• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1. Latar Belakang Anak

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa yang mengalami kesulitan berhitung. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti selama tiga bulan. Peneliti menemukan bahwa di SD Nusantara kelas IV terdapat dua anak yang tidak begitu suka dengan matematika, kurang memahami matematika, dan kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika. Setelah peneliti melakuan serangkaian test sederhana kepada kedua anak tersebut dengan meminta mengambar, membaca notasi angka, dan memberikan beberapa soal penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian seperti (...+ 6 = 15 ; 20 : 5 = ...). Nampak jelas terlihat, satu diantara mereka bahwa BG (bukan nama sebenarnya) mengalami kesulitan saat mengerjakan, ia nampak binggung dan hanya diam melihat soal yang diberikan, saat ia diminta menggambar manusia,

gambarnya tidak lengkap, sedangkan BD (bukan nama sebenarnya) menggambar manusia secara lengkap. Lalu pada test membaca notasi angka, BG masih mengalami kesulitan, sedangkan BD lancar saat membacanya. Ketika diminta mengerjakan soal diwaktu yang bersamaan, BD lebih dahulu selesai dan BG tertinggal jauh. Hasil pekerjaan BDpun jauh lebih baik dibandingkan dengan BG yang menjawab asal-asalan. Melihat ciri-ciri kesulitan belajar yang dialami BG ia dapat dicurigai mengalami diskalkulia. Diskalkulia adalah masalah yang memberi dampak terhadap operasi perhitungan dalam matematika yang serius (Muhamad, 2008:134). Menurut Koeswara (2013: 37-40) untuk menemui anak berkesulitan belajar matematika, guru dan orangtua dapat mengenali dari kesulitan-kesulitan yang dialami anak saat belajar atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru seperti: (1)kekurangan pada penguasaan angka dasar, banyak anak yang mengalami kesulitan mengingat angka dasar dalam seluruh tempat operasi matematika. (2)Anak dapat memahami operasi penjumlahan, misalnya 5 + 3 = 8, atau 5 x 3 = 15, tetapi untuk menghitung anak harus selalu dibantu jari dan tidak mampu mengembangkan daya ingat untuk menghitung secara mandiri. (3)Kelemahan bakat matematika yakni selalu mengalami kesulitan jika dihadapkan pada hitungan sederhana. (4)Apabila anak dihadapkan dalam perhitungan matematika/aritmatika kurang konsisten dalam melakukan perhitungan, karena anak tidak memahami fakta-fakta dasar, umumnya anak tidak mengakui atau menyadari kelemahannya dalam berhitung. (5)Kekurangan pemahaman akan simbol-simbol matematika, anak-anak umumnya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika disajikan soal sepeti ini: 4 + 3 = …… atau 8 – 5

= …… Tetapi akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal- berikut: 4 + ….= 7 ; 8 = ….+ 5 ; ….. + 3 = 6.

Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak memahami simbol seperti =, +, - dsb. Ada anak yang belum memahami nilai tempat seperti satuan, puluhan, ratusan dst. Ketidakpahaman tentang nilai tempat akan semakin mempersulit anak. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan diskalkulia yaitu kelemahan dalam proses pengelihatan atau visual, bermasalah dalam mengurutkan informasi, dan fobia matematika (Fadhli, 2010:76). Dari permasalahan tersebut, munculah persepsi dari beberapa guru yang mengampu anak tersebut di kelas. Setiap guru mungkin memiliki persepsi yang berbeda. Ada guru yang berpersepsi baik, ada pula guru yang berpersepsi buruk.

2.1.2 Persepsi Guru

Pada bagian tinjauan pustaka tentang Persepsi Guru, ada empat hal yang akan dibahas. Hal tersebut mencakup pengertian persepsi, faktor-faktor yang berperan dalam persepsi, proses terjadinya persepsi, dan pengertian guru. Kajian Persepsi guru ini akan membantu pembaca untuk lebih mengerti tentang Persepsi Guru pada umumnya.

2.1.2.1. Pengertian Persepsi

Persepsi adalah proses diterimanya rangsangan melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang berasal dari dalam maupun luar individu (Sunaryo, 2013:96). Sebagai contoh adalah seseorang yang sedang

melihat penampilan temannya yang aneh. Orang tersebut akan memfokuskan pandangannya pada objek yang ia lihat dan mulai mengetahui, mengartikan, dan mengayati tentang apa yang diamati dengan demikian timbulah persepsi. Persepsi memiliki dua macam yaitu eksternal dan internal (ekspresi diri). Persepsi internal adalah persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar individu. Sedangkan persepsi eksternal adalah persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang terjadi dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah individu itu sendiri. Sedangkan menurut Aditomo (2008:77) persepsi adalah tindakan menyusun informasi dari organ-organ sensorik menjadi suatu keseluruhan yang bisa dipahami.

Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses pemahaman ataupun pemberian maksud atas suatu informasi terhadap stimulus, stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang diproses oleh otak (Sumanto, 2014:51). Persepsi menunjukan bagaimana melihat, mendengar, merasakan, mengecap, dan mencium dunia sekitar kita, dengan kata lain persepsi dapat didefinisikan sebgai sesuatu yang dialami manusia (Morgan dalam Sumanto, 2014:51).

Dari beberapa pengertian persepsi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses pemahaman/maksud atas informasi yang diperoleh dari luar maupun dalam individu untuk mengutarakan anggapan tentang sesuatu yang menjadi pandangan dalam objek pembicaraannya. Sebagai contoh adalah seseorang yang sedang melihat suatu lukisan dan mengomentari atau menanggapi lukisan tersebut.

2.1.2.2 Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi

Menurut Walgito, (2010: 101) ada beberapa faktor yang berperan dalam persepsi. Antara lain: objek yang dipersepsi, alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf, dan perhatian. Hal ini akan dibahas secara lebih mendalam di bawah ini.

Objek yang dipersepsi menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Sebagai contoh adalah seseorang wanita yang sedang melihat gaun merah muda , ia akan memiliki pendapat yang muncul dari dalam dirinya. Wanita tersebut bisa menginginkannya atau tidak tertarik sama sekali.

Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak. Sebagai contoh adalah seseorang yang sedang melihat suatu objek dan secara tidak langsung syaraf membuat alat inderanya bekerja. Seperti melalui sentuhan dan kemudian dari sentuhan tersebut akan menimbulkan pendapat dari orang tersebut.

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, perhatian adalah langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

Sedangkan Sumanto (2014, 57-59) pembentukan persepsi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : stereotype dan persepsi diri. Bagian ini akan dibahas lebih mendalam dengan penjelasan dibawah ini.

Streotype, yaitu pandangan individu tentang ciri-ciri perilaku sekolompok orang tertentu sangat mempengaruhi kesan pertama individu tersebut. Contohnya adalah seseorang yang baru pertama kenal. Ia akan memberikan kesan pertama tentang apa yang dia lihat. Sedangkan persepsi diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Gage dan Crombach (1950) menunjukan adanya kecenderungan seseorang untuk melihat kesamaan yang ada antara individu orang yang ada antara individu dengan orang asing yang ditemuinya. Sebagai contoh adalah ketika kita membandingkan kecantikan dirinya dengan orang lain dan ia merasa ada kesamaan antara kecantikan wajah dirinya dan kecantikan wajah orang yang dilihatnya.

2.1.2.3 Proses Terjadinya Persepsi

Menurut Walgito (2010, 102-104) proses terjadinya persepsi adalah suatu objek menimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu menjadi satu. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari bahwa apa yang diilihat atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu yang menyadari tentang apa yang

dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui oleh alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya persepsi adalah melalui obyek yang merangsang stimulus dan mengenai alat indera sehingga dapat memunculkan suatu persepsi.

2.1.3. Pengertian Guru

Menurut Rugaiyah, (2011) guru adalah pendidik professional dengan utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dalam konteks ini pengertian guru adalah seorang pendidik yang dapat membimbing dan melatih seseorang melalui jalur pendidikan formal. Sedangkan persepsi guru adalah proses pemahaman/maksud atas informasi yang diperoleh seorang guru baik dari luar maupun dalam individu untuk mengutarakan anggapan tentang sesuatu yang menjadi pandangan dalam objek pembicaraannya.

2.1.3. Kemampun Belajar

Pada bagian tinjauan pustaka tentang kemampuan belajar, ada tiga hal yang akan dibahas. Hal tersebut mencakup pengertian kemampuan, dan pengertian belajar. Kajian Kemampuan Belajar ini akan membantu pembaca untuk lebih mengerti tentang Kemampuan belajar pada umumnya.

2.1.3.1. Pengertian Kemampuan

Menurut Woodworth dalam Suryosubroto (2002: 161) “Ability” (kemampuan) mempunyai tiga arti yaitu : (1)Achievement yang merupakan actual ability, yang dapat diukur dengan alat atau tes tertentu. Contohnya adalah tes kemampuan belajar tentang materi tertentu. (2)Capacity yang merupakan potensial ability, yang dapat diukur secara tidak langsung melalui pengukuran terhadap kecakapan individu. Kemampuan ini dapat dilihat melalui pengamatan terhadeap objek yang akan diteliti. (3)Aptitude yaitu kualitas yang hanya dapat diungkap atau diukur dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan tes potensi akademik. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah hasil dari usaha seseorang dari suatu hal yang dipelajari.

2.1.3.2. Pengertian Belajar

Belajar adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan (Siregar, 2011: 1-5). Belajar dapat didefinisikan pula sebagai proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman (Gagne dalam Dahar, 2011: 1-2). Belajar dihasilkan dari pengamatan dengan lingkungan yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan dan respon-respon. Menurut Siregar (2011: 1-3) belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak masih bayi (bahkan dalam kandungan) hingga di liang lahat. Burton dalam Siregar (2011:4) mengemukakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku pada individu karena adanya interaksi antar

individu dengan individu dan individu dengan lingkungan sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.

Harold dalam Siregar (2011:4) mengemukakan bahwa pengertian belajar dalam perspektif yang lebih detail adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu pada dirinya sendiri, mendengar dan mengikuti aturan. Sementara Siger dalam Siregar (2011:4) mendefinisikan belajar sebagai suatu perubahan perilaku yang relatif tetap yang disebabkan praktik atau pengalaman yang sampai pada situasi tertentu. Seseorang dapat dikatakan telah belajar jika sudah terdapat perubahan tingkah laku dalam dirinya. Sedangkan menurut Hamalik (2007) belajar adalah proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan .

Dari berbagai pengertian belajar yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses memahami pengetahuan yang diterimanya.

2.1.4. Kesulitan Belajar

Pada bagian tinjauan pustaka tentang kesulitan belajar, ada tiga hal yang akan dibahas. Hal tersebut mencakup pengertian kesulitan belajar, karakteristik kesulitan belajar, dan kesulitan belajar khusus/spesifik. Kajian kesulitan belajar ini akan membantu pembaca untuk lebih mengerti tentang kesulitan belajar.

Menurut Koswara (2013:7), kesulitan belajar sering diidentikan dengan “kemampuan belajar, prestasi rendah, dan tidak dapat mengikuti pelajaran” yang berdampak pada ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan

mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Untuk mengenali anak berkesulitan belajar sepertinya hal yang sangat sulit apabila kita tidak mengetahui atau tahu karakteristik dari anak berkesulitan belajar.

Menurut Nathan dalam Delphie (2006: 28-29) kesulitan belajar adalah adalah anak yang mengalami kegagalan dalam situasi pembelajaran tertentu. Sedangkan menurut Soemantri (2007: 195) kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif didalam proses belajar. Anak-anak yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik, yang dapat menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan perseptual-motorik tertentu atau kemampuan berbahasa.

Dari berbagai pengertian kesulitan belajar dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah ketidakmampuan seseorang untuk memahami dan mengikuti pelajaran yang diterimanya. Kesulitan belajar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu yang berhubungan dengan perkembangan dan kesulitan belajar dalam bidang akademik.

2.1.4.1. Karakteristik

Menurut Soemantri (2007: 200) terdapat empat aspek yang menjadi karakteristik anak berkesulitan belajar. Aspek kognitif, aspek bahasa, aspek motorik, dan sosial emosi. Aspek Kognitif Anak berkesulitan belajar lebih banyak berkaitan dengan wilayah akademik dan bukan disebabkan oleh tingkat

kecerdasan yang rendah. Anak berkesulitan belajar memiliki kemampuan kognitif yang normal akan tetapi kemampuan tersebut tidak berfungsi secara optimal sehingga terjadi keterbelakangan akademik yakni terjadinya kesenjangan antara apa yang mestinya dilakukan anak dengan apa yang dicapainya secara nyata. Sedangkan pada aspek bahasa masalah bahasa anak berkesulitan belajar menyangkut bahasa reseptif maupun ekspresif. Bahasa reseptif adalah kecakapan menerima dan memahami bahasa. Bahasa ekspresif adalah kemampuan mengekspresikan diri secara verbal. Didalam proses belajar kemampuan berbahasa merupakan alat untuk memahami dan menyatakan pikiran. Aspek ini tidak dipisahkan dari aspek kognitif karena proses berbahasa pada hakekatnya adalah proses kognitif.

Aspek Motorik adalah masalah motorik anak berkesulitan belajar yang biasanya menyangkut keterampilan motorik perseptual yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan meniru rancangan atau pola. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk menggambar, menulis, atau menggunakan gunting. Keterampilan tersebut sangat memerlukan koordinasi yang baik antara tangan dan mata yang dalam banyak hal koordinasi tersebut tidak dimiliki anak berkesulitan belajar. Sedangkan pada aspek sosial emosi dua karakteristik yang sering dikaitkan sebagai karakteristik sosial-emosional anak berkesulitan belajar ialah: kelabilan emosional dan keimpulsifan. Kelabilan emosional ditunjukan oleh sering berubahnya suasana hati dan tempramen.

2.1.5. Kesulitan Belajar Khusus / Spesifik

Mulyono dalam Koeswara (2013: 7) menjelaskan kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses gangguan proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar khusus atau spesifik adalah gangguan pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran dan tulisan yang terlihat dari sulitnya mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung.

2.1.6. Diskalkulia

Pada bagian tinjauan pustaka tentang diskalkulia, ada empat hal yang akan dibahas. Hal tersebut mencakup pengertian diskalkulia, karakteristik, penyebab, dan cara mengatasi. Kajian kesulitan belajar ini akan membantu pembaca untuk lebih mengerti tentang diskalkulia.

2.1.6.1. Pengertian Diskalkulia

Diskalkulia adalah masalah yang memberi dampak terhadap operasi perhitungan dalam matematika yang serius (Muhamad, 2008: 134). Menurut Lerner dalam Abdurrahman (2009: 259) diskalkulia disebut juga kesulitan belajar matematika, istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem syaraf pusat. Sedangkan menurut Fadhli

(2010: 74) diskalkulia sering dikenal dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian diskalkulia adalah gangguan dalam operasi perhitungan pada pembelajaran matematika.

2.1.6.2. Karakteristik

Ada beberapa karakteristik yang ditunjukan dari sejumlah masalah yang dialami anak berkesulitan belajar matematika (Lerner dalam Koswara, 2013: 35-40). Yang pertama adalah adanya gangguan dalam hubungan keruangan, yaitu pemahaman batas bawah dan atas, jauh-dekat, kiri-kanan, depan-belakang, dsb. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan memahami system bilangan secara keseluruhan, seperti jarak angka pada garis bilangan. Selain itu adanya gangguan pada persepsi visual, yaitu melihat berbagai objek dengan hubungannya dengan

kelompok, diskriminasi bentuk dan juga simbol.

Asosiasi visual motor, anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam menghitung secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya. Kadang – kadang anak baru memegang benda kedua tetapi sudah menyebutkan angka 3 atau sebaliknya. Selain itu adanya persevarasi, yaitu perhatian yang terlalu lama dalam satu objek. Apa bila pembelajaran dilakukan dengan benda kongkrit anak lebih tertarik pada benda dari pada symbol atau bilangan. Kesulitan dalam mengenal dan memahami symbol, anak mengalami kesulitan dalam menghubungkan pengetahuan berdasarkan prosedur, bahasa dan notasi symbol matematika secara formal. Anak sulit untuk memahami simbol matematika seperti

simbol/tanda penjumlahan (+),simbol/tanda pengurangan (-), smbol bembagian (:), simbol perkalian (x), simbol lebih dari (>), dan simbol kurang dari (<).

Ganguan penghayatan tubuh, anak yang mengalami ini sering kali tidak memperhatikan anggota tubuhnya sendiri. Anak merasa sulit mamahami hubungan bagian bagian dari tubuhnya sendiri. Untuk mengetahui masalah penghayatan tubuh ini guru dapat menugaskan anak untuk menggambar. Apabila anak menunjukkan bagian bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada bagian yang salah. Kemudian kesulitan dalam membaca dan bahasa, kesulitan ini umumnya dialami anak ketika harus memahami penjelasan guru secara lisan, atau perintah dalam bentuk tulisan. Berdasarkan karakteristik yang dikemukakan diatas anak berkesulitan belajar dapat dikenali dengan memperhatikan gejala atau masalah yang ditunjukan oleh anak.

Sedangkan menurut Fadhli (2010: 74-76) beberapa hal yang dapat menjadi tanda-tanda seorang anak mengalami diskalkulia adalah tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis, namun sulit melakukan hitungan matematis (contoh sehari-harinya, ia sulit untuk menghitung transaksi belanja, termasuk menghitung uang kembalian. Sulit melakukan proses matematis penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian serta sulit memahami konsep hitung angka atau urut-urutan.

Sering bingung saat ditanya “sekarang jam berapa?” dan tidak mampu membaca dan memahami peta. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep

abstrak tentang waktu. Misalnya bingung mengurutkan kejadian masa lalu atau masa mendatang. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka. Seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama notasi, dan urutan nada. Sulit dalam aktivitas olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan dengan sistem skor.

Menurut Koeswara (2013: 37-40) selain berdasarkan karakteristik diatas, untuk menemui anak berkesulitan belajar matematika, guru dan orangtua dapat mengenali dari kesulitan-kesulitan yang dialami anak saat belajar atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru sebagai berikut: Kekurangan pada penguasaan angka dasar, banyak anak yang mengalami kesulitan mengingat angka dasar dalam seluruh tempat operasi matematika. Anak dapat memahami operasi penjumlahan, misalnya 5 + 3 = 8, atau 5 x 3 = 15 tetapi untuk menghitung anak harus selalu dibantu jari dan tidak mampu mengembangkan daya ingat untuk menghitung secara mandiri. Kelemahan bakat matematika. Apabila anak dihadapkan dalam perhitungan matematika/aritmatika kurang konsisten dalam melakukan perhitungan, karena anak tidak memahami fakta-fakta dasar, umumnya anak tidak mengakui atau menyadari kelemahannya dalam berhitung.

Kekurangan pemahaman akan simbol-simbol matematika, anak-anak umumnya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika disajikan soal seperti ini:

4 + 3 =….. atau 8 – 5 =…… Tetapi akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal- berikut: 4 + ….. = 7 ; 8 = …. + 5 ; ….. + 3 = 6

Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak memahami simbol seperti tanda tambah (+), tanda kurang (-), dsb. Ada anak yang belum memahami nilai tempat seperti satuan, puluhan, ratusan dst. Ketidakpahaman tentang nilai tempat akan semakin mempersulit anak, jika kepada mereka dihadapkan pada lambang bilangan.

Kekurangpahaman angka secara abstrak, anak yang mengalami kesulitan pemahaman angka secara abstrak umumnya tahu empat ditulis dengan 4, tetapi dia tidak mengerti berapa banyak angka tersebut. Selanjutnya anak tidak mampu untuk menghitung angka-angka. Tidak menguasai konsep perbedaan, anak menunjukan perilaku seperti menghitung dengan menggunakan jari, dan ketika anak harus mempelajari nama-nama angka dan menuliskannya anak mengalami kesulitan, dalam membagi dan mengubah jumlah, pengertian pengurangan dan penambahan lebih kurang lebih besar atau lebih kecil. Kesulitan terkait dengan bahasa lisan, kesulitan ini meliputi masalah jumlah dan angka gambar dan simbol.

2.1.6.3. Penyebab

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan diskalkulia (Fadhli, 2010:76) yaitu kelemahan dalam proses penglihatan atau visual, bermasalah dalam mengurutkan informasi, dan fobia matematika.

2.1.6.4. Cara Penanganan

Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak diskalkulia (Fadhli, 2010: 76-78). Antara lain coba memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun cara lain

untuk menjembatani langkah-langkah atau urutan dari proses keseluruhannya. Meminta anak mendengarkan secara cermat konsep matematis yang sulit dimengerti. Lalu tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis diatas kertas agar anak mudah melihatnya.

Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktik menggunakan aktivitas sederhana sehari-hari dan sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif, bisa dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang dilakukan oleh anak. Lakukan

Dokumen terkait