• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi teknis mengukur pencapaian output maksimal dengan menggunakan sejumlah input tertentu, sementara efisiensi alokatif lebih membahas penggunaan input dalam proporsi yang optimal pada tingkat harga tertentu. Farrel (1957) memfokuskan konsepnya pada technical efficiency (TE) dengan alasan kemudahan di dalam menjelaskan konsep stochastic frontier. Untuk menghitung besarnya efisiensi harus diketahui fungsi produksi pada tingkat efisiensi penuh atau penggunaan input optimum. Secara teori, terdapat dua cara untuk mengestimasi efisiensi produksi pada kondisi optimal, yaitu data envelopment analysis(DEA) danstochastic frontier(Coelliet al. 1998).

DEA merupakan teknik nonparametrik untuk menentukan sebuah solusi optimal dengan kendala tertentu (Charneset al. 1994) diacu dalam (Walden dan Kirkley 2000), yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas dan pemanfaatan kapasitas (Fareet al. 1994 diacu dalam Vestergaard et al. 2002). Dalam kajian- kajian ekonomi yang lain, pendekatan DEA banyak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi produksi. Model DEA dikembangkan berdasarkan konsep pengukuran efisiensi yang dilakukan Farrel (1957), selanjutnya metode pengukurannya dibedakan atas pengukuran berorientasi input (input orientation model) dan orientasioutput (output orientation model). Model pengukuran DEA berorientasi input dengan asumsi constant return to scale (CRS) atau kegaiatan yang return to scale-nya tetap. Model tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Charneset al.(1994) diacu dalam Walden dan Kirkley (2000), dikenal dengan model BBC dalam bentuk modelvariable return to scale(VRS).

Diasumsikan bahwa terdapat K input dan M output pada tiap-tiapN firm

(perusahaan) atau DMU. Dari sebanyak i DMU masing-masing mempunyai vektorxidanyi, sehingga terbentukKxN inputmatrik X dan M x N outputmatrik Y yang mempresentasikan data seluruh N DMU. Tujuan DEA adalah membangun model non-parametrik sehingga data observasi terletak pada fungsi produksifrontieratau di bawahnya.

Pada dasarnya, asumsi CRS mendefinisikan efisiensi yang tidak semata- mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Pada CRS juga ditujukan isokuan pada pertimbangan antar input. Tiap-tiap DMU kemudian dilakukan pengukuran rasio terhadap semua output atas semua input. Seperti

i ' i ' x v y u

dimana u adalah bentuk vektor M x 1 dari output yang dibobot dan v

merupakan vektor K x 1 dari input yang dibobot. Analisis dengan pemograman matematik digunakan untuk mengetahui pembobotan optimal sebagai berikut:

      i ' i ' x v y u v u, Max st 1,j 1,2,...,N x v y u j ' j '   u,v≥0 ………..…….………. (2-16)

Salah satu kendala persamaan (9) tersebut adalah ketika hasil perhitungan diperoleh nilai tak terhingga (infinite). Fungsi kendala persamaan (10) dapat diubah menjadiv’xi= 1 untuk menghindari masalah tersebut, sehingga menjadi:

Maxμ, v(μ’yi)

st v’xi = 1

u’yjv’xj≤0,j= 1,2,…..,N

u, v= 0 ..……… (2-17)

Notasi u danv paa persamaan di atas kemudian ditransformasi menjadi μ dan v. Dengan menggunakan linear programming, Coelli menderivasi persamaan tersebut kedalam bentuk persamaan DEA sebagai berikut:

Minθ,λ θ,

st -yi+≥0

θxi +≥0

λ≥0 ..……….……… (2-18)

Dimana θ adalah skala dan λ adalah vektor N x 1. Bentuk envelopment

memerlukan lebih sedikit kendala dari bentuk multiplier (K + M < N + 1). Parameter θ menunjukkan nilai efisiensi teknis (TE) relatif terhadap kapasitas

output atau menggambarkan skor efisiensi DMU ke-i, dengan nilai θ ≥ 1. . Ilustrasi dari pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Farrel (1957), mengilustrasikan gagasannya dengan menggunakan contoh sederhana. Dengan asumsi keadaan usaha bersifatconstant return to scale(dalam keadaan demikian berarti penambahan input akan secara proporsional menyebabkan terjadinya penambahan output yang diperoleh), perusahaan menggunakan dua input(x1 dan x2) untuk memproduksi sebuah output (y). Pada

kondisi pengukuran berorientasi input, isokuan yang digambarkan oleh kurva SS’

menunjukkan kondisi efisien (fully efficient).

Gambar 6 Efisiensi teknis dan alokatif (Coelliet al. 1998)

Jika perusahaan menggunakan inputsejumlah P untuk memproduksi satu unit output, maka nilai efisiensi teknis dicerminkan oleh jarak QP. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi jumlahoutputyang dihasilkan. Kondisi demikian dinotasikan dalam bentuk

OP QP

yang mempresentasikan persentase jumlah input yang dapat dikurangi untuk mencapai kondisi efisien secara teknis. Nilai efisiensi teknis bisa diformulasikan sebagai: OP PQ OP OQ TE  1 .……….. (2-19)

Besarnya nilai TE berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan derajat efisiensi teknis yang dapat dicapai. Gambar 5 tersebut juga memperlihatkan efisiensi alokatif yaitu rasio harga input yang ditunjukkan oleh kurva biaya AA’ yang secara matematis diformulakan dalam bentuk:

OQ OR

AE ………..………... (2-20)

Ruas garis RQ menunjukkan biaya produksi yang dapat dikurangi agar tercapai kondisi efisien secara alokatif dan teknis pada titik Q’, sedangkan titik Q

dipandang efisien secara teknis tetapi pada titik tersebut tidak efisien secara alokatif.

Berdasarkan penelitian Villasante dan Sumaila (2010) tentang Perkiraan Efek Efisiensi Teknologi pada Armada Penangkapan Ikan di Eropa, yaitu dengan

0 X2/Y P QS S’A A’ X1/Y • R Q

membandingkan penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan Uni Eropa (UE) dan efek efisiensi teknis, analisis pertama yang dilakukan secara komprehensif sejak berlakunya Common Fisheries Policy (CFP). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pada 13 armada kapal di EU telah mengalami penurunan sebesar 44% hanya di tiga tahun (1991, 2004, dan 2006) selama periode tahun 1987-2006. Hasil ini menunjukkan bahwa efisiensi teknologi selalu berkembang lebih cepat daripada penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan ikan. Selain itu pengurangan tonase dari 13 armada yang lebih dari 4% pertahun juga hanya pada tahun 1991 (5,2%), 2004 (6,6%), dan 2006 (6,5%). Hasil ini menunjukkan tingkat inefisiensi yang tinggi pada CFP dalam hal mengurangi kelebihan kapasitas penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masalah kelebihan kapasitas adalah masalah utama yang harus ditangani oleh CFP dimasa yang akan datang.

Berdasarkan penelitian Huang dan Chuang (2010) tentang Manajemen Kapasitas Perikanan di Taiwan: Pengalaman dan Prospeknya, bahwa Taiwan telah mengembangkan perikanan sejak tahun 1950-an dan menjadi salah satu negara besar dalam perikanan laut lepas. Sekarang ini dihadapkan pada kelebihan kapasitas dan kritik yang kuat terkait kapasitas dari organisasi-organisasi regional. Taiwan tidak hanya membuat banyak peraturan untuk membatasi kapasitas penangkapan, tetapi juga menghabiskan sekitar US$ 350 juta pada tahun 1991- 2008 dalam mengurangi kapasitas sebesar 30% pada kapal rawai skala besar dan 18% dari kapal nelayan pesisir. Studi ini memberikan gagasan bahwa penggunaan anggaran efektif dan komunikasi yang baik dengan nelayan, dan masalah penilaian stok akan menjadi isu kunci dalam membangun manajemen kapasitas perikanan yang sukses.

Berdasarkan penelitian Madau et al. (2009) tentang Kapasitas dan Efisiensi Ekonomi pada Perikanan Skala Kecil: Bukti dari Laut Mediterania, bahwa untuk merancang sebuah rencana manajemen kapasitas yang efektif pada perikanan skala kecil kita, maka harus memahami apa yang sedang diukur dan menentukan kapasitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan kapasitas penangkapan, efisiensi teknis, skala efisiensi dan pemanfaatan kapasitas dalam perikanan skala kecil khususnya di Mediterania yaitu di Italia barat laut. Pendekatan nonparametrik menggunakan model analisis DEA diterapkan untuk

sampel trawl untuk memperkirakan kemampuan secara ekonomi, dan langkah- langkah terkait yang diambil.

Berdasarkan penelitian Salayo et al. (2008) tentang Manajemen Excess Capacitypada Perikanan Skala Kecil: PersfektifStakeholderTiga Negara di Asia Tenggara, bahwa manajemen kapasitas perikanan darat dan perikanan laut adalah salah satu perhatian kebijakan utama di sebagian besar negara di Asia Tenggara. Kelebihan kapasitas menyebabkan serangkaian dampak negatif, seperti penggunaan sumberdaya, konflik,overfishing, degradasi lingkungan dan kerugian ekonomi dan ancaman keamanan. Manajemen yang efektif dari excess capacity

di Asia Tenggara diperlukan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang perikanan di wilayah ini. Opsi manajemen, antara lain: (1) armada, alat tangkap, dan metode, (2) spesifik lokasi, (3) karakteristik spesies dan stok, (4) ketersediaan data, (5) kondisi terkini kehidupan nelayan, (6) sistem pemerintahan, penegakan hukum, (7) dan politik. Selain itu, perbaikan yang signifikan untuk prospek perikanan kedepan memerlukan suatu perubahan besar dalam prioritas sosial, dengan konsekuensi perubahan dalam kebijakan dan pemerintahan.