• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Karakterisasi Tepung Jagung

2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung

1 Srikandi Kuning 83.46 ± 5.86 7.88 ± 1.64 2 Bisma 88.82 ± 5.12 6.28 ± 0.35 3 Sukmaraga 111.17 ± 7.98 2.89 ± 1.76 4 Lamuru 105.32 ± 22.57 5.69 ± 0.71 5 Arjuna 104.85 ± 8.70 4.61 ± 0.14

Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai standar deviasi untuk kedua parameter mutu cukup tinggi. Variasi ini diperkirakan terjadi akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu sedikit (100 g) dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol, yaitu tekanan. Oleh sebab itulah dilakukannya justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dengan menggunakan bahan baku yang lebih banyak dan memberikan tekanan secara manual.

2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung

Justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan menaikkan basis bahan baku menjadi dua kali lipat lebih banyak dari penelitian pendahuluan, yaitu 200 gram tepung jagung, 2% garam dapur (4 gram) dan jumlah air yang ditambah hingga kadar air tepung mencapai 70%. Selain itu juga dilakukan pemberian tekanan secara manual menggunakan sebuah balok kayu selama adonan berada dalam ekstruder. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (fiiling rate).

Filling rate diukur dengan cara menghitung waktu keluar mie

yang pertama dari die hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder. Perlakuan tekanan dilakukan pada tepung jagung varietas NT10. Hasil pengukuran filling rate dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil filling rate

Ulangan Dengan Tekanan Tanpa Tekanan (Normal)

1 2 menit 30 detik 2 menit 50 detik

2 2 menit 35 detik 2 menit 53 detik

3 2 menit 35 detik 2 menit 52 detik

Rata-Rata 2 menit 33 detik 2 menit 51 detik

Berdasarkan Tabel 15. dapat kita ketahui bahwa pemberian tekanan secara manual dapat mempersingkat waktu filling rate. Kecepatan berbanding terbalik dengan waktu. Semakin cepat mie keluar dari die maka semakin singkat waktu filling rate yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh penelitian Fahmi (2007) yang menyatakan bahwa kualitas mie basah jagung dengan teknologi ekstrusi yang paling baik adalah mie yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm dibandingkan dengan kecepatan ulir 110 dan 120 rpm. Mie basah jagung yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah.

Nilai persen elongasi pada justifikasi dan penelitian selanjutnya tidak menggunakan Texture Analyzer TATX-2 tetapi menggunakan Rheoner. Hal ini dikarenakan Texture Analyzer yang ada tidak bisa digunakan. Akan tetapi, agar hasil yang didapatkan tidak rancu, dilakukan beberapa kali analisis sampel yang sama dengan penelitian pendahuluan menggunakan Rheoner. Dari hasil yang didapatkan dilakukan uji t-test menggunakan data analysis pada Microsoft Excel. Dari hasil uji ini didapatkan hasil bahwa nilai persen elongasi hasil TATX-2 tidak berbeda nyata dengan nilai persen elongasi menggunakan Rheoner pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 6A). Sehingga pergantian alat analisis tidak berpengaruh nyata pada hasil analisis yang didapatkan.

Hasil analisa persen elongasi dan KPAP dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung

Dari Gambar 25. dapat kita ketahui bahwa mie basah jagung yang dihasilkan dengan perlakuan tekanan memberikan nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah jagung tanpa perlakuan tekanan.

Kemudian dilakukan juga uji pengaruh tekanan terhadap hasil analisa KPAP dan persen elongasi. Uji yang dilakukan menggunakan data analysis dengan Microsoft Excel. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% tekanan berpengaruh nyata terhadap kelarutan nilai KPAP dan persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan tekanan akan menghasilkan KPAP dan persen elongasi yang berbeda (Lampiran 6B).

Justifikasi dilanjutkan dengan melakukan analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Elektron Microscope). Analisa mikrostruktur ini berguna untuk melihat kekuatan ikatan antar granula dan keseragaman matriks amilosa setelah terjadinya proses gelatinisasi pati secara sempurna. Analisa ini dilakukan pada sampel mie basah jagung salah satu varietas terpilih dengan dan tanpa tekanan. Sebelum dilakukan analisis menggunakan SEM sampel didehidrasi terlebih dahulu. Hal ini mencegah kerusakan alat SEM yang disebabkan oleh uap air yang dihasilkan sampel saat dianalisis dengan tekanan tinggi. Proses dehidrasi yang dipilih adalah proses dehidrasi yang tidak merusak struktur dari sampel, salah satu metode yang disarankan adalah metode freeze drying (Kalab, 1983 dalam Peleg dan Bagley, 1983).

Proses freeze drying dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Sampel mie basah dimasukkan ke dalam tabung khusus freeze drying. Kemudian atur suhu (-76) oC. Mesin freeze dry di running dan alat vakum dinyalakan. Sampel di freeze dry ± 15 jam agar sampel mencapai kadar air maksimum 5%. Sampel yang sudah di freeze dry kemudian di simpan dalam cawan petri yang dimasukkan ke dalam desikator. Hal ini berfungsi untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Menurut Noor (2001),

kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisa, karena analisa SEM merupakan pengamatan permukaan sampel, jadi sampel benar-benar harus dipersiapkan sebersih mungkin.

Kemudian sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm. Sampel di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan carbon

double tape. Carbon double tape berfungsi untuk merekatkan sampel

pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan sampel dan karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat. Selain berfungsi agar sampel memiliki sifat konduktif terhadap elektrik (bagus mengantarkan elektron, karena sampel biologis tidak bagus dalam mengantarkan elektron), coating juga berguna untuk mengurangi sampel menerima elektrostatik dan meningkatkan jumlah secondary electron (Noor, 2001). Hal yang terpenting dalam coating adalah membuat coating setipis mungkin. Coating juga bisa menggunakan platinum dan karbon. Coating dilakukan selama 4 menit. Menurut Noor (2001) dengan waktu 4 menit didapatkan ketebalan coating sebesar 300 °A.

Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisa SEM dilakukan pada dua perbesaran, yaitu X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan mie basah jagung (X2000) dan melihat struktur granula pati setelah gelatinisasi (X3500). Hasil analisa menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 27.

Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification (perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.

(a) (b) (b) (d) 20 kV X3500 20 kV X2000 DS PDS DS SS 20 kV X2000 20 kV X3500 20 kV X2000 20 kV X3500 DS (e) (f) Keterangan :

(a) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (c) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X11000

(X2000)

(d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (e) Mie basah jagung terigu 20kV X11000 (X2000)

(f) Mie basah jagung terigu 20kV X9000 (X3500)

Gambar 27. (a) dan (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan manual

(c) dan (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan manual (e) dan (f) Mie basah terigu

SS = swollen starch (pati yang mengembang); PDS = partially disintegrated starch (bagian-bagian pati yang meleleh) ; DS= disintegrated starch (pati yang meleleh).

Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual menghasilkan gambar mikrostruktur yang tidak beraturan. Tidak terlihat jelas ikatan amilosa yang terbentuk akibat melelehnya pati (Gambar 27a.). Pada Gambar 27b. terlihat jelas bahwa antar granula amilosa yang keluar tidak membentuk matriks yang kompak dan masih banyak pati yang belum mengalami gelatinisasi sempurna, dimana PDS (bagian-bagian pati yang meleleh) tidak membentuk matriks yang kompak.

Menurut Astawan (2005) proses gelatinisasi dapat menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang akan memberikan kelembutan pada pati dan pengaruhi elastisitas mie. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih rendah karena tidak kuatnya amilosa yang keluar dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi, sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian mie, mie cenderung mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih besar karena ikatan amilosa yang tidak kuat dan kurang kompak akan cenderung mudah lepas saat dilakukan pemasakan.

Berbeda halnya dengan Gambar 27 c dan d. Pada gambar tersebut terlihat jelas ikatan yang terbentuk akibat keluarnya amilosa saat pati meleleh saat proses gelatinisasi terjadi. Matriks yang terbentuk cukup kompak dan ikatannya cukup kuat. Pati yang meleleh (DS) membentuk matriks yang cukup kompak. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih tinggi karena amilosa yang keluar cukup sempurna dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian mie, mie tidak mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih rendah karena ikatan amilosa yang cukup kuat dan matriks yang seragam menyebabkan tidak begitu banyak partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan pemasakan.

Hasil SEM pada Gambar 27 e dan f (mie terigu) memperlihatkan hasil yang cenderung sama dengan Gambar 27 c dan d (mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual). Analisa SEM menggunakan

sampel mie basah terigu memperlihatkan bentuk matriks yang kuat dan kompak. Hal inilah yang membuat mie basah terigu memiliki nilai persen elongasi tinggi dan nilai KPAP yang rendah.

Menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan tekstur produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat menyerap air lebih banyak. Banyak sedikitnya air yang terserap saat proses gelatinisasi akan mempengaruhi sempurna atau tidaknya proses gelatinisasi. Jika air yang terserap sedikit, maka yang terjadi hanya proses gelatinisasi sebagian (Muchtadi et al., 1987).

Hal ini mendukung data hasil karakterisasi parameter mutu inti mie basah jagung yang dilakukan pada tahap awal justifikasi, dimana nilai persen elongasi mie basah jagung tanpa tekanan lebih rendah dibandingan mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 108.46% dan 126.29% serta nilai KPAP mie basah jagung tanpa tekanan lebih tinggi dibandingan mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 7.15% dan 5.56%.

Oleh karena tekanan sangat berpengaruh terhadap kualitas mie basah jagung yang dihasilkan, maka pada penelitian utama akan dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual.

D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan

Dokumen terkait