• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PSIKOLOGI KRIMINAL DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA MUTILASI DI MUKA PENGADILAN

A. Kaitan Teori Dan Tujuan Pemidanaan Terhadap Kejahatan Mutilas

Terlebih dahulu sebelum membahas mengenai teori-teori pemidanaan dan keterkaitannya terhadap kejahatan mutilasi, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi dari hukum pidana itu sendiri agar dapat mengetahui adanya suatu hubungan kausalitas atau sebab akibat antara konsep hukum pidana itu dengan penerapan teori pemidanaan, yaitu sebagai berikut :

a. Simons129

Bahwa hukum pidana tersebut terdiri dari dua hal yaitu dalam arti materil mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (strafbaarheid), penunjukkan orang yang dapat di pidana dan ketentuan tentang pidananya, ia menetapkan siapa dan bagaimana orang tersebut dapat di pidana. Sedangkan dalam arti formil hukum pidana mengatur tentang tata cara negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana

b. Pompee130

Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya

129

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 3

130

c. Hazewinkel-Suringa131

Menyatakan bahwa hukum pidana materil (ius poenale) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya di ancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi pembuatnya

d. Moeljatno132

Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang di larang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut ;

- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan ;

- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut ;

Berdasarkan beberapa definisi mengenai hukum pidana tersebut, maka dapat diketahui bahwa hukum pidana merupakan ranah hukum publik yang mengatur mengenai tata cara bagaimana negara dapat melaksanakan fungsi-fungsi

131

Andi Hamzah, Ibid, hlm. 4

132

perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya guna mewujudkan suatu ketertiban umum serta bagaimana negara dapat melakukan pembinaan dan pengayoman terhadap warga negaranya dan pelaku atau pembuat tindak pidana agar dapat di terima kembali dalam kehidupan masyarakat.

Dalam mewujudkan ketertiban umum dari negara itu sendiri, pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Hal ini bukan merupakan tujuan terakhir tetapi tujuan terdekat. Oleh sebab itu hal inilah yang menjadi perbedaan antara pidana dengan nestapa, karena tindakan dapat berupa nestapa tetapi bukan tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa tujuan dari adanya pemidanaan itu sendiri adalah untuk memperbaiki pelaku atau pembuat tindak pidana.133

Oleh sebab itu, untuk mewujudkan tujuan dari hukum pidana itu sendiri di bentuklah suatu stelsel atau sistem pemidanaan dalam suatu mekanisme ketentuan hukum positif, di Indonesia sendiri hal tersebut sebagaimana terdapat dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), yaitu :

Dengan demikian dapat tercipta suatu upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.

134

a. Hukuman pokok, terdiri dari : - Huku man mati ;

- Hukuman penjara ; - Hukuman kurungan ; - Hukuman denda.

133

Andi Hamzah, Ibid, hlm. 27

134

b. Huku man tambahan, terdiri dari : - Pencabutan beberapa hak tertentu ; - Perampasan barang tertentu ; - Pengumuman keputusan hakim.

Dengan adanya stelsel pemidanaan tersebut, diharapkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap terjadinya suatu peristiwa atau tindakan pidana dan dapat menimbulkan efek penjeraan terhadap pelaku atau pembuat tindak pidana, sedangkan berdasarkan suatu tinjauan secara khusus, tujuan dari pemidanaan itu sendiri adalah sebagai berikut :135

a. Reformation

Yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik

b. Restraint

Adalah mengasingkan pelanggar hukum dari masyarakat sehingga masyarakat menjadi lebih aman

c. Retribution

Yaitu hukum pidana menghendaki adanya suatu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan secara setimpal sesuai dengan bentuk atau jenis kejahatan yang dilakukannya itu

135

d. Deterrence

Berarti membuat jera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang berpotensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan dengan melihat kejahatan yang di jatuhkan kepada terdakwa.

Berdasarkan tujuan dari penjatuhan pidana itu sendiri, maka berkembanglah sejumlah teori-teori yang membenarkan penjatuhan pidana atau di sebut juga dengan teori pemidanaan.

Teori-teori pemidanaan ini ada hubungannya dengan pengertian subjectief

strafrecht (ius puniendi) sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan

menjatuhkan pidana, terhadap pengertian objecktief strafrecht (ius poenali) sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana.136 Adapun teori- teori penjatuhan pidana atau pemidanaan tersebut adalah sebagai berikut : 137

a. Teori absolut atau mutlak

Teori pemidanaan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana. Dalam hal ini tidak dipersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu, masa yang akan datang yang bermaksud untuk

136

Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung : Eresco, 1989), hlm. 20

137

memperbaiki pelaku tidak dipersoalkan. Lebih jauh teori pembalasan terbagi kedalam lima bagian, yaitu:138

- Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica

(moraalphilosophie) ;

- Pembalasan bersambut (dialektis) ;

- Pembalasan demi keindahan atau kepuasan (aesthetisch) ; - Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama) ;

- Pembalasan sebagai kehendak manusia ; b. Teori relatif atau tujuan

Teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan tujuan pemidanaan yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana, dimaksudkan untuk memberikan rasa takut terhadap calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, menjamin ketertiban hukum atau prevensi umum. Teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat dan untuk masa mendatang.

c. Teori gabungan

Teori ini mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan. Oleh karena itu tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori

138

pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri disamping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.

Dengan demikian terdapat dengan jelas unsur perbedaan antara teori-teori pemidanaan tersebut dalam memandang tujuan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana atau kejahatan.

Lebih jauh, Leo Polak memberikan perincian terhadap teori pembalasan terhadap penjatuhan pidana yang terdapat dalam suatu stelsel pemidanaan dalam suatu negara yaitu sebagai berikut :139

a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara (rechtsmacht op gezagshandhaving), teori ini menggambarkan suatu paksaan belaka. Akibat teori ini yaitu siapa saja yang secara sukarela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan ;

b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie), menurut teori ini penjatuhan pidana harus seimbang atau setimpal dengan penderitaan korban untuk menghindari perasaan tidak puas dalam masyarakat ;

139

c. Teori penghinaan atau reprobasi (onrechtsfustering en blaam), teori ini bertujuan untuk melenyapkan segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan ;

d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handving van rechtsgelijkheids), menurut teori ini asas persamaan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat ;

e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijke

neigingsbevedining) ;

f. Teori mengobyektifkan (objectiverinstheorie), menurut teori ini tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya ;

Variasi dari teori-teori pembalasan di atas berorientasi pada satu kehendak yaitu adanya pembalasan setimpal atau nestapa yang dijatuhkan oleh pemerintah terhadap individu atau pelaku suatu kejahatan dengan akibat dari perbuatan si pelaku terhadap diri korban sebagai bentuk perwujudan perilaku adil dalam masyarakat.

Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pemidanaan berdasarkan teori tujuan maka Van Hamel menunjukkan suatu prevensi khusus suatu pidana yaitu:140

140

a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan guna mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya ;

b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana ;

c. Pidana harus membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki ; d. Tujuan pemidanaan yang paling pokok yaitu guna mempertahankan

tertib hukum.

Dengan demikian dipahami bahwa berdasarkan prevensi teori tujuan pemidanaan itu berupaya sebagai sarana preventif atau pencegahan terjadinya suatu perbuatan pidana dalam masyarakat sehingga tercapai suatu ketertiban dan keteraturan hukum. Disamping itu apabila dikaitkan dengan tindak pidana mutilasi, teori tujuan juga berupaya memperbaiki kondisi kejiwaan pelaku kejahatan mutilasi agar tidak mengulangi perbuatannya yang serupa dan apabila kejahatan mutilasi tersebut terbukti secara jelas berdasarkan suatu perencanaan sebagaimana yang dikategorikan dalam pasal 340 KUHP sebagai pembunuhan berencana yang diancam dengan hukuman mati maka kategori prevensi membinasakan terpidana yang tidak mungkin diperbaiki menjadi pilihan yang dikedepankan oleh teori tujuan. Penjatuhan pidana mana bertujuan untuk melindungi kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya berkaitan dengan teori gabungan dari pemidanaan, Grotius menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat.141

141

Andi Hamzah, Ibid, hlm. 36

pidana adalah pembalasan tetapi maksud dari pidana itu sendiri adalah melindungi tata hukum dan rasa hormat terhadap hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan mutilasi disamping memberikan pembalasan berupa efek penjeraan atau bahkan pembinasaan berupa hukuman mati, teori ini juga bertujuan agar sendi-sendi hukum tersebut di hormati oleh setiap individu.

Berdasarkan tinjauan teori pemidanaan terhadap tindak pidana mutilasi yang digolongkan sebagai bentuk kejahatan terhadap jiwa dan tubuh manusia seperti penganiayaan berat yang menimbulkan disfungsi organ tubuh atau bahkan mengakibatkan kematian seseorang sehingga tidak dapat di identifikasikan dengan mudah, dipandang telah memenuhi unsur dari kejahatan atau delik yaitu :142

a. Perbuatan yang di larang oleh undang-undang secara jelas yang tidak boleh di langgar dan memilki sanksi tertentu ;

b. Akibat dari perbuatan itu yang menjadi dasar alasan kenapa perbuatan itu di larang ;

c. Sifat melanggar hukum dalam rangkaian kausalitas dari kejahatan itu sendiri;

Berdasarkan unsur-unsur delik tersebut diperoleh suatu pemahaman bahwa tindak pidana mutilasi tergolong perbuatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia sehingga tindak pidana mutilasi itu sendiri di larang secara tegas dalam ketentuan substantif dalam undang-undang. Di lain hal, tindak pidana mutilasi berakibat tidak berfungsinya bagian atau organ tubuh tertentu atau bahkan secara

142

fatal menimbulkan kematian oleh karena itu hal tersebut telah memenuhi sifat melanggar hukum.

Unsur-unsur delik atau kejahatan mana telah memenuhi kriteria pemidanaan yaitu dengan adanya ketentuan pidana yang dijatuhkan oleh undang- undang terhadap tindak pidana mutilasi hal ini berkaitan erat dengan teori dari pemidanaan terhadap individu yang telah melakukan kejahatan.

Dengan demikian terhadap kejahatan mutilasi yang memilki dampak yang cukup membahayakan seperti kasus terdakwa Very idham henyansyah, penjatuhan pidana mati dipandang sebagai bentuk penerapan teori tujuan dalam arti pemidanaan tersebut bertujuan untuk membinasakan pelaku kejahatan mutilasi yang di nilai cukup meresahkan karena perbuatan mutilasi mana dilakukan secara terencana dan ditujukan terhadap sejumlah korban. Disamping itu penjatuhan pidana mati tersebut juga di pandang sebagai upaya preventif atau pencegahan agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari oleh pelaku yang berbeda, atau dengan kata lain menciptakan keteraturan hukum dan ketertiban umum dalam masyarakat.

B. Kaitan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kondisi Kejiwaan