• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wawan dalam Kenangan

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 103-107)

W

awan, nama lengkapnya B.R. Norma Irmawan, bukanlah anak tunggal. Dia mempunyai adik perempuan bernama B.R. Irma Normaningsih, yang ketika itu kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI).

Wawan amat santun kepada kami orangtuanya, juga kepada siapa pun, dan sangat sayang kepada adiknya. Setiap pulang kuliah, selalu menanyakan keadaan adiknya. Kalau adiknya sudah ada di rumah, selalu menanyakan bagaimana kuliahnya. Suasana di keluarga kami ketika itu selalu ceria.

Kini, keluarga kami tidak utuh lagi. Kami tinggal bertiga. Suasana di rumah tak lagi disejukkan oleh gelak tawa. Harapan-harapan kami atas diri Wawan pun pupus sudah. Begitu pula perlindungan Wawan atas diri adiknya, Irma, kini tidak lagi menjadi harapan. Hubungan di antara kami memang dekat. Dulu, sambil makan di meja makan, kami berdiskusi kecil. Tak jarang Wawan melontarkan humor-humor segar. Suasana kedekatan yang sekarang tinggal kenangan itu kami abadikan melalui kalimat yang terpahat di pusara Wawan, “Selamat jalan Wan, tak terperikan dukacita kami yang kau tinggalkan.

Wawan kini telah tiada. Dia telah istirahat di Pemakaman Umum Joglo, Jakarta Barat. Saat pemakaman, hadir ribuan mahasiswa dan masyarakat mengantar kepergiannya. Tak henti-hentinya berkumandang lagu “Gugur Bunga” dan “Ibu Pertiwi Menangis,” terutama oleh teman-temannya sepergerakan untuk mewujudkan reformasi.

Saya pun masih ingat, ketika itu di kiri-kanan jalan terpasang bendera merah-putih setengah tiang. Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, masyarakat berdiri di pinggir jalan mengungkapkan rasa belasungkawa. Ada yang melambaikan tangan, ada yang mengusap air mata, bahkan ada pula yang mengambil sikap hormat. Dan tak kami lupakan, sekaligus menyampaikan terima kasih, bahwa penduduk di sekitar Pemakaman Joglo tak segan menyediakan air minum untuk para ribuan pelayat.

Hasrat Wawan untuk mandiri memang cukup kuat. Hal itu mulai nampak setelah lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) di Bunda Hati Kudus Jelambar, Jakarta Barat. Dia memilih meneruskan ke sekolah menengah umum (SMU) yang berkualitas dan berasrama. Dia ingin mengelola sendiri uang sakunya. Maka dipilihlah SMU Van Lith yang berada di kota Muntilan, Jawa Tengah. Meskipun sebenarnya dia diterima pula di sekolah unggulan di Jakarta Barat, yaitu SMU 78.

SMU Van Lith adalah SMU-Plus. Selain harus tekun belajar, para siswa juga dilatih kepekaannya terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan. Ada pembinaan ketrampilan, ada pula peluang untuk memupuk jiwa leadership atau kepemimpinan. Pendidikan di SMU Van Lith berlangsung ketat. Sistem gugur bagi siswa yang tidak naik kelas diberlakukan. Wawan melaluinya dengan mulus.

Pada tahun 1996, Wawan masuk kuliah di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Unika Atma Jaya Jakarta. Wawan pernah bercita-cita ingin menjadi ekonom sekaligus pelaku bisnis. Keinginan itulah yang mendorongnya memilih Fakultas Ekonomi, meskipun bidang sosial dan politik juga tidak luput menjadi minatnya. Dia hanya sampai pada semester lima, karena peluru panas aparat telah merenggut hidup dan cita-citanya. Saya sebenarnya berharap dia menjadi penegak hukum. Nama Norma Irmawan dulu saya ambil dari kata “norma” yang berarti kaidah, aturan, ketentuan; dan kata “irmawan” yang saya ambil dari kata irama yang berarti gerak atau dinamika kehidupan masyarakat. Namun, r upanya Wawan kurang ber minat melanjutkan studi di bidang hukum.

Wawan punya banyak teman. Telepon di rumah selalu berdering dari teman-temannya. Ibu dan adiknya sering bercanda seperti menjadi sekretarisnya, yang harus mencatat pertanyaan atau pesan buat Wawan. Misalnya, jadwal dan tugas kuliah, rapat Badan Perwakilan Mahasiswa, rapat Mudika (Muda Mudi Katolik), dan rapat Tim Relawan untuk Kemanusiaan.

Begitu banyak kegiatannya. Tak mengherankan jika ban motor kesayangannya, Honda GL-Pro, nomor polisi B 5194 PO, yang baru dipakai tiga bulan sudah tampak aus. Banyak teman- temannya yang heran dan bertanya kapan Wawan sempat belajar jika dia begitu sibuk. Hasil ujiannya pun relatif tidak jelek. Setahu saya, Wawan hampir setiap hari minta dibangunkan oleh ibunya sekitar pukul 04.30 pagi untuk belajar. Katanya, dia lebih bisa konsentrasi belajar pada pagi hari.

Tidak sedikit waktu belajar Wawan yang tersita untuk kegiatan lain di luar perkuliahan. Dia aktif sebagai pengurus Muda-Mudi Katolik Paroki Meruya Selatan, Gereja Maria Kusuma Karmel,

Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta, Redaksi Majalah Internal Unika Atma Jaya “Warta”, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa, Computer Club, dan Perkumpulan Bela Diri Tunggal Hati Suci.

Beberapa hari menjelang kepergiannya, Wawan disibukkan oleh persiapan penyelenggaraan sebuah diskusi panel yang diadakan oleh Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta pada hari Senin 9 November 1998. Saat itu sebenarnya kesehatan Wawan belum pulih. Dia baru saja opname di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta dari tanggal 4 sampai 7 November 1998 untuk menjalani operasi polip.

Sejak kecil, Wawan memang hobi membaca, di samping olahraga bulu tangkis. Karena itu ketika terjadi Perang Teluk, meskipun dia masih duduk di sekolah dasar tetapi bisa menceritakan secara runtut kronologi Perang Teluk, bahkan mengulas kekuatan negara-negara yang terlibat. Waktu itu saya dan isteri merasa heran, ternyata Wawan mempunyai ingatan yang kuat dan kreatif. Karena buku bacaan di rumah terbatas, dia sering meminjam buku di perpustakaan sekolah. Bahkan sejak Kelas IV SD ia sudah berinisiatif mendaftarkan diri menjadi ang gota Perpustakaan Pemda Jakarta Barat.

Sering, sepulang sekolah, dia tidak ikut mobil jemputan dan naik kendaraan umum ke gedung perpustakaan. Pernah saya lihat dia meminjam buku mengenai konstruksi rumah, tata ruang kota, data penduduk Jakarta Barat. Rasa was-was kami sebagai orangtua jelas ada, mengingat dia masih kecil dan bepergian jauh dari rumah. Tapi kalau dilarang secara ketat, saya khawatir inisiatif dan kreativitasnya tidak berkembang.

Memanfaatkan waktu atau kesempatan untuk meningkatkan diri adalah ciri kehidupan Wawan. Sebenarnya Wawan meninggalkan sejumlah karya tulis serta puisi. Sayang, hanya beberapa saja dari tulisan dan puisi itu yang kini masih tersimpan. Menurut teman- temannya, karya tulis Wawan tersimpan di sebuah disket, namun sampai sekarang saya belum menemukan disket itu.

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 103-107)