• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NO. 920 K/ PID.SUS/2013) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NO. 920 K/ PID.SUS/2013) SKRIPSI"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

SARAH ROH DEARNI SINAGA NIM: 160200354

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

(2)
(3)

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Justice Collaborator ... 9

2. Pengertian Tindak Pidana ... 11

3. Unnsur-unsur Tindak Pidana ... 12

4. Tindak Pidana Narkotika ... 16

F. Metode Penelitian ... 17

BAB II : PENGATURAN HUKUM JUSTICE COLLABORATOR A. Pengaturan hukum Juctice Collaborator berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 22

B. Pengaturan hukum Juctice Collaborator berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu ... 27

(4)

Kejaksaan, Kemenkumham ... 30

D. Justice Collaborator Menurut KUHAP ... 34

E. Hak dan kewajiban yang dimiliki Justice Collaborator ... 43

BAB III : ANALISIS PENJATUHAN PIDANA OLEH HAKIM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA STUDI PUTUSAN NO. 920 K/PID.SUS/2013 a. Kasus Posisi ... 55

b. Dakwaan ... 58

c. Tuntutan ... 59

d. Fakta Hukum ... 60

e. Putusan Hakim ... 63

f. Analisis Kasus ... 68

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(5)

i

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kasih karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NO. 920 K/

PID.SUS/2013)”

Penulis ingin berterima kasih pada orang tua penulis Jahoras Sinaga, S.H., dan Manna Tusiva Purba, S.Pd., yang terus memberikan dukungan baik secara moril maupun materil dan kasih sayang serta semangat kepada penulis Untuk menyelesaikan skripsi ini dan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga kepada semua pihak yang telah ikhlas memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan oleh penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan dorongan moril maupun materil kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Ok. Saidin, S.H. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

ii

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

6. Ibu Liza Erwina, S.H. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof.Dr. Ediwarman, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing I yang membantu dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini ;

8. Bapak Dr. Edi Yunara, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga dengan tulus telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan serta nasehat kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi;

9. Ibu Prof. Dr. Ningrum, S.H. M.LI, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang membantu menyelesaikan studi penulis;

10. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik penulis selama di nbangku perkuliahan;

11. Terimakasih untuk kakak penulis Elisabeth Sinaga S.Pd dan abang penulis Samuel Sinaga serta Josua Trioktober Sinaga, S.H., yang selalu memberikan dukungan penuh dan bimbingan bagi penulis;

(7)

iii

mewarnai dunia penulis selama perkuliahan;

13. Untuk teman-temanku “Skripsi / Klinis Pasti Mantap Club” Olivia, David, Juanda, Surya dan lain lain, yang selalu sediakan waktunya untuk mengerjakan skripsi dan tugas bersama.

14. Untuk rekan-rekan organisasi penulis KMK FH USU dan GMKI FH USU yang telah menjadi fasilitator pengembangan soft skill dan pengalaman hidup bagi penulis selama masa perkuliahan

15. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah turut andil dalam proses studi penulis.

Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, akhir kata dengan segenap kerendahan hati Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi dan bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2020 Hormat Penulis

Sarah Roh Dearni Sinaga 160200354

(8)

iv

Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, selain peran aparat penegak hukum diperlukan juga pihak-pihak lain yang turut bekerjasama agar kasus peredaran narkotika dapat di ungkap sampai keakar-akarnya. Tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana yang serius dan terorganisasi membutuhkan peran serta Saksi Pelaku ( Justice Collaborator ) sebagai pelaku yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana tersebut. Perumusan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu 1) Bagaimanakah pengaturan Justice Collaborator di Indonesia? dan 2) Bagaimanakah penerapan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Narkotika di Indonesia ?

Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori. Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas.

Kesimpulan yaitu, Pengaturan hukum terhadap Justice Collaborator di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) dan Peraturan bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia No. M.HH-11.HM.03.02. th.2011, No.

PER-045/A/JA/12/2011, No. 1 Tahun 2011 , No. KEPB-02/01-55/12/2011 , No. 4 Tahun 2011 Tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama. Peraturan – peraturan tersebut memuat hak dan kewajiban yang dimiliki Justice Collaborator serta penerapannya. Studi Putusan dalam penulisan ini menunjukkan bahwa penerapan dan pemberian penghargaan pada Justice Collaborator berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2011

Kata Kunci : Justice Collaborator, Narkotika, Undang-Undang, SEMA

* Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah narkotika dimulai dari kurang lebih tahun 2000 SM di Samaria ditemukan sari bunga opium ( papavor somniferitum atau kemudian lebih dikenal dengan nama opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.

Penyebaran selanjutnya adalah ke daerah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilheim menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang dikenal dengan nama morfin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1806 sewaktu pecahnya perang saudara di Amerika Serikat, morfin ini dipergunakan untuk penghilang rasa sakit akibat luka-luka perang. 1

Pada mulanya zat narkotika yang ditemukan penggunaannya ditujukan bagi kepentingan umat manusia dalam bidang pengobatan yang kemudian berkembang dengan pesat seiring dengan berbagai penemuan baru yang mempengaruhi industri obat – obatan dengan bertambahnya kategori jenis zat – zat narkotika dan beragam cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula bahwa zat – zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan berbagai efek samping negatif serta ketergantungan yang mengakibatkan pemakaian zat – zat narkotika tersebut haruslah memerlukan pengawasan dan pengendalian. Zat – zat narkotika berpengaruh pada hampir

1 Yudhi, “Sejarah singkat narkoba“ (https://dedihumas.bnn.go.id/, Diakses pada 15 Mei 2020 pukul 01.00 )

(10)

seluruh sistem tubuh, terutama pada syaraf otak dan sumsum tulang belakang.

Selain itu dapat pula menyebabkan lemahnya daya tahan serta hilangnya kesadaran. Narkotika dalam perkembangannya acap kali disalahgunakan fungsinya yang semula ditujukan bagi kepentingan pengobatan kini dapat mengancam eksistensi generasi suatu bangsa.2

Pada saat ini, penyalahgunaan narkotika di Indonesia cenderung terus meningkat. Pada tahun 2013, jumlah pengguna narkotika di Indonesia diperkirakan sekitar 4 juta jiwa. Kemudian,Kepala BNN periode 2015 sampai 2018 mengatakanbahwa jumlah pengguna narkotika pada bulan Juni 2015 sudah mencapai 4,2 juta jiwa. Bahkan jumlahnya pada bulan Nopember 2015 sudah meningkat menjadi 5,9 juta jiwa. Kondisi tersebut tentunya tidak terlepas dari trend penyalahgunaan narkotika secara internasional. Pada tahun 2014 UNODC mencatat bahwa satu dari dua puluh orang dewasa mengkonsumsi satu jenis narkotika dan mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 201.400 kasus (UNODC 2016). Pada tahun 2016, UNODC mencatat bahwa sekitar 13,8 juta (5,6%) penduduk usia antara 15 – 16 telah menggunakan kanabis (United Nations Office on Drugs and Crime 2018). 3Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa Indonesia sudah menjadi target pasar bagi produsen dan pengedar narkotika.

Bahkan Indonesia sangat mungkin sudah menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara.

Akibatnya, penyalahgunaan narkotika telah merasuk ke semua kalangan masyarakat, baik kalangan pelajar dan mahasiswa, artis, pedagang, supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya.

2 M. Taufik Makarao, Suhasril, M. Zakky. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 17

3 Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun 2019 Pusat Penelitian, Data, dan Informasi (PUSLITDATIN) Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia hlm. 5

(11)

Angka prevalensi penyalahgunaan narkotika pernah pakai (lifetime prevalence), yaitu mereka yang pernah memakai narkotika paling tidak sekali seumur hidupnya, sebanyak 2,40% atau sekitar 240 dari 10.000 orang penduduk.

Angka ini setara dengan 4.534.744 penduduk Indonesia yang berusia 15-64 tahun.

Adapun angka prevalensi setahun terakhir pakai sebesar 1,80% atau 180 dari 10.000 penduduk yang berusia 15-64 tahun. Angka ini setara dengan 3.419.188 orang penduduk Indonesia yang berusia 15-64 tahun. 4

Data di atas menunjukkan pentingnya penanggulangan tindak pidana narkotika di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah narkotika, baik melalui kampanye anti narkotika, sosialisasi, pemberdayaan, maupun penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga sudah memberikan ancaman sanksi pidana yang cukup berat terhadap pengguna narkotika. Namun berbagai upaya untuk menangkal merebaknya peredaran narkotika masih belum efektif, karena dalam realitasnya penggunaan dan peredaran perdagangan narkotika terus berlangsung, bahkan kejahatan narkotika pada saat ini sudah pada tahap darurat narkotika.5

Tindak pidana Narkotika sebagai kejahatan yang serius dan luar biasa terlihat pada Konvensi Tunggal Konvensi PBB tentang Narkotika Narkotika, 1961, dan Konvensi PBB tentang Lalu Lintas Gelap Narkotika dan Zat Psikotropika6, 1988 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dimana kedua konvensi mengklarifikasi pelanggaran narkotika sebagai kejahatan serius. Pelanggaran

4 Loc,.cit

5 M. Taufik Makarao, Suhasril, M. Zakky, Op.cit., hlm 121.

6“Konvensi Zat Psikotropika” (https ://en.wikipedia .org/wiki/Convention-on- Psychotropic-Substances , Diakses pada 16 mei 2020, 23.00 )

(12)

penyalahgunaan narkotika adalah kejahatan berat dan serius, tetapi hanya pelanggaran dengan faktor yang memberatkan yang dapat meningkatkannya ke pelanggaran serius yang melarang berbagai kegiatan yang terkait dengan produksi, penanaman, perdagangan, transportasi, kepemilikan atau pembelian narkotika ilegal, juga sebagai pelanggaran lain yang terkait dengan pencucian uang hasil dari perdagangan narkotika. Kejahatan seharusnya dianggap sebagai kejahatan yang sangat serius jika melibatkan partisipasi dengan domestik atau kelompok internasional, menggunakan kekerasan atau senjata api, dan keterlibatan minor dan kolaborasi pejabat publik. Kemudian, dalam proses persidangan Mahkamah Konstitusi, eksekutif berpendapat bahwa pelanggaran narkotika adalah kejahatan luar biasa karena bertujuan membunuh dan menghancurkan manusia secara perlahan tapi pasti. Demikian Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 2 / PUU-V / 2007 dan No. 3 / PUU-V / 2007 tanggal 30 Oktober 2007 menerapkan konsep kejahatan luar biasa untuk pelanggaran penyalahgunaan narkotika.7

Saat ini tindak pidana Narkotika tidak hanya dilakukan secara perorangan, namun telah melibatkan banyak orang secara berkelompok dan bekerjasama membentuk sindikat jaringan terorganisasi yang terencana, rapih dan rahasia dengan jaringan yang luas, mobilitas tinggi serta menggunakan modus operandi baru. Selain itu, pelaku kejahatan terorganisasi (organized crime) tentunya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan peran, motif, tugas serta fungsinya masing-masing baik sebelum kejahatan dilakukan hingga

7 Vidya Prahassacitta, “The concept of extraordinary crime in Indonesia legal system : is the concept an effective criminal policy”, Humaniora Bina Nusantara University Vol.7 No.4 Oktober tahun 2016, hlm. 515.

(13)

melakukan aktivitas penghilangan jejak setelah kejahatan dilakukan sehingga semakin sulit dalam pengungkapannya8.

Suatu kasus yang bersifat organized crime dan extra ordinary crime seperti tindak pidana korupsi, narkotika, psikotropika, pencucian uang, dan perdagangan manusia yang sulit pembuktiannya, memerlukan kehadiran saksi, untuk membantu mengungkap para pelaku kejahatan. Kejahatan terorganisir (organized crime) sulit dibongkar, karena beberapa hal : 9

1. Pelaku kejahatan terorganisir menggunakan hubungan antara beberapa pelaku kunci, dengan modus kejahatan yang juga dilakukan dalam sel-sel terpisah, sehingga sulit dirangkai dalam satu kejahatan tunggal. Tiap pelaku yang terlibat dalam tindak kejahatan tersebut saling mengembangkan jaringan satu sama lain, baik melalui koneksi pribadi, keluarga, bisnis ataupun melalui koneksi asosiasi profesi, bahkan koneksi politik, regional maupun internasional. Karena itu sulit mengetahui siapa pelaku utama kejahtannya, termasuk rangkaian struktur pelaku.

2. Hubungan dibangun sifatnya mutualisme, saling memberi keuntungan.

Para pelaku bersatu dalam menghadapi penyidikan, atau kecil kemungkinan hingga ada penuntutan karena telah diorganisir rapi dan rahasia. Serta apabila terjadi permasalahan internal, mereka menyelesaikan dengan menggunakan hukum rimba yang akibatnya hingga pembunuhan.

8 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime, Bandung : Alumni, 2015, Hlm 34.

9Perlindungan (jurnal saksi dan korban)” Jurnal LPSK , Edisi 4 Vol. 1 Tahun 2014, Hlm. 82.

(14)

3. Sulit mengidentifikasi atau bahkan tidak ada tempat kejadian perkara, yang pasti minim bukti forensik untuk mengidentifikasi pelaku. Bukti materiil seperti dokumen transaksi dan aset yang dibeli dari hasil kejahatan, dapat disembunyikan, dihancurkan, dialihkan, atau dipercayakan kepada orang lain untuk dikelola. Sehingga jejak kejahatan menjadi kabur dan susah dilacak. Bahkan para saksi telah dibayar untuk memberi kesaksian palsu.

4. Adanya backing dari oknum aparat pemerintah yang berkuasa. Bahkan oknum tersebut menjadi mitra kunci atau bos besar (good father) kejahatan, yang sama-sama mengendalikan sebuah bisnis. Pelaku yang merupakan orang berkuasa itu sering kali menggunakan pengaruh kekuasaanya untuk mencampuri penyidikan, mengintimidasi para saksi, atau menghalangi saksi bekerjasama dengan aparat penegak hukum.

Salah satu langkah efektif yang dapat digunakan untuk menembus ke dalam jaringan kejahatan terorganisasi adalah dengan menggunakan bantuan dari pelaku yang merupakan orang dalam (inner circle criminal), dan terlibat secara langsung dalam kejahatan yang dilakukannya bersama-sama dengan pelaku lainnya. Orang dalam tersebut dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa saja yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan tersebut dilakukan, dan di mana bukti-bukti yang lain dapat ditemukan, sehingga penanganannya oleh penegak hukum menjadi lebih optimal. 10Istilah saksi kini berkembang termasuk didalamnya Justice Collaborators, yang merupakan

10 Indriyanto Seno Adji, “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Makalah Diskusi Panel Undang-Undang Perlindungan Saksi di Indonesia, Jakarta, 2012, Hlm 4.

(15)

seseorang yang mengungkap suatu kebenaran dalam tindak pidana terorganisir kepada aparat penegak hukum.

Dengan demikian kehadiran Justice Collaborators menjadi sangat penting karena mereka dapat menyediakan bukti penting terkait pihak yang terlibat, peran, mekanisme kejahatan dilakukan, dan bukti-bukti lainnya yang dapat memudahkan penanganan kasus. Yang bersangkutan bisa membongkar dan mengungkap tindak pidana terorganisir lebih jauh. Hal itu dikarenakan, Justice Collaborators ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi, narkotika atau kejahatan terorganisi lainnya.

Selain itu peran seorang Justice Collaborators dalam mengungkap suatu kejahatan terorganisir sangat besar dan informasinya sangat penting untuk membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap jaringan kejahatan yang selama ini tertutup sangat rapi. Sehingga, sudah sepantasnya peran Justice Collaborators diterapkan secara efektif serta menerima penghargaan dari negara, sebagaimana ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan Konvensi internasional lainnya dalam melawan kejahatan serius selama ini.

Maka berdasarkan uraian – uraian tersebut penulis ingin mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap Justice Collaborator di Indonesia, Bagaimana kedudukan terdakwa dalam tindak pidana narkotika sebagai Justice Collaborator dan apa hak dan kewajibannnya di Indonesia. Dengan demikian penulis menyusun sebuah skripsi dengan judul “ Tinjauan Yuridis Penerapan

(16)

Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan No. 920 K/Pid.Sus/2013).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan dibahas penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap Justice Collaborator di Indonesia ?

b. Bagaimanakah penerapan Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal menjadi tujuan dalam rangka pencapaian atas pengkajian permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun tujuannya adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan hukum terhadap Justice Collaborator di Indonesia.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfat Teoritis

Penulisan ini diharapkan memberi manfaat yang sangat besar untuk ilmu pengetahuan dan menambah literature dan referensi mengenai penerapan Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika di Indonesia dan juga

(17)

diharapkan memberikan sumbangsih terhadap kalangan civitas akademika, serta para ilmuwan lainya.

2. Manfaat Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum dan pemerintah sehingga dapat memperhatikan penerapan Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika dalam proses peradilan pidana dan juga masalah perlindungan hukum kepada Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Penerapan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan 920K/Pid.Sus/2013) merupakan hasil pemikiran penulis sendiri tanpa adanya suatu proses penjiplakan atas karya tulis manapun. Tulisan dengan judul: “Tinjauan Yuridis Penerapan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan 920K/Pid.Sus/2013) belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Walaupun topik yang mungkin serupa namun ada sudut pandang dan pembahasan yang pasti berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah atau secara akademik.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Justice Collaborator

Pada dasarnya, lahirnya undang-undang yang memfasilitasi justice collaborator dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali di Amerika

(18)

Serikat tahun 1970- an. Fasilitas tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sicilia). Untuk kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktekkan di Italia (1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Perancis (1986) dan Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkotika diterapkan di Yunani (1970), Perancis, Luksemburg dan Jerman. Terminologi justice collaborator dipergunakan berbeda di negara-negara tersebut seper “supergrasses” (Irlandia), “pen” atau “pento”

(Italia) yang berar “mereka telah bertobat” atau disebut “callaboratore della giuszia”.11

Di Indonesia Justice Collaborator diartikan sebagai pelaku yang bekerjasama, menurut UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada pasal 1 angka 2 Justice Collaborator diartikan sebagai saksi pelaku yang adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Merujuk pada SEMA NO. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Justice Collaborator adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu namun bukan pelaku utama yang mengakui kejahatannya serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

11 Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,” Perlindungan Hukum Whistleblower dan Jusce Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia“Vol. 1 No. 3, Tahun 2014

(19)

Tindak Pidana Tertentu yang dimaksud ialah tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

2. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “ tindak pidana” atau “peristiwa pidana “ adalah sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “ Strafbaar feit “ atau “ delict “. Dalam bahasa Indonesia di samping “ peristiwa pidana “ untuk terjemahan “ strafbaar feict “ atau “delict” itu sebagaimana yang dipakai oleh Mr. R Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan lain seperti :

a. Tindak pidana ( antara lain dalam Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi );

b. Peristiwa pidana (Prof. Mulyatmo, dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI pada tahun 1955 di Yogyakarta);

c. Pelanggaran pidana ( Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok- Pokok Hukum Pidana);12

Di antara beberapa istilah tersebut di atas yang paling tepat untuk dipakai adalah istilah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat atau bertindak, akan tetapi juga yang tidak berbuat ( melanggar suruhan/gebod ) atau tidak bertindak.

12 Kansil. C.S.T., Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional Jakarta, Jala Permata Aksara, 2009, hlm.1

(20)

Beberapa ahli hukum berusaha memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana, misalnya seperti yang dikemukan oleh :

a. D. Simons

Menurut Prof. Simon istilah “peristiwa pidana” yaitu perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

b. Van Hamel

Perumusan ahli hukum ini sebenarnya sama dengan D. Simons namun ditambah satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus pula atau patut dipidana ( welk handeling een starfwaardig karakter heeft ).

c. Vos

Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (een strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit).13

3. Unsur – Unsur Tindak Pidana

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindakan pidana dapat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam buku II dan buku III. Kejahatan menunjuk pada suatu perbuatan yang menurut nilai – nilai kemasyarakatan dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara tertulis dalam ketentuan undang-undang. Oleh karenanya disebut Rechtsdelicten. Sedangkan pelanggaran menunjuk pada perbuatan yang oleh masyarakat bukan perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana karena ditentukan oleh undang-undang.

13 Ibid, hlm 3.

(21)

Tindak pidana memiliki 2 sifat yaitu :

1. Formil

Delik formil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah perbuatannya. Contohnya pada Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

2. Materil

Delik materil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang –undang. Dalam jenis tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang –undang adalah akibatnya. Contohnya pada pasal 338 tentang pembunuhan dan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Adami Chazawi merumuskan unsur-unsur tindak pidana dari berbagai pendapat ahli hukum, seperti moeljatno, jinkers, dan scharvendijk.14

a) Moeljatno mengatakan bahwa unsur pidana meliputi:

1) Perbuatan

2) Yang dilarang; (oleh aturan hukum)

3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) b) R. Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:

1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3) Diadakan tindakan pengukuhan.

14 Adami Chazawi, “ Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1”, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002, hlm 79

(22)

c) Jonkers, merinci unsur-unsur pidana sebagai berikut:

1) Perbuatan (yang);

2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

4) Dipertanggungjawaban

d) Sedangkan unsur yang dikemukakan oleh Schravendijk adalah:

1) Kelakuan (orang yang)

2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

3) Diantacam dengan hukum;

4) Dilakukan oleh orang (yang dapat) 5) Dipersalahkan/kesalahan.

Menurut Lamintang “tindak pidana yang terdapat dalam kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subektif dan unsur objektif.15

Unsur-unsur Subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa) Dolus berarti sengaja ; delik ini adalah perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Contohnya seperti dalam Pasal 338 KUHP, yaitu Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Culpa berarti alpa ; delik ini adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan ( ketidakhati-hatian saja ). Contohnya seperti di dalam Pasal 359 KUHP.

b. Maksud voornemen pada suatu perccobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.

15 P.A.F. Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, PT Citra Aditya Bakti:

Bandung,2014, hlm 193

(23)

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut dan stress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sementara Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri si pelaku tindak pidana. Menurut Lamintang, unsur objektif itu adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur Objektif dari suatu tindak pidana sebagai berikut:

Sifat melanggar hukum atau wedderrechtelijkheid;

a. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau

“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP

b. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

c. Pelaku Tindak Pidana Narkotika dapat dikenakan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Sebagai pengguna : Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan paling lama 15 tahun.

2) Sebagai pengedar : Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.

3) Sebagai produsen : Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.

4. Tindak Pidana Narkotika

(24)

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 kategorisasi perbuatan tanpa hak dan tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni :

a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika;

b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika;

c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika;

d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika.

Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan narkotika golongan II seperti ekgonina, morfina atau golongan III seperti etilmorfina, kodeina dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri. Pasien tersebut harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki,

(25)

disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.16

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Metodologi penelitian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui suatu masalah yang akan diteliti. Suatu penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilakunya atau data empiris) dan dari bahan pustaka. Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada17:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematika hukum c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum d. Penelitian terhadap sejarah hukum e. Penelitian terhadap perbandingan hukum

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literature yang berkatian dengan permasalahan. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

16 Siswanto. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika ( UU Nomor 35 Tahun 2009). Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Hlm 256.

17 Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan, 2015, Hlm 97.

(26)

yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang mengatur permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam pratiknya.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah metode yang akan diterapkan dalam penelitian hukum yang akan dilakukan oleh peneliti. Peneliti dapat memakai metode pendekatan Normatif (Legal Research) antara lain pendekatan Undang-undang (Statute Approach), metode pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan Historis (Historical Approach), pendekatan komparatif (Comparative Approach), pendekatan konseptual (Conseptual Approach) atau mempergunakan metode Empiris (Yuridis sosiologis) dan dapat juga menggunakan gabungan antara kedua metode pendekatan tersebut18.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Normatif yang secara deduktif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan di atas, metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundangundangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek19.

3. Lokasi Penelitian

18 Ibid, Hlm 99

19 Ibid, Hlm 99-100

(27)

Lokasi Penelitian penulis dalam melakukan penelitian ini adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Perpustakaan Universitas USU.

4. Alat Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul data berupa :20

a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket) d. Pengamatan (Observasi)

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) yaitu dengan melakukan peneltian terhadap data sekunder yang meliputi Peraturan-peraturan Nasional yang berhubungan dengan tulisan ini, Yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung No. 920 K/Pid.Sus/2013 serta penelitian terhadap Bahan Sekunder, yang meliputi karya penelitian, karya dari kalangan hukum lainnya, dan hasil penelitian, dan bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan sebagainya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat.

Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindunga Saksi dan Korban Jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No 4 tahun 2011, Peraturan Bersama tentang Justice

20 Ibid, Hlm 113

(28)

collaborator antara Mentri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK dan Yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung No. 920 K/Pid.Sus/2013

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini meliputi : literatur, buku, koran, makalah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan (library research) dengan tujuan mencari konsep- konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penerapan Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika.

a. Studi Pustaka yaitu dengan cara mengkaji literatur, hasil penelitian hukum, dan jurnal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian ini.

(29)

b. Studi dokumen yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen yang berupa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindunga Saksi dan Korban Jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No 4 tahun 2011, Peraturan Bersama tentang Justice collaborator antara Mentri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK, dan Putusan Mahkamah Agung No 920 K/ Pid.sus/ 2013.

6. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

Analisis data dalam penelitian hukum mempergunakan metode pendekatan kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.21

21 Ibid, Hlm 99-100

(30)

BAB II

PENGATURAN HUKUM JUSTICE COLLABORATOR

A. Pengaturan Hukum Justice Collaborator Berdasarkan UU NO. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU NO. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia sampai pada tahun 2006 belum diatur secara khusus, adapun pasal 50 sampai pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada suatu proses peradilan pidana saksi menjadi salah satu kunci penting dalam upaya mengungkap suatu tindak pidana, terlebih dalam jenis tindak pidana serius dan terorganisir keberadaan saksi sangat diperlukan mengingat sulitnya pembuktian dan tertutup rapatnya organisasi pelaku tindak pidana tersebut namun keberadaan saksi yang bersedia mengungkap suatu tindak pidana luar biasa sering mendapat ancaman baik secara fisik dan psikis dari pihak tertentu sehingga saksi lebih memilih diam atau penegak hukum dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan mengenai tindak pidana kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi.

Maka dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang bersedia membantu upaya

(31)

mengungkap tindak pidana tersebut sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:

1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban;

2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan

4. Ketentuan pidana22

Munculnya perubahan atas UU NO. 13 Tahun 2006 dipicu oleh perlunya penyesuaian hukum mengenai perlindungan saksi dan korban sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Salah satu kelemahan yang terdapat dalam undang- undang tersebut adalah belum adanya ketentuan-ketentuan yang mengakomodir mengenai justice collaborator. Selain pentingnya jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban yang berperan dalam proses peradilan pidana sehingga dapat diperoleh keterangan yang bebas dari rasa takut dan ancaman demi mengungkap suatu tindak pidana perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana

22 Penjelasan umum Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(32)

transnasional yang terorganisasi, maka diperlukan perlindungan pula bagi saksi pelaku, pelapor, dan ahli.

Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Terdapat beberapa kelemahan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya mengenai:23

a. kelembagaan yang belum memadai untuk mendukung tugas dan fungsi LPSK dalam memberikan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban;

23 Penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(33)

b. keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi penjabaran dari tugas dan fungsi LPSK yang berimplikasi pada kualitas pemberian layanan Perlindungan Saksi, Korban, Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli;

c. koordinasi antarlembaga dalam pelaksanaan pemberian Kompensasi dan Restitusi; dan

d. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan hal tersebut diperlukan perubahan pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban dalam Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur salah satunya ialah pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap Saksi Pelaku (Justice Collaborator ) yang terdapat dalam pasal – pasal berikut ini :

Pasal 1 angka 2 yang memberikan pengertian mengenai Justice Collaborator yaitu Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.

Pasal 5 ayat (3) yang mengatur ketentuan bahwa Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentusebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku.

Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/ataulaporan yang akan,

(34)

sedang,atau telah diberikannya,kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hinggakasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputusoleh pengadilan danmemperolehkekuatan hukum tetap.

Pasal 10A

(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

(2) Penanganansecara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;

b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutanatas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau

c. memberikan kesaksian di depan persidangantanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaanatas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. keringanan penjatuhan pidana; atau

(35)

b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

(5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Selebihnya pengaturan ini memuat pembahasan kewenangaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan kedudukannya yang semakin dipertegas dalam hal pemberian rekomendasi terhadap instansi terkait mengenai penanganan saksi dan korban.

B. Pengaturan Hukum Justice Collaborator Berdasarkan SEMA NO. 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

Latar belakang terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 sebagai tindak lanjut Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi ( United Nations Convention Againts Corruption) tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut :

Ayat (2) : setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu “ mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.

(36)

Ayat (3) : setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan

“kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan ( Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.

Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi ( United Nation Convention Againts Transnational Organized Crimes 2000). Nilai-nilai moralitas hukum dari ketentuan – ketentuan Konvensi tersebut sepatutnya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan terkait dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 dan Undang-Undang No.

5 Tahun 2009. 24

SEMA No.4 Tahun 2011 ini diterbitkan pula didasari bahwa Mahkamah Agung menilai ketentuan mengenai perlindungan terhadap pelapor tindak pidana ( whistleblower) dan saksi pelaku bekerjasama (justice collaborators) yang telah diatur di dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut :

1. Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan sedang atau yang telah diberikannya.

2. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

24 Butir 3,4,dan 5 SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators)

(37)

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan Hakim dalam meringankan pidana.

Penguraian dalam pasal 10 undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban sama sekali tidak didukung definisi maupun penjelasan yang terdapat dalam undang-undang tersebut sehingga menyebabkan multitafsir terhadap para hakim kecenderungan dengan adanya bunyi pasal tersebut mengarahkan pada kondisi pemberian saksi sama dengan saksi mahkota yang telah lama berkembang dalam praktik hukum acara pidana.Padahal jika dipahami maka pasal 10 undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban mengisyaratkan berbeda yaitu disini pelaku mengungkap kejahatan yang lebih besar akan tetapi undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tidak memuat prosedur ditambah tidak ada kejelasan pemberlakuannya untuk tindak pidana tertentu sehingga dapat dikatakan berlaku untuk seluruh tindak pidana.

Mahkamah Agung melalui Sema nomor 4 tahun 2011 merumuskan pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama / justice collaborator adalah sebagai berikut :

a. yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini,

b. Mengakui kejahatan yang dilakukannya, c. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut,

d. Memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan,

e. Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat

(38)

signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.25

Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan surat edaran dalam rangka mengapresiasi pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama serta melindungi hak-hak yang berkenaan dengan perlindungan bagi mereka yang membantu dalam proses peradilan untuk mengungkap tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika dan tindak pidana lain yang tertera pada butir ke satu.

Dalam upaya menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam butir ke satu di atas, harus diciptakan iklim yang kondusif antara lain dengan cara memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan, dan/atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana dimaksud secara efektif.

C. Pengaturan Hukum Justice Collaborator Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia

Sistem Peradilan Pidana Indonesia menurut Prof. Subekti adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari

25 Butir 9 huruf a dan b SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators)

(39)

suatu pemikiran untuk mencapai tujuan. Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan antara bagian-bagian tersebut dan juga tidak boleh terjadi suatu duplikasi atau tumpang tindih (overlapping) diantara bagian-bagian itu. 26 Sistem peradilan pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem pendukungnya, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, yang secara Keseluruhan dan merupakan suatu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yaitu, menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.27

Istilah “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana, kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut: Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu.28

26 Soebekti, Sistem Hukum Nasional yang akan datang. Termuat dalam Hukum dan Pembangunan No.4 tahun IX, Juli 1979, Jakarta: Fakultas Hukum UI. Hlm 349.

27 Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia . Yogyakarta : Penerbit UII Press, 2011. Hlm. 13.

28Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010. Hlm. 2.

(40)

Peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia No. M.HH-11.HM.03.02.

th.2011 , No. PER-045/A/JA/12/2011 , No. 1 Tahun 2011 , No. KEPB-02/01- 55/12/2011 , No. 4 Tahun 2011 tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama ditetapkan pada tanggal 14 Desember 2011 dilatarbelakangi oleh pentingnya keberadaan pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku bekerjsama yang dapat membantu penegak hukum dalam upaya mengetahui, menemukan kejelasan dan mengungkap suatu tindak pindana, termasuk pelaku utama suatu tindak pidana dan dipandang ketentuan yang sudah ada belum sepenuhnya dapat memberikan jaminan dan perlindungan yang memadai bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama.

Pembentukan peraturan bersama tentang perlindungan terhadap pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama adalah merupakan bagian dari Program Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilaksanakan dengan melibatkan seluruh lembaga yang terkait dengan proses penyelesaian perkara pidana.

Peraturan bersama ini memberikan batasan pengertian mengenai saksi pelaku yang bekerjasama, yaitu adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan

(41)

memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.29

Maksud dan Tujuan Peraturan Bersama ini adalah untuk :30

a. Menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat penegak hukum

b. Memberikan pedoman dalam kordinasi di bidang perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

c. Mewujudakan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hukum dalam upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

d. Menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan pemberian penghargaan bagi masyarakat yang turut berperan

e. Membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan membantu dalam pengembalian aset hasil tindak pidana secara efektif.

Sebagaimana diatur dalam peraturan bersama ini syarat seseorang untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama dipisahkan dari syarat memperoleh perlindungan bagi Pelapor dan Saksi Pelapor yang secara

29 Pasal 1 angka 3 Peraturan bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia No. M.HH-11.HM.03.02. th.2011 , No. PER-045/A/JA/12/2011 , No. 1 Tahun 2011 , No. KEPB-02/01-55/12/2011 , No. 4 Tahun 2011 Tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama

30 Pasal 2 Peraturan bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia No. M.HH-11.HM.03.02. th.2011 , No. PER-045/A/JA/12/2011 , No. 1 Tahun 2011 , No. KEPB-02/01-55/12/2011 , No. 4 Tahun 2011 Tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama

(42)

umum sama yaitu adanya informasi penting atau keterangan yang signifikan, relevan dan andal yang diperlukan dalam mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya Syarat lain yang dicantumkan bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah :

a. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya

b. Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis

Peraturan Bersama ini juga memuat hak yang diperoleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama berupa :

a. Perlindungan fisik dan psikis b. Perlindungan hukum

c. Penanganan secara khusus d. Penghargaan

Selain itu untuk mewujudkan sinergitas antar institusi yang berperan maka diatur pula mekanisme untuk mendapatkan perlindungan dan membatalkan perlindungan, serta peraturan teknis lainnya hingga masalah pembiayaan yang diperlukan.

D. Justice Collaborator Menurut KUHAP

Dalam proses peradilan pidana, salah satu hal yang harus terpenuhi adalah pembuktian. Dimana tanpa adanya pembuktian, maka tidak akan dapat terlaksana

(43)

proses peradilan tersebut. Dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut,

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 31

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada salah seorang terdakwa harus:

a. kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”,

b. dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Dari pasal 183 KUHAP tersebut terlihat bahwa hukum acara kita memiliki kecenderungan menganut teori pembuktian secara negatif. Seorang baru dapat dinyatakan bersalah jika minimal dua alat bukti yang sah ditambah seorang hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana.

Keyakinan yang dimiliki oleh hakim haruslah berdasarkan ketentuan yang ada didalam KUHAP. Artinya seorang hakim dalam memutus perkara hakim terbatas pada alat bukti yang tertera didalam KUHAP. Sistem pembuktian ini akan mengarah pada proses pembuktian di pengadilan, sehingga hakim dapat memutus perkara secara obyektif.32

31 Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika (suatu kompilasi kajian). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005. Hlm. 461.

32 Ibid, hlm 462

(44)

Dalam KUHAP telah mengatur beberapa alat bukti yang dapat digunakan.

Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Salah satu alat bukti yang sering digunakan adalah keterangan saksi. Saksi dalam Pasal 1 butir 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah : Saksi adalah orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu.

Terdapat beberapa jenis saksi :

1. Saksi Korban

Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP mengatakan bahwa di ruang sidang yang pertama-tama di dengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti

Fasmi, Lasnofa dan Fauzan Misra, 2012, “Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

[r]

Pengaturan Merger baru diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang dig anti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Kedisiplinan, Pengalaman Kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Home Industry Rose Jaya” diajukan untuk memenuhi serta melengkapi

Sementara itu yang mengalami tren nilai ekspor negatif, atau dengan kata lain nilai ekspor cenderung menurun adalah komoditas-komoditas olahan pertanian, karena industri

 Menerapkan hukum kekekalan energi meka- nik pada gerak misal- nya gerak jatuh bebas, gerak parabola dan gerak harmonik seder- hana.  Menerapkan hukum kekekalan energi meka-

Program unggulan dalam bidang seni dirancang untuk memberi warna lain di mata masyarakat sehingga menjadi salah satu strategi menghadapi persaingan dengan sekolah lain salah