• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan dan Pengharapan

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 140-148)

S

aat ini saya bekerja di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indone sia (IKOHI). Sebuah organisasi untuk korban dan keluarga

korban pelanggaran HAM, khususnya korban penghilangan paksa. Salah satu kasus yang menjadi kepedulian dan prioritas saya sebagai Ketua IKOHI adalah kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.

Pada periode 1997-1998, 23 orang tercatat telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya (saya salah satunya), dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.

Kasus tersebut sudah diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan diserahkan ke Jaksa Agung sejak 2 tahun lalu. Namun, hingga kini Jaksa Agung masih belum mau melakukan penyidikan, apalagi penuntutan di pengadilan HAM. Padahal Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Februari 2008 menyatakan demikian.

Kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi 1997-1998 ini harus segera diselesaikan, bukan karena ini satu-satunya kasus penghilangan paksa, atau sebagai kasus yang paling besar, tapi semata karena kasus penghilangan paksa 1997/1998 ini proses hukumnya sudah cukup maju. Kasus ini sudah berada di pintu masuk pengadilan HAM. Dari sanalah kita akan melihat bagaimana kasus penghilangan paksa yang terjadi paska 30 Sep- tember 1965, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh dan Papua, Pembunuhan Misterius (Petrus) dan lain-lain akan dipertanggungjawabkan oleh negara.

Penting juga diperhatikan bahwa kasus penghilangan paksa (en- forced disappearances) punya karakter yang unik dan spesifik. Penyiksaan (torture) sering disebut sebagai ibu dari pelanggaran HAM, karena hampir semua tindak pelanggaran berat HAM mengandung unsur penyiksaan.

Penghilangan paksa adalah muara dari pelanggaran berat HAM. Artinya penghilangan paksa mengandung unsur-unsur pelanggaran berat HAM lainnya seperti penyiksaan, penahanan, bahkan sampai pembunuhan.

Tindakan menghilangkan orang secara paksa adalah juga tindakan menegasikan dan menihilkan keberadaan manusia. Manusia yang telah dilahirkan, hidup dan tumbuh dengan jiwa, raga dan pikiran tiba-tiba coba dihilangkan begitu saja oleh manusia yang lain. Penghilangan paksa juga spesifik karena keluarga yang ditinggalkan terus menerus berada dalam ketidakpastian, mengenai nasib dari orang yang dihilangkan tersebut. Situasi ketidakpastian ini sendiri adalah bentuk penyiksaan tersendiri. Karena dampak lanjutan bagi keluarga inilah mekanisme PBB (United Nations Working Group on Enforced or Involuntar y Disapperaances - UNWGEID) kemudian mensyaratkan adanya urgent dan prompt action, langkah darurat dari negara untuk segera turun tangan begitu kasus penghilangan paksa terjadi. Karena penundaan atau keterlambatan, bahkan satu menit, bisa berakibat fatal bagi korban. Di Indonesia, kami perlu menunggu 10 tahun, bahkan mungkin lebih. Jutaan keluarga korban yang lain pada kasus 1965, perlu menunggu lebih dari 40 tahun.

Keluarga korban penghilangan paksa juga menghadapi kesulitan- kesulitan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Stigmatisasi sebagai separatis, komunis, pemberontak, fundamentalis adalah fenomena harian. Stigma ini kemudian berlanjut pada diskriminasi dan isolasi tidak hanya secara sosial oleh masyarakat tapi juga yang struktural oleh negara, melalui kebijakan-kebijakan yang ada.

Suatu hari, anak seorang korban penghilangan paksa menghadapi masalah di sekolah. Fajar Merah, anak Wiji Thukul, ditanya oleh

gurunya mengapa ia mengisi kolom nama ayah dengan nama ibunya, Dyah Sujirah. Fajar menjelaskan bahwa ia tidak mengenal bapaknya. Ibunyalah yang membesarkan dia selama ini. Ibunyalah yang selama ini menjadi ayah bagi dia.

Dia sendiri tidak tahu apa bapaknya masih ada atau tidak, karena ibunya juga tidak tahu. Ia tahu bahwa ayahnya adalah Wiji Thukul, tapi ia tidak mengenalnya dengan dekat karena dipisahkan kediktatoran.

Pertemuan terakhir Fajar dan Wiji terjadi pada bulan Desember 1997, ketika Fajar ulang tahun yang ketiga. Thukul mengabadikan momen ulang tahun Fajar waktu itu dengan sebuah handycam. Tidak ada yang tahu, apakah Thukul kini sedang memutar video rekaman ulang tahun anaknya itu.

Keluarga Suyat (korban penghilangan paksa yang lain) di Gemolong, Sragen, punya cerita tentang sebuah pengharapan. Sejak Suyat diculik awal 1998, keluarga berharap ia segera bisa dikembalikan para penculiknya, seperti yang lain. Mereka sudah mempersiapkan seekor kambing yang akan dipotong bila harapan indah itu terjadi.

Namun, tahun demi tahun, harapan itu tidak datang juga. Kambing itu pun telah dimakan usia. Hingga akhirnya, karena masalah ekonomi, kambing yang disiapkan itu terjual. Tetapi, toh, harapan tetap ada. Dan kambing yang siap dipotong bisa datang dari mana saja.

Menunggu adalah sesuatu yang sangat membosankan. Menunggu kepastian adalah pelipatgandaan atas situasi yang sangat membosankan, meresahkan, dan membuat putus asa. Terlebih lagi ketika rentang waktu menunggu terus diulur. Ia menjadi sesuatu yang bisa membunuh, mematikan.

IKOHI mencatat, dari keluarga yang dihilangkan pada periode 1997/1998 tersebut, 3 orang tua korban telah meninggal. Mereka adalah ayahanda Yadin Muhidin, ayahanda Herman Hendrawan, ayahanda Noval Alkatiri. Mereka semua telah berpulang karena sakit, karena dibunuh ketidakpastian. Mereka meninggal ketika orang-orang yang mereka sayangi belum juga pulang memeluk mereka.

Beberapa orang tua korban penculikan yang lain juga mengalami psikosomatis. Sakit yang bersumber dari keresahan jiwa. Masih ada pululan, ratusan atau bahkan ribuan korban dan keluarga korban lain yang kini mengalami hal serupa.

Banyak sekali masalah-masalah riil yang dihadapi keluarga korban dalam kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah yang membutuhkan negara untuk menanganinya. Secara hukum, kasus harus diselidiki, disidik, dan mereka yang bertanggungjawab dituntut di pengadilan dan dihukum secara adil.

Korban dan keluarga korban pun harus mendapatkan hak-hak pemulihan. Rehabilitasi oleh negara untuk menjadikan korban dan keluarga korban berada dalam kondisi seperti ketika peristiwa belum terjadi.

Betapa perih keluarga korban yang harus mendapatkan jawaban lengkap dari negara atas pertanyaan agung:

“Di mana keberadaan orang-orang yang kami cintai?” “Bagaimana keadaan mereka?”

“Kami siap menerima jawaban seburuk apapun.”

“Kalau mereka sudah mening gal, dimana mereka dikuburkan?”

Mereka juga akan meminta, “Kembalikan mereka dalam keadaan seperti ketika kalian mengambil mereka!”

Kepada saya, Parveena Ahangar, seorang ibu yang anaknya diculik tentara India di Kashmir, India, berbagi cerita di Jakarta tahun 2005 yang lalu.

“Suatu saat saya diminta bertemu dengan seorang perwira militer India yang membawahi kota Srinagar. Di kota inilah anak saya diculik. Dalam pertemuan yang disaksikan beberapa keluarga korban yang lain, perwira itu berkata, “Ibu, sudahlah, jangan ungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Tidak mungkin kita mengembalikan anak Ibu yang hilang. Ini kami berikan santunan 100 ribu dollar (sekitar 920 juta rupiah) supaya ibu bisa melupakan peristiwa tersebut, dan Ibu bisa hidup kembali dengan normal…”

Saya berkata kepada perwira itu, “Bapak, bagaimana kalau sekarang saya kasih Bapak uang dua kali lipat dari yang Bapak berikan kepada saya, lalu saya bunuh anak Bapak!”

Parveena menangis karena menahan amarah ketika bercerita. Kini ia memimpin organisasi keluarga korban penghilangan paksa di Kashmir, India yang bernama Association of Parents of Disap- peared Persons (APDP).

Refleksi 10 Tahun

W

ilson, seorang kawan yang juga pernah diculik dan dipenjara pada tahun 1996-1998 menuliskan sebuah surat elektronik ketika Soeharto meninggal. Berikut petikannya: “Satu Soeharto mati, muncul ribuan Soeharto yang lain. Tapi satu kawan yang berjuang hilang, susah betul mendapat gantinya.” Ada juga kutipan lain yang baru-baru ini saya temukan kembali. Kutipan ini ada di pidato pembelaan Budiman Sudjatmiko, waktu

itu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik yang tahun 1997 diadili oleh pengadilan Orde Baru. Dia menuliskan:

“Aku menjadi saksi atas penderitaan rakyatku yang tengah berjuang, dan akan kubawa kesaksian itu sampai ke pembebasannya.”

Saya merinding mendengar kalimat itu. Karena sampai hari ini, rakyat belum juga terbebaskan. Begitu pula 13 korban penghilangan paksa, antara lain Wiji Thukul, Her man Hendrawan, Suyat, Petrus Bimo Anugerah, dan Yani Afri. Saya yakin, Budiman masih memegang teguh apa yang pernah ditulisnya.

Suyatno, kakak Suyat, orang desa yang kesehariannya menjadi tukang kayu nun jauh di sana di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah selalu mengatakan, “Kalau tidak karena Suyat, tidak mungkin Gus Dur, Mega, dan SBY menjadi presiden.”

Ketika pamit kepada Sipon (nama lain Dyah Sujirah) istri tercintanya pada tahun 1997, Wiji Thukul mengatakan, “Pon, aku harus balik ke Jakarta karena kawan-kawan pada dipenjara.” Kini, sudah 10 tahun peristiwa itu terjadi. Anak saya dan anak teman-teman saya, telah tumbuh besar tengah bermain. Waktu begitu cepat berjalan.

Namun, saat menyaksikan poster korban penghilangan paksa yang dipajang di kantor IKOHI dan wajah keluarga dari mereka yang masih hilang, saya merasakan waktu berlalu begitu lambat. Bagi para orang tua dan isteri yang anak dan suaminya dihilangkan seperti Ibu Tuti Koto, Ibu Nurhasanah, Mbak Sipon, Pak Utomo, Ibu Tomo, Ibu Fatah, Ibu Poniyem, Pak Paimin, Bu Zuniar, dan lainnya, rentang penyiksaan itu masih terus terasa. Anak-anak, suami, dan saudara mereka belum kembali.

Entah di mana kini teman-teman kami. Yang jelas, kami tidak akan pernah lupa, bahwa dalam rentang sejarah bangsa ini, kami adalah para saksi atas kekejaman mesin penindasan pemerintahan Orde Baru.

Dan, sebagai korban dan keluarga korban, kami memiliki hak konstitusional untuk menuntut apa yang memang menjadi hak kami. Hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan perdamaian.

TUKANG BECAK DAN WISANGGENI

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 140-148)