• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumat Kelabu

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 97-103)

J

umat kelabu, 13 November 1998, itu selalu saya kenang. Maraknya agenda demonstrasi hari itu telah membuat banyak jalan diblokade aparat keamanan.

Sekitar pukul 1 siang, saya berada di kantor Bank Rakyat Indo- nesia (BRI) Jalan Tanah Abang III. Suasana agak aneh. Beberapa nasabah yang juga sedang menunggu layanan nampak gelisah, bahkan ada yang membatalkan rencana transaksi.

Lalu, ada seseorang membisiki saya. Katanya, dia baru saja mendapat informasi bahwa terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa di kawasan Semanggi. Dan, aparat bersenjata akan melakukan tembakan bebas. Kabarnya lagi, ada himbauan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kepada kantor-kantor untuk segera memulangkan karyawan. Saya pun ikut-ikutan membatalkan transaksi dan buru-buru kembali ke kantor yang tidak jauh dari situ. Benar saja. Sebagian besar karyawan di kantor saya sudah pulang.

Pada mulanya saya tidak terpengaruh oleh suasana itu. Bahkan saya sempat makan siang di kantor dan masih melanjutkan pekerjaan. Tetapi tak lama kemudian kantor terasa semakin lengang.

Pukul 2.30, saya pulang juga. Di perjalanan saya sempat mampir di sebuah bengkel untuk membeli oli mesin. Saya tidak merasa gelisah. Soalnya, Wawan, anak saya, selalu kami wanti-wanti agar tidak ikut demonstrasi di jalan, dan Wawan termasuk tipe anak yang patuh terhadap nasihat orangtua. Selama hayatnya, dia memang tidak pernah berulah yang merepotkan orangtua. Jadi, saya tenang-tenang saja.

Sore itu saya pulang. Pukul 4.15, ketika saya sedang memotong dahan pohon jambu di samping rumah, telepon di rumah berdering. Telepon dari Wawan.

Wawan : “Lho, jam segini kok sudah pulang, Pak?”

Saya : “Iya, katanya ada imbauan dari Panglima ABRI agar kantor-kantor segera memulangkan karyawannya. Ini berarti keadaan gawat, Wan! Kamu cepat pulang saja!” Wawan : “Ya, penginnya cepat pulang Pak, tapi mana mungkin.

Bawa motor, lagi! Jalan kaki saja susah! Di sini seperti mau perang, Pak.”

Saya : “Ya sudah, nggak bisa pulang nggak apa-apa, tapi jaga diri baik-baik, ya.”

Wawan: “Ya, Pak. Saya nggak pernah keluar kampus, kok. Sudah ya Pak, daaagh!”

Ternyata, itulah pembicaraan terakhir saya dengan Wawan. Percakapan yang hingga kini masih terngiang-ngiang di telinga saya. Agaknya sebelum menelepon ke rumah, dia menelepon ke kantor ibunya, di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi tidak ada yang mengangkat karena ibunya sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Wawan memang sangat dekat dengan ibunya. Sekira pukul 4.30, isteri saya, Sumarsih, ibu Wawan, tiba di rumah. Dia langsung menyetel televisi. Dia melihat tayangan peristiwa yang terjadi di kawasan Semanggi dan seketika itu juga berteriak histeris: “Aduh, ada yang kena!” Memang terlihat di layar televisi, seorang mahasiswa tergelepar dipukul aparat, di jalan aspal dekat trotoar. Tetapi mahasiswa tersebut bukan Wawan.

Tak lama kemudian, telepon di rumah berdering lagi, dan diangkat oleh isteri saya. Dari seseorang yang mengaku bernama Ivon. Ivon : “Tante, Wawan ada di mana?”

Sumarsih : “Wawan ada di kampus. Ada yang kena ya?”

Ivon, dengan gugup : “Tenang saja Tante, Ivon akan mencari Wawan. Nanti Ivon telepon lagi.”

Tidak sampai lima menit kemudian, Romo Sandyawan Sumardi SJ menelepon dan diterima isteri saya. Beliau mengabarkan bahwa Wawan kena tembak. Isteri saya tidak tahan. Gagang telepon kemudian diberikan kepada saya.

Saya : “Ya, Romo, ada apa? Saya bapaknya Wawan.”

Romo Sandy : “Ada berita buruk Pak, Wawan kena tembak. Bapak saya mohon segera ke Rumah Sakit Jakarta.”

Saya : “Dengan mobil atau sepeda motor saja, Romo?” Romo Sandy: “Rumah Bapak di mana? Kami jemput saja.” Saya: “Tidak usah Romo, saya mau datang sendiri!”

Isteri saya langsung menyiapkan kunci mobil. Kemudian meluncurlah kami berdua. Terlintas di pikiran saya untuk mengajak adik ipar, yang anggota kepolisian, untuk menemani. Saya khawatir di perjalanan nanti, fisik saya tidak tahan lagi. Akhirnya, kami berangkat bersama adik ipar dan isterinya. Kami berangkat dari Meruya Selatan, Jakarta Barat, menuju Rumah Sakit Jakarta. Adik ipar yang menyetir mobil. Sepanjang perjalanan, isteri saya berdoa, “Tuhan Yesus, lindungilah Wawan, selamatkanlah anak saya, Bunda Maria tolonglah anak saya.” Pada detik-detik tertentu, isteri saya merasa seakan-akan harus mengatakan, “Selamat jalan, Wan!”

Pada mulanya kami ingin melalui Jalan S. Parman. Tetapi begitu keluar dari jalan tol, tepatnya di lampu merah Tomang Raya, mobil dihentikan oleh aparat keamanan. Ketika kami minta bantuan pengawalan menuju Semanggi melalui Slipi, tidak dikabulkan. Bahkan kami diusir untuk segera meninggalkan tempat itu dengan alasan agar tidak mengundang massa. Kami berputar-putar mencari jalan untuk bisa segera sampai di Rumah Sakit Jakarta. Akhirnya, kami bisa masuk ke Jalan

Sudirman dari arah Monas. Di Jalan Garnisun itulah saya menyaksikan kejadian yang sudah saya paparkan tadi. Tindakan aparat bersenjata benar-benar keterlaluan. Rakyat sipil yang berunjuk rasa tanpa senjata dihadapi oleh aparat bersenjata secara tidak terukur. Rakyat dipaksa berhadapan dengan aparat yang terlatih dan bersenjata. Jadi, benar kata Wawan bahwa keadaan di sekitar Semanggi seperti perang. Aparat bersenjata memerangi rakyat sipil.

Sesampai di halaman Rumah Sakit Jakarta, kami bertiga mencari Wawan. Adik ipar saya mencari tempat parkir mobil. Kami terpisah dan baru ketemu lagi esok pagi, di rumah, sekitar pukul 1 dini hari. Adik saya terpaksa berlindung di pos penjagaan satpam Rumah Sakit Jakarta karena khawatir terkena peluru nyasar. Katanya pula, dia berkali-kali mendengar dentingan suara peluru menyerempet tiang listrik.

Akhirnya kami bertiga bisa mendapatkan Wawan. Dia telah dibaringkan di keranda, di ruang jenazah di basement Rumah Sakit Jakarta. Beberapa jenasah korban yang lain juga ada di situ. Pintu ruang jenazah dijaga ketat oleh puluhan mahasiswa. Mereka khawatir kalau terjadi penculikan jenazah. Ketika melihat Wawan terbaring, saya hampir tidak bisa menahan diri. Timbul kemarahan saya terhadap aparat yang menggunakan senjata yang dibeli dengan uang rakyat untuk membunuh rakyat. Terlebih- lebih saya marah terhadap pimpinan tentara yang tidak bijak. Kira-kira pukul 8 malam, Wawan diberangkatkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk diotopsi. Di mobil jenazah, saya dan isteri duduk di belakang sambil memegang keranda bersama kru mobil jenazah. Duduk di depan adalah adik perempuan dan ibu Ita F. Nadia dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) yang dengan sabar mendampingi kami.

Dalam perjalanan, mobil jenazah yang kami tumpangi ditembaki aparat. Sungguh luar biasa kebrutralan itu. Mereka tak peduli terhadap bendera palang merah yang sudah kami lambai- lambaikan. Sopir saat itu berteriak, “Mobil kita ditembaki. Tundukkan kepala! Cepat keluarkan bendera palang merah, kibarkan cepat-cepat!” Tembakan itu mengenai bagian bawah dekat roda belakang sebelah kanan. Dari suara benturan peluru ke badan mobil, jelas itu bukan peluru karet.

Pukul 10.30 malam, otopsi di RSCM selesai. Jenazah dipindah ke Ruang Jenazah Rumah Sakit St. Carolus untuk dimandikan dan didoakan. Selanjutnya, kami membawa pulang jenazah ke rumah, di Komplek Pegawai Setjen DPR IV/46, Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat, pada pukul 1 dini hari, Sabtu 14 November 1998.

Jumat Kelabu itu mengawali penderitaan keluarga kami, hingga kini.

Di tengah kesedihan, kira-kira pukul 6 pagi, waktu itu Wawan masih disemayamkan di rumah, datang wartawan televisi – seingat saya RCTI, mewawancarai saya. Dia minta tanggapan saya mengenai ucapan Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang mengatakan bahwa aparat bersenjata baik Tentara Nasional In- donesia (TNI) maupun polisi yang bertugas di sekitar Semanggi tidak dipersenjatai dengan peluru tajam. Kata Wiranto pula, peluru yang mengenai para korban bukan peluru standar ABRI. Ketika itu saya berkomentar dengan nada kesal, kurang lebih begini: “Lalu, peluru yang mengenai korban hingga tewas itu punya siapa? Punya pemulung? Yah, dia ingin menghindar, dia ingin cuci tangan, dia ingin lari dari tanggungjawab. Dia memang pintar bersilat lidah dan bersilat sikap. Dia selalu putar otak untuk mencari kambing hitam, dan untuk membentengi diri!”

Entah mengapa, setiap disinggung nama Wiranto, yang terbayang oleh saya adalah kejadian saat Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI, pada tanggal 21 Mei 1998. Tertayang jelas di televisi, bagaimana Wiranto ketika itu cepat-cepat merapat ke mikrofon dan berbicara tentang hal yang tidak begitu penting, normatif saja. Kesan saya, Wiranto ketika itu tidak lebih dari sekadar ingin setor muka atau cari muka kepada keluarga Cendana.

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 97-103)