• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. INTERAKSI ANTAR AKTOR DALAM PEMANFAATAN

6.2 Pola Interaksi Antar Aktor

Sampai saat ini, hanya dua kegiatan pemanfaatan SDA TNS yang didasarkan kelembagaan formal, yaitupemanfaatan jasa ekosistem berupa wisata alam dan karbon.Kegiatan wisata alam telah dikembangkan sejak tahun 2007 yang dilakukan oleh BTNS tanpa keterlibatan swasta. Jadi, di kawasan TNS belum terdapat izin pengusahaan pariwisata alam (IPPA) seperti izin usaha penyediaan jasa wisata alam (IUPJWA), dan izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA).Berdasarkan karakteristik dan potensi sumberdaya, serta aksesibilitasnya TNS mempunyai potensi yang besar sebagai daerah tujuan wisata alam di Propinsi Kalimantan Tengah.Walau demikian, jumlah pengunjung wisata dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini masih kecil (Gambar 6.4).Jumlah wisatawan ke TNS tahun 2007 berjumlah 8 orang dengan PNBP sebesar Rp534 ribu,selanjutnya tahun 2011meningkat menjadi 377 orang dengan PNBP sebesar Rp21 juta. Jumlah kunjungan dan PNBP TNS dari kegiatan ini masih relatif kecil dibandingkan dengan rata-rata jumlah wisatawan dan PNBP TN di Indonesia yaitu berturut-turut 33.242 orang, dan Rp194.985.807,-.

Gambar 6.4 Jumlah kunjungan wisatawan dan PNBP TNS tahun 2007-2011

Di samping pemanfaatan jasa ekosistem berupa wisata alam, potensi sumberdaya TNS yang sudah dikembangkan adalah jasa karbon. Kegiatan ini telah dikembangkan sejak tahun 2010 ketika TNS ditetapkan sebagai lokasi DA REDD+ oleh Kementerian Kehutanan. Kawasan TNS yang dialokasikan untuk kegiatan ini adalah seluas 60.000 hektar.Kegiatan ini merupakan kerjasama antara BTNS dan WWF Indonesia-Sebangau Project.Kerjasama ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara Yayasan WWF Indonesia dan Departemen Kehutanan Nomor 188/DJ-VI/Binprog/1998 yang ditanda-tangani pada tanggal 13 Maret 1998, yang berlaku untuk jangka waktu 25 tahun, serta dapat diperbaharui. Kegiatan pemanfaatan jasa karbon yang dilaksanakan oleh BTNS bekerjasama dengan WWF Indonesia-Sebangau Project belum menghasilkan PNBP.Kewajiban pelaksana kerjasama adalah menyusun laporan secara periodik per 3 (tiga) bulan dan laporan tahunan. Hal ini diatur dalam Pasal 13 Keputusan Menteri Kehutanan No. 390/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kewajiban bagi pelaksana kerjasama untuk menyampaikan laporan merupakan salah satu mekanisme pengawasan atau monitoring kegiatan kerjasama.

Jika jasa ekosistem TNS berupa wisata alam dan karbon telah dikembangkan yang didasarkan pada kelembagaan formal, sebaliknya pemanfaatan TSL yang ada di TNS belum dimanfaatkan. Pemanfaatan TSL terkendala SK Menhut No. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL yang mengatur bahwa pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang.Walau demikian, masyarakat setempat secara de facto telah memanfaatkan TSL yang ada di kawasan TNS, antara lain: ikan, getah jelutung, kulit gemor, rotan, dan burung, karena mereka menggantungkan

8 160 184 477 377 534 9.895 9.726 13.179 21.199 - 100 200 300 400 500 600 - 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m la h W is a ta w a n ( o ra n g ) P N B P ( R p x 1 0 0 0 ) Tahun Jumlah Wisatawan PNBP

hidupnya pada sumberdaya ini. Dalam memanfaatkan sumberdaya ini, mereka menggunakan sistem hak kepemilikan yang masih ditaati sampai saat ini yang diakui dan dilindungi oleh hukum adat Kedamangan (kelembagaan informal). Hak kepemilikan ini umumnya mengatur sungai, karena masyarakat adat dayak umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yang bertempat tinggal di pinggir sungai. Sistem hak kepemilikan nelayan terdiri atas hak kepemilikan komunal (common property rights) dan privat (private property rights).Wilayah yang termasuk hak kepemilikan privat antara lain anak sungai (sungei), cucu sungai (saka), rawa terbuka (padang layap), dan rawa tertutup (datah) yang terhubungkan dengan sumgai-sumgai kecil, dan tatas. Nelayan sebagai penguasa

atas sungeidan atau sakaberhak mengatur serta mengawasi semua orang yang

melakukan kegiatandi sungeidansaka yang dikelolanya.Orang luar dapat menangkap ikan di wilayah privat apabila melakukan ikatan perkawinan, atau melalui kontrak.Interaksi antara nelayan pemilik sungei dan atau sakadengan orang luar yang melakukan kegiatan komersialseperti pemanfaat kulit gemor, dan getah jelutung diatur melalui kontrak.Seperti telah diketahui bahwa sungai dan kanal merupakan sarana transportasi utama dalam pemanfaatan sumberdaya TNS, oleh karenanya orang luar yang melakukan kegiatan di TNS umumnya melakukan kerjasama dengan nelayan pemilik sungai dan atau kanal.Imbalan atau kompensasi yang diberikan orang luar yang melakukan kegiatan komersial kepada pemilik sungeidan atau saka adalah membayarfee.Besarnya kompensasi ini didasarkan pada kesepakatan antara nelayan penguasa sungai dan atau kanal dengan para pemanfaat getah jelutung atau pemanfaat kulit gemor.

Bagi BTNS, pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat ini dianggap tidak sah (illegal) karena mereka tidak mempunyai izin pemanfaatan sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat 1 PP No. 28 Tahun 2011. Akan tetapi aturan ini tidak dapat ditegakkan karena menimbulkan konflik jika ditegakkan, sehingga BTNS selama ini tidak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di atas, kecuali mereka memanfaatkan dengan cara menebang pohon seperti pada kasus pemanfaatan kulit gemor.BTNS melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat.Pola interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS disajikan pada Gambar 6.5.

Potensi jasa air TNS belum dimanfaatkan. Dengan demikian, PNBP TNS hanya bersumber dari kegiatan wisata alam, yaitu Rp21 juta pada tahun 2011. Rasio jumlah PNBP terhadap jumlah biaya pengelolaan TNS68tahun 2011 adalah 0,28%. Jika dikaitkan dengan konsep TN mandiri69, TNS belum memenuhi syarat untuk menjadi TN mandiri yang mensyaratkan biaya operasional dapat dipenuhi minimal 80% dari penerimaannya.

Secara umum, kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS sangat rendah dilihat dari besarnya PNBP. Pemanfaatan sumberdaya TNS yang didasarkan kelembagaan formal yang sudah dimanfaatkan adalah jasa wisata, dan jasa karbon, sedangkan potensi pemanfaatan sumberdaya seperti jasa air, dan TSL belum dimanfaatkan. Sebaliknya pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat

68

Anggaran pengelolaan TNS tahun 2011 adalah Rp. 7,5 milyar. 69

TN mandiri (Kemenhut 2011:x; Ruhyat 2013:73) adalah TN efektif yang dapat menjamin fungsi ekologis dan sosial TN serta diperkuat dengan investasi pemerintah dan swasta untuk pemanfaatan jasa lingkungan yang dari usahanya diperoleh pendapatan paling tidak 80% untuk membiayai pengelolaan TN yang bersangkutan.

masih dianggap melanggar. Hanya satu mekanisme pemanfaatan sumberdaya TNS yang sudah dilakukan yaitu kerjasama antara BTNS dengan WWF, sedangkan mekanisme investasi, kolaborasi, dan devolusi belum dapat dilaksanakan.

Gambar 6.5Interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS

Kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS sangat rendahdisebabkan oleh tiga faktor. Pertama, TNS belum menyiapkan prasyarat utama untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS yaitu sistem zonasi yang telah disyahkan. Hal ini mengakibatkan: (1)BTNS tidak dapat mengembangkan pemanfaatan sumberdaya secara intensif dan menyeluruh, khawatir melanggar peraturan perundangan; (2) tidak ada wilayah (zona) bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara tradisional. Oleh karenanya, menimbulkan konflik antara BTNS dan WWF Indonesia dengan masyarakat setempat.Kedua, Surat Keputusan Menhut No. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu PP 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP 8/1999 tentang Pemanfaatan TSL, PP 28/2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA, UU No. 5/1990, dan UU No. 41/1999. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 447/2003,pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang.Larangan ini menjadi sumber konflik antara BTNSdengan masyarakat setempat dan berakibat pada rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS.Ketiga, adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan TSL akibat

MOU/Perjanjian kerjasama Monitoring Nelayan sebagai penguasa sungai WWF FORMAS Damang Kelompok Pemanfaat Jelutung Kelompok Pemanfaat Gemor Kelembagaan

Informal Kelembagaan Formal

= Bentuk & arah relasi antar aktor

TNS Kontrak Hak Kontrak Monitoring Monitoring

perbedaan penafsiran diantara pegawai BTNS atas istilah ”HHBK“ dengan “TSL“. Penggunaan istilah hasil hutan bukan kayu (HHBK) tumpang tindih dengan istilah tumbuhan dan satwa liar (TSL).Berdasarkan asal usul penggunaannya, istilah HHBK digunakan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sedangkan istilah TSL digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Istilah HHBK dan TSL mempunyai makna yang sama, yaitu merujuk pada sumberdaya hayati baik nabati maupun hewani. Berdasarkan Permenhut No. P.35/2007 tentang HHBK yang dimaksud HHBK adalah:“Hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari

ekosistem hutan”. Sementara berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, TSL terdiri dari

tumbuhan liar dan satwa liar, sedangkan definisi tumbuhan liar adalah“Tumbuhan yang hidup di alam bebas dan/atau dipelihara, yang masih

mempunyai kemurnian jenisnya” (Pasal 1 ayat 6); sedangkan definisi satwa liar

adalah: “semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

dipelihara oleh manusia”(Pasal 1 ayat 7).

Masyarakat yang memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas karena getah jelutung termasuk HHBK yang tidak dilarang70 walaupun mereka tidak mempunyai izin, dan berlokasi di zona yang belum jelas.Sementara, masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena mereka memanfaatkannya dengan cara menebang71. Bila teknik pemanenan yang dipermasalahkan, sebenarnya bambu, gaharudan sagu yang termasuk HHBK juga dipanen dengan cara ditebang. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakjelasan peraturan yang digunakan, jika menggunakan peraturan tentang HHBK seharusnya pemanfaatan gemor dan jelutung tidak dilarang karena sesuai lampiran Permenhut 35/2007, baik gemor maupun jelutung termasuk HHBK.

70

Berdasarkan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi TN, pasal 7 (4): kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisioal meliputi…., pemanfaatan potensi

dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. 71

Petugas menerapkan pasal 50 ayat 3 UU No. 41/1999, yaitu setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin..selain itu dalam konteks pengawetan TSL berdasarkan UU No. 5/1990pasal 21 (1) mengatur bahwa setiap orang dilarang mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati. Upaya pengawetan TN (PP 68/1999) dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan (pasal 44 ayat 1), antara lain: merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya, merusak keindahan alam dan gejala alam, mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan (Pasal 44 ayat 2).

7 DAMPAK KELEMBAGAAN PEMANFAATAN

SUMBERDAYA TNS

Pada bab ini akan dijelaskan dampak kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS. Berdasarkan kerangka kerja analisis kelembagaan dijelaskan bahwa interaksi antar aktor akan menghasilkan dampak pada sumberdaya dan pemanfaat sumberdaya (aktor). Untuk mengevaluasi dampak kelembagaan digunakan dua kategori, yaitu kelestarian sumberdaya dan keadilan bagi masyarakat sekitar TNS.

Dokumen terkait