• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILAS

A. Tinjauan Hukum Pidana Terkait Mutilasi Sebagai Kejahatan Terhadap Jiwa Dan Tubuh Manusia

Berbicara mengenai kejahatan, maka harus dibedakan terlebih dahulu mengenai kejahatan dalam arti yuridis (perbuatan yang termasuk tindak pidana) dan kejahatan dalam arti sosiologis (perbuatan yang patut di pidana). 77

Perbuatan yang termasuk tindak pidana adalah setiap tindakan dalam arti melanggar undang-undang dan perbuatan yang patut di pidana adalah perbuatan yang melanggar norma atau kesusilaan yang ada di dalam masyarakat tetapi tidak di atur dalam perundang-undangan.78

Kejahatan menurut hukum pidana adalah setiap tindakan yang dilakukan dengan melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsur- unsur delik, sehingga perbuatan tersebut dapat di hukum.79 Adapun unsur-unsur delik itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yang di maksud unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku, sedangkan unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :80

a. Perbuatan manusia

77

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm. 86

78

Rena Yulia, Ibid, hlm. 86

79

Leden Marpaung, Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,2000), hlm. 9

80

b. Akibat perbuatan manusia c. Keadaan-keadaan

d. Sifat dapat di hukum dan sifat melawan hukum

Menurut Utrecht, peristiwa pidana sama dengan konsep kejahatan dalam arti yuridis yang diartikan sebagai sebuah peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkannya hukuman.81

Kejahatan dalam konsep yuridis juga berarti tingkah laku manusia yang dapat di hukum berdasarkan hukum pidana. Sejalan dengan pengertian tersebut Wirjono Projodikoro mengatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.82

Van hattum mengatakan bahwa suatu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang (pembuat) mendapatkan hukuman atau dapat di hukum, dalam definisi ini ada dua anasir penting yaitu :83

a. Pertama, menegaskan bahwa peristiwa dan pembuat sama sekali tidak dapat dipisahkan, dalam pertimbangan dijatuhkan atau tidaknya suatu hukuman maka tidak boleh dilupakan asas bahwa seseorang hanya dapat di hukum karena suatu peristiwa yang dilakukannya sendiri;

b. Kedua, ada atau tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum barulah dapat diketahui setelah diketahui keadaan di dalamnya pembuat ditempatkan;

81

Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 253

82

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika Citra Aditama, 2003) hlm. 59

83

Sedangkan Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah the criminal law

(statutory or case law), commited without defense or excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor.84

Menurut Sahetapy, mempunyai pandangan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penanaman yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku baik aktif maupun pasif yang di nilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perusakan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa kejahatan dalam arti yuridis adalah kejahatan yang diatur oleh undang-undang, atau dengan kata lain setiap perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan atau digolongkan sebagai kejahatan.

85

Menurut Arif Gosita, mengatakan kejahatan adalah hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Kejahatan yang di maksud adalah kejahatan dalam arti luas. Artinya tidak saja kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana saja melainkan juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta di anggap jahat.86

84

Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hlm. 35

85

Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap Kejahatan, (Bandung : STHB Press, 2002), hlm. 14

86

Rena Yulia, Op.Cit, hlm. 88

Berdasarkan berbagai komperatif terhadap definisi mengenai kejahatan di atas maka dapat di tarik suatu kesimpulan mengenai kejahatan yaitu, perbuatan manusia yang tidak terpisah dari pembuatnya dan bersifat asosial. Meskipun demikian, kejahatan ketika sudah dilakukan tidak dapat lagi di kontrol oleh manusia pembuatnya. Sebaliknya kejahatan mengakibatkan pembuatnya di tuntut pertanggungjawaban, meskipun kejahatan itu tidak lagi dilakukan. Sementara itu, akibat adanya kejahatan tersebut telah timbul korban yang dampaknya masih terus terjadi, kendatipun kejahatan yang menimbulkan dampak tersebut telah lama berakhir. Kejahatan yang telah terjadi merupakan identitas tersendiri, melekat bersama sejarah manusia, ia tidak dapat dihapus oleh siapa pun.

Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana sebuah tindakan haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formil atau materil. Pembagian tindakan yang terlarang secara formil atau materil ini sebenarnya mengikuti KUHP sebagai buku Induk dari semua ketentuan hukum pidana nasional yang belaku. KUHP membedakan tindak pidana dalam dua bentuk yaitu, kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen), sebuah tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undang-undang. sedangkan tindakan dapat dikatakan sebagai pelanggaran karena pada sifat perbuatan itu yang menciderai ketentuan hukum yang berguna untuk menjamin ketertiban umum.

Apabila di kaji secara mendalam mengenai tindak mutilasi ini terbatas pada korban yang berwujud manusia alamiah baik perseorangan maupun

kelompok dan bukanlah terhadap hewan. tindakan ini bisa dilakukan oleh pelaku pada korban pada waktu masih bernyawa atau pun pada mayat korban. Tindakan pemotongan tubuh manusia secara hidup-hidup ataupun mayat jelas merupakan tindakan yang sangat di cela oleh masyarakat dan dianggap sebagai tindakan yang sangat jahat. oleh karena itu, tindak mutilasi sangatlah tepat jika di golongkan ke dalam kejahatan dan bukan pelanggaran. Hal ini juga di dasarkan atas fungsi hukum pidana sebagai hukum publik yang melindungi dan menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakat luas.

Berkaitan dengan kejahatan mutilasi, di dalam kitab undang-undang hukum pidana sendiri sebagai induk ketentuan hukum positif di Indonesia belum memberikan atau mengatur secara terperinci mengenai jenis kejahatan mutilasi itu sendiri.87 Dalam merumuskan kejahatan mutilasi sebagai delik pidana di bagi ke dalam dua bagian besar yaitu :88

a. Mutilasi pada korban yang masih hidup menurut Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) dirumuskan sebagai berikut :

- Mutilasi sebagai penganiayaan, seperti pemotongan anggota tubuh korban, hal

ini termasuk dalam penganiyaan berat. Pasal 90 KUHP menjelaskan mengenai luka berat sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau memilki resiko berupa bahaya atau maut, tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan pekerjaan pencarian, kehilangan salah satu panca indera, cacat

87

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1999), hlm. 77

88

berat (verminking), sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama minimal empat minggu, dan gugurnya kandungan seorang perempuan89

- Pasal 351 ayat (2) KUHP, tindakan mutilasi pada ketentuan ini mengacu kepada tindakan untuk membuat orang lain merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja tindakan penganiayaan ini dilakukan oleh pelaku secara langsung tanpa ada rencana yang berakibat luka berat90

- Pasal 353 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, tindakan mutilasi ini dapat dikatakan sebagai rangkaian atau salah satu dari beberapa tindakan penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan Pasal 351 KUHP, Pasal ini lebih menitik beratkan pada perencanaan pelaku untuk melakukan tindakan tersebut sehingga berakibat akhir luka berat pada korban91

- 355 ayat (1) KUHP, Ketentuan ini dimaksudkan terhadap tindakan yang mengakibatkan luka berat. kekhususan pasal ini tampak pada kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi yang timbul dari niat agar korban menderita luka berat. Dalam penjelasan pasal ini, dari sejak awal pelaku telah melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan dan sudah direncanakan terlebih dahulu92

89

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor : Politeia, 1996), hlm. 98

90 R. Soesilo, Ibid, hlm. 245 91 R. Soesilo, Ibid, hlm. 246 92 R. Soesilo, Ibid, hlm. 247

- Mutilasi sebagai bentuk kejahatan terhadap nyawa, tindakan mutilasi di sini dapat dipahami sebagai tindakan pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk mengakibatkan si korban meninggal dunia. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan sebelumnya. pada golongan ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk matinya korban sebagaimana yang tersirat di dalam pasal 338 KUHP, perbuatan mutilasi yang dilakukan serta merta dan berakibat matinya korban93 sedangkan di dalam ketentuan pasal 340 KUHP, perbuatan mutilasi sebelumnya telah direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat matinya korban.94 b. Mutilasi pada mayat korban, menurut Kitab Undang-undang Hukum

Pidana dirumuskan sebagai berikut :

- Perlu diketahui KUHP memandang mayat bukan sebagai manusia alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang sudah tidak bernyawa lagi. mengenai hal ini dapat kita kaji pasal 180 KUHP tentang perbuatan melawan hukum menggali atau mengambil jenazah.95 93 R. Soesilo, Ibid, hlm. 240 94 R. Soesilo, Ibid, hlm. 241 95 R. Soesilo, Ibid, hlm. 150

Oleh karena itu dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pengaturan tentang mayat atau jenazah di dalam KUHP masih sebatas pada benda yang sudah tidak bernyawa lagi, sedangkan di dalam pasal 181 KUHP dijelaskan tindakan mengubur,

menyembunyikan dan menghilangkan mayat,96

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa kategori tindak pidana terhadap jiwa manusia seperti pembunuhan memang sudah lama di kenal oleh hukum nasional kita melalui kitab undang-undang hukum pidana bab 19 (sembilan belas) buku ke-2 (dua) yang menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Jenis pembunuhan yang di atur dalam bab ini meliputi pembunuhan dengan sengaja (pasal 338), pembunuhan dengan rencana (pasal 340), pembunuhan anak setelah lahir oleh ibu (pasal 341- 342), menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri (pasal 344) dan pengguguran kandungan (pasal 346-349). Sama sekali tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan yang diikuti pemotongan tubuh korban. Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan masalah hukum tentang kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

proses menghilangakan mayat dengan mana dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan jalan mutilasi yaitu pemotongan bagian tubuh korban sehingga susah untuk diidentifikasikan

B. Kaitan Penyimpangan Perilaku Homoseksual Dengan Tindak Pidana