• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESAN MEDIA

KAJIAN TEOR

Pemerolehan BahasaPertama 1. Kontravesi Nurture dan Nature

Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menguasai bahasa, selama ia berada di tengah masyarakat. Tetapi timbul sebuah kontraversi antar para ahli, tentang proses bagaimana seorang manusia dapat menguasai bahasa. Ada aliran (behaviorisme) yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa, tergantung darinurture yaitu alam lingkungan. Aliran behaviorime ini menyatakan bahwa seorang manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yakni seperti piring kosong tanpa isi apapun, maka lingkunganlahyang mengisinya, termasuk juga kemampuan berbahasa. Dengan kata lain dapat dikatakan pengetahuan manusia tentang apapun diperolehnya dari lingkungannya (Dardjowidjojo, 2012).

Ahli yang memiliki paham tersebut adalah Skinner, seorang psikolog dari Universitas Harvard. Untuk membuktikan paham tersebut,Skinner mengujinya dengan menggunakan tikus dalam proses percobaanya yang disebut operant conditioning. Dalam percobaannya tikus dilatih berulang-ulang bagaimana mendapatkan makanannya yaitu dengan menekan satu pedal, akhirnya tikuspun mampu memahami tehnik untuk medapatkan makanannya. Setelah tikus sudah memahami tehnik tersebut, tikuspun dilatih dengan tehnik yang lain. Maka Skinner berkesimpulan seseorang memperoleh bahasa yang dipelajari dari adanya stimulus yang timbul, stimulus diikuti dengan respon. Apabila responnya benar maka akan diberi hadiah dan responnya memberikan jawaban salah, maka ia akan dihukum. Proses ini dilakukan berulang kali, dan kemudian menjadi kebiasaan.

Sementara Chomsky dalam Soenjono pendapatnya bertolak belakang dengan Skinner. Ia mengatakan semua anak memiliki Piranti Pemerolehan Bahasa. Hal ini terbukti adanya kesamaan proses pemerolehan bahasa antara satu anak dengan anak yang lain (nature). Menurut Chomsky bahwa nurture hanya menentukkan bahasa yang diperoleh oleh seorang anak, “tetapi prosesnya sendiri bersifat kodrati (innate) dan inner directed”. Jadi menurut Chomsky bahasa bukan sebuah kebiasaan tetapi sebuah sistem yang diatur oleh “seperangkat aturan”. Bahasa itu adalah sesuatu yang kreatif dan juga mempunyai ketergantungan dengan struktur. Kemampuan berbahasa tersebut adalah milik manusia, apabila Skinner menyamakan proses pemerolehan pengetahuan antara manusia dan tikus, ia hanya menyederhanakan fakta.

Akhirnya sebagian besar linguis menyatakan bahwa Chomskylah yang kelihatannya mendekati kebenaran. Tetapi kita tidak boleh memandang sebelah mata faktor nurture. Nurture terbukti juga ada ketika ditemukan seorang perempuan di Los Angeles, California yang bernama Ginie. Ginie ditemukan pada tahun 1970 setelah 13 tahun ia disekap dalam kamar kecil di gudang belakang rumah. Ia diberi makan, tetapi tidak pernah diajak berbicara oleh ayahnya, yang benci anak dan suara anak. Ayahnya juga sering menyiksa Ginie, sementara sang ibu tidak berani membela Ginie. Setelah ditemukan, kemudian ia dilatih berbahasa selama delapan tahun iapun tidak mampu berbahasa seperti manusia lainnya. Ini berarti bahwa faktor lingkungan juga membentuk seseorang untuk berbahasa.

Jadi dapat dikatakan bahwa nurture dan nature sama-sama diperlukan. Tanpa adanya kodrat dari alam seorang manusia tidak mampu berbahasa. Tetapi kita masukan dari alam sekitar, kodrat seorang manusia untuk berbahasa tidak akan terwujud.

2. Tahap-tahap Pemerolehan bahasa Pertama

Kata pemerolehan ini dipandankan dalam Bahasa Inggris acquisition, yang artinya “proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language)” (Dardjowidjojo, 2012).

Mukalel dalam bukunya menjelaskan bahasa pemerolehan bahasa pertama seorang anak diperoleh ketika sang anak belum bersekolah. Ia tidak mempelajari bahasa pertamanya di sekolah tetapi dirumah. Bahasa pertama yang dimaksud dapat disebut bahasa setempat, bahasa daerah atau bahasa nasional. Jumlah bahasa pertama ini tidak terbatas. Ada anak yang memiliki satu bahasa pertama, sementara anak yang lain memiliki bahasa pertama lebih dari dua (Mukalel, 2013).

Proses alamiah dalam pemerolehan bahasa adalah sebuah keuntungan, karena anak akan melakukan sesuatu dengan baik di dalam situasi alamiah (Steiberg, 2006).Mukalel menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pertama, yaitu: (1) Faktor lingkungan fisik: segala sesuatu yang ada di sekitar anak-anak berhubungan dengan apa yang dipelajari anak. Adanya anjing, kucing, rumah dah pohon mempengaruhi cara anak untuk mempelajari bahasa pertamanya. (2) Faktor lingkungan sosial, anak yatim dengan anak yang memiliki orang tua memiliki perbedaan dalam proses pemerolehan bahasa pertamanya. Anak yang selalu berada dekat dengan ibunya setiap hari dengan anak yang ibunya setiap hari bekerja, juga memiliki perbedaan dalam pemerolehan bahasa pertamanya.

Jadi ibu, keluarga dan tetangga adalah elemen sosial yang penting dalam proses pemerolehan bahasa pertama si anak. (3) Faktor sumber fisik dan ekonomi, adanya kekurangan dari keadaan fisik dan ekonomi mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pertama. Kekurangan tersebut menghalangi si anak untuk memperoleh bahasa pertamanya dengan baik. Karena kesibukan orang tua untuk mencari penghidupan yang layak, melupakan proses pemerolehn bahasa sang anak. (4) Faktor motivasi, pemerolehan bahasa pertama juga dipengaruhi oleh faktor motivasi. Ada dua jenis motivasi yaitu motivasi internal maupun ekternal. Motivasi internal, adalah yang mendorong anak agar secepat mungkin memperoleh kemampuan berbahasa yaitu keinginan anak untuk memperoleh kebutuhan internalnya yaitu kebutuhan psikologi (makanan, kehangatan dan tempat berlindung). Selain itu ada kebutuhan emosional yang yaitu kenginan untuk mendapatkan perhatian, cinta dan kasih sayang yang berkelanjutan. Sedangkan faktor ekternal yaitu keinginan untuk berinteraksi sosial, keinginan agar mampu menunjukkan ekspresi diri dan agar mampu menunjukkan kreativitas.

Lebih lanjut Steinberg menjelaskan terdapat beberapa tahapan yang harus dilewati anak untuk memperoleh bahasa pertamanya yaitu (1) tahap vokalisasi, yaitu tahap dimana seorang anak belum dapat berbicara. Pada tahapan ini ia hanya menangis, membunyikan bunyi “koo”, bunyi seperti mendenguk, menghembuskan nafas, meludah atau menghasilkan suara-suara yang tak dapat digambarkan (2) Tahap one-word utterance, atau tahap bertutur hanya dengan menggunakan satu kata misalnya dengan menyebutkan kata “mama”, “papa”, “mandi”, dan lain-lain. (3) Tahap two-and three word utterances, atau tahap bertutur dengan menggunakan dua sampai tiga kata. Biasanya tuturannya bertujuan menunjukkan jumlah misalnya “pisang lagi”, menunjukkan milik misalnya “buku saya”, menunjukkan pengingkaran misalnya “ga mau” “ga ada”, menujukkan tempat misalnya “mama tuh” dan atribut misalnya “jeruk kecil”.

Tahapan-tahapan tersebut terjadi di dalam situasi alamiah, bukan di kelas dan pada waktu si anak masih belum menginjak usia sekolah.

Pembelajaran Bahasa Kedua

Istilah pembelajaran tidak sama dengan istilah pemerolehan. Apabila dipadankan dengan Bahasa Inggris kata pembelajaran sama dengan learning, yaitu proses pembelajaran formal yang dilakukan di dalam kelas dan bersama guru.Dengan kata lain Dardjowidjojo mengatakan bahwa pembelajaran bahasa berhubungan dengan pembelajaran yang

dilakukan kelas, pemerolehan bahasa berhubungan dengan proses memperoleh kemampuan berbahasa pada waktu si anak belum bersekolah. Jadi pembelajaran bahasa yang dilakukan dalam kelas identik dengan pembelajaran bahasa kedua.

Faktor-Faktor Psikologi

Dalam mempelajari bahasa kedua, tentunya ada faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. (1) Proses intelektual, yaitu kemampuan seseorang untuk mempelajari struktur dan aturan dari bahasa kedua. Hanya ada dua cara yang dapat disebut dengan explication dan induction. Explication artinya sebuah proses pembelajaran bahasa kedua, dimana aturan dan struktur dari bahasa kedua dijelaskan kepada pembelajar dalam bahasa ibunya. Sedangkan induction yaitu pembelajaran bahasa kedua dengan cara menemukan sendiri aturan tata bahasanya.(2) memori, memori juga adalah faktor yang sangat penting dalam pembelajaran (Steinberg, 2006).

Orang yang memiliki masalah dalam memori pasti kemampuannya mempelajari bahasa ibunya sangat rendah. Terlebih lagi apabila ia mempelajari bahasa kedua. Misalnya ketika seseorang mempelajari kosakata “dog”, maka ia harus memiliki memori yang baik untuk menghubungkan pengalaman melihat atau memegang anjing (dog) dengan kosakata “dog”. Demikian juga ketika seseorang mempelajari tata bahasa dari bahasa kedua, ia harus memiliki memori yang baik, agar ia mampu menyatakan sesuatu berdasarkan situasi yang tepat.(3) Ketrampilan motorik, ketrampilan motorik ada hubungannya dengan kemampuan melafalkan bunyi dengan baik atau kemampuan untuk mengontrol alat ucap. Ketrampilan ini sangat penting dalam pembelajaran bahasa kedua. Rahang, bibir, lidah, pita suara dan lain-lain dikontrol oleh otot , dimana semua itu dikontrol oleh otak. Alat ucap harus bertindak dengan baik, pada waktu yang tepat ketika seseorang berbicara, terutama ketika ia berbicara dalam bahasa kedua, ia harus melafalkan kata-kata dalam bahasa kedua, seperti ia menggunakan bahasa ibunya.

Faktor Sosial

Situasi sosial juga mempengaruhi seseorang dalam mempelajari bahasa kedua. Ada dua jenis situasi sosial yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua yaitu terdiri dari situasi alamiah (The natural situation) dan situasi kelas (The classroom situation). Situasi alamiah, yaitu situasi yang sama ketika seorang anak mempelajari bahasa ibunya. Dimana seseorang mempelajari bahasa bukan di dalam kelas. Misalnya ada seorang anak baru tinggal di suatu negara yang lain, kemudian ia mempelajari bahasa negara tersebut bukan melalui pengajaran secara eksplisit, tetapi melalui interaksi dengan temannya misalnya. Jadi dengan bermain dengan anak dari negara tersebut, akhirnya nanti ia mampu mempelajari bahasa negara tersebut.

Tetapi pembelajaran bahasa dengan situasi alamiah, agak sulit berhasil bagi mereka yang sudah dewasa. Tidak banyak orang dewasa yang mau meluangkan waktunya untuk berinterksi dengan orang lain yang memiliki bahasa yang berbeda dengan dirinya sendiri. Oleh karena itulah banyak orang dewasa yang kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa yang mereka pelajari.

Selanjutnya situasi kelas, dalam situasi kelas orang mempelajari bahasa dalam situasi direncanakan. Di dalam kelas tentunya secara fisik ada ruangan yang tertutup dan sudah diatur sedemikian rupa. Di dalam kelas ada guru yang memiliki kemampuan untuk berbahasa yang akan dipelajari dan ada siswa-siswi yang belajar. Di dalam kelas tidak akan sesuatupun yang terjadi, kecuali guru melakukan sesuatu. Siswa-siswi tidak bertindak seenaknya sendiri tetapi mengikuti petunjuk dari guru.

Dalam kelas juga dapat diterapkan metode pengajaran yang membuat situasi pembelajaran bahasa seperti alamiah. Misalnya guru menerapkan lomba pidato, bermain

peran, dan permainan. Tetapi tetap saja yang memegang peranan untuk merencanakan dan mengontrol kegiatan tersebut.

Pembelajaran dengan situasi kelas berbeda dengan situasi alamiah. Seseorang harus beradaptasi dengan proses pembelajaran kelompok. Dalam arti kepentingan bersama harus diduluankan dari pada kepentingan diri sendiri untuk kepentingan bersama.

Situasi pembelajaran bahasa kedua di kelas akan lebih menguntungkan dan berhasil apabila seseorang memiliki pengalaman pembelajaran bahasa Inggris, bukan hanya di dalam kelas tapi di luar kelas. Misalnya siswa yang berasal dari Pakistan mempelajari Bahasa Inggris di sebuah sekolah di London.

Pembelajaran bahasa dalam situasi kelas akan lebih berhasil diterapkan kepada orang dewasa daripada anak-anak. Karena mereka paham bagaimana bertindak menjadi siswa di dalam kelas. Mereka sudah memiliki kematangan dalam menghadapi tantangan yang terjadi dalam lingkungan pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi dan duduk dalam jangka waktu yang lama.

Tetapi dalam hal memori dan ketrampilan motorik, anak-anak besar (usia 12 tahun) lebih memiliki kemampuan tersebut daripada orang dewasa. Oleh karena itu sangat disarankan kepada anak-anak besar yang kira-kira berusia 12 tahun untuk memulai pembelajaran bahasa kedua di dalam kelas. Di saat dimana kemampuan mereka dalam memahami sesuatu sudah seperti orang dewasa.

Usia Kritikal (Crititical Age)

Usia kritikal dalam hal ini adalah batas usia tertentu dari seseorang tidak mampu lagi mempelajari bahasa. Usia kritikal ini terjadi ketika seseorang mempelajari bahasa pertama, yaitu pada usia tertentu ia tidak mampu lagi mempelajari bahasa pertamanya. Pertanyaannya apakah hal tersebut terjadi kepada orang-orang yang mempelajari bahasa kedua mereka.

Berdasarkan observasi ada banyak orang dewasa yang memulai pembelajaran bahasa kedua mereka bukan di usia muda. Steinberg dalam bukunya memberikan contoh. Misalnya seorang penulis novel dan ahli prosa Inggris terkenal bernama Josep Concard. Ia adalah penutur asli bahasa Polandia dan ia baru mempelajari Bahasa Inggris pada usia di atas 20 tahun. Atau ada Henry Kissinger seorang Jerman yang kemudian menetap di Amerika pada usia 14 tahun, memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang luar biasa. Ada juga Zbigniew Brzezinski yang meninggalkan Polandia dan kemudian tinggal di Kanada pada usia 10 tahun, juga memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik. Jadi dapat disimpulkan tidak ada usia kritikal dalam mempelajari bahasa kedua baik itu dalam kemampuan sintaks maupun pelafalan.

Keterampilan Berbahasa

Ada empat tingkatan ketrampilan dalam berbahasa yaitu (1) ketrampilan menyimak (2) berbicara (3) berbicara dan (4) menulis. Jadi orang yang mampu dalam berbahasa tentunya memiliki keempat ketrampilan bahasa di atas secara utuh (Iffah, Pengertian dan Manfaat Ketrampilan Berbahasa, http://pelangi-

iffah.blogspot.com/2011/04/pengertian-dan-manfaat-keterampilan.html). Keempat ketrampilan diatas memiliki hubungan satu dengan yang lain. Ketrampilan menyimak ada hubungannya dengan ketrampilan berbicara, karena dalam berbahasa, harus ada interaksi antara pembicara dan lawan bicara. Apabila pembicara berbicara maka lawan bicara akan menyimak demikian juga sebaliknya. Ketrampilan menyimak ada hubungannya dengan membaca karena ketika seseorang menyimak atau membaca mereka sama-sama memperoleh sebuah informasi. Ketrampilan menyimak dan membaca juga ada hubungannya dengan menulis, ketika seseorang menyimak atau

membaca ia menerima informasi kemudian ia menuliskan informasi tersebut dalam bentuk tulisan.

Sekarang ini sudah ada panduan untuk guru bahasa menentukan atau mendeskripsikan level kemampuan berbahasa dari muridnya panduan tersebut dinamakan Common European Framework (CEFR).Dalam Teacher’s Guide to the Common European Framework, http://www.coe.int/t/dg4/linguistics/Source/Framework_N.Pdf, terdapat enam level yang diperkenalkan oleh panduan ini yaitu 1) Basic user atau level dasar (A1 dan A2) 2) Independent useratau level menengah (B1 dan B2) 3) Proficient level atau level mahir (C1 dan C2). John Cummin (dalam J. n.d, .Cummins, Basic Interpersonal Communicative Skills and Cognitive Academic Language Proficiency http://www.iteachilearn.com/cummins/bicscalp.html)juga memperkenalkan level yang mendeskripsikan kemampuan seseorang dalam berbahasa. Ia membedakan hanya dalam dua level yaitu Basic Interpersonal Communicative Skill atau kemampuan berbahasa yang dasar, hanya sebatas mampu berkomunikasi dan Cognitive Academic Language Proficiency atau kemampuan berbahasa mahir atau fasih baik dalam berbicara dan mendengar maupun dalam membaca dan menulis.

Jadi ketrampilan berbahasa saling terkait satu dengan lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan, hanya orang yang memiliki keempat ketrampilan berbahasa secara penuh yang dapat dikatakan terampil dalam berbahasa atau memiliki kemampuan dalam berbahasa. Dan sekarang ini sudah ada panduan yang memudahkan seorang guru mengetahui level kemampuan berbahasa muridnya sendiri.

Pemandu Wisata

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Wikipedia pemandu wisata yang juga disebut pramuwisata atau dalam Bahasa Inggrisnya tour guide adalah “petugas pariwisata yg berkewajiban memberi petunjuk dan informasi yg diperlukan wisatawan”. Sedangkan menurut Peraturan Menparpostel RI, “Pramuwisata adalah seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penjelasan dan petunjuk tentang obyek wisata serta membantu keperluan wisatawan lainnya”. Dan menurut Menurut EN 13809 OF EUROPEN COMMITTEE FOR STANDARDISATION (CEN) ADOPTED BY WFTGA AT ITS DUNBLANE SCOTLAND CONVENTION 2003, “TOURIST GUIDE is a person who guide visitiors in the language of their choice and interprets the cultural and natural heritage of an area which person normally possesses an area-specific qualification usually issued and /or recognized by the appropriate authority” (Anonym, Pramuwisata, http://id.wikipedia.org/wiki/Pramuwisata).

Jadi dapat disimpulkan pemandu wisata atau dapat disebut pramuwisata adalah seorang petugas pariwisata yang memiliki kewajiban memberikan petujuk dan informasi tentang sebuah objek wisata serta membantu dalam hal lainnya misalnya memesan hotel, menyiapkan transportasi dan lain-lain. Kesemua tugasnya dilakukan dengan menggunakan bahasa para pengguna jasa pemandu wisata atau pramuwisata.

Di Indonesia secara nasional sudah dibentuk organisasi yang memberikan wadah para pemandu wisata. Organisasi tersebut dinamakan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Organisasi ini telah tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia juga telah terbentuk organisasi yang tujuannya sama, tetapi bersifat lokal. Diharapkan semua pramuwisata memilki lisensi yang dikeluarkan oleh HPI terutama apabila ia melayani wisatawan asing, agar kualitas pribadi nasionalismenya terjaga dan dapat memberikan informasi yang valid kepada tamunya.

Sanali Bu’ulölӧadalah salah seorang pemandu wisata atau pramuwisata di pulau Nias, tepatnya di pantai Sorake. Pantai Sorake ini terletak di daerah Nias bagian Selatan atau di Kabupaten Nias Selatan. Pulau Nias terletak 125 km sebelah barat Sumatera. Ada

130-an pulau yang mengelilinginya. Pulau Nias memiliki potensi alam yang begitu indah terutama pantainya yang bernama Pantai Sorake, dimana banyak wisatawan mancanegara dan local mengunjungi tempat ini untuk berolahraga surfing atau sekedar menikmati pemandangannya. Meskipun terpencil, sudah beberapa kali diselenggarakan kompetisi surfing internasional di Pantai Sorake ini (Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten

Nias Selatan, Pantai Sorake,

http://www.southniastourism.com/?bahasa=Id&target=menu&baca=30).

Sanali Bu’ulölӧini memiliki keunikan dalam pembelajaran bahasanya. Keunikannya ia tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia tetapi ia mampu berbahasa Inggris bahkan berprofesi sebagai pemandu wisata selain atlet surfing. Ada kejadian unik yang terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika ia menjuarai sebuah kompetisi surfing internasional di pantai Sorake, ia hendak diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi Indonesia, terjadi kesulitan karena ia tidak mampu berbahasa Indonesia, ia hanya mampu berbahasa Nias dan bahasa Inggris.

METODOLOGI PENELITIAN