• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN HUKUM JUSTICE COLLABORATOR

D. Justice Collaborator Menurut KUHAP

Dalam proses peradilan pidana, salah satu hal yang harus terpenuhi adalah pembuktian. Dimana tanpa adanya pembuktian, maka tidak akan dapat terlaksana

proses peradilan tersebut. Dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut,

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 31

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada salah seorang terdakwa harus:

a. kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”,

b. dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Dari pasal 183 KUHAP tersebut terlihat bahwa hukum acara kita memiliki kecenderungan menganut teori pembuktian secara negatif. Seorang baru dapat dinyatakan bersalah jika minimal dua alat bukti yang sah ditambah seorang hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana.

Keyakinan yang dimiliki oleh hakim haruslah berdasarkan ketentuan yang ada didalam KUHAP. Artinya seorang hakim dalam memutus perkara hakim terbatas pada alat bukti yang tertera didalam KUHAP. Sistem pembuktian ini akan mengarah pada proses pembuktian di pengadilan, sehingga hakim dapat memutus perkara secara obyektif.32

31 Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika (suatu kompilasi kajian). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005. Hlm. 461.

32 Ibid, hlm 462

Dalam KUHAP telah mengatur beberapa alat bukti yang dapat digunakan.

Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Salah satu alat bukti yang sering digunakan adalah keterangan saksi. Saksi dalam Pasal 1 butir 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah : Saksi adalah orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu.

Terdapat beberapa jenis saksi :

1. Saksi Korban

Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP mengatakan bahwa di ruang sidang yang pertama-tama di dengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.

2. Saksi a charge

Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP merumuskan bahwa saksi a charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, Saksi a charge diajukan oleh penuntut umum untuk memperkuat surat dakwaan. Selama berlangsungnya sidang atau belum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

3. Saksi a de charge

Saksi a de charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan / menguntungkan terdakwa akan tetapi saksi ini biasanya dibawa oleh terdakwa atau penasihat hukumnya dengan harapan kesaksian yang diberikannya dapat menguntungkan bagi terdakwa.

4. Saksi Pelapor

Dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP dikatakan :

“ laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang – undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. “

Menurut Pasal 108 KUHAP yang berhak mengajukan laporan adalah : a. Setiap orang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi

korban peristiwa yang merupakan tindak pidana ;

b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman umum dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau hak milik ;

c. Setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana.

5. Saksi Mahkota

Saksi mahkota berasal dari istilah dalam bahasa Belanda, yaitu kroongetuige atau yang dalam sistem Anglo Saxon dikenal dengan nama crown witness atau Queen’s evidence atau King Evidence dalam hal kerajaan dipimpin oleh seorang raja. Dalam definisi yuridis yang diberikan Fockema Andrea’s Juridisch Woorden Boek, kroongetuige berarti saksi utama(penting); saksi yang perlu sekali untuk memperoleh pembuktian yang sempurna. 33 Black’s Law Dictionary mendefinisikan Queen’s evidence atau State’s evidence sebagai kesaksian yang dilakukan oleh terdakwa yang biasanya diberikandibawah sebuah janji atau pengampunan untuk melawan terdakwa lainnya. Janji tersebut biasanya berupa kekebalan dari penuntutan atau penhurangan hukuman.34

Istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Namun dalam praktek peradilan pidana di Indonesia sering ditemui pula istilah “saksi mahkota “.

Berdasarkan pendapat Andi Hamzah saksi mahkota di salah artikan di Indonesia, Andi Hamzah menyatakan :

33N. E. Algra dan H. R. W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae: Belanda Indonesia (Fockema Andrea‟s Juridisch Woorden Boek). Cet. Ke-1, diterjemahkan oleh Saleh Adi, A. Teloeki, dan Borrhanoeddin St. Batoeah, (Jakarta: Binacipta, 1983) hlm. 251

34Bryan A. Garner, ed., Black‟s Law Dictionary: Seventh Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1999), hlm. 579-580.

Seakan – akan para terdakwa dalam hal ikut serta ( medeplegen ) perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi, disebut saksi mahkota.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.sus/2011 definisi saksi mahkota diyatakan bahwa :

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota.

Mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Menurut Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.

Selain itu, dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (“SE Kejagung B-69/1997”) juga dijelaskan mengenai saksi mahkota sebagai berikut:

Dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun sejak sebelum berlakunya KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun dalam Berita Acara Pemeriksaan istilah tersebut tidak pernah dicantumkan. Dalam Praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim.

Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan pasal 189 (3) KUHP, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya.

Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti. Sebagai contoh, misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990, menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (Gesplits).35

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

35 Abi Jam’an Kurnia, “ Defenisi saksi mahkota” (https://www.hukumonline.com/

klinik/detail/ulasan/lt4fbae50accb01/saksi-mahkota/, Diakses pada 15 Juni 2020 pukul 23.00 )

tentang Hukum Acara Pidana (“Putusan MK 65/PUU-VIII/2010”) makna saksi telah diperluas menjadi sebagai berikut:

Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Kemudian keterangan ahlinya oleh Prof. Dr. Edy O.S. Hiarijz dalam Putusan Mahkamah Konstitusi no. 65/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa, dalam pengujian pasal ini ahli berpendapat bahwa pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP berdasarkan interpretasi gramatikal pada intinya mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Jika diterjemahkan secara a contrario, keterangan atas suatu peristiwa yang tidak dilihat, didengar, atau dialami sendiri bukanlah keterangan saksi.

Bila dihubungkan dengan empat hal fundamental dalam hukum pembuktian, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan apakah kesaksiannya itu relevan ataukah tidak dengan perkara pidana yang telah diproses.

Sehingga, keterangan saksi tersebut admissible ataukah not admissible merupakan kewenangan hakim untuk menentukannya dalam rangka penilaian terhadap kekuatan pembuktian dari bukti-bukti yang dianjurkan oleh penuntut umum atau terdakwa.

Jadi, definisi saksi dalam pasal 1 angka 26 dan 27 jo pasal 84 ayat 1 huruf a KUHAP harus ditafsirkan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri. Akan tetapi juga, orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu menurut penilaian tersangka dan atau terdakwa, berhubungan dengan tindak pidana yang diduga dan atau didakwakan kepadanya akan bersifat menguntungkan dan atau meringankan dirinya.

Dalam hukum acara pidana, saksi dalam perjalanannya terus mengalami perkembangan dimana kemudian dikenal istilah Justice Collaborator yaitu saksi pelaku yang bekerja sama. Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi, yakni putusan No\65/PUU-VIII/2010. Yang menyatakan bahwa seorang saksi tidak dimaknai seperti yang tertuang dalam pasal 1 Angka 26 dan 27 KUHAP, akan tetapi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Ini menujukkan adanya perluasan norma yang telah ada di dalam KUHAP sehingga keberadaan Justice

Collaborator adalah sesuai dengan pengaturan saksi dan keterangan saksi dalam KUHAP.