• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuktian Tindak Pidana Mutilasi di Muka Pengadilan Dalam Segi Psikologis Terdakwa Dan Segi Alat Bukt

PERANAN PSIKOLOGI KRIMINAL DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA MUTILASI DI MUKA PENGADILAN

C. Pembuktian Tindak Pidana Mutilasi di Muka Pengadilan Dalam Segi Psikologis Terdakwa Dan Segi Alat Bukt

Masalah hukum adalah masalah mengenai pembuktian di muka pengadilan guna mencari kebenaran baik secara materil seperti dalam hukum pidana maupu secara formil seperti dalam hukum perdata. Oleh karena itu peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Akan tetapi sebelum membahas lebih jauh tentang berbagai seluk-beluk mengenai teori hukum

156

R.Soesilo, Log.Cit, hlm.60

157

pembuktian ini, terlebih dahulu kita melihat apa yang di maksud dengan hukum pembuktian itu.

Definisi dari hukum pembuktian adalah, seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.158 Lebih jauh definisi tersebut dapat di perluas sebagai suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana maupun acara-acara lainnya, di mana dengan mempergunakan alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan melalui proses pembuktian di muka persidangan itu.159

Terdapat perbedaan antara pembuktian dalam hukum acara pidana dengan pembuktian dalam hukum acara perdata. Di samping perbedaan tentang jenis alat bukti, terdapat pula perbedaan tentang system pembuktian. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di kenal dengan “sistem negatif” (negatief wettelijk

bewijsleer) di mana hakim berusaha mencari kebenaran materil terhadap suatu

delik pidana tertentu, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif (positief wettelijk bewijsleer) di mana yang di cari oleh hakim adalah kebenaran formal terhadap fakta-fakta yang ditemukan.160

158

Muladi, Kapita Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Semarang : Undip Press, 1995), hlm. 43

159

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 1

160

Munir Fuady, Ibid, hlm. 2

Adapun yang dimaksud dengan system negative dalam hukum acara pidana, adalah suatu system pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak yaitu :161

a. Alat bukti yang cukup yang mendukung dan dapat dibuktikan keabsahannya di muka pengadilan ;

b. Keyakinan hakim.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 183 kitab undang-undang hukum acara perdata dijelaskan bahwa, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.162 Berdasarkan hal ini tentu dapat dipahami bahwa pidana atau pemidanaan di dalam penjatuhannya perlu didasarkan akan adanya alat bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti. Adapun alat bukti dalam hukum acara pidana sebagaimana yang terdapat pada pasal 184 ayat 1 kitab undang-undang hukum acara pidana yaitu sebagai berikut :163 a. Keterangan saksi ; b. Keterangan ahli ; c. Surat ; d. Petunjuk ; e. Keterangan terdakwa ; 161

Munir Fuady, Ibid, hlm. 3

162

Muhammad Karjadi,dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar, (Bogor : Politeia, 1997), hlm. 162

163

Dengan terdapatnya minimal dua alat bukti yang sah tersebut maka hakim di perbolehkan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila terbukti secara sah dan meyakinkan.

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat yaitu sebagai berikut :164

a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk di pakai sebagai alat bukti ; b. Reabilty, yakni alat bukti tersebut dapat di percaya keabsahannya ; c. Necessity, yaitu alat bukti tersebut memang diperlukan untuk

membuktikan suatu fakta ;

d. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan ;

Syarat-syarat sebagaimana di maksud di atas diterapkan pada seluruh bentuk tindak pidana termasuk didalamnya tindak pidana mutilasi baik dalam bentuk kategori penganiayaan berat yang menyebabkan disfungsi organ tubuh secara permanen, mutilasi yang mengakibatkan kematian, maupun mutilasi terhadap mayat sebagai pengerusakan terhadap barang bukti.

Dalam kasus tindak pidana mutilasi, guna memperkuat keyakinan hakim terhadap bersalah atau tidaknya terdakwa di samping pemeriksaan mengenai forensik terhadap korban, juga perlu adanya pemeriksaan terlebih dahulu terhadap kondisi kejiwaan pelaku apakah dapat di pertanggungjawabkan terhadap

164

A.T.Hamid, Praktek-Praktek Peradilan Perkara Pidana, (Surabaya : CV Al-ihsan, 1988), hlm. 14

perbuatannya atau tidak untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagaimana yang disyaratkan dalam pasal 44 KUHP yaitu sebagai berikut :165

a. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum ;

b. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akal atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa ;

Oleh sebab itu pemeriksaan terlebih dahulu terhadap kondisi kejiwaan pelaku merupakan suatu hal yang harus dipenuhi guna dapat dilanjutkannya pemeriksaan di muka pengadilan sehingga dalam proses pembuktian dapat memperkuat keyakinan hakim terhadap terjadinya suatu tindak pidana mutilasi merupakan kejahatan yang secara sadar dilakukan oleh terdakwa oleh karena terdakwa memahami akan akibat yang ditimbulkannya.

Proses pembuktian mengenai kondisi kejiwaan pelaku tindak pidana mutilasi dapat dilakukan melalui cara pemeriksaan psikologis oleh seorang psikolog yang dimintakan oleh penyidik dalam proses penyidikan.166 Adapun proses pemeriksaan psikologis terhadap terdakwa dalam kejahatan mutilasi dapat dilakukan sebagai berikut :167

165

R.Soesilo, Log.Cit, hlm.60

166

Jurnal Psikologi Edisi XXVI, Kedudukan Psikologi Dalam Pemeriksaan Di Pengadilan, (Jakarta : Yacobi, 2009), hlm. 14

167

a. Psikolog melakukan pemeriksaan awal seputar identitas dan latar belakang dari diri pelaku kejahatan mutilasi ;

b. Membuat kondisi rekam jiwa pelaku secara tertulis berdasarkan latar belakangnya

c. Melakukan pemeriksaan melalui proses suggestion lie yaitu, dengan cara memberikan pertanyaan secara mendalam guna mendeteksi kebohongan dalam diri pelaku ;

d. Mengkondisikan pelaku terhadap kondisi hidup tidak normal untuk dapat mengetahui apakah pelaku dapat menyesuaikan diri atau menolak suasana pengkondisian tersebut ;

e. Melakukan proses mental pressier dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan yang menekan mental pelaku ;

f. Mengidentifikasikan faktor patologis pelaku ; g. Menandatangani lembar acara pemeriksaan ;

h. Membuat laporan secara tertulis kepada penyidik yang berkaitan dengan pemeriksaan psikologis pelaku kejahatan mutilasi ;

Proses pemeriksaan psikologis dipergunakan untuk membuktikan apakah pelaku kejahatan mutilasi dapat di pertanggungjawabkan atau tidak secara yuridis, proses pemeriksaan tersebut dapat digolongkan kedalam bentuk keterangan ahli dan bukti surat.168

Lebih lanjut dalam ilmu hukum pembuktian, sering dibedakan antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti riil

168

adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta yang dipersengketakan seperti senjata, pakaian, peluru dan semacamnya yang berhubungan dengan fakta yang akan dibuktikan.169 Sementara itu yang dimaksud dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang tidak secara langsung membuktikan adanya fakta tertentu, tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi lebih jelas dan dapat dimengerti.170

a. Alat bukti riil haruslah relevan dengan fakta yang dibuktikan

Alat bukti dalam kejahatan mutilasi dapat dikategorikan sebagai alat bukti riil yang bersifat langsung yaitu, alat bukti yang dapat membuktikan secara langsung adanya fakta yang dipersengketakan, seperti luka dalam kasus mutilasi sebagai penganiayaan berat yang menimbulkan luka permanen atau disfungsi bagian tubuh, maupun bentuk pemeriksaan forensic terhadap bagian tubuh mayat korban mutilasi.

Banyak persyaratan yang diperlukan agar penggunaan alat bukti riil pantas diterima oleh hakim di pengadilan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :

b. Alat bukti riil tidak boleh melanggar prinsip kerahasiaan (priviliged) c. Alat bukti riil tidak boleh melanggar prinsip larangan saksi de auditu d. Alat bukti riil tidak boleh merupakan hasil temuan secara illegal e. Alat bukti riil harus benar-benar asli

f. Berlaku hukum keutuhan (completeness). Dalam hal ini, alat bukti harus dibawa utuh tidak boleh hanya sebagian

169

Munir Fuady, Log.Cit, hlm. 185

170

g. Alat bukti riil tidak boleh prejudice (menyebabkan praduga).

Disamping itu dalam proses pembuktian kasus tindak pidana mutilasi, perlu diadakan suatu bentuk pemeriksaan secara forensik yang merupakan alat bukti sah dalam memberikan keyakinan kepada hakim untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Pengertian forensik sendiri berdasarkan definisi law dictionary, adalah belonging to the courts of justice, the words

indicates the application of a particular subject to the law, for example, forensic medicine is a branch of science that employs medical technology to assist in solving legal problems.171

Hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 133 KUHAP, sebagai berikut :

172

a. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan maupun mati yang di duga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

b. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat satu dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat

c. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh

171

Abdussalam, Forensik, (Jakarta : Restu Agung, 2006), hlm. 6

172

penghormatan terhadap mayat tersebut dan di beri label yang memuat identitas mayat, di lak dengan di beri cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain dari mayat

Berdasarkan ketentuan pasal 133 KUHAP tersebut maka pemeriksaan forensik dalam berbagai kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia seperti mutilasi dapat dilakukan karena memilki ketentuan yuridis.

Seperti halnya tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan biasa, proses pemeriksaan tindak pidana mutilasi dilakukan dengan cara medicine forensic melalui visum et repertum berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam lembaran negara tahun 1937 nomor 350 sebagai berikut dalam pasal 1 (satu), visa reperta seorang dokter yang dibuat baik atas sumpah jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pendidikannya mempunyai daya bukti sah dalam perkara pidana selama visa reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemukan dokter pada benda yang di periksa.173 Visum et repertum, terdiri dari dua macam yaitu :174

a. Visum et repertum untuk korban hidup, terdiri dari ;

- Visum et repertum yang diberikan kepada korban yang tidak

memerlukan perawatan lebih lanjut

- Visum et repertum sementara, diberikan setelah pemeriksaan dan

ternyata korban perlu di periksa dan di rawat lebih lanjut

- Visum et repertum lanjutan, diberikan pada korban yang telah

selesai di rawat 173 Abdussalam, Op.Cit, hlm. 19 174 Abdussalam, Ibid, hlm. 21

b. Visum et repertum untuk korban mati, diberikan kepada jenazah

korban untuk menentukan sebab-sebab kematian melalui cara otopsi

Visum et repertum merupakan alat bukti yang sah yaitu yang termasuk surat-surat,

sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana pasal 184 ayat (1).

Keseluruhan dari proses pembuktian terhadap tindak pidana mutilasi seperti diuraikan di atas adalah berrtujuan untuk mencari kebenaran materil daripada peristiwa pidana tersebut. Disamping itu, salah satu karakter dari hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technological oriented. Artinya, perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung pada perkembangan pembuktian di pengadilan.