• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akhirnya Takluk

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 137-140)

D

i Polda kami diperiksa dan dikenakan pasal-pasal subversi. Aktivitas kami dianggap mengancam keberadaan penguasa. Bersama Nezar dan Aan, saya ditahan di rumah tahanan Polda dalam sel isolasi. Saya berada di sel nomor 11, Aan nomor 9, dan Nezar ada di sel nomor 6. Kami tidak boleh berkomunikasi satu sama lain. Kami tidak boleh juga berinteraksi dengan para tahanan kriminal lain.

Namun, toh, para tahanan kriminal narkoba, pencurian, pencopetan, menunjukkan simpati dan dukungan mereka kepada tahanan politik seperti kami. Secara diam-diam, mereka memberi kami rokok, sabun mandi, sampo, makanan kecil, koran, dan bahkan buku. Mereka juga bersedia menyampaikan pesanku untuk Aan dan Nezar dan sebaliknya. Para tahanan kriminal itu akhirnya menjadi kurir bagi kami.

Pada suatu pagi, sekitar dua minggu setelah saya ditahan di Polda Metro Jaya, Kapten Arismunandar, kepala penyidik kasus saya menghampiri sel saya. “Mugi, ada yang datang membezukmu. Temuilah, kamu punya waktu 15 menit!”

Saya penasaran, siapa yang berani membezukku. Kawan-kawan PRD? Sebagian besar mereka menyelamatkan diri karena menjadi target Daftar Pencarian Orang (DPO). Mungkinkah itu Munir, Ori Rahman, atau Ester Jusuf, orang-orang dari Lembaga Bantuan Hukum yang menjadi pengacaraku?

Pintu sel dibuka oleh Kapten Arismunandar. Dengan mengenakan kaos oblong warna biru bertuliskan “Tahanan Polda Metro Jaya”, saya berjalan pelan ke arah ruang bezuk yang agak jauh, di dekat pintu masuk. Langkahku tiba-tiba terhenti ketika yang kulihat sedang duduk menunggu adalah bapak dan kakak perempuanku.

Saya dituntun Kapten Arismunandar untuk mendekat mereka. Airmataku mendadak tumpah. Saya menangis. Tak bisa mengucap satu kata pun untuk mereka. Aku peluk Pak Sipin, bapakku, lalu kakak perempuanku, Muyatin. Aku masih menangis, dan bisu!

Bapakku dan kakakku, dua orang kampung itu sungguh luar biasa. Walau dengan mata berkaca-kaca, bapaklah yang akhirnya memecah kebisuan.

“Gak opo-opo, Nang. Kowe ra usah khawatir. Mak’mu lan sedulur kabeh podho apik-apik wae. Yo wis, dilakoni wae. Kowe ora salah.” (Tak apa, anakku lelaki. Kamu tak perlu khawatir. Ibu dan saudara-saudaramu semua baik-baik. Ya sudah, dijalani saja. Kamu tidak salah)

Aku masih tidak kuasa mengatakan apapun. Hanya menangis. Dan, lima belas menit yang berharga itu akhirnya berakhir. Saya harus kembali ke sel isolasi. Bapak dan kakakku harus kembali ke kampung untuk membawa kabar bahwa aku memang dipenjara dan menangis.

Di dalam sel isolasi, saya melanjutkan tangis. Saya membayangkan betapa Bapak, Ibu, dan semua saudaraku menjadi demikian repot karena “ulahku”. Saya telah “merepotkan” mereka. Dari hati yang paling dalam saya menyesal, sedih, dan akan meminta maaf pada mereka, atas “kerepotan” yang saya akibatkan.

Namun, saya tidak pernah menyesal, sedih, dan meminta maaf pada siapa pun atas apa yang telah dan sedang aku lakukan, yang mengantarku ke penjara. Bapakku tahu itu. Juga Ibuku dan semua saudaraku. Dan mereka selalu mendukungku, hingga detik ini,

10 tahun kemudian. Ya, aku memang bisa takluk, hanya kepada keluarga yang mendukung...

Ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, keluargaku tahu bahwa saya aktif dalam gerakan mahasiswa dan gerakan demokrasi secara umum. Pesan bapakku yang selalu kuingat hingga detik ini :

“Sing mok lakoni iku apik, bener, tur migunani wong akeh. Sedulurmu yo podho ndukung. Nanging kowe mesti ati-ati. Soale, sing mok adepi iku negoro. Kowe mung se kuku ireng!”

(Yang kamu lakukan itu baik, benar, dan berguna bagi orang banyak. Saudaramu semua mendukung. Tapi, kamu mesti hati- hati karena yang kamu hadapi adalah negara. Kamu hanya sebesar kuku hitam –editor)

Bapak saya memang orang kampung. Namun, beliau memiliki kebijaksanaan yang luar biasa dalam melihat hidup dan masyarakat.

Saya yakin, Pak Sipin bukanlah minoritas di Indonesia. Paling tidak, ayahanda Petrus Bima Anugerah yaitu Pak Utomo Raharjo juga memiliki pandangan hidup serupa dengan memberikan dukungan sepenuhnya pada aktivitas anaknya yang sampai hari ini masih hilang entah di mana.

“Pembebasan”

S

elama periode kebangkitan rakyat (people’s uprising), Maret – Mei 1998, saya mendekam di penjara Polda. Namun, para tahanan kriminal memberi akses pada kami untuk terlibat. Melalui koran dan majalah yang diselundupkan ke sel, kami bisa memantau apa yang terjadi di luar.

Saat itu, kami bisa mengetahui betapa mahasiswa terus menggelar demonstrasi di kampus dan jalanan dengan berbagai isu lokal dan nasional. Orang-orang di perkotaan dan pedesaan juga mengelar aksi protes penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak, kelangkaan pangan, korupsi dan sebagainya. Kaum buruh juga bergerak berdemonstrasi menolak pemecatan dan menuntut upah layak.

Semua itu memberikan harapan bahwa saya pasti akan segera dilepaskan. Dan harapan itu semakin mendekati kenyataan ketika tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti ditembak ketika sedang demonstrasi.

Di tahanan kami juga ikut bergerak. Lagu Gugur Bunga juga dikumandangkan oleh para tahanan di seluruh ruang tahanan Polda Metro Jaya. Ilustrasi musik di radio dan televisi samar- samar kita dengarkan dari dalam sel penjara.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto dipaksa turun dari tampuk kekuasaan yang telah dipegangnya selama 32 tahun. Periode baru Indonesia segera mulai, walau tidak mudah, dengan ditunjuknya Habibie sebagai Presiden RI.

Harapan pembebasan menjadi kenyataan ketika Presiden Habibie waktu itu mencabut legislasi antisubversi yang menjadi dasar penahanan kami. Akhirnya, pada tanggal 6 Juni 1998, penahanan atas diri saya ditangguhkan atas permintaan Cak Munir dan kawan-kawan yang menjadi pengacara kami.

Dalam dokumen JSKK – Saatnya Korban Berbicara (HAM) (Halaman 137-140)