• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai kekerabatan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah belum banyak dilakukan, dan dari hasil penelitian oleh para peneliti bahasa belum memberikan dasar analisis yang kuat terhadap tegasan pengelompokan-pengelompokan bahasa di Sulawesi Tangah. Dari beberapa kajian pustaka ini akan di jadikan tolak banding terhadap penelitian ini.

Mead (1995) mengkaji kekerabatan bahasa-bahasa yang berada dalam wilayah Sulawesi Tenggara dan sebagian lagi berada dalam wilayah Sulawesi Tengah. Dengan menggunakan metode leksikostatistik, penelitian ini hanya menekankan pada kelompok bahasa-bahasa Bungku-Laki yang ada di daratan Kendari Sulawesi Tenggara dan di kepulauan Menui Sulawesi Tangah. Jadi, belum mencakupi bahasa-bahasa daerah lain di Sulawesi Tenggara, khususnya bahasa-bahasa daerah di Pulau Buton. Di sisi lain, peneliatan ini juga agak lemah karena tidak dilengkapi oleh bukti-bukti kualitatif.

Kaseng (1987) melakukan pemetaan bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan metode deskritif dan teknik utamanya adalah teknik pengisian daftar kata. Teknik elisitasi juga digunakan dengan tujuan untuk mengecek kebenaran data yang masuk melalui pengisian daftar kata, terutama untuk mencocokkan ketepatan penulisan atau ejaan setiap bunyi bahasa dalam

abjad Latin yang digunakan. Penelitian ini hanya melihat hubungan kekerabatan bahasa yang lebih dekat secara sinkronis, tanpa menerapkan metode kualitatif untuk melihat hubungan kekerabatan secara diakronis. Selain itu, pemetaan bahasa-bahasa yang dilakukan tidak didasarkan pada kajian dialektologis, tetapi hanya berdasarkan anggapan penutur yang diwawancarai oleh peneliti tersebut. Oleh karena itu, hasil penelitian Kaseng tentu saja masih mengadung kelemahan karena untuk mendapatkan hasil penelitian tentang kekerabatan bahasa yang lebih memuaskan dan meyakinkan, bukti-bukti yang diperoleh dengan metode kuantitatif perlu dilengkapi dengan bukti-bukti kualitatif.

Lauder (2000) melakukan penelitian tentang kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian itu berdasarkan perhitungan leksikostatistik, penghimpunan berkas isogloss, perhitungan isoglos, dan dialektometri, menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Tenggara diperkirakan terdapat lima kelompok bahasa, yaitu; (1) kelompok bahasa-bahasa Tolaki yang terdiri atas tiga subkelompok, yaitu; subkelompok Tolaki, subkelompok Wawonii-Kulisusu, dan subkelompok Morenene-Rahantari, (2) kelompok bahasa-bahasa Muna-Cia-cia yang terdiri atas empat subkelompok, yaitu; subkelompok Muna, subkelompok Cia-cia, subkelompok Kumbewaha, dan subkelompok Todangan-Kambowa, (3) kelompok bahasa-bahasa Pulo yang hanya terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Pulo Kapota-Tomia-Kaledupa-Binongko, (4) kelompok bahasa Bugis yang hanya terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Bugis Lamunde, dan (5) kelompok bahasa jawa yang hanya terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Jawa Bangun Sari.

Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, bahasa Wolio tidak dimasukkan dalam kelompok mana pun padahal sebagaimana diketahui bahwa bahasa Wolio merupakan bahasa yang dipilih untuk digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan. Hal ini disebabkan oleh pada lokasi titik pengamatan yang dipilih tidak ada informan yang mewakili penggunaan bahasa Wolio tersebut. Penelitian yang dilakukan Lauder tersebut memperlihatkan hasil yang bertolak belakang bahwa bahasa Cia-Cia termasuk dalam kelompok bahasa Muna, begitu pula dengan kelompok bahasa Pulo atau lebih dikenal dengan bahasa Wakatobi merupakan satu kelompok tersendiri.

Selain itu, hasil penelitian itu tidak cukup hanya berdasarkan 200 kosakata dasar Swadesh yang dijadikan sebagai bukti kuantitatif kekerabatan bahasa-bahasa, diperlukan juga bukti-bukti kualitatif yang dapat dipergunakan sebagai dasar yang lebih terpercaya dalam upaya pengelompokan bahasa.

Mbete (1990) melakukan pengkajian terhadap rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Hasil penelitian itu berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, menunjukkan bahwa (1) bahasa Bali bahasa, Sasak, dan bahasa Sumbawa memiliki hubungan kekerabatan yang erat sebagai satu kelompok tersendiri, (2) pengelompokan dan pengsubkelompokan bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa memperlihatkan hubungan keasalan yang dwipilah (bipartite), (3) secara kuantitatif persentase kesamaan rata-rata kata-kata dasar Daftar Swadesh di antara bahasa Bali-Sasak-Sumbawa ditemukan bahwa terpilah menjadi dua subkelompok, yakni subkelompok bahasa Bali dan subkelompok bahasa Sasak-Sumbawa. Ini dibuktikan dari hasil penelitian pada data yang

ditemukannya (kognat) yaitu sebesar 50%. Persentase yang paling rendah adalah 49%. Persentase kesamaan tertinggi ditemukan pada bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa yaitu 64%, (4) rekonstruksi fonologis menghasilkan sistem fonem PBSS (Protobahasa-Bali-Sasak-Sumbawa) dan PSS (Protobahasa-Sasak-Sumbawa). Rekonstruksi leksikal yang berlandaskan kaidah-kaidah perubahan fonem, menghasilkan sejumlah 703 etimon.

Penelitian linguistik historis yang dilakukan Mbete hanya mencangkup segi-segi fonologi dan leksikal, segi-segi kebahasaan yang lain yaitu morfologi, sintaksis, dan semantik belum dikaji. Walaupun demikian, betapapun kecil dan sederhana, penelitian linguistik historis komparatif tentang pengelompokan bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa telah dapat dibuktikan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Erawati (2002) mengkaji pewarisan afiks-afiks bahasa jawa kuna dalam bahasa jawa modern. Hasil dari penelitian yang dilakukan yang bersifat historis komparatif generatif menunjukkan bahwa; (1) afiks-afiks bahasa Jawa Kuno yang terwaris ke dalam bahasa Jawa Modern terdiri atas prefik, infiks, sufiks, dan konfiks. Delapan buah prefik terwaris secara linear dan dua buah prefiks terwaris dengan perubahan, (2) afiks-afiks bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Modern ketika bergabung dalam membentuk sebuah kata banyak mengalami perubahan yang dapat dipandang sebagai perbedaan. Perbedaan yang mendasar adalah pada saat terjadinya proses peleburan, vokal bergabung dengan vokal, (3) kaidah-kaidah yang ada dalam kedua bahasa berbeda, (4) distribusi di dalam pewarisan ada yang mengalami penyempitan dan ada pula yang mengalami pengembangan

pada saat bergabung dengan bentuk dasar dan fungsi yang ada tergantung pula pada distribusinya.

Penelitian yang dilakukan Erawati merupakan langkah awal yang sangat terbatas dalam menelusuri keberadaan bahasa Jawa Kuno maupun bahasa Jawa Modern, karena masih banyak afiks-afiks yang lain dalam bahasa Jawa Modern yang belum diangkat dalam penelitian ini. Misalnya, afiks-afiks yang tidak memiliki kemiripan bentuk ataupun makna, atau afiks-afiks tersebut bukanlah merupakan penerusan dari bahasa Jawa Kuno. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai afiks-afiks tersebut sehingga hasil penelitian tentang afiks itu dapat terangkum lebih komprehensif.

Barr (1979) mengelompokkan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah. Pengelompokan yang cukup tuntas itu terutama berdasarkan atas pendekatan kuantitatif. Hasil pengelompokannya adalah kelompok Pamona dan kelompok Kaili. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok Pamona adalah bahasa Pamona, Bada’, dan Rampi. Bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Kaili adalah bahasa Uma, Sarudu, Baras, Kaili, dan Topoiyo. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik ditemukan bahwa persentase kekerabatan bahasa Kaili dan bahasa Uma sebesar 69% dan paling rendah sebesar 47% yang dimiliki oleh pasangan Pamona dan Rampi.

Penelitian ini juga agak lemah karena tidak didukung dengan pendekatan kualitatif, maka, pembuktian lebih lanjut secara kualitatif merupakan upaya yang layak dilakukan, karena tanpan ditunjang dengan bukti-bukti kualitaitif penelitian ini menjadi agak lemah. Dalam hal ini, atas dasar pendekatan kualitatif peneliti

mencoba untuk melanjutkan dan membuktikan kembali hubungan kekerabatan BK dan BU berdasarkan korespondensinya.

Dokumen terkait