• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Tinjauan Tentang Belajar a. Pengertian Belajar

Arti belajar yang sesungguhnya belum diketahui orang sepenuhnya, karena masalah belajar adalah masalahnya setiap orang, maka di lapangan terdapat bermacam-macam cara pendekatannya. Ahli psikologi, ahli pendidikan memberikan definisi sendiri-sendiri sebab itu dalam teori belajar banyak terdapat perbedaan-perbedaan.

Berawal dari pandangan yang menganggap siswa sebagai penerima yang pasif dari berbagai fakta dan informasi, hingga pandangan yang menganggap bahwa siswa adalah obyek yang aktif. Tinjauan mengenai belajar bermula dari penelitian tentang tingkah laku manusia yang selanjutnya disebut behaviorisme hingga konstruktivisme. Seperti seseorang yang akan bepergian maka perlu petunjuk atau peta maka teori belajar ini merupakan uraian tentang jalan alternatif yang bisa ditempuh untuk sampai tujuan. Teori belajar membantu guru dalam membantu siswa menemukan tujuan yang ingin dicapai.

1). Kognitivisme

Kognitivisme didasarkan pada proses pemikiran yang terjadi dibalik tingkah laku. Perubahan tingkah laku diamati dan digunakan sebagai indikator terhadap apa yang terjadi di dalam pikiran. Golongan kognitivisme memandang belajar sebagai proses yang melibatkan ”akusisi” atau ”reorganisai” struktur kognitif yang berfungsi untuk memproses dan menyimpan informasi.

Dengan pengembangan psikologi developmental yang dikembangkan oleh Ausubel. Aliran ini percaya bahwa seseorang akan memperoleh pengetahuan dengan terus menerus memperbaiki skemata yang ada ketika informasi baru ini tidak sesuai dengan struktur yang ada. Bila suatu infomasi dapat dipahami dengan pengetahuan yang ada maka akan menguatkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian proses belajar tidak hanya dapat dilihat dari tampilan luar dalam bentuk unjuk kerja seeorang tetapi dijelaskan dengan proses di dalam pikiran seseorang melalui peserta didik menjelaskan secara lisan tentang yang dialami. Menurut paham kognitivisme peserta didik harus aktif menerima informasi dari guru. Karena belajar terjadi akibat dari partisipasi aktif peserta didik maka peran motivasi belajar menjadi sangat penting pada siswa.

Menurut Winkel (1997 : 69) paham kognitivisme memandang bahwa aktivitas kognitif dengan tujuan mengerti/memahami, harus dikembangkan menjadi kemampuan kognitif. Untuk itu setiap peserta didik harus belajar, yaitu belajar berpikir dengan peragaan maupun tanpa peragaan terutama dalam memecahkan masalah guna memperoleh bekal dalam kehidupannya. Peserta didik akan lebih berhasil jika ia belajar dengan menemukan sendiri apa yang ia pelajari, meskipun peranan guru masih tetap ada di dalamnya, untuk itu masih dimungkinkan siswa dituntun oleh guru, misalnya menyajikan suatu problem permasalahan dan mendampingi peserta didik untuk menemukan pemacahannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terarah.

Ausubel dalam Winkel (1997 : 70) mengakui bahwa informasi disusun di dalam struktur kognitif yang terdiri dari konsep yang spesifik maupun yang lebih umum. Bila informasi baru datang, maka proses belajar akan terjadi dan bermakna, bila informasi tersebut sesuai dengan struktur kognitif yang ada.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa golongan penganut teori-teori kognitif, mendefinisikan belajar sebagai reorganisasi perseptual atau ”cognitive fields” untuk memperoleh pemahaman dan memberikan umpan balik dari suatu obyek.

2). Konstruktivisme

Teori belajar yang paling berpengaruh dalam pendidikan fisika yaitu teori belajar konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme merupakan teori belajar kognitif yang dinyatakan oleh Piaget. Konstruktivisme didasarkan pada premis bahwa semua orang mengkonstruksikan perspektifnya sendiri tentang dunia, lewat pengalaman individual dan skema. Konstruktivisme menitikberatkan pada mempersiapkan pebelajar untuk memecahkan masalah dalam situasi yang ambigu atau membingungkan.

Konstruktivisme percaya bahwa ”Pebelajar” mengkonstruksi kesadaran mereka sendiri atau paling tidak menginterpretasikannya berdasarkan persepsi pengalaman mereka sendiri, sehingga pengetahuan individual adalah sebuah fungsi dari pengalaman awal seseorang, struktur mental, dan kepercayaan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek atau kejadian. Sesuatu yang diketahui oleh seseorang didasarkan pada persepsi pengalaman fisik atau sosial yang berkaitan dengan pikiran.

Menurut Depdiknas (2002 : 18) secara operasional teori konstruktivistik berawal kondisi siswa dan kemampuan guru dalam memahami kondisi siswa dan lingkungan. Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses yang aktif dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya (Paul Suparno, 2007 : 13). Disaat siswa menyusun atau membangun sendiri pengertian dan pemahaman dari pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan dan keyakinan awal yang telah dimilikinya, guru diharapkan memahami budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan yang dimiliki siswanya, serta pengalaman belajar yang memberikan kesempatan pada siswa untuk memperdalam

pengetahuannya secara mendalam. Oleh sebab itu dituntut guru dapat mengembangkan pemahaman konsep secara mendalam melalui pengalaman pembelajar yang autentik dan bermakna, karena inti dari belajar adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam belajarnya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivistik menekankan pada kemampuan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman belajar secara mendalam dan bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi suatu perkembangan berpikir dengan membuat kerangka pengertian baru.

b. Teori – Teori Belajar

1). Teori Belajar Jerome Bruner

Inti belajar menurut Bruner ialah cara-cara orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif (Ratna Wilis Dahar, 1989 : 98). Belajar merupakan proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar (melebihi) informasi yang diberikan padanya. Teori Bruner tentang kegiatan belajar manusia tidak terkait dengan umur tahap perkembangan. Pendekatan Bruner terhadap belajar berdasarkan dua asumsi yaitu bahwa orang memperoleh memperoleh pengetahuan merupakan proses interaktif dan orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang masuk sebelumnya.

Menurut Bruner, jika seseorang mempelajari sesuatu penegtahuan, pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh jika pengetahuan yang dipelajari itu melalui tiga tahap, yaitu :

a). Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran pengetahuan yang dipelajari aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata.

b) Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran pengetahuan dimana pengetahuan itu dipresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan kongkret.

c). Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran dimana pengetahuan itu dipresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang dalam bidang yang bersaangkutan, baik simbol verbal maupun abstrak yang lain.

Teori ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan karena pada penelitian ini juga menuntut siswa untuk berpartisipasi aktif dalam setiap proses belajar mengajar untuk memperoleh pengetahuan dari pengalaman-pengalaman dan eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Dengan pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti diharapkan siswa memperoleh informasi baru atau pengalaman yang membuat siswa menjadi lebih tertantang untuk lebih mengembangkan diri lebih baik maupun transformasi informasi untuk menguji relevansi dan kebenaran pengetahuan yang didapatkan sebelumnya. 2). Teori Belajar Piaget

Perspektif kognitif seperti yang dikatakan menurut Piaget bahwa pebelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut :

a). Sensorik – motorik (0 – 2) tahun. b). Pra-operasional (2 – 7) tahun. c). Operasional konkret (7 – 11) tahun.

d). Operasional formal (11 tahun – ke atas) (Ratna Wilis Dahar, 1989 : 152)

Hal ini dapat menjelaskan bahwa daya pikir berkembang pada anak-anak yang masih belia yang memiliki sifat ingin tahu dan terus berusaha memahami dunia di

sekitarnya. Dari keingintahuan ini, memotivasi mereka untuk mengontruksikan secara aktif representasi-representasi dibenaknya tentang lingkungan yang mereka alami. Ketika umur mereka semakin bertambah dan mendapatkan semakin banyak kapasitas bahasa dan ingatan, representasi mental mereka tentang dunia menjadi lebih rumit dan abstrak. Akan tetapi, diseluruh tahap perkembangannya, kebutuhan anak untuk memahami lingkungannya memotivasi mereka untuk menginvestigasi dan mengonstruksikan teori yang menjelaskannya.

Analisis perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget dapat dipergunakan untuk menyesuaikan dengan kurikulum terhadap kemampuan siswa. Pengetahuan dari teori Piaget juga dapat membantu guru untuk menilai tingkat perkembangan kognitif siswa. Ditinjau dari tingkat perkembangan tersebut, siswa SMP kelas VII sudah masuk dalam tahap perkembangan formal karena sesuai dengan ciri-cirinya yaitu pemikiran abstrak, hipotesis, deduktif dan induktif.

Oleh karena itu materi Pengukuran yang diberikan kepada siswa kelas VII dalam penelitian ini sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Pada tahap ini fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa, tetapi pada apa yang mereka pikirkan selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi lebih sering mengfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilisator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri serta mengambil kesimpulan dari apa yang telah diamati saat itu.

3). Teori Belajar John Dewey

Dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education (1916), Dewey mendeskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin

masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan-masalah kehidupan nyata. Padegogi Dewey mendorong guru untuk melibatkan siswa di berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting.

Pembelajaran di sekolah seharusnya purposeful atau memiliki maksud yang jelas dan tidak abstrak sehingga pembelajaran dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan memerintahkan anak-anak dalam kelompok-kelompok kecil untuk menangani permasalahan yang mereka minati dan pilih sendiri.

Dari uraian di atas sesuai dengan visi pembelajaran yaitu dipusatkan pada masalah atau problem-centered sehingga sangat mendukung pada penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Dalam hal ini guru sebagai motivator yang memunculkan masalah dan mendorong mereka untuk menyelidiki dan mencari jawabannya sendiri untuk memecahkan masalah tersebut sesuai dengan apa yang diminatinya.

4). Teori Belajar Lev Vygotsky

Keyakinan Vygotsky untuk perkembangan intelektual anak menekankan pada aspek sosial belajar. Disaat interaksi sosial dengan orang lain (guru atau teman sebaya) memacu pengonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pebelajar. Menurut Vygotsky, pebelajar memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda yaitu : a). Tingkat perkembangan aktual sebagai tingkat yang menetukan fungsi intelektual individu saat ini dan kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. b). Tingkat perkembangan potensial sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, misalnya guru, orangtua, teman sebayanya yang lebih maju.

Dengan tantangan dan bantuan yang tepat dari guru atau teman sebayanya yang lebih mampu, siswa dapat mencapai ke zone of proximal development (zona yang terletak diantara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial pebelajar) tempat pembelajaran baru terjadi.

Teori ini sesuai dengan penelitian ini yaitu menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan metode demontrasi, karena siswa dituntut untuk bekerja sama dengan kelompok (aspek sosial) sehingga diharapkan siswa dapat bekerjasama atau kooperatif dalam pemecahan masalah dengan bantuan yang tepat dari guru atau teman-temannya sendiri.

2. Pembelajaran Berbasis Masalah

a. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran (Nurhadi, 2004 : 109). Dasar Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Dengan memecahkan masalah persoalan, siswa dilatih untuk mengorganisasikan pengertian dan kemampuan mereka. Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-level thinnking skills) dalam situasi berorientasi masalah, termasuk bagaimana belajar. Di samping itu Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) berusaha membantu siswa untuk menjadi pembelajar yang independen dan self-regulated dengan dibantu oleh guru-guru yang senantiasa memberi semangat dan reward ketika mereka mengajukan

pertanyaan dan mencari sendiri solusi untuk berbagai masalah riil, kelak siswa belajar untuk melaksanakan tugasnya secara mendiri.

b. Ciri Pembelajaran Berbasis Masalah.

Pembelajaran berbasis masalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a). Pembelajaran berbasis masalah tidak hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu. Pembelajaran berdasarkan masalah berpusat pada pertanyaan atau masalah yang secara pribadi bermakna untuk siswa dalam situasi kehidupan yang nyata. b). Meskipun pembelajaran berbasis masalah berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu sosial), akan tetapi masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari sudut padang mata pelajaran yang lain. c). Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata sehingga harus menganalisa dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan.

c. Tujuan Utama Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual; belajar tentang berbagai peran orang dewasa dengan melibatkan diri dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. d. Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa.

Tabel 2.1 Tahapan/sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

FASE - FASE PERILAKU GURU

Fase 1

Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa

Guru membahas tujuan pembelajarn, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.

Fase 2

Mengorganisasikan siswa untuk meneliti

Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.

Fase 3

Membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guu mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksankan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4

Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan evhibit

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model, dan membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain.

Fase 5

Menganalisa dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

3. Metode Demontrasi

Demontrasi berasal dari kata demonstration yang berarti pertunjukan. Demontrasi diartikan sebagai model mengajar dengan pendekatan visual agar siswa dapat mengamati proses, informasi, peristiwa, alat dalam pelajaran fisika (Paul Suparno, 2007 : 142). Metode demontrasi adalah pertunjukan tentang proses terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui dan dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya (Syaiful Sagala, 2005 : 210). Melalui metode demontrasi siswa berkesempatan mengembangkan kemampuan mengamati segala benda yang terlibat dalam proses serta dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan yang diharapkan dan setiap langkah pembelajaran dari hal-hal

yang didemontrasikan dapat dilihat dengan mudah oleh siswa melalui prosedur yang benar sehingga materi yang diajarkan dapat dimengerti.

Kebaikan-kebaikan metode demontrasi antara lain : Perhatian siswa dapat dipusatkan pada materi yang diajarkan; dapat membimbing siswa ke arah pemikiran yang sama, dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan jika siswa hanya membaca atau mendengarkan karena siswa mendapatkan gambaran yang jelas dari pengamatan; menambah aktifitas siswa dalam belajar karena siswa melakukan kegiatan peragaan sehingga persoalan yang menimbulkan pertanyaan atau keraguan dapat diperjelas waktu proses demontrasi. Kelemahan-kelemahan metode demontasi antara lain : tidak semua materi pelajaran dapat didemontrasikan di dalam kelas; diperlukan keahlian dalam mendemontrasikan alat di dalam kelas; sebagian siswa tidak memusatkan perhatian pada hal-hal yang didemontrasikan jika sudah pernah melihat/mengalami sebelumnya.

4. Metode Diskusi

Diskusi Kelas (classroom discussion) adalah sebuah prosedur atau strategi mengajar yang dapat digunakan sebagai satu-satunya strategi pengajaran atau diterapkan di sejumlah model pengajaran (Arends R, 2008 : 74). Menurut Kindvatter,Wilen, Ishler, 1990 seperti yang dikutip oleh Paul Suparno (2007 : 129) ” Metode diskusi adalah motode pembelajaran dengan pembicaraan kelompok yang bersifat edukatif, reflektif, terstruktur dengan dan bersama siswa lain.”. Menurut Syaiful Sagala (2005 : 208) ”Diskusi ialah percakapan ilmiah yang responsif berisikan tukar pendapat yang dijalin dengan pertanyaan-pertanyaan problematik pemunculan ide-ide dan pengujian ide-ide ataupun pendapat dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk pemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran ”. Jadi metode diskusi melibatkan siswa aktif dalam belajar, siswa dapat

menguji tingkat kemampuan dan penguasaan materi pelajarannya masing-masing sehingga dapat menumbuhkan serta mengembangkan cara berpikir dan bersikap ilmiah.

Diskusi digunakan oleh guru untuk mencapai tiga pokok tujuan instruksional yaitu : a). Meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan membantu mereka mengontruksikan pemahamannya sendiri tentang isi akademik. b). Meningkatkan keterlibatan dan engagement siswa. c). Membantu siswa mempelajari berbagai ketrampilan komunikasi dan proses berpikir yang penting. Diskusi berbasis masalah digunakan untuk melibatkan siswa dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi dan dengan demikian mendorong mereka untuk melakukan investigasi intelektual sendiri. Dalam diskusi ini, guru membantu siswa untuk menjadi sadar akan proses penalarannya sendiri dan mengajari mereka untuk memantau serta mengevaluasi strategi belajarnya sendiri.

Kelebihan dari metode diskusi antara lain : Metode diskusi dapat melibatkan semua siswa secara langsung dalam belajar; setiap siswa dapat menguji tingkat pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran masing-masing dengan mengajukan dan mempertahankan pendapatnya. Dalam diskusi diharapkan siswa akan memperoleh kepercayaan akan kemampuan diri sendiri, juga dapat memberikan pemahaman sikap demokratis dan sosial.

Kelemahan metode diskusi antara lain : Hasilnya tidak dapat diramalkan, karena tergantung pada kepemimpinan siswa sendiri dan keterlibatan partisipasi anggota kelompoknya; banyak terjadi dalam diskusi siswa kurang berani mengemukakan pendapatnya; pelaksanaan diskusi sering hanya dikuasai oleh siswa yang menonjol saja. 5. Konsep Diri

Identitas itu berarti pengertian mampu berfungsi sebagai sosok pribadi yang mandiri dan terpisah (Hurlock, 1980 : 185). Menurut Markus dan Nurius, 1986 seperti yang dikutip oleh JF. Calhoun dan JR. Acocella (1995 : 39) :

Banyak aspek yang menyangkut diri adalah sesuatu yang biasa bagi psikologi. Aspek-aspek tersebut adalah fisik diri, diri sebagai proses, diri social, konsep diri dan citra diri. Dari kelima aspek ini, titik permulaan yang sangat baik untuk dapat diterapkan dalam kehidupan adalah konsep diri karena bagian diri yang ini mempengaruhi setiap aspek pengalaman, pikiran, perasaan, persepsi, dan tingkah laku.

Diri dapat didefinisikan sebagai suatu susunan konsep hipotesis yang merujuk pada perangkat komplek dari karakteristik proses fisis, perilaku dan kejiwaan dari seseorang. Dengan cara yang sama diri adalah sebutan yang diberikan seseorang untuk apa yang diyakininya merupakan kesatuan dari prinsip yang mempersatukan banyak aspek kepribadian. Berdasarkan literatur yang peneliti baca dan asumsi dari peneliti bahwa konsep diri itu penting dalam kehidupan sehari-hari maka penelitian akan mengetengahkan pengertian, faktor-faktor yang mempengaruhi, komponen-komponen dan jenis-jenis konsep diri.

a. Pengertian Konsep Diri

William D. Brooks, 1974 seperti yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (1993 : 99) berpendapat bahwa " Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita ". Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis. Konsep diri ini bukan sekedar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian seseorang tentang dirinya meliputi apa yang ia pikirkan atau apa yang ia rasakan tentang dirinya. Menurut Clara Pudjijogyanti (1988 : 2) " Konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap seluruh keadaan dirinya ”. Hurlock (1980 : 184) mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang merupakan gabungan dari keyakinan tentang dirinya sendiri, karakter fisik, psikologis, sosial, emosional, dan prestasi.

Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri dalam penelitian ini adalah gambaran diri siswa yang mencakup pandangan, perasaan, pikiran

atau persepsi tentang dirinya sendiri yang dapat bersifat psikologis, sosial, dan fisis seperti pandangan tentang fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan prestasi yang semuanya ini dapat mempengaruhi tingkah lakunya.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri

Menurut JF. Calhoun dan JR. Acocella seperti yang dikutip oleh RS. Satmoko (1995 : 77-78) ada tiga faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang yaitu orang tua, kawan sebaya, dan masyarakat. Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami anak dan yang paling kuat. Anak selain membutuhkan cinta orang tuanya ia juga membutuhkan penerimaan dari teman-temannya. Anak adalah makluk sosial yang membutuhkan masyarakat sekitarnya untuk kehidupannya. Hurlock (1980 : 185) berpendapat bahwa yang mempengaruhi konsep diri adalah harapan orang tua, sikap terhadap anggota keluarga, keadaan fisik anak, kematangan biologis, pengaruh radio dan televisi, kesempatan sekolah, tuntutan sekolah, agama, pendapat teman sebaya, masalah ekonomi keluarga, masalah pribadi keluarga, dan sikap terhadap teman sebaya.

Dari pendapat - pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri berasal dari dalam atau dari luar diri individu sendiri. c. Jenis- jenis Konsep Diri

Konsep diri ada dua jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

Dokumen terkait