• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Karakterisasi Tepung Jagung

1. Pembuatan Mie Basah Jagung

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mie basah jagung menggunakan ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle

modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.

Spesifikasi dari ekstruder pencetak ini dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, Guangdong Henglian Food Machine

Co., Ltd., China.

Model MS9

Production capacity 9 kg/h

Rating input Power 1.5 Kw

Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005

Gambar 23. Ekstruder pencetak mie Model MS9

Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti pada penelitian Subarna et al. (1999) melakukan teknik pembuatatn mie jagung dengan ekstrusi piston atau ram dan teknik pembuatan mie dengan sistem ektrusi ulir oleh Waniska et al. (2000). Menurut Waniska et al. (2000) keuntungan dari proses pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi ini adalah proses lebih sederhana, tidak perlu tahapan sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga waktu proses yang dibutuhkan lebih singkat.

 

Hal ini dikarenakan pembuatan mie basah jagung menggunakan teknik calendaring memerlukan waktu pengolahan yang cukup lama, karena tahapan prosesnya panjang yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie dg minyak (Budiyah,2004).

Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penimbangan bahan, pengadukan, pembuatan lembaran, pengukusan pertama, pencetakan adonan menggunakan ekstruder, dan pengukusan kedua. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pembuatan mie basah jagung basis 100 gram tepung jagung. Tahap penimbangan bahan dilakukan penimbangan 100 gram tepung jagung, 2% garam dapur basis tepung jagung (2 gram) dan air sampai kadar air adonan 70% basis tepung jagung. Penambahan air sampai kadar air adonan 70% basis tepung jagung ini didapatkan dari hasil optimasi pembuatan mie basah jagung yang dilakukan oleh Pratama (2008). Garam dilarutkan ke dalam air dan dicampur sedikit demi sedikit ke dalam tepung. Hal ini dilakukan agar distribusi larutan merata ke dalam adonan dan mencegah terbentuknya gumpalan-gumpalan tepung yang akan menyebabkan tidak meratanya proses gelatinisasi pati nantinya. Selanjutnya adonan dibentuk lembaran menggunakan plastik jenis HDPE dengan ketebalan ± 0.5 cm menggunakan roll pengepres.

(a) (b)

Gambar 24. (a) tepung jagung sebelum ditambahkan larutan garam, dan

(b) lembaran adonan sebelum dikukus

Kemudian dilakukan proses pengukusan terhadap adonan. Kukusan yang digunakan merupakan kukusan rumah tangga karena penelitian yang dilakukan masih skala laboratorium. Pengukusan dilakukan pada suhu uap air 90 – 100°C. Proses pengukusan adonan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan untaian mie. Hal ini dikarenakan tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti

halnya tepung terigu. Tepung jagung memiliki protein zein dan glutelin (zeanin) yang tidak bisa membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif jika diadon dengan air. Hal berbeda terjadi saat tepung terigu yang memiliki protein gluten saat diadon dengan air, maka akan membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif namun tidak lengket dan mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran.

Pengukusan pertama (pengukusan adonan) bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian. Jika gelatinisasi pati sempurna maka adonan akan lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, mutu untaian mie kurang bagus, sehingga untaian mie mudah putus. Menurut Pratama (2008) pengukusan selama 15 menit sudah cukup untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk untaian mie.

Adonan yang telah mengalami gelatinisasi sebagian ini kemudian lansung dimasukkan ke dalam ekstruder untuk dicetak menjadi untaian mie. Pembentukan untaian mie harus dilakukan selagi panas karena proses gelatinisasi sebagian (tidak mencapai suhu puncak gelatinisasi) pada adonan menyebabkan pengembangan granula pati bersifat reversible (bolak-balik) sehingga pati yang sebelumnya telah tergelatinisasi mengalami rekristalisasi. Fenomena ini disebut retrogradasi.

Kemudian lansung dilakukan proses pengukusan kedua pada untaian mie yang dihasilkan. Hal ini mencegah terjadinya retrogradasi yang menyebabkan untaian mie menjadi keras dan kering. Pengukusan kedua ini juga dilakukan selama 15 menit. Pada pengukusan kedua ini terjadi proses gelatinisasi secara sempurna. Menurut Harper (1981), pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks

amilopektin yang membentuk gel. Setelah dingin, amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Menurut Kim et al. (1996) kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mie non terigu karena dapat memiliki daya ikat antar granula yang lebih kuat.

(a) (b) (c)

Gambar 25. (a) adonan dalam ekstruder dengan pemberian tekanan

secara manual (normal)

(b) untaian mie keluar dari ekstruder, dan

(c) mie basah jagung matang (setelah pengukusan kedua).

Hasil dari pengukusan kedua berupa untaian mie basah jagung yang siap untuk dianalisis. Proses pembuatan mie basah jagung ini memerlukan dua kali tahap pengukusan. Hal ini didukung oleh penelitian Subarna et al. (1999) dan Waniska et al. (2000) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan tahap pemasakan.

Ditegaskan juga oleh Pagani (1985), untuk membuat produk pasta dari bahan non konvensional seperti dari tepung jagung atau dari campuran tepung terigu dan tepung non terigu diperlukan beberapa bentuk penyesuaian, antara lain dapat dilakukan dengan:

1. Meningkatkan sifat fungsional komponen selain protein dan tepung pensubstitusi, dalam hal ini pati dari tepung yang bersangkutan.

2. Menambahkan protein dari sumber lain yang dapat membentuk gluten; dan

3. Menambahkan zat tambahan yang dapat bereaksi dengan pati dan dapat mencegah pembengkakan pati tersebut selama pemasakan, misalnya

dengan menggunakan mono- dan digliserida dari asam-asam lemak yang membentuk kompleks dengan amilosa dan mencegah keluarnya pati dari produk ke dalam air yang digunakan untuk memasak.

Pembuatan produk pasta dari tepung campuran diperlukan penyesuaian terhadap proses pengolahannya, seperti meningkatkan temperatur adonan (Ruiter, 1978). Penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan menambahkan air yang suhunya tinggi untuk melakukan pregelatinisasi terhadap tepung atau dengan menambahkan pati yang telah terpregelatinisasi. Untuk bahan baku yang mengandung sedikit protein seperti jagung, atau yang sama sekali tidak mengandung protein, pembuatan produk pasta harus dilakukan dengan merangsang pembentukan struktur yang khusus dari patinya. Hal ini dapat dilakukan dengan perlakuan pemanasan pada suhu tinggi terhadap adonan yang dimaksudkan untuk menggelatinisasi pati yang terkandung di dalam tepung.

Analisis mie basah jagung dilakukan pada dua parameter mutu penting mie basah yaitu persen elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan). Sebenarnya pengukuran karakteristik mie basah belum memiliki standar yang digunakan secara universal karena produk mie yang tersebar luas dan punya ciri khas yang berbeda-beda tiap negara (Kruger, 1996). Namun, analisis yang dilakukan ini didukung oleh Hou dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karakteristik fisik yang terpenting dari mie basah adalah elongasi dan KPAP. Mie basah jagung yang dinyatakan sebagai mie basah jagung yang bermutu baik memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah.

Analisa persen elongasi pada penelitian pendahuluan ini menggunakan Texture Analyzer TATX-2. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP kelima varietas mie basah jagung dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP lima varietas mie

basah jagung

No. Varietas Jagung Rata-rata % Elongasi ± SD Rata-rata KPAP ± SD (%) 1 Srikandi Kuning 83.46 ± 5.86 7.88 ± 1.64 2 Bisma 88.82 ± 5.12 6.28 ± 0.35 3 Sukmaraga 111.17 ± 7.98 2.89 ± 1.76 4 Lamuru 105.32 ± 22.57 5.69 ± 0.71 5 Arjuna 104.85 ± 8.70 4.61 ± 0.14

Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai standar deviasi untuk kedua parameter mutu cukup tinggi. Variasi ini diperkirakan terjadi akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu sedikit (100 g) dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol, yaitu tekanan. Oleh sebab itulah dilakukannya justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dengan menggunakan bahan baku yang lebih banyak dan memberikan tekanan secara manual.

Dokumen terkait