhasilan quenching dan menunjang terbentuknya martensit khususnya adalah temperature pengerasan, waktu tahan, laju pemanasan, metode pendinginan, media pendinginan dan hardenability.

2.2.2 Tempering

Perlakuan tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam pada temperatur tempering (dibawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan proses pendinginan. Baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan, melalui proses tempering kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan penggunaan. Kekerasan turun, kekuatan tarik

akan turun pula sedang keuletan dan ketangguhan baja akan meningkat.

Meskipun proses ini menghasilkan baja yang 1 lebih lunak, proses ini berbeda dengan proses anil (annealing) karena di sini sifat-sifat fisis dapat dikendalikan dengan cermat. Pada suhu 200°C sampai 300°C laju difusi lambat hanya sebagian kecil. karbon dibebaskan, hasilnya sebagian struktur tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhannya. Di antara suhu 500°C dan 600°C difusi berlangsung lebih cepat, dan atom karbon yang berdifusi di antara atom besi dapat membentuk sementit.

Menurut tujuannya proses tempering dibedakan sebagai berikut:

1. Tempering pada suhu rendah (150°–300° C)

Tempering ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat potong, mata bor dan sebagainya.

2. Tempering pada suhu menengah (300°-550° C)

Tempering pada suhu sedang bertujuan untuk menambah keuletan dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 500ºC pada proses tempering.

3. Tempering pada suhu tinggi (550°-650° C)

Tempering suhu tinggi bertujuan memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah misalnya pada roda gigi, poros batang pengggerak dan sebagainya.

2.2.3 Media Pendinginan

Media pendingin merupakan suatu media yang digunakan untuk mendinginkan spesimen uji setelah mengalami proses perlakuan panas. Untuk mendinginkan bahan dikenal berbagai macam bahan untuk memperoleh pendinginan yang merata maka bahan pendingin tersebut hampir semuanya disirkulasi. (Budi Syahri, Zonny Amanda Putra, dan Nofri Helmi 2017)

Beberapa media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan spesimen uji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Air

Air adalah media yang sangat banyak digunakan untuk quenching, karena biayanya yang murah, dan mudah digunakan serta pendinginan yang cepat.

Air khususnya digunakan pada baja karbon rendah yang memerlukan penurunan temperatur dengan cepat dengan tujuan untuk memperoleh kekerasan dan kekuatan yang baik.

2. Minyak atau Oli

Oli sebagai media pendingin yang lebih lunak jika dibandingkan dengan air. Digunakan pada material yang kritis, antara lain material yang mempunyai bagian tipis atau ujung yang tajam.

3. Larutan Garam

Air garam adalah media yang sering digunakan pada proses quenching terutama untuk alat-alat yang terbuat dari baja. Beberapa keuntungan menggunakan air garam sebagai media adalah:

a. Suhunya merata pada air garam

b. Proses pendinginan merata pada semua bagian logam

c. Tidak ada bahaya oksidasi, karburasi, atau dekarburisasi selama proses pendinginan

2.3 Korosi

Korosi merupakan penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Secara umum korosi meliputi hilangnya logam pada bagian yang terekpose. Korosi terjadi dalam berbagai macam bentuk, mulai dari korosi merata pada seluruh permukaan logam sampai dengan korosi yang terkonsentrasi pada bagian tertentu saja. Korosi pada logam terjadi karena adanya aliran arus listrik dari satu bagian pada ke bagian yang lain di permukaan logam. Aliran arus ini akan menyebabkan hilangnya metal pada bagian dimana arus dilepaskan ke lingkungan (oksidasi atau reaksi anoda).

Proteksi terjadi di titik dimana arus kembali ke permukaan logam (reaksi

katoda). Terdapat empat unsur pokok yang harus dipenuhi agar korosi dapat terjadi. Jika salah satunya hilang, maka korosi tidak dapat terjadi. Empat unsur pokok tersebut antara lain:

a. Anoda, tempat terjadinya reaksi oksidasi.

Adanya beda potensial menyebabkan timbulnya aliran arus listrik.

Arus listrik mengalir dari potensial tinggi ke potensial rendah sedangkan elektron mengalir berlawanan dengan arah arus listrik. Potensial anoda lebih negatif dari katoda sehingga elektron di anoda mengalir melalui kontak metalik ke katoda.

b. Katoda, tempat terjadinya reaksi reduksi.

Katoda yang menerima elektron membuat terjadinya reaksi katodik pada permukaan katoda, dimana elektron akan berada di permukaan katoda dan bereaksi dengan ion positif dari elektrolit. Contohnya adalah pada reaksi elektron dengan H dalam membentuk molekul H2 yang berupa gelembung gas sehingga katoda akan terproteksi dari korosi

c. Elektrolit, Lingkungan tempat katoda dan anoda terekpose.

Larutan elektrolit berfungsi sebagai media penghantar listrik. Agar terbentuk suatu loop maka dibutuhkan elektrolit guna menghantarkan arus dari anoda menuju katoda.

d. Adanya kontak metalik

Adanya kontak antara anoda dan katoda sehingga elektron dapat mengalir dari anoda menuju katoda. Elektron hanya bisa mengalir melalui kontak metalik. Elektron tidak bisa mengalir di dalam elektrolit.

2.3.1 Jenis-jenis korosi

Jenis jenis korosi pada logam bisa bermacam-macam tergantung dari faktor-faktor berikut yaitu lingkungan, jenis logam, bentuk bendanya, kehalusan permukaan bendanya dan lain-lain. Pada gambar 2.10 menunjukan jenis-jenis korosi.

1. Uniform Attack (Korosi Merata)

Uniform Attack (Korosi Merata) adalah korosi yang terjadi pada permukaan logam akibat reaksi kimia karena pH air yang rendah dan udara yang lembab, sehingga makin lama logam makin menipis. Biasanya ini terjadi pada pelat baja atau profil, logam homogen seperti pada Gambar 2.2.

Korosi jenis ini bisa dicegah dengan cara:

a. Diberi lapis lindung yang mengandung inhibitor seperti gemuk.

b. Untuk jangka pemakain yang lebih lama disarankan diberi logam berpaduan tembaga 0,4%,

c. Dengan melakukan pelapisan dengan cat atau dengan material yang lebih anodicc. Melakukan inhibitas dan proteksi katodik (cathodik protection)

Gambar 2.2 Contoh korosi merata

(Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

2. Pitting corrosion (Korosi Sumur)

Korosi sumuran pada westafle seperti Gambar 2.3 adalah korosi lokal dari permukaan logam yang dibatasi pada satu titik atau area kecil, dan membentukn bentuk rongga. Korosi sumuran adalah salah satu bentuk yang paling merusak dari korosi, karena sulit terlihat Kerusakannya jika tanpa alat bantu.

Mekanisme Korosi Sumur: Untuk material bebas cacat, korosi sumuran disebabkan oleh lingkungan kimia yang mungkin berisi spesies unsur kimia agresif seperti klorida. Klorida sangat merusak lapisan pasif (oksida) sehingga

pitting dapat terjadi pada dudukan oksida. Lingkungan juga dapat mengatur perbedaan sel aerasi (tetesan air pada permukaan baja, misalnya) dan pitting dapat dimulai di lokasi anodik (pusat tetesan air).

Gambar 2.3 Korosi sumuran pada westafle (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

3. Errosion Corrosion (korosi erosi)

Korosi yang terjadi karena keausan dan menimbulkan bagian-bagian yang tajam dan kasar, bagian–bagian inilah yang mudah terjadi korosi dan juga diakibatkan karena fluida yang sangat deras dan dapat mengkikis film pelindung pada logam. Korosi ini biasanya terjadi pada pipa dan propeller seperti Gambar2.4.

Gambar 2.4 Sebuah blade akibat korosi erosi (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

4. Galvanis corrosion (korosi galvanis)

Gambar 2.5 Galvanic atau bimetalic corrosion adalah jenis korosi yang terjadi ketika dua macam logam yang berbeda berkontak secara langsung dalam media korosif. Mekanisme korosi galvanik: korosi ini terjadi karena proses elektro kimiawi dua macam metal yang berbeda potensial dihubungkan langsung di dalam elektrolitsama. Dimana electron mengalir dari metal kurang mulia (Anodik) menuju metal yang lebih mulia (Katodik), akibatnya metal yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan electron.

Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion negatif yang berada di dalam elektrolit menjadi garam metal. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda kehilangan metal sehingga terbentuklah sumur–sumur karat (Surface Attack) atau serangan karat permukaan.

Gambar 2.5 Korosi Galvanic pada Sambungan Baut (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 5. Stress corrosion (korosi tegangan)

Logam korosi retak tegangan (SCC) seperti Gambar 2.6 adalah proses retak yang memerlukan aksi secara bersamaan dari bahan perusak (karat) dan berkelanjutan dengan tegangan tarik. Initidak termasuk pengurangan bagian yang terkorosi akibat gagal oleh patahan cepat. Hal ini juga termasuk intercrystalline atau transkristalin korosi, yang dapatmenghancurkan paduan

tanpa tegangan yang diberkan atau tegangan sisa. Retak korosi tegangan dapat terjadi dalam kombinasi dengan penggetasan hidrogen.

Mekanisme SCC: terjadi akibat adanya hubungan dari 3 faktor komponen, yaitu:

a. Bahan rentan terhadap korosi.

b. Adanya larutan elektrolit (lingkungan).

c. Adanya tegangan. Sebagai contoh, tembaga dan paduan rentan terhadap senyawa amonia, baja ringan rentan terhadap larutan alkali dan baja tahan karat rentan terhadap klorida.

Gambar 2.6 Korosi SCC pada sebuah logam (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 6. Crevice corrosion (korosi celah)

Korosi celah (Crecive Corrosion) ialah sel korosi yang diakibatkan oleh perbedaan konsentrasi zat asam. Korosi yang terjadi pada Gambar 2.7 logam yang berdempetan dengan logam lain diantaranya ada celah yang dapat menahan kotoran dan air sehingga kosentrasi O2 pada mulut kaya dibanding pada bagian dalam, sehingga bagian dalam lebih anodic dan bagian mulut jadi katodik.

Mekanisme Crevice Corrosion: dimulai oleh perbedaan konsentrasi beberapa kandungan kimia, biasanya oksigen, yang membentuk konsentrasi sel elektrokimia (perbedaan sel aerasi dalam kasus oksigen). Di luar dari celah (katoda), kandungan oksigen dan pH lebih tinggi-tetapi klorida lebih rendah.

Gambar 2.7 Korosi celah pada sambungan pipa (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 7. Korosi mikrobiologi

Gambar 2.8 adalah korosi yang terjadi karena mikroba Mikroorganisme yang mempengaruhi korosi antara lain bakteri, jamur, alga dan protozoa.

Korosi ini bertanggung jawab terhadap degradasi material di lingkungan.

Pengaruh inisiasi atau laju korosi di suatu area, mikroorganisme umumnya berhubungan dengan permukaan korosi kemudian menempel pada permukaan logam dalam bentuk lapisan tipis atau biodeposit. Lapisan film tipis atau biofilm. Pembentukan lapisan tipis saat 2–4 jam pencelupan sehingga membentuk lapisanini terlihat hanya bintik-bintik dibandingkan menyeluruh di permukaan.

Gambar 2.8 Korosi mikrobiologi

(Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009)

8. Fatigue corrosion (korosi lelah)

Korosi ini terjadi karena logam mendapatkan beban siklus yang terus berulang sehingga smakin lama logam akan mengalami patah karena terjadi kelelahan logam seperti Gambar 2.9. Korosi ini biasanya terjadi pada turbin uap, pengeboran minyak dan propeller kapal.

Gambar 2.9 Fatigue corrosion (korosi lelah) (Sumber: Jurnal KAPAL, Vol. 6, No.2, Juni 2009) 2.3.2 Laju Korosi

Laju korosi adalah kecepatan rambatan atau kecepatan penurunan kualitas bahan terhadap waktu. Menurut American Standart Testing and Material (ASTM) dalam menghitung hasil yang didapatkan setelah proses korosi selesai

Laju korosi adalah kecepatan rambatan atau kecepatan penurunan kualitas bahan terhadap waktu. Menurut American Standart Testing and Material (ASTM) dalam menghitung hasil yang didapatkan setelah proses korosi selesai