• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Pada diri siswa terdapat kekuatan mental yang menjadi kekuatan penggerak belajar. Kekuatan penggerak tersebut berasal dari berbagai sumber. Pada peristiwa pertama, motivasi siswa yang rendah menjadi lebih baik setelah siswa memperoleh informasi yang benar. Pada peristiwa kedua, motivasi belajar dapat menjadi rendah dan dapat memperbaiki kembali. Pada kedua peristiwa tersebut peranan guru untuk mempertinggi motivasi belajar siswa sangat berarti. Pada peristiwa ketiga, motivasi diri siswa tergolong tinggi. Timbul pertanyaan-pertanyaan seperti (i) kekuatan apa yang menjadi penggerak belajar siswa, (ii) berapa lama kekuatan tersebut berpengaruh dalam kegiatan belajar, dan (iii) dapatkah kekuatan tersebut dipelihara.

Siswa belajar karena dorongan kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita. Kekuatan mental tersebut dapat tergolong rendah dan tinggi. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar. Motivasi dianggap sebagai dorongan mental yang mengerakan dan menggarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi

10

terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar.4

Motivasi dapat bersifat internal dan eksternal. Beberapa penulis atau ahli yang lain menyebutkan motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi internal atau motivasi instrinsik, adalah dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan aktivitas.5 Sedangkan motivasi eksternal adalah dorongan yang berasal luar diri individu. Tentu setiap siswa melakukan aktivitas belajar diharapkan didorong oleh motivasi internal, karena hal itu menjadi pertanda telah tumbuhnya kesadaran dari dalam diri siswa untuk belajar secara sungguh-sungguh. Namun demikian tidak berarti bahwa motivasi eksternal tidak memiliki posisi yang penting bagi para siswa, karena hasil-hasil penelitian juga banyak menunjukkan bahwa pemberian motivasi menjadi faktor yang memberi pengaruh besar bagi pencapaian hasil belajar atau kesuksesan seseorang.6

Sardiman (1986) mengemukakan ciri-ciri motivasi yang ada pada diri seseorang adalah: Tekun dalam menghadapi tugas atau dapat pekerjaan secara terus menerus dalam waktu lama; ulet menghadapi kesulitan dan tidak mudah putus asa, tidak cepat puas atas prestasi yang diperoleh; menunjukkan minat yang besar terhadap bermacam-macam masalah belajar, lebih suka bekerja sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain; tidak cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapatnya; tidak mudah melepaskan apa yang diyakini; senang mencari dan memecahkan masalah.7

4 Dimyati dan Mudjiono, op.cit., hlm. 80.

5 Anurrahman, Belajar dan Pembelajaran,Bandung, Alfabeta, 2012, hlm. 115. 6 Ibid, hlm. 116.

2. Konsep Belajar

Belajar merupakan proses dasar dari pada perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkahlakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Belajar adalah suatu proses dan bukan suatu hasil. Oleh karena itu, belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.

Belajar itu terarah kepada pencapaian tujuan. Orang yang lapar merasakan kondisi yang tidak seimbang dalam dirinya. Dia menolak untuk mengatasi hal lapar yang diderita. Kebutuhan itu sendiri melahirkan keinginan untuk makan sebagai motivasinya untuk memenuhi kebutuhan untuk mengatasi lapar.8

a. Gambaran tentang tempat belajar

Suatu tempat adalah arah atau sikap terhadap pekerjaan. Di dalam suatu tempat terdapat berbagai alternatif obyek atau materi. Terhadap beberapa alternatif obyek atau materi tempat ditolak atau dihindari, sedangkan beberapa obyek atau materi yang lainnya dipilih sebagai tempat yang akan direalisir dalam belajar. Apabila tidak ada tempat belajar, maka tidak akan banyak yang diperoleh dari belajar. Manfaat dari pada tempat belajar adalah membuat si pelajar mempunyai kepekaan terhadap ketepatan berbagai alternatif tindakan mencapai tujuan.9

8 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Malang, Bina Aksara, 1983, hlm.99-100. 9 Ibid, hlm. 101.

12

b. Beberapa akitivitas Belajar

Meskipun orang telah mempunyai tujuan tertentu dalam belajar serta telah memilih tempat yang tepat untuk merealisir tujuan itu, namun tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan sangat dipengaruhi oleh situasi. Setiap situasi di manapun dan kapan saja memberi kesempatan belajar kepada seseorang. Situasi ini ikut menentukan tempat belajar yang dipilih. Berikut ini dikemukakan beberapa contoh aktivitas belajar dalam beberapa situasi.10

1)Mendengarkan

Dalam kehidupan sehari-hari kita bergaul dengan orang lain. Dalam pergaulan itu terjadi komunikasi verbal berupa percakapan. Percakapan memberikan situasi tersendiri bagi orang-orang yang terlibat ataupun yang tidak terlibat tetapi secara tidak langsung mendengar informasi. Situasi ini memberi kesempatan kepada seseorang untuk belajar. Seseorang menjadi belajar atau tidak dalam situasi ini, tergantung ada atau tidaknya kebutuhan, motivasi, dan tempat seseorang. Dengan adanya kondisi pribadi seperti itu memungkinkan seseorang tidak hanya mendengar, melainkan mendengarkan secara aktif dan bertujuan. Mendengarkan yang demikian akan memberikan manfaat bagi perkembangan pribadi seseorang.

2)Memandang

Setiap stimuli visual memberikan kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang dapat dipandang, akan tetapi tidak semua pandangan atau penglihatan adalah belajar. Meskipun

10 Ibid, hlm. 102.

pandangan kita tertuju kepada suatu objek visual, apabila dalam diri tidak terdapat kebutuhan, motivasi, serta tempat tertentu untuk mencapai suatu tujuan, maka pandangan yang demikian tidak termasuk belajar.11

3)Menulis atau mencatat

Mencatat yang termasuk sebagai belajar yaitu apabila dalam mencatat itu orang menyadari kebutuhan serta tujuannya, serta menggunakan tempat tertentu agar catatan itu nantinya berguna bagi pencapaian tujuan belajar. Mencatat yang menggunakan tempat tertentu akan dapat dipergunakan sewaktu-waktu tanpa adanya kesulitan. Catatan-catatan tidak hanya sekedar fakta-fakta, melainkan terdiri atas materi apapun yang dibutuhkan untuk memahami dan memanfaatkan informasi bagi perkembangan pribadi individu.12

4)Membaca

Belajar adalah aktif dan membaca untuk keperluan belajar hendaknya dilakukan di meja belajar dari pada tempat tidur karena dengan sambil tiduran itu perhatian dapat terbagi. Dengan demikian, belajar sambil tiduran menggangu tempat belajar. Belajar memerlukan tempat. Membaca untuk keperluan belajar. Misalnya dengan memulai memperhatikan judul-judul bab, topik-topik utama dengan berorentasi kepada kebutuhan dan tujuan. Kemudian memilih topik yang relevan dengan kebutuhan atau tujuan. Tujuan membutuhkan materi yang dipelajari.13

11 Ibid, hlm.103.

12 Ibid, hlm. 104. 13 Ibid, hlm 105.

14

5)Membuat ikhtisar atau ringkasan, dan menggarisbawahi

Banyak orang merasa terbantu dalam belajarnya karena menggunakan ikhtisar-ikhtisar materi yang dibuatnya. Ikhtisar atau ringkasan ini memang dapat membantu dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam buku untuk masa-masa yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang intensif, bagaimanapun juga hanya membuat ikhtisar adalah belum cukup. Sementara membaca, pada hal-hal yang penting diberi garis bawah. Hal ini sangat membantu dalam usaha menemukan kembali material itu di kemudian hari.14

Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responsnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut: (i) Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon pebelajar; (ii) Respon si pebelajar (iii) Konsekuensi yang bersifat menguatkan respon tersebut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respon si pebelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respon yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.15

c. Tujuan Belajar16

1)Siswa memiliki latar pengalaman dan kemampuan awal dalam proses belajar. 2)Tujuan pembelajaran merupakan sasaran belajar bagi siswa.

3)Kegiatan belajar mengajar merupakan tindak pembelajaran guru di kelas. 4)Dalam proses belajar, guru meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya.

5)Perilaku siswa merupakan hasil proses belajar. Penguatan perilaku yang dikehendaki tersebut dilakukan dengan pengulangan, latihan, drill atau aplikasi.

14 Ibid, hlm. 106.

15 Ibid, hlm. 9.

6)Setelah siswa lulus, berkat hasil belajar, siswa menyusun program belajar sendiri. Dalam penyusunan program belajar sendiri tersebut, maka tidak sedikit siswa berlaku secara mandiri.

3. Konsep Sejarah

Sejarah sebagai ilmu terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta (bahasa Latin Factus berarti “apa yang sudah selesai”). Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan menggungkap secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta.17

Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Jangan dibayangkan bahwa membangun kembali masa lalu itu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu antikuarianisme dan bukan sejarah. Selain itu, jangan dibayangkan masa lalu yang jauh. Kata sejarawan Amerika, sejarah itu ibarat orang yang naik kereta menghadap ke belakang. Ia dapat melihat ke belakang ke samping kanan dan kiri. Satu-satunya kendala ialah ia tidak bisa melihat masa depan.18

Banyak contoh sejarawan bukanlah orang yang memang terdidik untuk menjadi sejarawan, tetapi penulis sejarah dapat datang dari mana saja. Wartawan, guru, politisi, sastrawan, dan pendeta boleh saja menulis sejarah. Kalau dokter atau insinyur harus datang dari orang yang menang dididik dalam ilmunya, tidak demikian sejarawan. Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Kenyataan bahwa sejarah menggunakan bahasa sehari-hari, tidak menggunakan istilah-istilah teknis,

17 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2013, hlm. 10. 18 Ibid, hlm. 14.

16

memperkuat keterbukaan itu. Keterbukaan itu membuat siapa pun dapat mengaku sebagai sejarawan secara sah, asal hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagai ilmu.19

4. Pembelajaran Sejarah

Seseorang yang mempelajari sejarah, harus memahami hubungan antara sejarah sebagai ilmu, dan sejarah sebagai pendidikan. Hubungan antara konsep dasar sejarah dan pelajaran sejarah di sekolah, dijelaskan dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Terkait dengan pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pengetahuan masa lampau tersebut melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian siswa.20

Dennis Gunning menjelaskan bahwa secara umum pembelajaran sejarah bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, dan menyadarkan siswa untuk mengenal diri dan lingkungannya, serta memberikan perspektif historikalitas. Sedangkan secara spesifik, tujuan pembelajaran sejarah ada tiga yaitu, mengajarkan konsep, mengajarkan keterampilan intelektual, dan memberikan informasi kepada siswa. Dengan demikian, pembelajaran sejarah tidak bertujuan untuk menghafal pelbagai peristiwa sejarah. Keterangan tentang kejadian dan peristiwa sejarah hanyalah merupakan suatu alat dan juga merupakan suatu media untuk mencapai tujuan. Sudah barang tentu tujuan di sini dikaitkan

19 Ibid, hlm. 16.

dengan arah baru pendidikan modern, yaitu menjadikan siswa mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi dirinya dan menyadari keberadaannya untuk ikut serta dalam menentukan masa depan yang lebih manusiawi bersama-sama dengan yang lain. Sebaliknya material kurikulum, penaksiran kebutuhan kelas, aktivitas kebutuhan kelas, buku teks sangat berhubungan dengan ruang kelas, sehingga memudahkan guru untuk mempraktekkannya.21

5. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Sejarah

Pendekatan saintifik berkaitan erat dengan metode saintifik. Metode saintifik (ilmiah) pada umumnya melibatkan kegiatan pengamatan atau observasi yang dibutuhkan untuk perumusan hipotesis atau mengumpulkan data. Metode ilmiah pada umumnya dilandasi dengan pemaparan data yang diperoleh melalui pengamatan atau percobaan. Oleh karena itu, kegiatan percobaan dapat diganti dengan kegiatan memperoleh informasi dari berbagai sumber.22

Menurut Dyar, seorang innovator adalah pengamat yang baik dan selalu mempertanyakan suatu kondisi yang ada dengan mengajukan ide baru. Innovator mengamati lingkungan sekitarnya untuk memperoleh ide dalam melaksanakan sesuatu yang baru. Mereka juga aktif membangun jaringan untuk mencari ide baru, menyerahkan ide baru, atau menguji pendapat mereka. Seorang innovator selalu mencoba hal baru berdasarkan pemikiran dan pengalamannya. Seorang innovator akan berpetualang ke tempat yang baru untuk mencoba ide inovatifnya.

21 Ibid, hlm. 43-44.

22 Ridwan Abdullah Sani, Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2014, hlm. 50-51.

18

Berdasarkan teori Dyer tersebut, dapat dikembangkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran yang memiliki komponen proses pembelajaran antara lain: 1) mengamati ; 2) menanya ; 3) mencoba/ mengumpulkan informasi ; 4) menalar/ asosiasi, membentuk jejaringan (melakukan komunikasi). Tahapan aktivitas belajar yang dilakukan dengan pembelajaran saintifik tidak harus dilakukan mengikuti prosedur yang kaku, namun dapat disesuaikan dengan pengetahuan yang hendak dipelajari. Pada suatu pembelajaran mungkin dilakukan observasi terlebih dahulu sebelum memunculkan pertanyaan, namun pada pembelajaran yang lain mungkin siswa mengajukan pertanyaan terlebih dahulu sebelum melakukan ekperimen dan observasi.23

6. Prestasi Belajar Sejarah

Prestasi belajar di bidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap siswa yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi, prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu.

Hasil belajar nampak dalam suatu prestasi yang diberikan oleh siswa, misalnya menyebutkan huruf-huruf dalam abjad secara berurutan. Maka setiap

23 Ibid, hlm. 53.

prestasi yang tepat merupakan suatu pernyataan perbuatan belajar.24 Prestasi yang dituntut dari siswa adalah suatu prestasi yang bersifat spesifik atau satu katagori hasil karena prestasi belajar itu berbeda-beda sifatnya, tergantung dari bidang yang di dalamnya siswa menunjukkan prestasi, misalnya dalam bidang pengetahuan atau pemahaman (bidang kognitif).25

Menurut Zaenal Arifin prestasi adalah hasil dari kemampuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). Prestasi merupakan hasil suatu usaha yang telah dilaksanakan menurut batas kemampuan dari pelaksanaan usaha tersebut. Sutratinah Tirtonagoro menyatakan bahwa prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar mengajar yang dalam bentuk simbol, angka, huruf, atau kalimat yang dapat mencerminkan hasil usaha yang sudah dicapai oleh anak dalam periode tertentu.

Prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada priode tertentu. Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran yang meliputi faktor kognitif, afektif, dan psikomotorik setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumrn tes yang relevan.

24 W.S. Winkel, Psikolagi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta, PT Gramedia, 1984, hlm. 48. 25 Ibid, hlm. 102.

20

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar sejarah 1) Faktor Internal

Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor intern ini dapat dibagi lagi menjadi tiga faktor yakni: (a) Faktor jasmaniah, (b) Faktor psikologis, dan (c) Faktor kelelahan.

2) Faktor Eksternal

Faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar diri individu yang sedang belajar. Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapat di kelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu: (a) Faktor keluarga, (b) Faktor sekolah, dan (c) Faktor masyarakat.

Adapun dalam penelitian ini yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan perubahan belajar di sekolah. Pengertian prestasi belajar ialah hasil usaha bekerja atau belajar yang menunjukkan ukuran kecakapan yang dicapai dalam bentuk nilai. Sedangkan prestasi belajar hasil usaha belajar yang berupa nilai-nilai sebagai ukuran kecakapan dari usaha belajar yang telah dicapai seseorang, prestasi belajar ditunjukkan dengan nilai angka.

7. Teori Kontruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah

Secara filosofis, belajar menurut teori kontruktivisme adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah-kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus

mengkontstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Borich dan Tambari medefinisikan konstruktivisme dalam belajar sebagai sebuah pendekatan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun sedikit demi sedikit makna terhadap apa yang dipelajarinya dengan membangun hubungan secara internal atau keterkaitan dengan fakta-fakta yang diajarkan. Definisi konstruktivisme dalam belajar tersebut, menekankan belajar terjadi hanya ketika siswa aktif struktur kognitif mereka terlibat dalam pengalaman-pengalaman pembangunan skema.26

Konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat.27

Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru

tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada siswa dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, siswa harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha siswa itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh siswa sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Pikiran siswa tidak akan menghadapi

26 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2015, hlm. 164-165.

27http://www.academia.edu/9804852/pendekatan_konstruktivisme_dalam_pembelajaran_sejarah_u ntuk_menumbuhkan_berfikir_kritis_siswa_melalui_pembelajaran_berbasis_masalah.html, Diakses pada tanngal 6 Maret 2017, pukul 19.15 WIB.

22

kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui siswa adalah realita yang dia bina sendiri. siswa sebenarnya telah mempunyai satu tempat idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka. Untuk membantu siswa dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.

John Dewey, menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan siswa di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan siswa mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan siswa dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata siswa.

8. Pembelajaran Kooperatif

Kooperatif mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya. Jadi, belajar kooperatif adalah pemetaan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut.28 Dalam metode pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang yang menguasai materi yang disampaikan oleh guru.29

Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil kaloboratif yang anggotannya terdiri dari dua sampai enam kelompok dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Dalam pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa dan siswa dengan guru (Multi Way Traffic Communication).

Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. Dalam sistem pelajaran bekerja sama dengan anggota lainnya. Dalam model ini siswa memiliki dua tanggungjawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka dapat melakukan seorang diri.

28 Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2008, hlm. 4.

29 Robert E. Slavin, Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik, Bandung, Nusa Media, 2008, hlm. 8.

24

Isjoni (2009: 27) memaparkan beberapa ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu; Setiap anggota kelompok memiliki peran, terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga juga teman-teman sekelompoknya., guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.

9. Model Pembelajaran Mind Mapping

Mind Mapping atau pemetaan pikiran adalah teknik pemanfaatan seluruh otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya untuk membentuk kesan. Otak sering kali mengingat informasi dalam bentuk gambar, simbol, suara, bentuk-bentuk, dan perasaan. Peta pemikiran menggunakan pengingat-pengingat visual dan sensorik ini dalam suatu pola dari ide-ide yang berkaitan seperti peta jalan yang digunakan untuk belajar, mengorganisasikan, dan merencanakan. Peta ini dapat membangkitkan ide-ide orisinal (asli) dan memicu

Dokumen terkait