• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

Kajian tentang Tari Srimpi Ludiramadu yang dilakukan dalam disiplin ilmu kajian budaya merupakan kajian mengenai perubahan bentuk, fungsi, dan makna sebagai sebuah simbol budaya masyarakat di luar keraton. Dalam kajian ini tidak mengandalkan pengertian srimpi, bentuk srimpi secara umum atau perwujudan srimpi dalam bentuk penyajian saja, tetapi dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan.

2.1.1. Makna Simbolik Tari Srimpi Bagi Masyarakat Tradisi

Geertz dalam studinya tentang konsep kebudayaan menunjukkan dengan cukup konsisten bahwa konsep kebudayaan selalu terdiri dari dua bagian utama yaitu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, sistem makna dan sistem nilai. Bagian pertama dinamakan aspek kognitif kebudayaan, sedangkan bagian lainnya dinamakan aspek evaluatif kebudayaan.

Aspek kognitif ini sebagai sebuah bentuk sentasi dinamakan model of, sedangkan aspek representasi dinamakan model for. Model yang pertama model of mempresentasikan kenyataan yang ada, seperti halnya dalam hal ini adalah Tari Srimpi Ludiramadu di keraton Surakarta yang memiliki struktur gerak, pola lantai, costum, rias adalah rias pada Tari Tradisi Jawa yang memerankan gerak adalah manusia. Sebaliknya sistem nilai atau evaluatif berupa model for tidak merepresentasikan suatu kenyataan yang sudah ada melainkan suatu kenyataan

commit to user

15

yang masih harus dibentuk atau diwujudkan dalam arti sebuah Tari Srimpi Ludiramadu dalam kelompok seniman, koreografer atau kesenian sebagai pariwisata budaya, apresiasi seni, yang harus dibanun atau diwujudkan.

Disini suatu struktur non simbolis atau struktur fisik (Tari Srimpi Ludiramadu) harus disesuaikan dengan struktur simbolis berupa pariwisata budaya, festifal seni, apresiasi seni bukan pada kapasitas penghayatan seni melainkan disesuaikan seniman dan koreografer yang menata dan yang menggunakannya. Sistem simbol memungkinkan interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol dinamakan makna (system of mea ning). Melalui makna sebagai suatu instansi perantara maka sebuah simbol dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan (Geertz, pengantar Kleden, 2008: XIV-XV).

Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto, 2000:17). Lebih lanjut Herusatoto mengartikan sim dapat diartikan penyatuan dua hal yang lebih menjadi satu. Dalam simbolisme subyek menyatukan dua hal yang menjadi satu. Simbul dan simbolisasi dapat diartikan dua macam pemikiran yang menjadi satu yang imanen (Van Peursen, 1976). Dirasa pada diri manusia serba terkurung, masih terpengaruh unsur lain. Di pihak lain ada pemikiran yang mengatakan bahwa simbol itu transenden dan dalam dialog dengan yang lain akan ditemukan jawaban. Menurut pandangan pihak ini simbol tidak hanya berdimensi horisontal imanen melainkan juga berdimensi transjenden, dapat dikatakan wilayah simbol berdimensi metafisika (Sumiyati, 1989:3).

commit to user

16

Berapa pakar antropologi termasuk Hans J. Daeng (2000) menyetujui pendapat Ernst (assier bahwa manusia-manusia disebut a nima l symbolicum. Hal ini karena manusia sesuai struktur anatominya mempunyai reseptor dan sistem efektor. Sistem reseptor berfungsi menerima rangsangan dari luar. Sedangkan sistem efektor berfungsi sebagai pareaksi terhadap rangsangan dari luar. Kedua sistem itu dalam satu ikatan yang sama disebut lingkaran fungsional binatang. Lingkaran fungsional itu dapat berubah secara kuantitatif maupun kualitatif. Faktor itulah yang membedakan manusia dengan binatang.

Oleh karena itu manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan simbol-simbol (Sumiyati, 1989:2). Micheal Faucault menekankan pada bahwa manusia berkomunikasi dengan sesama menggunakan tanda-tanda dan kode-kode yang tersusun secara realitas yang diciptakan oleh penari, pencipta tari, penonton, dan penghayat. Memahami suatu karya tidak akan terlepas dari bentuk karya itu sehingga digunakan untuk komunikasi dengan sesama dan sebagai penunjuk yang berisikan tentang pengetahuan, (dalam Budiman, 2004:55-57)

Perubahan juga dipopulerkan oleh Micheal Foucault dalam pandangannya perubahan yang diterima oleh masyarakat merupakan sebuah kebenaran (Foucault, 2002:143) secara umum manusia berada dibawah kekuatan kekuasaan yang lebih tinggi dan bagai terpenjara adanya aturan-aturan sebagai pengontrol dari masyarakat. Kata perubahan memiliki prospektif yang sangat beragam terkait dengan disiplin tertentu karena adanya pandangan yang berbentuk kekuasaan sehingga mampu untuk mentransformasi keyakinan dari masyarakat bahwa perubahan itu benar. Meurut Chrish Braker (2008:83) bahwa Micheal Foucault

commit to user

17

telah menyatukan perubahan yang ada dimasyarakat yang juga yang terjadi pada kalangan penguasa sehingga dapat merubah pandangan masyarakat sehingga makna obyek nanti akan berpengaruh pada perubahan sosial masyarakat hal ini sebagai struktur yang bergerak dalam praktek sosial budaya sehingga adanya kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial budaya masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kebenaran yang diyakini yang membentuk individu-individu yang saling mempengaruhi dan akhirnya perubahan itu benar-benar fakta dan patut untuk ditiru dan dijalankan di masyarakat.

Perubahan sesuai dengan perkembangan manusia atau masyarakat disesuaikan dalam alam pikiran anggota kelompok, perubahan pada perilaku pada awalnya dilarang tetapi pada suatu saat kemudian diperbolehkan. Proses perubahan berawal adanya daya pikir dan motivasi anggota kelompok sosial dalam usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan menjelaskan tentang fungsi kebudayan bagi masyarakat sebagai hasil karya dari perilaku, nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada dibalik perilaku manusia yang tercermin dalam perilaku kebudayaan William A Haviland, (1988:331). Dalam pandangan Soedarsono 1989-1990 bahwa perubahan yang dialami pada seni pertunjukan Jawa merupakan masa transisi beranjak pada segi masa lampau yang dikemas terkait dengan usaha pengembangan budaya untuk keberadaan kebudayaan agar tetap lestari walaupun mempengaruhi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna pada tari tradisi Jawa cenderung sebagai satu gejala komersialisasi seni budaya.

commit to user

18

Karya Tari Srimpi Ludiramadu menggambarkan putri yang memiliki watak seorang prajurit. Ditarikan empat orang gadis yang menggunakan busana yang sama dan melakukan gerak yang sama pula, Tari Srimpi Ludiramadu berwatak prajurit : “beksa n engga l wa u ka pa ringa n na ma beksan srimpi, punika a gga mba ra ken putri a wata k pra jurit.” (Praja Pangrawit, 1965:24). Terjemahan dari serat : tari diberi nama srimpi, menggambarkan empat penari putri yang berkarakter prajurit.

Tari Srimpi Ludiramadu berkarakter agung, berwibawa dan halus menurut pendapat Tasman juga memiliki rasa sigra k, gagah dan prenes. Penyusunan Tari Srimpi Ludiramadu, Hamengkunagara III dibantu oleh abdi dalem La ngen Mata ya Kadipaten. Hamengkunagara III secara langsung memberikan contoh dan tuntunan pada proses latihan Tari Srimpi Ludiramadu dalam Soemantri Soemosapoetra, (1956:25).

Bentuk merupakan isi dari tari misal bentuk gerak, bentuk rias, kostum dan juga pada bentuk pola lantai penari serta tempat yang digunakan untuk menari pada Tari Srimpi Ludiramadu. Pada Tari Srimpi Ludiramadu bahwa tari ini hidup dan berkembang pada lingkungan keraton sejajan dengan tari-tari srimpi yang lainnya misal :

1. Srimpi Ludira madu 2. Srimpi Dhempel 3. Srimpi Gandha kusuma 4. Srimpi Anglir Mendung 5. Srimpi Lobong

commit to user

19 6. Srimpi Bonda n

7. Srimpi Ta meng Gita 8. Srimpi Ga mbir Sa wit 9. Srimpi Glondongpring 10.Srimpi Sangupati

Pada Tari Srimpi Ludiramadu terdapat pada buku serat pasinden bedha ya srimpi oleh sastra kartika (1985:419) dapat diungkap srimpi-srimpi yang sering dipentaskan untuk pelestarian dan pengembangan karya seni tari tradisi. Nama Srimpi diambil dari nama gendhing (iringan yang mengiringnya), ada juga pinciptaanya misal srimpi ludiramadu dengan gendhing ludiramadura, srimpi dhempel gendhing dhempel, srimpi lobong dengan gendhing lobong dan Srimpi Glondong Pring dengan gending juga glondong pring dan lain sebagainya.

Penari Srimpi ada empat penari yang memiliki nama masing-masing yaitu Ba ta k, Gulu, Dha dha dan Buncit. Nama tersebut menurut pandangan orang Jawa ada kaitan dengan bagian tubuh manusia. Ba ta k digambarkan sebagai kepala yang

mewujudkan pikir dan jiwa, Gulu menunjukkan bagian leher; Dha dha

menunjukkan bagian dada dan buncit menunjukkan bagian organ bawah yaitu dubur atau anus (organ pengeluaran).

Manusia hidup pada kenyataannya dipengaruhi empat nafsu yang saling berebut. Adakalanya nafsu supiah mempengaruhi nafsu aluamah, nafsu aluamah mempengaruhi nafsu mutmainah, nafsu-nafsu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Di dalam makalah Koes Murtiah 23 Juli (1991:3) menyebutkan bahwa Tari Srimpi juga mengandung sifat “edukatif” ialah manusia sedapat

commit to user

20

mungkin harus dapat mengendalikan nafsu yang kurang baik agar tidak mempengaruhi hidup manusia.

Perilaku yang kurang baik pada Tari Srimpi Ludiramadu pada saat gerakan perang, panahan, menggambarkan bahwa manusia terpengaruh nafsu yang kurang baik, manusia harus berusaha menambah keyakinan serta kepercayaan, bahwa sesungguhnya manusia harus dapat berperilaku seimbang sehingga tidak dikuasai hawa nafsu jahat.

Di samping itu jumlah empat pada penari srimpi juga bisa dihubungkan dengan kelahiran manusia, menurut kepercayaan orang Jawa/falsafah Jawa bahwa pajupat diartikan dengan yang mengelilingi hidup manusia, pancer atau yang ada di tengah / pusat diartikan manusia. (Nanik Sri Hartini, 1988:10-11). Sebetulnya manusia sejak lahir dan menghirup udara yang pertama kali ia tidak sendiri tetapi sudah memiliki saudara; yaitu :

1. Ka kang ka wah, sebagai saudara tua atau kakak karena lahir terlebih dahulu. 2. Adi a ri-a ri, adalah adik, karena ari-ari lahir setelah bayi

3. Getih putih (darah putih) 4. Getih a ba ng (darah merah)

Jumlah empat pada srimpi ludiramadu bahwa empat melambangkan napsu yang terdapat dalam diri manusia, yaitu :

1. na fsu a ma ra h : manusia memiliki sifat mudah marah sulit mengendalikan emosi sehingga grusa grusu (tergesa-gesa) memutuskan berbagai hal atau masalah, cepat mengambil tindakan tanpa berfikir yang matang.

commit to user

21

2. na fsu a lua ma h : manusia biasa sulit menyeimbangkan kehidupan didunia dan akhirat. Kebutuhan di dunia kadang lebih dipentingkan dibanding kehidupan di alam kela nggenga n (kekal). Nafsu serakah pada diri manusia sulit dikendalikan apalagi minimnya iman pada diri manusia

3. na fsu supiah : manusia memiliki sifat pelupa (lupa dengan yang menciptakan / Tuhan akhirnya bersikap sombong, congkak selalu merasa dirinya pintar, cantik, yang paling kaya, dan lain-lain).

na fsu mutmainah : manusia harus memiliki sifat mutmainah sebagai penyeimbang sikap-sikap yang diatas sehingga kehidupan akan seimbang dan manusia akan sabar dengan segala cobaan, rintangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi sehingga hidup didunia dipersiapkan dengan baik apalagi kehidupan yang akan datang (akhirat).

2.1.2. Tari Srimpi Ludiramadu Bagian Konsep Tradisi Besar

Konsep tradisi besar menurut Umar Kayam dalam Anis Sujana, 2007 menggambarkan sebagai kebudayaan yang berada didalam keraton yang menciptakan karya-karya dan kebudayaan adalah Raja dan kerabat keraton atau putra-putri raja (Sujana, 2007:263). Tari Srimpi Ludiramadu masuk pada budaya keraton yang tradisi besar karena kebudayaan yang berasal dari raja dan hidup dan proses penciptaan tari ada di keraton.

Tari srimpi dikatakan budaya keraton karena yang menciptakan Tari Srimpi Ludiramadu adalah hasil karya Hamengkunagara III lahir pada pemerintahan Paku Buwana IV. Pada masa itu beliau belum naik tahta sehingga bergelar Hamengkunagara III. Ini dapat disimak pada Wedha pradangga yang

commit to user

22

secara eksplisit menyebutkan sebelum menjadi raja, Hamengkunagara III banyak menciptakan karya seni : “Ingkang Sinuhun wau wiwit ka la dereng jumeneng nata sa mpun kathah iya san-iya sa n uta wi a nggitan da lem”. Terjemahan : sinuwun memiliki bakat dalam penciptaan seni tari, rupa, sastra sebelum naik tahta menjadi raja dan kemampuan sudah kelihatan dari karya-karya yang diciptakannya. (Pradjapangrawit, 1990:11). Ungkapan ini secara lisan dikuatkan oleh K.R.T.Hardjonagoro yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar karya Paku Buwana V. Karya-karya Hamengkunagara III lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV : artinya, karya-karya tersebut diciptakan oleh Paku Buwono V semasa menduduki jabatan Pa ngera n Adipati Anom / Putra Ma hkota (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 5 Desember 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut pada pemaparan selanjutnya penulis cenderung menggunakan sebutan Hamengkunagara III setelah menjadi raja dengan gelar Paku Buwana V.

Kegiatan berkesenian Hamengkunagara III dapat terungkap di

Wedha pra da ngga sebagai berikut :

Kacariyos kala raksih jumeneng kanjeng gusti pangeran adipati anom, saben pasewakan ing dinten senen miwah kemis, saderengipun miyos dalem, kanjeng gusti kapareng lenggah ing bangsal pradangga nunggil abdi dalem niyaga, lajeng angasta rebab utawi sanesipun ingkang dados kepareng dalem. Cakipun alus ang rawit sarwa miraos. Ananging manawi ingkang rama (sampeyan balem ingkang dinuhun Paku Buwana IV) sampun katinga/lenggah ing kajogan prabasuyaso, kanjeng gusti wau anggenipun angasta (nabuh) lajeng kadamel-damel radi kaduk sembrana. Yen nuju ngasta bonang lajeng dipun imbalkacengkukaken ngantos gobyog sangat, adamel cingakipun ingkang sami sowan ing plataran, sami noleh tumuju ing bangsal pradangga. Sareng mangertos yen ingkang ngasta bonang kanjeng gusti, lajeng sami tumungkul ajrih (Pradjapangrawit, 1990:1170.

Terjemahan : pada saat masih bergelar putra mahkota/pangeran muda setiap ada latihan karawitan yang dilaksanakan setiap hari senin dan kamis.

commit to user

23

Pangeran muda selalu duduk ditempat pangrawit (nayogo) dan memegang rebab dan alat musik yang lainnya. Kemampuan memainkan alat-alat karawitan Jawa dibuat sedikit salah dan ceroboh disaat ayahanda Pakubuwana IV sudah duduk dikursi singgasana/kursi kebesaran. Pangeran megang bonang dipukul keras sampai orang lain kaget bahkan jantungan, ternyata setelah dilihat pangeran muda yang memainkan, abdi dalem tidak berani menasehati.

Pada sumber yang sama karya Hamengkunagara III memiliki corak ini dipandang sebagai corak baru pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Kemudian dianut pada periode berikutnya. Misalnya, bentuk garap imba l (pergantian) pada instrumen bonang yang kemudian dijadikan pa nuta n pada bentuk kesenian periode berikutnya, oleh Pradja Pangrawit diungkapkan sebagai berikut :

Ingkang punika mula bukanipun wonten lagu bonangan imbal (imbal-imbalan) saha gendhing geculan sarta bonang imbal-imbalan wau kaangge nabuhi nayuban (lelangen tayuban) (1990:118)

Terjemahan : beberapa kali dibunyikan iringan yang lucu disertai bonang

yang berulang-ulang dipukul menyerupai iringan tayuban (tari

tayub/ngibing).

Diungkapkan oleh Wahyu Santoso Probowo bahwa Hamengkunagara III memberikan sentuhan kebaharuan pada hampir setiap karya seni pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini tampak pada karya Hamengkunagara III, karawitan, tari, sastra ataupun kriya (1965:98). Pemaparan tersebut ditegaskan oleh Dipokusumo bahwa pada masa pemerintahan Paku Buwana IV hampir seluruh kriya seni yang ada adalah karya Hamengkunagar III. Bahkan karya Paku Buwana IV mendapat pengaruh dari karya Hamengkunagara III dan juga karya Hamengkunagara III dipersembahkan sebagian besar untuk Paku Buwana IV (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara, 5 Desember 2011)

commit to user

24

Penciptaan karya seni Hamengkunagara III dalam bentuk gendhing

(iringan gamelan Jawa), misal : Sendhon, Ba nca k, Sa ntiswa ra (gendhing treba ng), gendhingga mbir sa wit (Pradja Pangrawit, 1990:113).

Hamengkunagara III selain menciptakan karya yang erupa tari keraton juga menciptakan karya-karya yang lain berupa sastra, keris, gendhing-gendhing tari sampai tari-tari yang bersifat lucu dan gejul. Karya-karya Hamengkunagara yang sampai sekarang diyakini memiliki kreativitas yang sangat tinggi karena diciptakan oleh putra raja, karya-karyanya sebagai berikut:

1. Sastra : Serat Centhini / Suluk Temba ng Ra ra s (Ajaran Agama Islam dan berbagai budaya tradisi Jawa yang meliputi ngelmu (ilmu), gendhing (iringan), beksa n (tari), masakan, petung Ja wa (perhitungan hari), legenda (cerita).

2. Kriya (Undhagi dan Tosa n Aji : Keris/Tosan Aji, topeng, perahu dengan hiasan canthik berwujud patung muka Ra ja ma la setelah selesai, diberi nama Kyai Ra ja ma la dan perahunya disebut Pera hu Ra ja ma la.

3. Ka ra wita n (gendhing-gendhing)/iringan : Gendhing ga mbirsa wit Pa ncera na pelog nem, Ayun-a yun pelog nem, sumya r pelog ba rang, La drang Ma nis pelog lima, Gegot pelog nem, Bribil slendro ma nyura, loro-loro slendro ma nyura .

Gendhing Treba ng : kemba ng ga ya m pelog lima, kaum dha wuk pelog ba ra ng, kidung-kidung pelog barang, dan ka yon pelog ba ra ng. Gendhing treba ng disebut santi swara

commit to user

25

2.1.3. Tari Srimpi sebagai Tari Sakral

Tari memiliki makna yang sakral karena hidup dan berkembang pada wilayah keraton dan digunakan untuk upacara pada acara-acara penting di keraton, dibilang sakral karena pementasannya selalu menggunakan ritual sesaji yang lengkap misalnya pisang, sa mba l goreng, nasi wuduk, tumpeng, cenggereng, ja da h wa jik, ingkung, dan lain-lain.

Di tempat pertunjukan diberi tempat tungku berbentuk kembang setaman dan juga dupa. Sebelum pertunjukan dimulai ada pawang yang berasal dari keraton menyalakan dupa itu supaya upacara yang ada dikeraton yang menggunakan Tari Srimpi Ludiramadu dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Kesakralannya dikarenakan bahwa tari ini hasil karya putra raja sehingga makna yang ada dalam tari memiliki makna yang sangat dalam. Kesakralan juga dikarenakan pada waktu pementasan raja jumeneng di singgasananya sehingga pada saat pementasan keadaannya hening (sunyi senyap) hal ini membuat kesan suasananya terkesan magis.

2.1.4. Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu bagi Keraton

Dalam Keraton Surakarta tari srimpi digunakan untuk wetonan raja ingkang sinuwun sehingga menggunakan prosesi secara lengkap dan sesaji lengkap. Wetonan bagi pihak keraton suatu prosesi yang mutlak di laksanakan karena untuk memperingati hari kelahiran raja ke dunia fana. Sehingga harus selalu di peringati untuk tidak lupa akan kelahiran dan umur yang sudah diberikan kepada-Nya dan sebagai ucapan rasa syukur diberikan nikmat kesehatan yang tidak ternilai sehingga tidak dapat dinilai denang uang dan apapun.

commit to user

26

Bentuk sesaji dalam wetonan: sesuai guda ngan / urap yang terdiri sayuran kangkung, kenikir, kacang panjang, thokola n (kecambah), wortel, buncis, mba yung dan lain-lain, ayam Jawa (ingkong) harus ayam jantan, telur, jenang a ba ng (merah) dan putih (warna putih), tumpeng menyesuaikan jenis kelamin laki-laki berbentuk kerucut dan perempuan berbentuk ceper (leter), memakai alas dan pisang diletakkan di nampan atau (tampah) selain itu menggunakan sesaji nasi uduk, golong asahan, sa mbel goreng, peyek, serundeng, kerupuk, lentho, a pem ja wa dan lain-lain.

Berfungsi juga untuk penyambutan tamu kerajaan Tari Srimpi Ludiramadu merupakan Tari Klasik keraton yang juga berfungsi untuk penyambutan tamu kerajaan misalkan ada tamu dari kerajaan Malaysia, Belanda bahkan dari kerajaan Yogyakarta ataupun tamu-tamu penting misalnya: Presiden, Menteri pejabat pemerintah, Walikota.

2.1.5. Perubahan Makna dan Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu

Kebudayaan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu kebudayaan itu diciptakan, dilestarikan, atau bahkan dirubah (Abdullah, 2006:4). Yang bertujuan untuk orientasi nilai baru dalam bentuk lain yang berhubungan dengan tata ruang yang telah menunjukkan pergeseran kekuasaan dan kepentingan. Kalau kebudayaan sebenarnya memiliki kedudukan yang mapan dan bagus sehingga memiliki kekuatan dominan sehingga dapat sebagai penentu karakter dari suatu bentuk ruang sosial, negara pada akhirnya dapat beralih fungsi dan juga sebagai pengambil peran dengan redivinsi ruang untuk mendukung suatu hubungan kekuasaan, Giddens (dalam Abdullah, 2006:4) menyebut ini sebagai reproduction

commit to user

27

of loca lity, yaitu suatu proses pendefisian ulang ruang atau bahkan pembangunan ruang dengan tujuan-tujuan untuk menjamin pelestarian dari kekuasaan kelompok yang memerintah.

Dalam perubahan kekuasaan membuat mementingkan kepentingan perseorangan / individual dan kelompok, sehingga berakibat hasil karya kebudayaan dimanfaatkan untuk kepentingan legitimasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Simbol-simbol kebudayaan-kebudayaan kemudian, tidak lagi mendapatkan suatu pengaruh generiknya sebagai pedoman atau acuan bagi tingkah laku. Simbol dan maknanya menjadi suatu obyek yang kehadirannya dihasilkan suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah konsultasi dengan kepentingan masing-masing. Menurut Friedman dan Miller, (dalam Abdullah, 2006:5) Kebudayaan yang dibentuk kemudian dilihat sebagai budaya diferensial yang tumbuh akibat dari adanya intraksi yang terus menerus mengalami perubahan. Manusia dalam hal ini dapat dikatakan sebagai aktor yang menentukan pilihan-pilihan dan mebuat keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri pendapat ingold (dalam Abdullah, 2006:5). Di sisi lain harus diperhatikan secara seksama bahwa di satu sisi pilihan-pilihan yang tersedia selalu sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan, dan disisi lain keputusan harus tunduk dikarenakan tekanan. Dalam hal ini kelas, usia, status, gender, adalah suatu pokok sebagai pusat untuk yang perlu diperhatikan, sehingga makna kebudayaan menjadi suatu yang batas-batasnya tidak tegas tergantung pada posisi struktur masing-masing orang atau kelompok (Abdullah, 2006:6)

commit to user

28

Kebudayaan tidak dapat lari dari kenyataan bahwa zaman akan terus berkembang kearah yang modern tidak berhenti pada satu titik saja, terjadi perubahan pada bentuk, fungsi dan makna yang awalnya berbentuk dengan durasi waktu + 2 jam, costum pakem, rias alat dan bentuk tradisi ditentukan, sekarang terjadi perubahan menjadi menyesuaikan fungsinya dan maknapun disesuaikan pada siapa dan kebutuhan apa makna digunakan. Tari Srimpi berfungsi sebagai wetonan dan penyambutan tamu beralih menjadi pariwisata budaya, apresiasi, pertunjukan, festifal bahkan untuk upacara mantenan (mantu) bahkan Tari Srimpi dengan garab iringan, costum, rias membuat seni tradisi yang menghibur.

Pada dasarnya bentuk gerak pada tari tradisi memiliki gerak yang diciptakan sesuai dengan kebutuhan sehingga dipengaruhi oleh materi, energi, dan

Dokumen terkait