• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

kondisi fisik yang lemah; keterisolasian; kerentanan; dan ketidakberdayaan. Atas dasar kelima hal tersebut, maka Chambers menyatakan bahwa fenomena kemiskinan setidaknya dilihat dalam perspektif yang lebih komprehensif, dengan suatu pendekatan yang dapat merujuk pada pemahaman tentang kemiskinan terpadu.

Dalam konsep kesejahteraan sosial, kemiskinan merupakan masalah sosial yang disandang oleh seseorang atau sekelompok warga masyarakat yang menyebabkan mereka mengalami keterbatasan tingkat kesejahteraan sosialnya. (Nugroho, Heru, 2000) menambahkan, bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, akan tetapi juga politik dan budaya. Faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan sumber daya ekonomi.

Keluarga miskin atau masyarakat miskin pada umumnya memiliki karakteristik tertentu.

Kemiskinan juga dapat dimaknai sebagai masalah sosial yang disandang oleh seseorang atau sekelompok warga masyarakat yang menyebabkan mereka mengalami keterbatasan tingkat kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial yang dimaksud menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan dirinya, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok ornag tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang dialami oleh seseorang, keluarga, kelompok masyarakat atau komunitas masyarakat yang tidak mampu (tidak berdaya) memenuhi kebutuhan dasar fisik, sosial, dan politik.

Faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan sumber daya ekonomi. Keluarga miskin atau

Kajian Pustaka

masyarakat miskin pada umumnya memiliki karakteristik tertentu. Beberapa karakteristik kemiskinan menurut SMERU (Isdijoso, Widjajanti, Suryahadi,Asep, Akhmadi, 2016) sebagai berikut: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, papan), tidak adanya akses terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi, tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan matapencaharian yang berkesinambungan, dan ketidakmampuan serta ketidakberuntungan sosial (anak terlantar janda miskin, kelompok marjinal, dan terpencil).

Berbagai indikator di atas menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan, terutama bagi Keluarga Miskin (KM) dan rentan perlu ditingkatkan. Hal itu sejalan dengan upaya pemerintah membangun sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan serta meluncurkan program-program yang ditujukan bagi keluarga miskin.

Perlindungan Sosial 2.2.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara berwenang dalam menentukan kebijakan sosial sebagai perangkat dalam penanggulangan kemiskinan. Mashall dan Rein seperti yang dikutip oleh Edi Suharto, mengartikan kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Suharto, Edi, 2008) Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya dan sosial, peningkatan pemerataan, pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial.

Kebijakan pemerintah dalam usaha penanggulangan masalah kemiskinan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial rumah tangga dan keluarga miskin. Peningkatan tersebut ditandai dengan menguatnya daya beli rumah tangga miskin yang didorong oleh terciptanya penghasilan dan berkurangnya beban pengeluaran keluarga miskin, serta dapat meningkatkan

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

kemandirian dalam bentuk simpanan atau aset keluarga miskin. Dengan demikian keluarga miskin dapat menikmati pertumbuhan ekonomi keluarga secara berkualitas.

Dalam konteks ini, kebijakan sosial yang dimaksud adalah kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh tujuan sosial, jenis, sumber dan jumlah pelayanan sosial seluruhnya telah ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan sosial tersebut bersifat selektivitas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial warga masyarakat tertentu saja, yaitu mereka yang mengalami masalah sosial dan membutuhkan pelayanan tertentu misalnya keluarga miskin, orangtua dan anak terlantar. Selain itu Kebijakan sosial juga secara komprehensif diarahkan tidak hanya untuk mengatasi satu bidang masalah, melainkan beberapa masalah sosial yang terkait, diatur dan dirumuskan secara integrasi dalam satu formulasi kebijakan sosial terpadu (Suharto, Edi, 2008). Kebijakan Sosial yang telah diuraikan di atas dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Perlindungan sosial didefinisikan sebagai segala bentuk kebijakan dan intervensi publik yang dilakukan untuk merespon beragam resiko, kerentanan dan kesenggaraan, baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial, terutama yang dialami oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan. Karakter atau nuansa publik dalam definisi ini menunjuk pada tindakan kolektif, yakni penghimpunan dan pengelolaan sumber daya berdasarkan prinsip gotong royong dan kebersamaan, yang dilakukan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah, nonpemerintah, maupun kombinasi dari kedua sektor tersebut.

Tujuan perlindungan sosial adalah: 1) Mencegah dan mengurangi resiko yang dialami manusia sehingga terhindar dari kesengsaraan yang parah dan berkepanjangan, 2) Meningkatkan kemampuan kelompok-kelompok rentan dalam menghadapi dan ke luar dari kemiskinan, kesengsaraan dan ketidakamanan sosial-ekonomi, 3) Memungkinkan kelompok-kelompok miskin untuk memiliki standar hidup yang bermartabat sehingga tidak

Kajian Pustaka

diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya (Suharto, Edi, 2008).

Jaminan Sosial 2.3.

Istilah jaminan sosial muncul pertama kali di Amerika Serikat dalam The Social Security Act tahun untuk mengatasi masalah-masalah 1935 pengangguran, manula, orang-orang sakit dan anak-anak akibat depresi ekonomi. Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial di negara-negara maju belakangan ini mengalami perubahan, pada dasamya penyelenggaraan jaminan sosial di sana pada hakekatnya difahami sebagaibentuk nyata perlindungan negara terhadap rakyatnya (Mudiyono, 2002).

Negara menjalankan fungsi perlindungan kepada warga negara yang lemah melalui pemberian dukungan finansial, tepatnya santunan. Mereka dianggap “berhak” untuk mendapatkan santunan ini karena mekanisme pasar gagal dalam menyediakan sumber-sumber pendapatan seperti lapangan kerja yang langka. Disamping itu santunan itu juga diberikan kepada kelompok lemah yang lain. Secara yuridis formal, keharusan untuk memberikan jaminan sosial adalah hal yang bersifat universal. Declaration of Human Rights pasal 25 secara eksplisit menetapkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlindungan jika mencapai hari tua, sakit, cacat, plenganggur dan meninggal dunia.

Berkait dengan hal tersebut, di Indonesia Jaminan Sosial tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN adalah program negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, masyarakat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya tau kurangnya pendapatan, karena sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

Secara yuridis, penyelenggaraan jaminan sosial memiliki posisi yang kuat, karena telah diamanatkan oleh UUD 1945.

Pemerintah sendiri sebenarnya telah menderivasikan dalam berbagai produk hukum, misalnya UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa jaminan sosial dimaksudkan untuk: a. menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Pengertian sebagaimana sebenarnya menjadi instrumen pelaksanaan dari amanat UUD’1945, khususnya bagi warga negara yang tergolong miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 UUD’ 45 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.

Negara menjalankan fungsi perlindungan kepada warga negara yang lemah melalui pemberian dukungan finansial, tepatnya santunan. Mereka dianggap berhak untuk memperoleh santunan karena mekanisme pasargagal dalam menyediakan sumber-sumber pendapatan seperti lapangan kerja yang langka. Disamping itu santunan diberikan kepada kelompok lemah yang lain, meskipun kelemahan bukan disebabkan oleh kegagalan pasar. Yang termasuk kategori ini adalah mereka yang karena kondisi fisiknya tidak mampu memperoleh pendpatan sebagaimana disediakan pasar, seperti penyandang disabilitas, orang sakit, dan ibu hamil.

Dalam merumuskan sistem dan strategi untuk menegakkan jaminan sosial, ada tiga isu penting. Pertama, apakah jaminan sosial akan diselenggarakan secara universal bagi seluruh rakyat (bagi seluruh masyarakat) atau hanya kepada sekelompok warga negara (selektif). Kedua, dalam bentuk apa jaminan sosial tersebut diberikan, Income transfer, benefits in cash, ataukah benefit in-kind. Negara- negara yang memiliki sistem administrasi maju memiiki informasi detail tentang rekening bank dari setiap warga negaranya. Dalam kondisi seperti, warga negara/masyarakat

Kajian Pustaka

yang memiliki kriteria tertentu yang telah ditetapkan secara periodik menerima transfer pandapatan dari negara. Tidak semua jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk uang. Ada sejumlah santunan negara yang diberikan dalam bentuk barang (in kind) atau pelayanan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan, Ketiga, apakah jaminan sosial merupakan kewajiban negara tau kewajiban masyarakat. Artinya siapa saja yang berperan dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan jaminan sosial. Apakah negara sebagai representasi masyarakat ataukah individu-individu keluarga, atau kelompok sosial (Mudiyono, 2002).

Secara yuridis, penyelenggaraan jaminan sosial memiliki posisi kuat karena telah diamatkan oleh UUD 1945. Pemerintah telah menderivasikan dalam berbagai produk hukum, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahu 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa jaminan sosial merupakan perwujudan dari sekuritas sosial, yaitu keseluruhan sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.

Pengertian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 9 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2009 tersebut sebenarnya menjadi instrumen pelaksanaan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya bagi warga negara yang tergolong miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.

Bagian Ketiga pasal 9 Undang-undang nomor 11 tahun 2009 menyebutkan bahwa jaminan sosial dimaksudkan untuk (a) menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi (b) menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya. Jaminan sosial diberikan

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan, dan diberikan dalam bentuk tunjangan berkelanjutan (Pemerintah Republik Indonesia, 2009).

Upaya untuk mewujudkan sistem jaminan sosial secara yuridis semakin kuat ketika dalam amandemen UUD’ 45 ditetapkan bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya Secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” (amandemen terhadap Pasal 28).

Pengaturan tentang jaminan sosial ini sebenamya juga telah diatur dalam Pasal 9 UU tentang Kesejahteraan Sosial.

Bantuan Sosial 2.4.

Bantuan sosial dapat didefinisikan sebagai semua upaya yang diarahkan untuk meringankan penderitaan, melindungi, dan memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi psikososial, dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki agar seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar (Pemerintah Republik Indonesia, 2009). Bantuan sosial adalah bantuan berupa uang, barang, atau jasa kepada seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap resiko sosial (Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial secara Non Tunai, 2017). Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud bantuan sosial adalah bantuan sosial PKH, yaitu program bantuan dana non tunai dan jasa (pelayanan) kesehatan, Pendidikan, dan kesejahteraan sosial kepada keluarga penerima manfaat (KPM).

Bantuan social PKH merupakan salah satu bantuan social berupa uang yang diberikan kepada KPM berdasarkan penetapan Kementerian Sosial selaku pemberi bantuan sosial dalam bentuk tabungan yang dapat diambil setiap waktu sesuai kebutuhan penerima bantuan setelah tahapan penyaluran dan bantuan social tersebut dapat ditabung. Batuan sosial PKH sebagai bantuan non tunai bersyarat karena KPM diwajibkan kesediaannya untuk memenuhi komitmen program.

Kajian Pustaka

Kesejahteraan Sosial 2.5.

Kesejahteraan sosial dapat dimaknai terpenuhinya kebutuhan seseorang, atau masyarakat dalam hal materian, spiritual maupun sosial. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 disebutkan, bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan materian, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (Miftachul Huda, 2009). Kesejahteraan sosial juga dapat dimaknai sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembnagkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Upaya untuk mewujudkan suatu kesejahteraan meliputi rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial dan jaminan sosial (Ichsan, 2011).

Bekait dengan hal tersebut, James Midgley mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi yang harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu (a) Ketika masalah dapat dimenej secara baik (b) Ketika kebutuhan terpenuhi, dan (c) ketika peluang-peluang sosial terbuka secara maksimal (Midgley,James, 1997).

Ketika individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat dapat memenuhi ketiga syarat utama, maka sudah disebut sejahtera.

Dari konsep di atas dapat dipahami bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi, tetapi pada dasarnya kesejahteraan sosial dapat dipahami dalam dua konteks, yakni sebagai sebuah institusi (institution) dan sebagai sebuah disiplin akademik/

academic discipline. Sebagai institusi, kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai program pelayanan maupun pertolongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai sebuah disiplin akademik, kesejahteraan sosial mengacu pada sebuah studi terhadap Lembaga, program maupun kebijakan yang fokus pada pelayanan kepada masyarakat, termasuk pelayanan Pendidikan dan kesehatan.

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

Adapun tujuan dari kesejahteraan sosial adalah (a) Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan, relasi-relasi sosial yang harmonis dengan lingkungan (b) Untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya, misalnya dengan menggali sumber-sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan (Fahrudin, Adi, 2012),. Sebagai program perlindungan sosial, PKH diarahkan untuk mencegah dan mengurangi resiko induvidu, keluarga, kelompok, dan masyarakat dari guncangan dan kerentanan sosial agar kelangsungan hidupnya dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhana dasarnya. Sebagai program jaminan sosial, PKH merupakan skema yang melembaga untuk menjamin agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Dalam Konteks intervensi kesejahteraan social, ruang lingkup kesejahteraan social berada dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah mikro yang mencakup model pelayanan (intervensi) secara perorangan (individu), yang dikenal dengan istilah pekerjaan social klinis (clinical social work) atau metode case work.

Bentuknya praktik konseling dalam menangani klien (PMKS) yang memiliki problema individu seperti, kenakalan remaja, kasus pemerkosaan, dan kecanduan narkoba. Dalam pekerjaan social, metode mikro adalah praktek yang paling umum, dan terjadi secara langsung dengan klien individu atau keluarga.

Menurut (DuBois, B., & Miley, K. K, 2005) intervensi/

pelayanan mikro dalam pekerjaan sosial meliputi individu, keluarga atau dalam kelompok kecil untuk memfasilitasi perubahan perilaku individu atau dalam relasinya dengan orang lain. Lebih lanjut menurut Dubois dan Miley menyatakan bahwa individu sering mencari layanan pekerja sosial karena pengalaman pahit mereka dalam penyesuain diri, relasi interpersonal, atau karena stress dari lingkungan. Focus perubahan dan level mikro ini adalah menciptakan keberfungsian individu. Berbeda halnya menurut (Zastrow H. Charles and Kirst Ashman Karen K, 2004)

Kajian Pustaka

yang menyebutkan bahwa ranah mikro hanya meliputi individual saja. Sistem dalam ranah mikro ini memerlukan interaksi dari sistem biologis, psikologis dan sosial dari individu. Orientasi dari ranah mikro dalam praktek pekerjaan sosial focus pada kebutuhan individu, masalah dan kekuatan. Kedua, model pelayanan Mezzo yang mencakup pelayanan social terhadap keluarga maupun kelompok kecil. PMKS miliki kesamaan problem social yang disatukan dalam satu kelompok kecil agar dapat saling mendukung (support) satu sama lain. Dalam hal ini dikenal dengan metode group work (terapi kelompok) atau terapi keluarga (family therapy).

Pratek pekerjaan sosial dalam ranah mezo terjadi dalam skala menengah, yang melibatkan lingkungan, lembaga atau kelompok- kelompok kecil lain. (Sheafor, W. B. & Horejsi, C.R, 2003) menyebutkan bahwa pratek pekerjaan sosial dalam ranah mezzo mengenai relasi interpersonal yang lebih intim melebihi berhubungan dengan kehidupan keluarga tetapi lebih secara arti pribadi yang merupakan representasi antara organisasi dan institusi. Diantaranya mengenai relasi antara individu dalam kelompok terapi atau kelompok penyembuhan, antara kawan sebaya di sekolah atau tempat kerja, dan antara di tetangga.

Ketiga, wilayah makro (metode makro) yang berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai kelompok besar. Di wilayah makro, metode yang banyak diterapkan permasalahan kesejahteraan social diantaranya community development, policy analysis, advokasi, dan community organizing (Miftachul Huda, 2013). Dalam praktik pekerjaan sosial makro adalah intervensi yang tersedia pada skala besar yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan sistem perawatan. Menurut (DuBois, B., &

Miley, K. K, 2005) level intervensi makro dalam pekerjaan sosial meliputi lingkungan, komunitas dan masyarakat untuk mencapai perubahan sosial. Praktek pekerjaan sosial dalam ranah makro memerlukan pengetahuan tentang standar komunitas dan nilai, dan keterampilan memobilisasi komunitas yang dibutuhkan dalam memprakarsai pemecahan masalah. Sedangkan menurut

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

(Zastrow H. Charles and Kirst Ashman Karen K, 2004), sistem makro mengenai sistem yang lebih besar daripada kelompok kecil. Orientasi makro berfokus pada sosial, politik, dan kondisi ekonomi dan kebijakan yang berpengaruh bagi orang banyak dalam mengakses sumber dan hidup yang berkualitas.

Program Keluarga Harapan 2.6.

Program keluarga harapan yang selanjutnya disebut (PKH) adalah program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga miskin dan rentan yang terdaftar dalam data terpadu penanganan fakir miskin. Data diolah oleh Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial dan ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat (KPM). Program ini merupakan salah satu program untuk mewujudkan perlindungan sosial yang terencana, terarah, dan berkelanjutan dalam skala nasional. Program keluarga harapan (PKH) dilaksanakan secara berkelanjutan yang dimulai pada tahun 2007 di 7 provinsi. Sampai dengan tahun 2020, PKH sudah dilaksanakan di 34 provinsi dan mencakup 512 kabupaten/kota dan 6.709 Kecamatan, dengan jumlah KPM 9.841.270 KPM pada tahun 2019 dan menjadi 10.000.000 para tahun 2020.

PKH sebagai program prioritas nasional dilaksanakan oleh Kementerian Sosial RI dan bekerja sama dengan mitra kerja, antara lain: Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota. Untuk mensukseskan program tersebut, maka dibantu oleh Tim Tenaga Ahli PKH dan konsultan World Bank.

Sebagai suatu bentuk program perlindungan sosial, PKH dalam implementasinya menerapkan pendekatan berbasis hak (rights based approach). Pendekatan berbasis hak memperhatikan hubungan antara proses-proses makro ekonomi dan

strategi-Kajian Pustaka

strategi pengurangan kemiskinan yang menekankan pentingnya investasi sosial dalam mencegah dan mengurangi kemiskinan, serta mencapai tujuan-tujuan pembangunan dan keadilan sosial dalam arti luas.

Manfaat pendekatan berbasis hak adalah sesuai dengan agenda pembangunan nasional maupun internasional yang semakin dituntut untuk memperhatikan hak asasi manusia.

Pendekatan ini juga sejalan dengan tujuan-tujuan pembangunan universal, seperti sustainable development goals (SDGs) yang jauh lebih kompleks dari pada MDGs, karena dari 17 goals menjadi 169 target dan inklusif dan partisipatif (Nugroho,Yanuar, 2017).

Pendekatan berbasis hak memberi pesan jelas, bahwa isu utama yang dihadapi pembangunan sosial, khususnya kebijakan sosial di Indonesia adalah bahwa di satu sisi, jumlah penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan masih sangat besar. Di sisi lain, Negara belum mampu memberikan perlindungan sosial (social protection) yang memadai bagi mereka. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penerapan penanganan kemiskinan, berdasarkan skala prioritas terutama diarahkan pada rumah tangga sangat miskin (RTSM) yaitu melalui program keluarga harapan (PKH).

Bantuan sosial PKH merupakan salah satu bantuan sosial berupa uang yang diberikan kepada keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial. Bantuan sosial PKH berdasarkan penetapan Kementerian Sosial selaku pemberi bantuan sosial. Bantuan dimaksud diberikan dalam bentuk tabungan yang dapat diambil kapanpun sesuai kebutuhan penerima bantuan setelah tahapan penyaluran. Sisa pengambilan bantuan sosial diakumulasi dalam bentuk tabungan.

Program keluarga harapan bertujuan meningkatkan taraf hidup keluarga penerima manfaat melalui akses layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial; mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan pendapatan keluarga miskin dan rentan; menciptakan perubahan perilaku dan

Evaluasi Penambahan Bantuan Sosial PKH

kemandirian keluarga penerima manfaat dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta kesejahteraan sosial; dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antar kelompok pendapatan.

Kriteria PKH adalah keluarga miskin yang memenuhi 2.6.1.

minimal salah satu kriteria, yaitu:

Kriteria komponen kesehatan meliputi: Ibu hamil/menyusui;

2.6.1.1

dan anak berusia 0 (nol) sampai dengan 5 (lima) tahun 11 (sebelas bulan).

Kriteria komponen pendidikan meliputi: Anak SD/MI atau 2.6.1.2

sederajat; Anak SMP/MTs atau sederajat; Anak SMA/MA atau sederajat; dan Anak usia 6 (enam) sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun yang belum menyelesaikan wajib belajar 12 (dua belas) tahun.

Kriteria komponen kesejahteraan sosial meliputi: Lanjut usia 2.6.1.3

diutamakan mulai dari 70 (tujuh puluh) tahun; dan Penyandang disabilitas diutamakan penyandang disabilitas berat.

Penyaluran bantuan diberikan kepada KPM yang memiliki komponen kepesertaan. Penyaluran bantuan bagi peserta yang ditetapkan pada tahun anggaran sebelumnya dilaksanakan empat tahap dalam satu tahun, sedangkan untuk kepesertaan yang ditetapkan pada tahun berjalan, penyalurannya dilaksanakan dalam satu tahap. Penyaluran tahap I diberikan pada bulan Januari, tahap II bulan April, tahap III bulan Juli dan

Penyaluran bantuan diberikan kepada KPM yang memiliki komponen kepesertaan. Penyaluran bantuan bagi peserta yang ditetapkan pada tahun anggaran sebelumnya dilaksanakan empat tahap dalam satu tahun, sedangkan untuk kepesertaan yang ditetapkan pada tahun berjalan, penyalurannya dilaksanakan dalam satu tahap. Penyaluran tahap I diberikan pada bulan Januari, tahap II bulan April, tahap III bulan Juli dan

Dokumen terkait