• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik dan kinerja kelembagaan informal

5. ATURAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS

5.2 Aturan Informal

5.2.1 Karakteristik dan kinerja kelembagaan informal

5.2.1.1 Batas Sumberdaya dan Penggunanya

Sumberdaya TNS yang secara de facto diakses atau dimiliki oleh masyarakat setempat, antara lain ikan, getah jelutung, dan kulit gemor.Mereka dapat menentukan secara jelas sumberdaya yang mereka miliki karena mereka memiliki sistem hak kepemilikan atau tenurial53 yang masih ditaati sampai saat ini.Hak kepemilikan ini diakui dan dilindungi oleh hukum adat.Sistem hak kepemilikan nelayan terdiri atas dua jenis(Mahin 2011:32).Pertama, hak kepemilikan komunal (common property rights). Wilayah yang termasuk hak kepemilikan komunal adalah sungai utama(batang danum), rawa terbuka (padang layap), dan rawa tertutup (datah) yang terhubungkan dengan sungai utama. Kedua, hak kepemilikan privat. Wilayah yang menjadi hak kepemilikan privat adalah anak sungai (sungei) dan cucu sungai (saka), rawa terbuka (padang layap)

53

Hak kepemilikan (property rights)dan tenurial (tenure) mengandung arti yang sama, yaitu merujuk pada kontrol dan akses terhadap sumberdaya atau cara bagaimana orang baik perorangan atau bersama, memilikihak dan tanggung jawab terhadap lahan dan semua sumberdaya yang ada didalamnya (Aggarwal dan Elbow 2006). Sistem tenurial mengatur orang yang memanfaatkan, jenis sumberdaya, waktu dan kondisi sumberdaya (FAO 2002).Sistem tenurial sering

dikategorikan menjadi kepemilikan privat, komunal, akses terbuka, dan negara (Feder dan Feeny 1991, FAO 2002).

dan rawa tertutup (datah) yang terhubungkan dengan sungai-sungai kecil, dan tatas54.

Di tempat mencari nafkah55, nelayan dan pemanfaat sumberdaya TNS mendirikan tempat tinggal sementara atau pondok.Menurut Mahin (2011:18) pondok juga merupakan simbol hak kepemilikan atau penguasaan terhadap sumberdaya yang ada disekitarnya.Rawa banjir atau dataran rendah yang berada di sekitar pondok telah ada pemilik atau pengelolanya.Ikan, getah jelutung, kulit gemor, dan sumberdaya lainnya yang terdapat di muara dan hulu sungai kecil yang berada di sekitar pondok adalah hak milik mereka.Masyarakat pemanfaat sumberdaya TNS umumnya mengetahui secara persis sumberdaya yang menjadi miliknya. Mereka memberi tanda dengan cara yang mudah dan murah. Misalnya dengan memberi tanda huruf tertentu yang berbeda satu dengan yang lainnya di wilayah kerja mereka.Tanda batas ini diterima dan berlaku diantara mereka.

Pemanfaat sumberdaya umumnya mengetahui individu-individu atau kelompok-kelompok yang memanfaatkan sumberdaya TNS.Hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja di dalam kawasan TNS.Mereka saling bertemu di dalam kawasan hutan,oleh karena itu mereka saling mengenal.Pemanfaat sumberdaya TNS umumnya mempunyai hubungan kekerabatan.Bagi yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan, pemanfaat sumberdaya mempunyai kesepakatan atau kontrak kerjasama dengan nelayan pemilik sungai atau kanal.Kerjasama ini terkait dengan pemanfaatan sungai atau kanal sebagai sarana transportasi utama dalam kegiatan mereka di kawasan TNS.Uraian diatas menunjukkan bahwa batas sumberdaya dan pengguna sumberdaya TNS yang dimanfaatkan masyarakat setempat mempunyai batas- batas yang jelas, dan diakui diantara mereka.

5.2.1.2 Aturan Pemanfaatan dan Penyediaan

Aturan adat Kedamangan dikembangkan sesuai dengan praktek dan pengalaman nenek moyang mereka secara turun temurun. Menurut Damang Sebangau56, dalam pengelolaan sumberdaya alam, masyarakat Dayak mengenal konsep pembagian wilayah atau “zonasi”. Ada wilayah yang dapat digunakan untuk kepentingan budidaya, contohnya ladang.Ada wilayah yang dilarang untuk dibudidayakan.Wilayah ini dialokasikan untuk tujuan perlindungan lingkungan hidup, sumber buah-buahan dan obat-obatan, serta untuk tempat suci sebagai tempat pemujaan.Contoh wilayah yang dilarang untuk digarap adalah tajahan,

kaleka, sapan pahewan, dan pukung himba(Dohong 2010 dalam Mukti

2010:4).Tajahanialah suatu lokasi yang dikeramatkan oleh suku Dayak khususnya penganut kepercayaan kaharingan57. Lokasi ini merupakan tempat pemujaan

54

Tatas adalah sungai kecil (kanal) yang dibuat sebagai jalur transportasi untuk mengangkut hasil bumi dari suatu tempat ke tempat lainnya.Ketika marakillegal logging, tatas digunakan untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan.

55

Menurut Mahin (2011:28), nelayan sekitar TNS yang umumnya suku Dayak Ngaju memandang hutan, sungai dan rawa di sekitarnya merupakan tempat mencari nafkah, dalam bahasa Dayak

disebut “eka satiar”.

56

Wawancara dengan Basel (damang Sebangau) pada tanggal 9 Februari 2013. 57

Kepercayaan leluhur nenek moyang orang Dayak.Istilah Kaharingan berasal dari kata “haring

masyarakat Dayak. Di lokasi ini didirikan sebuah miniatur rumah58 tempat sesajen untuk persembahan kepada roh-roh halus agar tidak mengganggu anggota keluarga yang masih hidup. Kegiatan manusia seperti menebang kayu, berburu dan lain-lainnya dilarang dilakukan pada lokasi ini.

Selanjutnya kalekayaitu daerah peninggalan nenek moyang suku Dayak. Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang

atau rumah panggung, pohon-pohon besar yang berumur tua seperti durian,

langsat dan sebagainya. Lokasi iniumumnya untuk memenuhi kebutuhan buah- buahan. Berikutnyasepan-pahewanyaitu sumber mata air asin yang merupakan sumber mineral bagi binatang-binatang seperti rusa, kancil, dan binatang lainnya. Lokasi inimerupakan tempat perburuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Sebagai tempatperburuan,lokasi iniselalu dipelihara dan dilindungi. Terakhir, pukung himbayaitu bagian dari kawasan hutan perawan yang dicadangkan untuk tidak ditebang. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat bermukim roh-roh halus (gana). Lokasi ini umumnya berhutan lebat, diameter pohon rata-rata sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia,dan banyak dihuni oleh satwa liar.

Selain konsep pembagian wilayah, terdapat aturan yang terkait dengan sistem hak kepemilikan. Aturan di wilayah hak kepemilikan komunal antara lainsetiap orang boleh menangkap ikan, namun tidak boleh tumpang tindih. Jika sudah ada nelayan yang memasang alat penangkap ikan di satu tempat maka nelayan lain tidak boleh memasang alat penangkap ikan di tempat yang sama. Sebaliknya, di wilayah hak kepemilikan privat,hanya pemiliksungeidansakasaja yang boleh memasang alat tangkap ikan.Pemiliksungeidansakaberhak mengatur serta mengawasi semua orang yang melakukan kegiatandi sungeidansaka yang dikelolanya.Sedangkan orang luar dapat menangkap ikan di wilayah privat apabila melakukan ikatan perkawinan.Selain itu, ada hubungan antara nelayan pemilik

sungeidan sakadengan orang luar yang melakukan kegiatan komersial (misalnya

pemanfaat kulit gemor, dan getah jelutung)yang diatur dengan kontrak59. Karena sungai dan kanal merupakan sarana transportasi utama dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya TNS, maka orang luar yang akan melakukan kegiatan di TNS umumnya melakukan kerjasama dengan nelayan pemilik sungai dan kanal. Orang luar yang melakukan kegiatan komersial membayar feekepada pemilik

sungeidan saka.Dalam aturan adat Kedamangan, hak kepemilikan privat tidak

dapat diperjual-belikan, namun dapat diwariskan.Sebagai contoh sungai Bakung pada mulanya adalah milik Ongko Surung Mantir kemudian sekarang dimiliki atau dikelola oleh Jumadi, yang merupakan keturunan Ongko Surung Mantir.

Nelayan di sekitar TNS mengenal empat macam musim penangkapan ikan, yaitu surung layap, danum manahan, marintak, dan pandang.Pembagian musim ini didasarkan pada kelimpahan ikan.Ketika ikan tidak melimpah maka masyarakat mencari sumber mata pencaharian yang lain, misalnya mencari kulit

kaharinganmengandung pengertian kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir atau kekal. Sejak tahun 1980 penganut kaharingan bergabung dengan agama hindu (Diansyah 2011:62) 58

Dalam miniatur rumah biasanya berisi beberapa patung kecil sebagai replika dari anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Masyarakat suku dayak meyakini bahwa roh orang

meninggal dunia berdiam dalam patung-patung kecil tersebut sehingga tidak mengganggu anggota keluarga yang masih hidup.

59

gemor, berburu babi, rusa atau burung; menyadap karet atau jelutung; mencari rotan dll.Dengan demikian ada waktu dimana ikan, pohon jelutung, pohon gemor melakukan reproduksi sehingga terjaga kelestariannya.Selain itu terdapat aturan terkait ukuran ikan yang boleh ditangkap. Tidak boleh menangkap induk dan anak ikan, contohnya induk ikan Toman dengan berat kurang lebih 5 kg atau induk ikan Tampahas dengan berat kurang lebih 50 kg atau ikan yang masih berukuran kecil (anak ikan) tidak boleh ditangkap. Masyarakat meyakini bahwa penangkapan induk dan anak ikan akan menurunkan hasil tangkapan.

5.2.1.3 Penataan Pilihan Kolektif

Penataan pilihan kolektif memberikan perhatian pada tingkat partisipasi individu atau anggota masyarakat dalam menyusun dan merevisi aturan operasional.Damang Sebangau mengungkapkan bahwa aturan adat yang berlaku saat ini merupakan hasil rapat besar perdamaian di Tumbang Anoi tahun 189460.Aturan ini terdiri dari 96 pasal yang merupakan pokok-pokok hukum adat yang terkait permasalahan perkawinan dan lingkungan.Sampai saat ini belum ada rapat yang membahas penyusunan atau merevisi aturan operasional terkait pemanfaatan sumberdaya alam61.

5.2.1.4 Pengawasan dan Penegakannya

Dalam aturan adat Kedamangan tidak ada petugas khusus yang mengawasi jalannya aturan.Pengawasan dibebankan pada pemilik atau penguasa sungei dan saka.Penegakan aturan bersifat pasif artinya penegakan aturan menunggu pengaduan dari pihak yang berkonflik kepada Damang ketua adat.Selama ini belum pernah terjadi konflik diantara para nelayandalam memanfaatkan sumberdaya TNS. Hal ini dikarenakan :pertama, nelayan mempunyai latar belakang suku yang sama atau bersifat homogen yaitu suku Dayak Ngaju. Kedua, nelayan yang umumnya masyarakat Dayak Ngaju, memegang filosofi “belom

bahandat” yang menjunjung tinggi kedamaian, keseimbangan dan

kesejahteraan.Ketiga, mereka mengetahui, memahami dan menerima aturan secara jelas maka kelembagaan menjadi lebih efektif.

5.2.1.5 Pengaturan Sanksi

Dalam sistem aturan adat Dayakdiatur mengenai sanksi adat.Sanksi merupakan alat pemaksa agar seorang warga mentaati norma-norma yang berlaku.Sanksi aturan adat Dayak berupa “jipen” atau“singer62”.Sanksi inidiatur dalam hukum adat Dayak hasil rapat besar perdamaian di Tumbang Anoi tahun 1894. Masyarakat Dayak meyakini bahwa setiap pelanggaran aturan adat akanmengakibatkan ketidakseimbangan, dan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan. Oleh karena itu setiap pelanggaran aturan adat harus diberi sanksi baik berupajipenatausingeryang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan keseimbangan.Menutut Diansyah (2011:73) kehidupan yang damai, seimbang dan

60

Wawancara dengan Basel (Damang Sebangau) dan Sabran (Sekretaris Damang Sebangau) pada tanggal 9 Februari 2013.

61

Wawancara dengan Damang Sebangau bahwa WWF Indonesia Kalteng sedang memfasilitasi untuk penyusunan aturan adat terkait sumberdaya lingkungan.

62

lestari merupakan cita-cita masyarakat Dayak yang merupakan perwujudan dari filosofi “belom bahadat”.Dalam filosofi ini terdapat tiga konsep harmonis, yaitu: (1) harmonis hubungan antara sesama manusia, baik perorangan maupun dengan kelompoknya, (2) harmonis hubungan manusia dengan alam lingkungan, dan (3) harmonis hubungan antara manusia dengan dunia gaib atau arwah leluhur. Berdasarkan filosofi ini masyarakat mempunyai tiga konsep perilaku yaitumikeh,

mahamen,danmangalah63. Ketiga konsep perilaku ini merupakan keseimbangan

perasaan yang menghormati dan menghargai terhadap sesama, sehingga tercapai suasana tertib, aman dan damai (ruhui rahayutuntung tulus).

Berbagai jenis sanksi jipen atau singer yang masih berlaku di masyarakat Dayak dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu :

1) Mengganti kerugian dalam berbagai bentuk.Contohnya pembayaran uang adat kepada korban, menyerahkan barang berupa guci, gong, pisau mandau sebagai pengganti kerugian rohani.

2) Melaksanakan upacara adat. Upacara adat bertujuan untuk membersihkan batin bagi korban, dan membersihkan masyarakat dari segala aib. Upacara adat ini juga merupakan bentuk permohonan maaf dari pelaku kepada para leluhur secara rohaniah.

3) Pengasingan dari masyarakat. Hal ini merupakan bentuk pertangung jawaban secara batiniah dari pelaku atas pelanggaran adat yang dilakukannya.

5.2.1.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik

Selama ini jarang sekali terjadi konflik diantara nelayan, atau antara nelayan dengan pemanfaat sumberdaya lainnya dalam memanfaatkan sumberdaya TNS.Mereka hidup rukun dan damai.Menurut Awang (2006:22), saling menghormati adalah kunci dari keseimbangan hidup masyarakat sekitar TNS.Walau demikian, aturan adat Kedamangan menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan konflik.Bila terjadi konflik diantara nelayan, umumnya lebih diutamakan diselesaikan dengan menggunakan hukum adat.

Dalam hukum adat Dayak dikenal kerapatan adat.Kerapatan adat adalah penegak hukum adat. Damang sebagai kepala adat sekaligus berperan sebagai ketuakerapatan adat. Dalam hukum adat Kedamangan dikenal “hakim

perdamaian adat64”.Hakim perdamaian adat mempunyai kewenangan

memeriksa, menyidik, mengadili dan memberi sanksi terhadap warga yang melanggar hukum adat.

Dalam menjalankan tugasnya dalam bidang penegakan, penuntutan, dan peradilan adat, damang dibantu olehlet adat. Mereka diperlukan karena damang kepala adat tidak berhak untuk mengambil keputusan sendiri, tetapi harus diambil secara musyawarah dalam kerapatan adat.Let adat memiliki peranan sangat penting dalam membantu tugas damang kepala adat. Mereka membantu dalam upaya menghadirkan pihak-pihak yang berkonflik dalam

63

Mikehberarti takut, yaitu takut berbuat salah, takut terhadap ancaman fisik, dan takut terhadap akibat kurang baik dari suatu tindakan.Mahamenberarti malu, yaitu malu berbuat salah.Mangalah

berarti sikap mengalah dalam arti positif, yaitu untuk menghindari dampak yang lebih luas (Diansyah 2011:73).

64

persidangan adat. Mereka juga membantu mengumpulkan keterangan- keterangan dan barang bukti atas suatu tindakan pelanggaran adat.

Penyelesaian konflik dilakukan secara bertingkat.Konflik diselesaikan pada lembaga adat tingkat desa atau mantir terlebih dahulu.Mantir adalah pemimpin adat pada tingkat desa.Iaberperan sebagai pemangku adat desa yang melaksanakan tugas dan fungsi kedamangan. Mantir diangkat untuk membantu tugas damang dalam menegakkan hukum adat pada tingkat desa. Dalam melaksanakan tugasnya mantir harus mendapat petunjuk dari damang.Hakim perdamian pada lembaga adat tingkat desa terdiri dari kepala desa dan beberapa orang yang ditunjuk sebagai anggotalet adattingkat desa. Keputusan yang diambil dalam menyelesaikan konflik tidak boleh sewenang-wenang. Keputusan diambil secara musyawarah.Mantir melakukan mediasi untuk mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang berkonflik. Kedua belah pihak dipertemukan agar masalahnya tidak perlu di selesaikan melalui jalur formal. Apabila putusan lembaga adat desa tidak diterima oleh pihak yang berkonflik, maka proses penyelesaiannya diteruskan ke tingkat lebih tinggi yaitu kedamangan yang berkedudukan di kecamatan. Apabila putusan pada tingkat kedamangan tidak diterima oleh pihak yang berkonflik maka proses penyelesaian dilimpahkan kepada penegak hukum formalyakni kepolisian negara.

5.2.1.7 Pengakuan Untuk Mengelola

Pengakuan untuk mengelola artinya hak dari pengguna atau pemanfaat sumberdaya untuk membuat kelembagaan tidak dilarang oleh pemerintah sebagai pemegang kewenangan (Ostrom 1990).Lembaga adat kedamangan telah diakui oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah.Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.Berdasarkan pasal 10 ayat b Perda ini diatur bahwa hak dan wewenang

damang kepala adat adalah mengelola hak-hak adat, dan atau harta kekayaan

kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat. Hak adat adalah hak untuk hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan wilayah adat kedamangan. Harta kekayaan yang dikuasai oleh adat antara lain tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan yang bukan milik kerabat, milik perorangan, perusahaan dan sebagainya.Namun, kelembagaan adat ini secara formal belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat sebagai pengelola TNS.

5.2.1.8 Aturan yang Berhubungan dengan Aturan yang Lebih Tinggi

Kelembagaan adat Dayak menyelenggarakan tugas dan fungsi secara berjenjang.Pada tingkat nasional disebut “Majelis Adat Dayak Nasional” yang merupakan lembaga adat Dayak tertinggi.Selanjutnya pada tingkat provinsi disebut “Dewan Adat Dayak Provinsi”.Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota disebut “Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota”. Sementara di bawah Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota terdapat “Dewan Adat Dayak Kecamatan”, dan paling rendah adalah “Dewan Adat Dayak Desa” yang berada pada tingkat desa. Majelis dan Dewan Adat Dayak ini berfungsi sebagai lembaga koordinasi, sinkronisasi, komunikasi, pelayanan, pengkajian dan wadah menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dari berbagai tingkatan.

Berdasarkan indikator yang dikembangkan oleh Ostrom (1990), kelembagaan adat Kedamangan mempunyai enam karakteristik yang sesuai dengan indikator Ostrom.Pertama, mempunyai batas-batas yang diatur secara jelas. Bahkan, batas-batas sumberdaya yang digunakan dengan cara sederhana dan murah. Selain batas-batas sumberdaya, batas-batas untuk pemanfaat sumberdaya juga dapat ditentukan dengan mudah. Dengan teridentifikasinya para pemanfaat sumberdaya maka permasalahan ekslusi akan mudah diselesaikan. Hal ini bisa dilihat dari fakta jarang terjadi konflik diantara mereka karena hak kepemilikan jelas dan mereka mengakui dan melindungi hak kepemilikan yang ada.Konflik yang jarang terjadi merupakan indikator tenure security (Aggarwal dan Elbow 2006:8-9).Karakteristik ini sangat penting dalam konteks penguatan kelembagaan formal, karena permasalahan utama kelembagaan formal adalah ketidakmampuannya dalam melakukan ekslusi.Kedua, aturan pemanfaatan dan penyediaan sesuai dengan kondisi setempat.Hal ini disebabkan karena aturan dikembangkan sesuai dengan praktek dan pengalaman nenek moyang mereka secara turun temurun.Pengetahuan masyarakat, praktek atau kebiasaan budaya yang berkembang di masyarakat Kedamangan yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh Scott (2008) disebut dimensi kultural-kognitif yang merupakan salah satu pilar kelembagaan. Manusia berperilaku sangat tergantung bagaimana ia memaknai tentang dunia dan lingkungannya. Oleh karena itu, dimensi kultural- kognitif ini sangat penting untuk dipakai sebagai sumber untuk menyusun aturan.Ketiga, kelembagaan kedamangan juga sudah mengatur tentang sanksi atau dalam bahasa Dayak disebut “jipen” atau “singer”.Kekuatan kelembagaan ini adalah tingkat kepatuhan terhadap sistem aturan adat yang tinggi. Masyarakat Dayak mempunyai keyakinan kuat bahwa setiap pelanggaran aturan adat akan mengakibatkan ketidak seimbangan, dan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan. Meraka meyakini bahwa dunia gaib mempunyai kekuatan di luar kekuatan manusia.Ketika dunia gaib sudah murka maka kekuatan manusia tidak mampu melawannya.Oleh karena itu, mereka takut untuk berbuat kesalahan. Mereka mempunyai norma untuk melakukan suatu tindakan. Hal ini merupakan wujud dimensi normatif yang juga merupakan pilar kelembagaan.Jadi, kepatuhan masyarakat Dayak ini dikarenakan faktor religi yang dimilikinya yang merupakan norma-norma yang harus dipatuhi.Norma-norma ini masih dipatuhi karena mereka mempunyai latar belakang kesukuan yang homogen yaitu suku Dayak.Keempat, mekanisme penyelesaian konflik diutamakan secara musyawarah kekeluargaan.Tokoh masyarakat adat masih dihormati.Dengan mekanisme ini maka penyelesaian menjadi relatif lebih cepat dan murah dibandingkan penyelesaian secara hukum formal.Kelima, aturan adat mendapatkan pengakuan dari masyarakat setempat, dan pemerintah daerah sehingga membuat kelembagaan ini menjadi lebih kuat. Keenam, aturan adat kelembagaan kedamangan mempunyai jaringan kepada aturan yang lebih tinggi yaitu Dewan Adat Dayak mulai tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat nasional.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan adat Kedamangan berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom memenuhi syarat sebagai kelembagaan yang kuat.Kelembagaan ini mendapatkan legitimasi dari masyarakat setempat. Legitimasi masyarakat akan meningkatkan kepatuhan mereka terhadap aturan sehingga kelembagaan dapat ditegakkan secara efektif. Selain itu,

pemanfaatan sumberdaya TNS oleh masyarakat setempat yang berbasis kelembagaan adat Kedamangan mempunyai tiga dimensi baik dimensi kultural- kognitif, regulatif, dan normatif yang merupakan pilar kelembagaan seperti yang telah diuraikan diatas.Ketiga dimensi ini menurut Satria (2009:14) merupakan karakteristik pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat.Pertama, dimensi normatif. Dimensi ini berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses pengelolaan sumberdaya alam. Kedua, dimensi regulatif, yang berisi tata pengelolaan sumberdaya alam.Ketiga, dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal.Ketiga dimensi ini saling terkait. Dimensi normatif akan mempengaruhi dimensi regulatif yang berisi tata aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Tata aturan tersebut dibuat berdasarkan sistem pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat yang merupakan dimensi kognitif.

6 INTERAKSI ANTAR AKTOR DALAM PEMANFAATAN

Dokumen terkait