• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Rusun Klender ke Cijantung

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 132-137)

K

etika diculik, saya sedang berada di rumah kontrakan di lantai 2, Rumah Susun Klender, Jakarta Timur. Rumah itu baru kami tinggali selama seminggu. Selain saya, ada Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Petrus Bima Anugerah yang tinggal di rumah itu.

Kami adalah pengurus Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi gerakan mahasiswa nasional yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kami juga adalah bagian dari beberapa gelintir orang yang menjalankan PRD yang saat itu menjadi musuh utama pemerintah.

Jumat, 13 Maret 1998. Hari sial bagi saya. Pukul 18.30, saya baru pulang dari pertemuan dengan dua orang dari East Timor International Support Center di Menteng. Saya pulang dengan membawa beberapa kotak dari restoran Jepang, Hoka-Hoka Bento, makanan mewah bagi aktivis. Nezar dan Aan saya telepon, saya minta mereka menunggu di rumah.

Dua puluh menit kemudian, saya sampai di rumah kami di Klender. Saya ketuk pintu rumah, tak ada jawaban. Aneh. Ke mana Nezar dan Aan? Seorang perempuan, tetangga sebelah, berkata kepada saya, “Temannya sedang keluar, Mas. Katanya akan segera kembali lagi.”

Oke, saya masuk rumah. Mungkin Nezar dan Aan sedang keluar rumah sebentar. Tapi, aneh, begitu saya buka kunci pintu, di ruang tamu ada segelas air jeruk yang masih panas. Seisi ruangan pun acak-acakan.

Insting saya berkata, ada yang gawat sedang terjadi. Pesan lewat operator pager saya kirim kepada Nezar. “Nez, kamu di mana? Aku tunggu di rumah ya.” Dua kali saya mengirim pesan dan tak ada respon.

Lima menit kemudian, saya semakin risau. Berbagai kemungkinan buruk berseliweran. Maklum, saat itu kami memang sedang dalam masa perburuan. Kami dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996, peristiwa penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Jakarta oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak, yang menyebabkan ratusan orang hilang dan meninggal.

Saya ingat, ada dua kawan yang menelepon ke rumah sore itu. Mereka berdua panik. Seorang diantaranya menangis sambil berpesan, “Kalian hati-hati, jangan ada yang tertangkap lagi.” Bukannya membesarkan hati, pesan itu justru menguatkan bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang mengancam diri saya. Saya membayangkan puluhan kawan PRD yang sedang dipenjara saat itu, termasuk Budiman Sudjatmiko, Dita Sari, Petrus Harianto, dan lain-lain.

Ternyata benar. Saya mendekati jendela rumah kontrakan di lantai 2 itu. Gorden saya sibakkan sedikit. Badan saya lemas. Di bawah sana berjejer orang-orang berbadan tegap menatap saya. Dari jendela yang lain, pemandangan yang sama juga tampak. Saya sudah dikepung.

Berjingkat saya berjalan menuju dapur. Sempat terpikir untuk meloncat ke bawah dan melarikan diri. Tetapi, mustahil. Puluhan orang berbadan tegap sudah menunggu saya di bawah. Lemas badan saya. Terbayang kematian saat itu.

Dengan tenaga tersisa, saya raih saklar untuk mematikan lampu. Persis pada saat itulah mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!” Gemetar seluruh badan saya.

Kunci pintu saya buka. Lalu, segera selusin orang masuk. Ada dua orang berpakaian tentara dinas lapangan, selebihnya berpakaian preman.

Seorang bapak tua berpeci seperti perangkat kelurahan berkata dengan sangat sopan dan menenangkan, “Mas, ikuti bapak-bapak ini saja ya.”

Setelah mengacak-acak rumah, tiga menit kemudian saya dibawa turun. Saya dinaikkan kendaraan menuju suatu tempat yang ternyata adalah Koramil Duren Sawit Jakarta Timur. Setengah jam “kami” diinterogasi di sini. Saya sebut “kami” karena ada “teman” yang juga ditangkap saat itu. Namanya “Jaka”, begitu dia memperkenalkan diri kepada saya.

Belakangan ketahuan bahwa Jaka adalah perwira komando pasukan khusus (Kopassus). Dia salah satu anggota Tim Mawar yang ditugaskan untuk memastikan bahwa saya tidak jatuh ke tangan kesatuan lain. Setelah tiga menit itu, saya dinaikkan kendaraan lagi. Kali ini dengan mata ditutup.

Dan, dari sinilah, prosesi interogasi dan penyiksaan khas serdadu didikan Amerika dimulai.

Pada tanggal 13 malam sampai 15 Maret 1998 sore hari, saya disekap. Interogasi dan siksaan silih berganti. Mata ditutup. Dua

tangan dan dua kaki diikat di tempat tidur velbed. Tak ada baju melekat, saya hanya memakai celana dalam.

Saya dikasih makan nasi padang yang dibungkus kertas. Tapi, mana mungkin saya bisa makan karena tangan diikat. Mulut saya perih, pecah, dan hancur babak belur karena pukulan penyiksaan. Dua kali saya dibawa ke toilet yang jaraknya kira-kira 50 meter dari tempat penyekapan dan penyiksaan. Tangan diikat dan mata tetap ditutup. Satu kali, tutup mata saya dibuka dan seseorang memotret saya. Saya tak pernah tahu wajahnya karena dia memakai sebo, penutup kepala yang hanya memperlihatkan sepasang mata.

Dari tempat penyiksaan, suara sirine selalu meraung-raung. Suhu ruangan sangat dingin. Alat setrum listrik kerap terdengar seperti bunyi cambuk. Saban kali alat laknat itu mengeluarkan bunyi, saya menjerit tak berdaya. Itu pertanda mereka segera datang menginterogasi dan menyiksa saya.

Dua hari dua malam saya paripurna mengalami penyiksaan. Dipukul, ditendang, dan ditampar di seluruh tubuh. Sekujur kaki dan tangan saya juga penuh dengan titik-titik setrum. Mungkin waktu itu badan saya mengandung arus listrik yang dialirkan alat laknat itu. Sungguh keji mereka.

Sesekali, para penculik sengaja memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa. Saya mengenali jeritan Nezar Patria dan Aan Rusdianto yang sedang disiksa orang-orang biadab ini. Dari jeritan itulah saya sadar bahwa Nezar dan Aan sudah duluan mereka culik. Pesan pager yang saya kirim untuk Nezar, pasti diterima para penculik yang zalim itu. Wah, kalau begitu, Bima juga pasti mereka jebak dan sudah pula diculik.

Dua hari dua malam ini adalah hari-hari jahanam. Siksa fisik dan mental yang teramat sadis kami alami selama berbaring di velbed itu.

Saya, Nezar, dan Aan (kami kemudian menjadi paket 3 orang) juga sempat “berdiskusi” dengan para penculik. Hampir dua jam, tetap dalam keadaan berbaring dengan dua tangan dan kaki terikat, mata ditutup, dan hanya memakai celana dalam, kami disodori pertanyaan-pertanyaan menarik.

“Coba kalian jelaskan kebaikan dan keburukan IMF.” “Bagaimana cara mengatasi krisis ekonomi Indonesia saat ini?”

“Mengapa kalian mendukung kemerdekaan Timor Timur?” “Apa hubungan PRD dengan Amien Rais, Megawati dan Gus Dur?”

“Mengapa kalian anti Orde Baru?”

Bergantian kami menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, jawaban kami berhenti setiap mereka membentak kami. Anehnya, selama “diskusi” ini, sirene tak pernah berbunyi. Alat setrum tak pernah dipakai. Tak ada pula kekerasan fisik. Paling yang ada cuma bentakan. Saat itu saya menduga, sang interogator pastilah orang berpangkat tinggi. Sayang, saya tidak bisa menerka siapa dia.

Sang interogator juga menanyakan berbagai soal seputar PRD dan SMID. Mereka juga ingin tahu soal pimpinannya, termasuk tentang Wiji Thukul.

Dua hari kami berada di Guantánamo Indonesia itu. Berdasarkan kesaksian 9 korban penculikan yang telah dilepas dan penyelidikan Pusat Polisi Militer ABRI, sebagai markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, akhirnya kami dipindahtangankan ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, Jakarta.

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 132-137)