• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SUMBERDAYA TAMAN NASIONAL

SEBANGAU-KALIMANTAN TENGAH

EDI SULISTYO HERI SUSETYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)
(5)

EDI SULISTYO HERI SUSETYO. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau -Kalimantan Tengah.Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, ARIF SATRIA and ACENG HIDAYAT.

Masalah yang dihadapi dalam mengelola taman nasional di Indonesia adalah terlalu mahalnya biaya untuk mengeluarkan atau membatasi orang yang mengambil manfaat sumberdaya taman nasional, termasuk menjaga batas taman nasional agar tidak dimasuki orang. Dalam situasi seperti ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya taman nasional bersifatopen accesdan karenanya banyak para penunggang gratis (free riders). Sumberdaya taman nasional tergolong common

pool resources (CPRs), yaitu tipe sumberdaya yang bersifat substraktif tinggi

(highsubstractable) dan bersaing (rivalry) dalam memanfaatkannya karena tersedia secara terbatas. Akibatnya, pemanfaatan unit sumberdaya taman nasional oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain. Lebih daripada itu, jika dimanfaatkan secara berlebih akan menimbulkan eksternalitas negatif dan kerusakan pada sistem sumberdaya itu sendiri sehingga terjadi apa yang disebut dengan tragedy of the common. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap kelembagaan informal dalam memperkuat kelembagaan formal untuk mencapai tujuan pengelolaan TNS. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkan tujuan antara sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dan menganalisis aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; (2) mengidentifikasi dan menganalisis interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; (3) mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan-kelemahan kelembagaan formal dalam pemanfaatan sumbedaya TNS; (4) mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan informal dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; dan (5) merumuskan strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS.

(6)

memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas walaupun mereka tidak memiliki ijin sementara masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena pengambilannya dilakukan dengan cara menebang pohonnya.

Saat ini, aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.Pertama, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan formal, yaitu BTNS dan WWF.Para aktor ini memanfaatkan jasa ekosistem berupa wisata dan karbon.Kedua, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan informal, yaitu masyarakat setempat yang terdiri atas para penangkap ikan (nelayan), para pengambil getah jelutung, dan para pengambil kulit gemor.Masyarakat setempat memiliki aturan (kelembagaan) informal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu kelembagaan adat Kedamangan.Berdasarkan kelembagaan adat Kedamangan, para nelayan mempunyai peranan penting dalam pola interaksi antar anggota masyarakat setempat.Para nelayan merupakan penguasa sungai yang mendapatkan legitimasi dari adat Kedamangan, serta diakui dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat adat Kedamangan sehingga kelembagaan adat Kedamangan merupakan kelembagaan yang kuat.

Melalui PP No. 28/2011, Pemerintah memberikan hak kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisonal taman nasional, sekaligus dalam rangka memberdayakannya. Hak untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisional taman nasional ini tidak terbatas pada hak akses dan mengambil sumberdaya berupa HHBK dan perburuan tradisional saja tetapi juga hak mengelola dalam bentuk budidaya tradisional dan hak untuk mengeluarkan yang lain (eksklusi). Dengan demikian, tingkatan kepemilikan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat tradisional setempat adalah

Proprietor” karena mencakup empat strata hak, yaitu hak akses, hak mengambil,

hak mengelola, dan hak mengeluarkan yang lain. Pemberian hak (kewenangan) di zona tradisional taman nasional dari Pemerintah kepada masyarakat ini dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. Strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya taman nasional dalam upaya memecahkan masalah konflik dengan masyarakat setempat di TNS serta tingginya biaya eksklusi adalah melakukan integrasi kelembagaan formal dan informal khususnya di zona tradisional. Pemberian hak dari pemerintah kepada masyarakat setempat untuk mengelola zona tradisional dengan aturan pengelolaannya mengikuti aturan (kelembagaan) informal adat Kedamangan dan secara teknis dilakukan berdasarkan pengetahuan (ekologi) tradisional masyarakat setempat dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi.Implikasinya adalah bahwa BTNS harus segera menyusun dan menetapkan sistem zonasi TNS termasuk di dalamnya zona tradisional yang akan didesentralisasikan kewenangan pengelolaannya kepada masyarakat setempat, melakukan revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/2003, dan perlunya kesamaan tafsiran atas istilah HHBK dan TSL serta pemanfaatannya.

(7)

EDI SULISTYO HERI SUSETYO. Institutional Analysis of the Management of Resource Utilization at Sebangau National Park - Central Kalimantan. Supervised by SAMBAS BASUNI, ARIF SATRIA and ACENG HIDAYAT.

One of the problems in the management of Indonesiannational park management is the difficulty in limiting parties who potentially utilize benefits from the park. Protecting the national park from the people to access the area is almost impossible and relatively costly. This is because, in Indonesia, national park can be considered as a common pool resource facing free riders and overuse problems, leading to resource degradation. This study was conducted to reveal bothinformal and formal institutions in the utilization of national park resources. The specific objectives of the research are: (1) identifying and analyzing actors involved in the utilization of national park resources; (2) identifying and analyzing interactions between actors in the utilization of national park resources; (3) identifying and analyzing the strengthsof formal institutional in the utilization of national park; (4) identifying and analyzing informal institutions in the utilization of national park; and (5) formulating strategies to strengthen institutional arrangements for the utilization of national park resources.

The analysis of formal institutions shows that there are three factors influencing the poor performance of Sebangau National Park (SNP) inutilizing its resources. First, SNP does not have a zoning system as the main requirement of national park management. However, inability toestablisha strongzoning system is a common problem faced by national park in Indonesia. Until 2011 there was only 62% of national park in Indonesia that has established a zoning system. Secondly, the Forestry Ministerial Decree No. 447/2003 on the Administration for Collecting and Trading Wildlife is not in line with higher laws. It is a source of conflict between The Office of Sebangau National Park (BTNS)and local communities; therefore the utilization of wildlife is very poor. Thirdly, overlapping definition between "Non-Timber Forest Product (NTFP)" and "Wildlife (TSL)" has led to the limitation in utilizing SNP resources.

Actors involved in the utilization of Sebangau National Park’s resources can be classified into two groups. First, a group of actors who utilize the resources of SNP based on formal institutions, namely BTNS and the World Wide Fund for Nature (WWF). The actors take advantage of ecosystem services such as tourism and forest carbon. Secondly, a group of peoplewhoutilize the resources of SNP based on informal institutional, namely the local community. The communityconsists of fishermen, jelutung sap collector groups, and gemor skin collector groups.

The local community has rules (informal institutions) in utilizing the resources namelyKedamangan. Based on it, fishermen have an important role in the interaction between members of the local community. They get legitimacy

fromKedamanganto be the river authorities. According to indicator developed by

(8)

not only refer to the rights to enter the area, and enjoy non-subtractive benefits, but more than that, it also includes the rights to utilize subtractive resources such as NTFP, to conduct traditional cultivation, to do limited traditional hunting and to exclude others. Based on the concept of property rights suggested by Ostrom and Schlager, the term "access" in the management of SNP resources is a form of rights transferred from the central government to local user groups or local communities. Granting access to the local community in the traditional zones of SNP is a form of decentralization or devolution. The level of rights granted to the local community in the traditional zone is "proprietors" where someone could have four right namely access, withdrawal, management, and exclusion.

Integrating formal and informal institutions, especially in the traditional zone, is a strategy to strengtheninstitutional arrangement of the utilization of national park resources. This strategy cansolve both conflict with local communities and the high cost of exclusion. Granting rights to the local community to manage traditional zones of SNP usingtheir rules (Kedamangan institution) and based on traditional ecological knowledge can be seen as a form of decentralization or devolution. Thus, The Office of Sebangau National Park (BTNS) must immediately establish zoning systems including traditional zone forlocal communities, propose the revision of the Ministry of Forestry decree No. 447/2003, and make an agreement with local communities on the interpretation of the“NTFP” and “Wildlife”terms as well as the utilization of NTFPs and Wildlife. Keywords: Sebangau National Park, institutional arrangement, traditional zone,

(9)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

SUMBERDAYA TAMAN NASIONAL

SEBANGAU-KALIMANTAN TENGAH

EDI SULISTYO HERI SUSETYO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S

(13)

Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah Nama : Edi Sulistyo Heri Susetyo

NIM : E 361100031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua

Dr Arif Satria, SP, MSi Dr Ir Aceng Hidayat, MT

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr IrBurhanuddin Masy’ud, MS Dr IrDahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya disertasi inidapat diselesaikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada :

1 Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS; Dr. Arif Satria, SP, M.Si; dan Dr. Ir. Aceng Hidayat MT sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dan dorongan semangat yang tiada henti kepada penulis;

2 Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S beserta staf program studi Konservasi Biodiversitas Tropika yang telah memberikan pelayanan studi;

3 Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S; dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS sebagai penguji luar pada prelim lisan; Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S sebagai penguji luar pada ujian tertutup;Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S dan Dr. Bambang Supriyanto, M.Sc sebagai penguji luar pada sidang terbuka;

4 Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan, dan Sekretaris Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar program doktor di IPB;

5 Ir. Suwartono, MM, Ir. Drasospolino, MSc, Ir. Sumantri, Ir. Adib Gunawan, Mas Ir. Djefri Susyafrianto, MM, mBak Ir. Nining Ngudi P, MSi, Ibu Ir. Puspa D. Liman, MSc, Dr. M. Zahrul Muttaqin, dan Ibu Ir. Maryanti Hendro yang selalu memberi dukungan kepada penulis dalam melaksanakan tugas belajar;

6 Semua kolega di BTNS, BKSDA Kalteng, WWF Kalteng, Pemda Kalteng, Pemda Katingan, Kota Palangka Raya, Formas Sebangau, tokoh adat, dan tokoh masyarakat yang telah membantu dalam pengumpulan data; teman-teman KVT dan MEJ angkatan 2010 (Arif, Sri Rahayu, Hery, Gunadi dan Ikwan) serta IPH 2010 (Yayuk, Yano, Tanti, Bejo, Retno, Maya dll);

7 Keluarga besar (Alm) Hery Soeparman(Mas Didik, mBak Anik, mBak Eni & dik Erna);keluarga besar (Alm) Sugimin Pawirowidjono(mBak Gie, mBak Dwi, mBak Tilung, dik Yaya); keluarga besar (Alm) Om Soemardji Priggodigdo, SH (Letkol. Tjahjono Prasetyanto, dik Ira, & dik Budi); Istri tercinta Isti Sunarni, S.Hut; Ananda Sabryna Aditya Putri; Amalia Safitri; dan Fathan Sulistyo Kamil yang telah dengan sabar memberikan dukungan, dan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas belajar.

Akhirnya smoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

(16)
(17)

Halaman

DAFTAR TABEL...xv

DAFTAR GAMBAR...xv

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah...2

1.3 Kerangka Pemikiran...5

1.4 Tujuan Penelitian ...8

1.5 Manfaat Penelitian...8

1.6 Novelty...8

1.7 Struktur Penulisan...8

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Common Pool Resources (CPRs)...9

2.2 Kelembagaan. ...10

2.2.1 Definisi...10

2.2.2 Tingkatan aturan dan analisis kelembagaan...11

2.2.3 Hak kepemilikan...12

2.3 Taman Nasional dan kawasan yang dilindungi...14

2.3.1 Taman Nasional...14

2.3.2 Kawasan yang dilindungi...17

2.3.3 Kawasan Konservasi di Indonesia...19

2.3.4 Tata kelola TN dan kawasan yang dilindugi ...20

2.4 Desentralisasi...21

2.5 Metode Penelitian Kualitatif...22

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu...24

3.2 Pendekatan Penelitian...25

3.3 Kerangka Kerja Analisis Kelembagaan TNS...25

3.4 Data dan Sumber Data...26

3.5 Metode Analisis Data...28

3.5.1 Analisis isi...28

3.5.2 Analisis Aktor...28

3.5.3 Analisis hak kepemilikan...29

4. TAMAN NASIONAL SEBANGAU 4.1 Pengukuhan TNS...30

4.2 Organisasi Balai TNS...32

(18)

4.4 Potensi Pemanfaatan Sumberdaya TNS... 35

4.5 Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar TNS ... 37

5. ATURAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS 5.1 Aturan Formal... 38

5.1.1 Karakteristik dan Kinerja Kelembagaan Formal... 41

5.1.1.1 Batasan sumberdaya dan penggunanya... 41

5.1.1.2 Aturan pemanfaatan dan penyediaan... 42

5.1.1.3 Penataan pilihan kolektif... 44

5.1.1.4 Pengawasan dan penegakannya... 44

5.1.1.5 Pengaturan sanksi... 45

5.1.1.6 Mekanisme penyelesaian konflik... 49

5.1.1.7 Pengakuan untuk mengelola... 50

5.1.1.8 Aturan yang berhubungan dengan aturan yang lebih tinggi... 50

5.2 Aturan Informal... 50

5.2.1 Karakteristik dan kinerja kelembagaan informal... 50

5.2.1.1 Batasan sumberdaya dan penggunanya... 50

5.2.1.2 Aturan pemanfaatan dan penyediaan... 51

5.2.1.3 Penataan pilihan kolektif... 53

5.2.1.4 Pengawasan dan penegakannya... 53

5.2.1.5 Pengaturan sanksi... 53

5.2.1.6 Mekanisme penyelesaian konflik... 54

5.2.1.7 Pengakuan untuk mengelola... 55

5.2.1.8 Aturan yang berhubungan dengan aturan yang lebih tinggi... 55

6. INTERAKSI ANTAR AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS 6.1 Kepentingan dan Kekuatan Aktor... 58

6.1.1 BTNS. ... 58

6.1.2 WWF... 60

6.1.3 Kelompok Nelayan... 61

6.1.4 Kelompok getah jelutung... 62

6.1.5 Kelompok kulit Gemor ... 64

6.1.6 Damang... 65

6.1.7 Formas... 66

(19)

7. DAMPAK KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS

7.1 Kelestarian sumberdaya TNS... 71

7.2 Keadilan... 78

8. STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS... 80

9. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1 Simpulan... 85

9.2 Rekomendasi Kebijakan... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(20)

Halaman

1.1 Skenario Pembangunan TN 2030...4 2.1 Klasifikasi umum jenis barang dan jasa...9 2.2 Hak-hak yang terikat (bundles of rights) dan posisi

pemegang hak...13 2.3 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan yang dilindugi...16 2.4 Matrik kategori kawasan yang dilindungi dan tujuan

pengelolaan...17 2.5 Matrik kategori kawasan konservasi Indonesia dan tujuan

pengelolaan...19 3.1 Data dan informasi yang dikumpulkan sesuai kerangka

kerja penelitian...27 4.1 Sumberdaya manusia dan anggaran BTNS Tahun

2007-2012...33 5.1 Sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya TN

yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990...45 5.2 Sanksi pemanfaatan sumberdaya hutan yang diatur dalam

UU No. 41 Tahun 1999...46 5.3 Sanksi pemanfaatan sumberdaya hutan yang diatur dalam

UU No. 18 Tahun 2013...48 6.1 Kekuatan dan kepentingan aktor dalam pemanfaatan

sumberdaya TNS...59 7.1 Barang bukti pencurian kayu di kawasan TNS Tahun

2006-2012...75 7.2 Realisasi kegiatan rehabilitasi kawasan TNS Tahun

2006-2012...75 7.3 Perbandingan kapasitas organisasi BTNS Tahun 2007 dan

2010...76 7.4 Perubahan kebijakan pengelolaan TN di Indonesia...79

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian...7 2.1 Keterkaitan antara aturan dengan tingkat analisis...12 2.2 Kategori pengelolaan kawasan yang dilindugi dan tingkat

modifikasi lingkungan...18 3.1 Peta TNS, Kalimantan Tengah, Indonesia...24 3.2 Kerangka kerja analisis kelembagaan pemanfaatan

sumberdaya TNS...25 4.1 Struktur Organisasi Balai TNS...32 4.2 Sebaran lahan gambut berdasarkan kelas kedalamannya di

(21)

6.2 Pemanfaatan getah jelutung oleh masyarakat di TNS...63

6.3 Pemanfaatan kulit gemor oleh masyarakat di TNS...65

6.4 Jumlah kunjungan wisatawan dan PNBP TNS Tahun 2007-2011...67

6.5 Interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS...69

7.1 Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2006...71

7.2 Peta udara kawasan TNS tahun 2006...72

7.3 Foto barang bukti pencurian kayu di TNS tahun 2006...72

7.4 Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2010...73

7.5 Foto udara kawasan TNS tahun 2010...74

7.6 Foto hasil kegiatan rehabilitasi kawasan TNS tahun 2010...74

7.7 Perbandingan persepsi masyarakat sekitar terhadap kelembagaan TNS Tahun 2005 dan 2010...77

8.1 Integrasi Aturan Formal dan Informal Pemanfaatan Sumberdaya TNS...81

(22)

AB : Areal Buru

BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BLU : Badan Layanan Umum

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

BUMD : Badan Usahaa Milik Daerah

BTN : Balai Taman Nasional

BTNS : Balai Taman Nasional Sebangau

CPRs : Common Pool Resources

CA : Cagar Alam

CB : Cagar Biosfir

CIMTROP : Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland

DAS : Daerah Aliran Sungai

DA REDD : Demonstration Activity Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation

Ditjen PHKA : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPTNB : Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken

FORMAS : Forum Masyarakat

GRK : Gas Rumah Kaca

HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

IPB : Institut Pertanian Bogor

IPPA : Izin Pemanfaatan Pariwisata Alam

IAD : Institutional Analysis and Development

IUCN : International Union for Conservation of Nature

ICDP : Integrated Conservation development Projects

IPAS : Integrated Protected Area System

IPPA : Izin Pengusahaan Pariwisata Alam IUPJWA : Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam IUPSWA : Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam

KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam

KSA : Kawasan Suaka Alam

KPA : Kawasan Pelestarian Alam

Kemenhut : Kementerian Kehutanan

KSDAHE : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

LAHG : Laboratorium Alam Hutan Gambut

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

PAD : Pendapatan Asli Daerah

Perda : Peraturan Daerah

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

PP : Peraturan Pemerintah

(23)

SM : Suaka Margasatwa

SDA : Sumber Daya Alam

SPTN : Seksi Pengelolaan Taman Nasional SK Menhut : Surat Keputusan Menteri Kehutanan

SSI : Sebangau Sanitra Indah

TSL : Tumbuhan dan Satwa Liar

TN : Taman Nasional

TWA : Taman Wisata Alam

TB : Taman Buru

TAHURA : Taman Hutan Raya

TNC : The Nature Conservancy

TSL : Tumbuhan dan Satwa Liar

UNDP : United Nations Development Programme

UU : Undang-Undang

USAID : United States Agency for International Development

UPT : Unit Pelaksana Teknis

(24)

1. 1 Latar Belakang

Indonesiamempunyaikekayaan sumberdaya alam berupa hutan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga Indonesia disebut sebagai negaramegadiversity(Pratiwi 2008:1). Indonesia mempunyai luas 1,3% dari luas total daratan dunia.Hutan dan perairan Indonesia merupakan habitat bagi kurang lebih 27.500 spesies tumbuhan berbungayang setara 10% dari tumbuhan berbunga di dunia; 515 spesiesmamaliayang merupakan 12% spesies mamalia di dunia; 511 spesiesreptilia yang merupakan 7,3% dari spesies reptilia di dunia; 1.531 spesiesburung yang merupakan 17% spesies burung di dunia; 121 spesieskupu-kupuyang 44% diantaranya merupakan spesiesendemik; serta lebih dari 25% spesiesikan air laut dan air tawar di dunia (Putroet al. 2012:9).

Untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam tersebut di atas, Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan konservasi seluas kurang lebih 27,97 juta hektar, dan 16,32 juta hektar atau 12% diantaranya berfungsi sebagai taman nasional (TN)(Kemenhut 2011:4; Ditjen PHKA 2009:1). Akan tetapi,sumberdaya alam TN di Indonesia saat ini mengalami kerusakan yaitu kurang lebih 1,54 juta hektaratau sebesar 9,5% dari total luas TN. Tingkat kerusakan ini lebih tinggi dibandingkan dengan target kinerja pengelolaan TN tahun 2010-2030 yaitu sebesar kurang dari 1%. Di samping itu,masyarakat sekitar TNyang berjumlah kurang lebih 10,2 juta jiwa dari 48,8 juta tergolong penduduk miskin (Kemenhut 2011: 5).

Beberapa penelitian untuk menyelesaikan permasalahan kerusakan sumberdaya TN sudah dilakukan.Hasil penelitian Soekmadi (2002:209) menunjukkan bahwa sumberdaya TN belum lestari karena TN masih menghadapi konflik antara pengelola TN dengan pemerintah daerah atau dengan masyarakat setempat.Konflik yang terjadi dalam pengelolaan TN disebabkan oleh terbatasdan ketidakpastiannya akses masyarakat setempat (Pratiwi 2008;Allo 2008;Prabowo 2010).Selanjutnya konflik juga terjadi karena kebijakan pemerintah atau kelembagaan formal tidak sesuai kebutuhan masyarakat setempat (Soekmadi 2002:10; Mehring et al.2011), kebijakan pemerintah tidak menjamin kepastian hak dan akses masyarakat setempat (Allo 2008), dan pemerintah tidak mengembangkan prinsip co-ownership yaitu kawasan hutan sebagai milik bersama yang harus dilindungi bersama-sama (Riyanto 2005:251). Di samping menghadapi konflik, TN juga menghadapi keterbatasan sumberdaya manusia, keuangan, dukungan politik, serta keterbatasan sarana prasarana. Berbagai permasalahantersebut diatas menyebabkan kelembagaan formal tidak dapat dilaksanakan secara efektif (Suhaeri 1994; Mehringet al.2011).

(25)

dilarangnya akses masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya TN. Sebaliknya, masyarakat setempat berpotensi sebagai penjaga bahkan ikut mengelola sumberdaya TN apabila hubungan antara pengelola TN dan masyarakat setempat harmonis. Hal ini merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan biaya ekslusi tinggi pengelolaan TN.

Hubungan harmonis antara pengelola TN dan masyarakat setempat dapat dicapai melalui penataan hak kepemilikan yang tepat.Penataan hak kepemilikan yang tepat diyakini mendorong rasa kepedulian dan tindakan bersama masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian sumberdaya TN sehingga biaya eksklusi tinggi yang menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan TN dapat diatasi.Penelitian secara komprehensif antara kelembagaan formal dan informal khususnya tentang pemanfaatan sumberdaya TN penting dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan.Menurut Ruddle (1998) dalam Hidayat (2005:57), kebijakan penguatan kelembagaan artinya kelembagaan informal seharusnya diperkuat dengan cara kelembagaan informal diakui oleh pemerintah. Kelembagaan formal dan informal diharapkan bisa saling melengkapi sehingga sumberdaya TN bisa lestari.

1. 2 Perumusan Masalah

Secara teoritis, permasalahan kerusakan sumberdaya TN berhubungan dengan karakteristik sumberdaya TN sebagai common pool resources(CPRs). CPRs mempunyai dua karakteristik yaitu tingkat subtraktif yang tinggi dan tingkat ekslusi yang sulit.Tingkat substraktif yang tinggiartinya pemanfaatan unit sumberdaya oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain karena unit sumberdaya CPRs yang terbatas.Setiap pemanfaatan unit sumberdaya CPRs yang berlebihan oleh seseorang akan menimbulkan dampak negatif bagi orang lain atau bahkan sistem sumberdaya itu sendiri, hal ini disebut eksternalitas negatif1.Di samping itu, CPRs mempunyai karakteristik tingkat ekslusi yang sulitartinya terlalu sulit atau terlalu mahal biaya mengeluarkan atau membatasi orang-orang yang ingin memanfaatkan unit sumberdaya TNatau dengan kata lain untuk menjaga dan melindungi batas kawasan TN dari orang-orang yang memasuki kawasan TN hampir tidak mungkin,jikapun mungkin membutuhkan biaya yang mahalkarena ukuran sumberdaya TN yang terlalu besar atau manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya TN tidak dapat dibagi-bagi (non divisible) contohnya jasa pengendali banjir, jasa karbon, jasa wisata dan pengatur udara bersih, bahkan manfaat ini senantiasa keluar dari batas-batas fisik TN (Kartodihardjo 2006:8). Oleh sebab itu, sumberdaya TN menghadapi permasalahan para penunggang gratis(free rider)2 dan pemanfaatan yang berlebihan (overuse) yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya.Untuk mengatasi kerusakan sumberdaya TN yang disebabkan perilaku-perilaku

1

Eksternalitas adalah manfaat yang tidak bisa dinikmati sendiri, biaya yang ditanggung orang lain, dan biaya dan manfaat yang tidak diperkirakan sebelumnya sehingga tidak masuk dalam perhitungan pengambil keputusan (Pakpahan 1989:9).

2

(26)

menyimpang seperti penunggang gratis dan pemanfaatan yang berlebihan tersebut diperlukan kelembagaan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan (kelembagaan formal3) Indonesia, sumberdaya TN dimiliki oleh Negara dan dikelola oleh Pemerintah(Kementerian Kehutanan) atau dikenal dengan rezim hak kepemilikan negara “state property regime4”.Akan tetapi, kelembagaan formal mengenai TNyang berlaku saat ini tidak bisa ditegakkan secara efektif sehingga secara de factosumberdaya TN dalam kondisi akses terbuka(open acces) artinyasumberdaya TN seakan tanpa pemilik, orang yang tidak berhak atau para penunggang gratis dapat memanfaatkan sumberdaya TNyang menyebabkan kerusakan sumberdaya TN.Jadi, permasalahan utama pengelolaan sumberdaya TN adalah biaya eksklusi tinggi5.

Pemerintah telah berupaya memperkuat kelembagaan TN melalui kebijakan TN mandiri yaitu pengelolaan TN yang memperkuat aspek pemanfaatan yang menjamin fungsi ekologis dan sosial, dengan cara meningkatkan investasi pemerintah dan swasta sehingga diperoleh pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pengelolaannya paling tidak 80%. (Kemenhut 2011:55).Kebijakan ini merupakan bentuk intensifikasi pengelolaan TN6 oleh pemerintah yang dapat dilihat dari alokasi anggaran dan sumberdaya manusia yang lebih besar.Selain itu, kebijakan ini juga lebih mengutamakan investasi swasta yang pada umumnya manfaatnya banyak dinikmati oleh perorangan atau perusahaan yang modalnya kuat, sebaliknya masyarakat sekitar TN yang jumlahnya banyak dan bergantung pada sumberdaya TN berpotensi menjadi pihak yang terpinggirkan.Kebijakan ini diyakini tidak dapat memperbaiki hubungan antara masyarakat setempat dan pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya TN yang menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat setempat dalam pengelolaan TN.Untuk melaksanakan kebijakan ini pemerintah telah membuat peta jalan pembangunan kehutanan berbasis TN yang mengusulkan tiga skenario seperti disajikan pada Tabel 1.1.

3

Menurut North (1990:36) kelembagaan dapat dibagi menjadi formal dan informal.Kelembagaan formal meliputi aturan politik, aturan ekonomi, kontrak dan perjanjian yang pada umumnya dalam bentuk tertulis.Kelembagaan informal dapat berupa norma-norma sosial, hukum adat, kebiasaan dan adat istiadat yang berkembang secara spontan dan umumnya tidak tertulis.

4

Menurut Bromley (1991:23); Hannaet al. (1996:5)dan Berkes (1996:94-99) dalam pengelolaan sumberdaya alam dikenal 4 rejim: (1) state property regimes; (2) private property regimes; (3) common property regimes; dan (4) non-property regimes (open access).

5

Menurut Pakpahan (1989) biaya eksklusi tinggi adalah biaya untuk mencegah pihak lain memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki seseorang jauh lebih besar dari nilainya. North (1991), biaya transaksi (transaction cost) adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost) yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), serta biaya untuk menetapkan kontrak/perjanjian (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost)

6

(27)

Tabel 1.1Skenario pembangunan TN 2030

2.643,08 1.059, 75 2.044 (5 TN) + 3.557 (45

Kebijakan pemerintah di atas tidak akan mudah direalisasikan.Pertama, kebijakan intensifikasi pengelolaan TN melalui investasi pemerintah, dan swasta membutuhkan sumberdaya manusia dan dana yang besar. Sebaliknya, kemampuan pemerintah saat ini terbatas, dan pembangunan TN sebagai sub fungsi konservasi sumberdaya alam bukan menjadi prioritas pemerintah yang dapat diketahui dari alokasi anggaran untuk pengelolaan 50 TN per tahun yang rata-rata hanya 0,036% dari belanja Negara (Hardansyah 2013:15).Investasi swasta untuk pemanfaatan sumberdaya TN juga tidak mudah direalisasikan. Sampai tahun 2011, pemegang izin pengusahaan pariwisata alam (IPPA) hanya 9 perusahaan yang berlokasi di 5 TN7dan terdapat 11 permohonan IPPA baru yang berlokasi di 6 TN8.Kedua, pola pengelolaan keuangan TN mandiri menggunakan badan layanan umum (BLU9).Pola keuangan ini semakin mempertegas penguatan peran pemerintah dan tidak tepat karena BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan, bukan untuk komersialisasi.Satuan kerja pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan pola BLU jika memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.Hardansyah (2013:102) menunjukkan bahwa Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango belum memenuhi salah satu syarat teknis menjadi BLU, yaitu kinerja keuangannya belum sehat.Anggaran Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango tidak mempunyai korelasi kuat dengan realisasi pendapatan yang dihasilkan, danpendapatan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya pengelolaan TN, yaitu rasio pendapatan dengan biaya pengelolaan TNGGP masih dibawah 1%.

7

3IPPA di TN Bali Barat, 3 IPPA di TN Alas Purwo, 1 IPPA di TN Bromo Tengger Semeru, 1 IPPA di TN. Bukit Barisan Selatan, dan 1 IPPA di TN. Komodo.

8

Permohonan IPPA baru di 6 TN antara lain :TN. Gunung Ceremai, TN. Kep. Seribu, TN. GG Pangrango, TN. G. Halimun Salak, TN. G. Rinjani, dan TN. G. Merbabu.

9

(28)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap pentingnya keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan TN. Sebaliknya, berbagai penelitian telah menunjukkan pentingnya pemerintah mengakomodir atau memberi akses masyarakat setempat dalam pengelolaan TN. Untuk itu, penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan kontribusi penguatan kelembagaan pengelolaan TN dari aspek keterlibatan aktif masyarakat setempat yang umumnya telah mempunyai kelembagaan tradisional atau informal yang kuat. Kelembagaanformal dan informal diharapkan bisa saling melengkapi atau memperkuat sehingga sumberdaya TN bisa dikelola secara lestari.Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah “Sejauhmana kelembagaan informal mampu memperkuat kelembagaan formal dalam mencapai tujuan pengelolaan Taman Nasional Sebangau (TNS)?” Beberapa pertanyaan penelitian yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk menjawab pertanyaan utama tersebut adalah:

1 Siapa sajakah aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS? 2 Bagaimana para aktor tersebut berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya

TNS?

3 Bagaimana kelembagaan formal mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di TNS?

4 Bagaimana kelembagaan informal dalam pengelolaan TN terbentuk dan dijalankan?

5 Bagaimana kelembagaan informal dapat mendukung efektivitas kelembagaan formal dalam pengelolaan TNS?

1. 3 Kerangka Pemikiran

Paradigma pengelolaan TN telah bergeser sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011.Pengelolaan kawasan konservasi yang semula hanya dikelola oleh pemerintah bergeser menjadi pengelolaan bersama, dan yang semula mengutamakan aspek ekologi bergeser ke aspek ekonomi dan sosial budaya.Secara teoritis, perubahan paradigma pengelolaan TN yang dituangkan dalam PP yang merupakan kelembagaan formal ini mempengaruhi perilakumanusia, dan berdampak pada kondisi sumberdaya TN. Untuk melihat dampak perubahan kelembagaan formal bagi perilaku manusia dan kondisi sumberdaya TN, dilakukan analisis kelembagaan yang menggunakan kerangka kerja institutional analysis and development (IAD).Kerangka kerja ini fokus pada pola interaksi perilaku manusia (aktor) dalam memanfaatkan CPRs yang terjadi pada arena aksi yang terbagi menjadi situasi aksi dan para aktor.Pola interaksi akanmenghasilkan kinerja.Arena aksi dipengaruhi oleh aturan, karakteristik fisik sumberdaya, dan karakteristik masyarakat.Untuk itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis isi peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya TN dengan menggunakan analisis isi (content analysis).

(29)

penataan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antara masyarakat setempat dengan sumberdaya TN. Aturan formal hak kepemilikan juga dikaji kesesuaiannya dengan penataan hak kepemilikan informal karena pada umumnya masyarakat setempat telah mempunyai sistem hak kepemilikan tradisional yang telah berlangsung lama.Ketidaksesuaian penataan hak kepemilikan antara kelembagaan formal dan informal akan menimbulkan konflik.

(30)

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian analysis): hak dan kewajiban, larangan-larangan, akses atau hak kepemilikan, otorisasi, mekanisme, aktor,

hambatan-hambatan.

(31)

1. 4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap kelembagaan informal dalam memperkuat kelembagaan formal untuk mencapai tujuan pengelolaan TNS. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkan tujuan antara sebagai berikut:

1 Mengidentifikasi dan menganalisis aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS.

2 Mengidentifikasi dan menganalisis interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS.

3 Mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan-kelemahan kelembagaan formal dalam pemanfaatan sumberdaya TNS.

4 Mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan informal dalam pemanfaatan sumberdaya TNS.

5 Merumuskan strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS.

1. 5 Manfaat Penelitian

Penelitian kelembagaan merupakan rekayasa sosial yang hasilnya berupa suatu preskripsi untuk memecahkan suatu masalah (Pakpahan 1989:2-6).Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan khususnya tentang penguatan kelembagaan pengelolaan TNkepada pemerintah baik pusat maupun daerah, dan khususnya kepada pengelola TNS.

1. 6 Novelty

Penelitian terkait kelembagaan secara terintegrasi antara kelembagaan formal dan informal khususnya yang berbasis hak kepemilikan untuk tatakelola pemanfaatan sumberdaya TN di Indonesia belum pernah dilakukan.Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang hal tersebutyang sangat penting untuk tatakelola pemanfaatan sumberdaya TNS yang berkelanjutan, dan memperkuat teori kelembagaan Ostrom.

1. 7 Struktur Penulisan

(32)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Common Pool Resources(CPRs)

Ostromet al. (1994:6-8) menggolongkan barang dan jasa berdasarkan dua karakteristik penting yaitu tingkat substraktif (substractibility) dan tingkat ekslusi(excludability).Tingkat substraktif artinya berkurangnya ketersediaansumberdaya bagi orang lain akibat pemanfaatan yang dilakukan seseorang sebelumnya. Tingkat ekslusi artinya kemampuan untuk melarang atau membatasi orang-orang yang berpotensi memanfaatkan sumberdaya.Berdasarkan kedua karakteristik di atas, barang dan jasa dibagimenjadi empat jenis yaitupublic

goods, toll goods, common pool resources dan private goods.Klasifikasi umum

jenis barang dan jasa disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasiumum jenis barang dan jasa

Tingkat ekslusi

(excludability)

Tingkat substraktif(subtractability)

Rendah Tinggi

Sulit public goods common-pool resources/goods

Mudah toll goods private goods

Sumber : Ostromet al. (1994: 7)

Common pool resourcesyang disingkat CPRs adalahsistem sumberdaya

(33)

2. 2 Kelembagaan

2.2.1 Definisi

Kasper dan Streit (1998), North (1990), Ostrom (1990), dan Knight (1992) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main.Kasper dan Streit (1998:28) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan yang dibuat manusia untuk membatasi kemungkinan perilaku menyimpang, misalnya perilaku oportunis, dalam berinteraksi dengan yang lainnya. North (1990:3) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam masyarakat, batasan-batasan yang dirancang untuk membentuk interaksi manusia baik dalam politik, ekonomi dan sosial. Ostrom (1990:51) mendefinisikan kelembagaan sebagai seperangkat aturan kerja yang digunakan untuk menentukan seseorang yang berhak membuat keputusan, tindakan yang diperbolehkan atau dibatasi, aturan yang akan digunakan, prosedur yang harus diikuti, informasi yang harus atau tidak harus disediakan, dan sanksi yang akan diberikan kepada seseorang. Knight (1992:2) mendefinisikan kelembagaan sebagai seperangkat aturan yang merupakan struktur interaksi sosial dengan cara-cara tertentu.

Kelembagaan sering juga dipahami sebagai organisasi.Uphoff (1986:8)menjelaskan perbedaan antara kelembagaan dan organisasi, yaitu: (a) Organisasi bukan kelembagaan, (b) Kelembagaan bukan organisasi, dan (c) Organisasi adalah kelembagaan atau sebaliknya kelembagaan adalah organisasi. Uphoff menjelaskan ketiga kategori tersebut dengan mengambil contoh bidang hukum.Perusahaan pengacara termasuk dalam kategori organisasi bukan kelembagaan.Hukum adalah kelembagaan bukan organisasi.Sedangkan pengadilan merupakan organisasi dan juga kelembagaan (atau sebaliknya). North (1990:4) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah aturan main dalam sebuah pertandingan tim olah raga, yang terdiri aturan formal yang tertulis dan juga kode etik yang tidak tertulis yang melengkapi aturan formal yang menentukan cara permainan dilaksanakan. Sedangkan organisasi merupakan tim yang bertujuan mencapai kemenangan dengan cara mengkombinasikan ketrampilan, strategi dan koordinasi dengan cara yang adil dan kadang-kadang dengan cara melanggar aturan. Organisasi merupakan kelompok individu-individu yang diikat oleh beberapa tujuan bersama dalam mencapai tujuannya.

(34)

batasan-batasan formal yang tertulis.North (1990:46), Kasper dan Streit (1998:100-110) membedakan kelembagaan berdasarkan asal aturan itu dibuat.Aturan yang berkembang di dalam suatu kelompok atau masyarakat yang berasal dari pengalaman, contohnya perilaku santun, dan standar etika yang diikuti oleh anggota masyarakatdisebut sebagai kelembagaan internal.Sedangkan aturan yang dibuat dari pihak luar atau secara eksternal melalui tindakan politik dan diberlakukan kepada masyarakat, contohnya aturan hukum yang dikeluarkan oleh DPR atau pemerintah disebut sebagai kelembagaan eksternal.

Tujuan kelembagaanadalah: mengurangi ketidakpastian dengan cara menyediakan struktur kehidupan keseharian yang memandu interaksi manusia (Kasper & Streit 1998:1; North 1990:3; Ostrom 1990:52); mengarahkan perilaku manusia kearah yang diharapkan anggota masyarakat; dan mengurangi perilaku oportunis (Knight 1992:3; Kasper & Streit 1998:28); mengurangi biaya koordinasi, dan membatasi dan menyelesaikan konflik (Kasper & Streit 1998:92);dan secara adil membagi keuntungan ekonomi diantara para aktor ekonomi (Libecap 1989).Kelembagaan harus ditegakkan dengan sanksi bagi yang menyimpang atau melanggar,kelembagaan tanpa adanya sanksi tidak ada gunanya(Kasper & Streit 1998:93).

Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud kelembagaan dalam penelitian ini adalah aturan main (rules of the game) baik formal maupun informal yang bertujuan untuk meningkatkan kepastian dan memprediksi interaksi diantara manusia dengan mendefinisikan secara jelas batasan-batasan tindakan yang sahyang dapat membebaskan perilaku oportunistik dan perilaku tidak produktif lainnya.

2.2.2 Tingkatan Aturan dan Analisis Kelembagaan

Menurut Ostrom (1990:52); Polski dan Ostrom (1999:19); Rudd (2003:116) ada tiga tingkat aturan yang secara komulatif mempengaruhi tindakan, dan hasil yang diperoleh dalam situasi kebijakan tertentu(lihat Gambar 2.1). Pertama, tingkat operasional (operational rules)yaitu aturan yang secara langsung mempengaruhi keputusan sehari-hari yang dibuat oleh pengguna sumberdaya alam tentang waktu, tempat,dan cara mengambil unit sumberdaya; menentukan pihak yang bertanggung jawab untuk memonitor dan pihak-pihak yang dimonitor; jenis informasi yang seharusnya diberikan atau tidak diberikan; dan jenis sanksi atau penghargaan yang diberikan bagi mereka yang melanggar atau yang mematuhi aturan. Kedua, tingkat pilihan kolektif(collective-choice rules)yaitu aturan yang menentukan jenis aturan yang dipilih untuk mengelola sumberdaya alam, aturan pada tingkat ini mempengaruhi aturan operasional secara tidak langsung.Ketiga, tingkat konstitusi (constitutional-choice rules)yaitu aturan yang menentukan pihak yang berhak, dan menentukan aturan yang digunakan untuk membuat seperangkat aturan pada tingkat pilihan kolektif.

(35)

(governance), pengadilan (adjudication), dan perubahan (modification) keputusan secara konstitusional dilakukan pada tingkat konstitusional (constitutional level).

Sumber : Ostrom (1990:53)

Gambar 2.1 Keterkaitan antara aturan dengan tingkat analisis

2.2.3 Hak Kepemilikan

Sistem hak kepemilikan merupakan bagian dari kelembagaan masyarakat yaitu norma dan aturan main, yang dirancang untuk membatasi perilaku manusia dalam berinteraksi (North 1990; Hanna et al. 1996:1). Hanna et al. (1996:2) meyakini pentingnya peranan hak kepemilikan dalam pencapaian kelestarian lingkungan.Bromley (1992:4) membedakan pengertian antara property dengan

property rights.Propertydidefinisikan sebagai klaim terhadap aliran manfaat, dan

property rights adalah klaim untuk memanfaatkan dan mengendalikan

sumberdaya secara sah, dimana negara mengakui dan melindunginya dengan mewajibkan bagi orang lain untuk menghormatinya. Hak (rights) berhubungan juga dengan kewajiban (duties). Permasalahan akses terbukapengelolaan sumberdaya dikarenakan ada hak untuk memanfaatkan, tetapi tidak ada kewajiban bagi para pengguna untuk menahan diri dalam memanfaatkan.

Property merupakan hak yang harus ditegakkan/dihormati oleh pihak lain, maka

property merupakan kelembagaan/aturan main yang penegakannya memerlukan

badan/lembaga yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut. Bromley (1992:4) lebih melihat property bukan sebuah objek tetapi merupakan hubungan sosial yang menentukan pemegang sumberdaya berkaitan dengan sesuatu nilai terhadap semua orang lain. Dengan demikian, property merupakan hubungan sosial antara aliran manfaat, pemegang hak dan pengemban tugas.

Schlager dan Ostrom (1999:254) mengatakan bahwa hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam dapat ditentukan secara de jure dan de facto.Hak kepemilikan secara de jure adalah hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam yang dijamin secara hukum oleh pemerintah.Pemagang hak ini dapat berbentuk badan pemerintah, perusahaan swasta atau perorangan.Sedangkan hak kepemilikan secara de facto adalah hak yang biasanya dibuat oleh pengguna

Pemanfaatan Pemeliharaan Pengawasan Penegakan aturan Aturan Konstitusi Pilihan kolektif Operasional

Tingkat

analisis Konstitusi Pilihan kolektif Operasional

Proses : Penyusunan Tata-kelola Pengadilan Perubahan

Pembuatan kebijakan Pengelolaan

(36)

sumberdaya alam atau anggota masyarakat terhadap suatu sumberdaya tertentu.Hak ini biasanya berdasarkan norma-norma sosial, hukum adat dan nilai-nilai budaya yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Hak ini biasanya efektif dalam kelompok kecil dan akan tetap bertahan sepanjang didukung oleh kelompok dan atau diakui oleh otoritas negara. Ostrom dan Schlager (1996:130) mengklasifikasikan kepemilikan terhadap sumberdaya alam kedalam 5 jenis hak yaitu: akses (access), pemanfaatan (withdrawal), pengelolaan (management), eklusi(exclusion),dan pengalihan(alienation)seperti disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Hak-hak yang terikat (bundles of rights) dan posisi pemegang hak

Strata Hak

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996:133)

Hak akses adalah hak memasuki kawasan yang secara fisik terdefinisikan dan menikmati manfaat non-subtraktif,contohnya: seseorang yang membayar untuk memasuki TNdapat menikmati jasa wisata yang dihasilkan kawasan TN.Selama di TN, mereka telah membeli hak sementara untuk memasuki dan menikmati berbagai manfaat didalamnya selama tidak dianggap melanggar batasan yang berlaku. Hak mereka dilindungi oleh aturan sehingga pengguna TN lainnya mempunyai kewajiban untuk tidak mengganggu hak tersebut.

Hak pemanfaatanadalah hak memasuki kawasan secara fisik dan memperoleh unit sumberdaya atau hasil dari sistem sumberdaya. Pengguna sumberdaya yang memegang hak ini mempunyai kewenangan untuk melakukan pemanenan unit sumberdaya pada lokasi tertentu. Pemegang hakpemanfaatan tidak hanya mempunyai hak untuk memasuki kawasan TN tetapi juga mempunyai hak untuk memanen hasil hutan. Hak pengelolaanadalah hak mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya dengan membuat perbaikan sumberdaya tersebut. Hak ini juga termasuk hak untuk memodifikasi dan merubahnya. Hak ini misalnya hak untuk membatasi jenis-jenis hasil hutan yang boleh dipanen, peralatan/teknologi yang diizinkan untuk melakukan pemanenan, dan ukuran pohon atau hewan yang boleh dipanen. Pemegang hak pengelolaan mempunyai kewenangan menentukan cara, waktu, dan tempat dalam memanfaatkan sumberdaya.

(37)

dialihkan,contohnya: hak untuk menentukan kelompok masyarakat yang diizinkan memasuki atau melakukan pemanenan di dalam kawasan hutan. Hak pengalihan adalahhak untuk mengalihkan atau memindah-tangankan sebagaian atau seluruh hak pengelolaan dan hak ekslusi terhadap individu atau kelompok lainnya. Mengalihkan hak dapat berarti menjual atau menyewakan hak pengelolaan dan atau hak ekslusi. Individu yang telah mengalihkan haknya maka tidak akan memiliki kewenangan terhadap sumberdaya lagi.

Berdasarkan hak-hak tersebut, Ostrom dan Schlager (1996:133) membagi pemegang hak sumberdaya alam menjadi lima kelas: authorized entrant,

authorized users, claimants, proprietor dan owner. Authorized entrant adalah

pengguna sumberdaya yang hanya memiliki hak akses.Authorized usersadalah pengguna sumberdaya yang secara bersamaan memiliki kedua hak yaitu hakakses dan hak pemanfaatan.Claimantsadalah pengguna sumberdaya yang memiliki tiga hak yaitu hak akses,hak pemanfaatan, dan hak pengelolaan. Proprietor adalah pengguna sumberdaya yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eklsusi, tetapi tidak mempunyai hak mengalihkan.Owner memegang hak akses,hak pemanfaatan,hakpengelolaan,hak eklusi dan mengalihkan hak mereka.

2. 3 Taman Nasional dan Kawasan yang dilindungi

2.3.1 Taman Nasional

Konsep TN di Indonesia dipengaruhi oleh konsep TN yang dikembangkan IUCN yang mengadopsi TN Yellowstone di Wyoming, Amerika Serikat10yang merupakan TN pertama di dunia yang berdiri tahun 1872 (Mackinnon et al. 1986:3; Nepal & Weber 1995:1; Lu et al. 2005:418; Chape et al. 2005:444; Damayanti 2008:1). Konsep pembangunan TN di Amerika Serikat bertujuan melindungi satwa liar dan keindahan alam, merupakan kawasan yang luas, mempunyai keindahan alam, dimiliki dan dikelola oleh pemerintah pusat, serta tidak ditempati oleh manusia (Lu et al. 2005:418; McNeely 1994; Saalismaa 2000:8). Konsep ini mempengaruhi perkembangan kawasan yang dilindungi di dunia (Sudradjat & Koesno 1988:2; Jepson & Whittaker 2002:137; Dorji 2009:1).Setelah perang dunia ke-2, hampir semua negara berkembang membangun kawasan yang dilindungi mengadopsi model Yellowstone, dan pembangunan kawasan yang dilindungi semakin pesat sejak konsep TN diadopsi dalam sidang umum IUCN tahun 1969 di New Delhi(Damayanti 2008:2). Definisi TN11berdasarkan sidang umum IUCN di New Delhi adalah:

Kawasan yang relatif luas merupakan (1) tempat satu atau beberapa ekosistem yang secara material tidak boleh dirubah oleh perambahan dan eksploitasi manusia, tempat spesies tumbuhan dan hewan, secara geomorfologi dan habitat

10

Negara-negara yang mendirikan TN setelah Amerika Serikat, yaitu: Australia (1879), Canada (1885), New Zaeland (1894), Swedia (1909), Swiss (1914), Mexico (1917), beberapa negara jajahan Eropa di Afrika (Afrika Selatan,1892; Rwanda, 1925; Madagaskar,1927; dan Kenya, 1935); Chili (1931), Argentina (1934), Ekuador (1935); dan beberapa negara jajahan Inggris di Afrika Timur (1948-1951).

11

(38)

ilmu pengetahuan khusus, pendidikan dan kepentingan rekreasi atau terdiri dari bentang alam yang indah, dan (2) tempat otoritas tertinggi negara mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau menghilangkan secepatnya kemungkinan perambahan dan eksploitasi di semua kawasan dan untuk menegakkan secara efektif kepedulian terhadap ekologi, geomorfologi, atau fitur indah; dan (3) tempat pengunjung memasuki, pada kondisi tertentu, untuk inspirasi, pendidikan, budaya and tujuan rekreasi”.

Konsep pengelolaan TN di atas dicirikan oleh tidak adanya peran masyarakat setempat, TN seakan menjadi sebuah pulau yang terisolasi “isolated islands”. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan tradisional atau pendekatan preservasi (a preservationist approach).Pendekatan ini gagal menyelesaikan konflik antara TN dengan masyarakat setempat di negara-negara berkembang.Pendekatan ini mendapatkan kritik pada kongres TN sedunia ke-3 yang dilaksanakan di Bali, Indonesia tahun 1982 (MacKinnon et al. 1986).Kongres TN sedunia ke-3 di Bali selanjutnya merumuskan konsep baru pengelolaan TN yaitu pembangunan kawasan yang dilindungi menjadi komponen penting dalam pembangunan berkelanjutan, memberikan perhatian yang besar terhadap keberadaan masyarakat sekitar, manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem, perlunya keterlibatan masyarakat setempat dalam kegiatan konservasi, kerjasama dengan sektor-sektor lainnya, dan memperhatikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Saalisma 2000:10; IUCN 2010:6). Pentingnya masyarakat sekitar dalam pengelolaan TN semakin mendapatkan perhatian dalam kongres TN sedunia ke-4 tahun 1992 di Caracas,Venezuelayang mempunyai slogan “Parks for Life”. Pemerintah perlumengakui kebutuhan dan aspirasi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang dilindungi (IUCN 1993; Weeks & Mehta 2004: 255). Dalam kongres ini dikeluarkan kategori baru pengelolaan kawasan yang dilindungi yaitu kategori VI: kawasan yang dilindungi dengan tujuan pokok untuk pemanfaatan ekosistem secara lestari (IUCN 1994:9;Locke & Dearden 2005:2; Dorji 2009:1). Selanjutnya IUCN melakukan revisi terhadap definisi TN, yaitu :

“Kawasan alami baik darat dan atau laut untuk tujuan (a) perlindungan kekompakan ekologi dari satu atau lebih ekosistem baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang, (b) melarang eksploitasi dan tindakan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan, dan (c) menyediakan landasan untuk spritual, keilmuan, pendidikan, rekreasi, dan kesempatan kepada pengunjung, yang semuanya harus kompatibel baik secara lingkungan maupun budaya” (IUCN 1994:19).

(39)

Tabel 2.3 Pergeserankonsep pengelolaan kawasan yang dilindungi

Topik Konsep lama Konsep baru

Tujuan • hanya untuk tujuan konservasi

• utamanya untuk perlindungan

• mencakup juga nilai budaya dari sifat liar yang dilindungi

also about restoration,

rehabilitation and social-economic purposes

Pengelolaan • oleh pemerintah pusat • melibatkan para pihak yang berkepentingan

• dikelola seperti “pulau biologi

• direncanakan dan dikembangkan

Persepsi • dipandang utamanya sebagai asset nasional (milik pemerintah) Pendanaan • dibayarkan hanya dari pajak

(taxpayer) pemerintah

• dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya alam

Perkembangan TN di Indonesia diawali dengan diumumkannya 5 TN pertama pada tahun 198012 (Sumardja et al. 1982:215; Sudradjat & Koesno

12

(40)

1988:2; Widada et al. 2006:93), yaitu Gunung Leuser, Gede Pangrango, Ujung Kulon, Baluran, dan Komodo. Selanjutnya pada tahun 1982 bertepatan dilaksanakannya kongres TN se-dunia ke-3 di Bali, dibentuk 11 TN lainnyayaitu : Bromo Tengger, Lore Lindu, Kutai, Bali Barat, Barisan Selatan, Meru Betiri, Dumoga Bone, Manusela, Tanjung Puting, Kerinci Seblat, dan Kepulauan Seribu (Sumardja et al. 1982:222). Sampai saat ini jumlah TN di Indonesia adalah 50 unit atau 9,6% jumlah hutan konservasi di Indonesia, dengan luas 16,4 juta hektar atau 60,39% luas hutan konservasi Indonesia13(Kemenhut 2012:1).

2.3.2 Kawasan yang dilindungi

Definisi kawasan yang dilindungi (protected area)umumnya mengacu pada definisi yang dikembangkan oleh organisasi internasional untuk perlindungan alam yaitu IUCN14 (International Union for Conservation of

Nature).Definisi kawasan yang dilindungi menurut IUCN (1994:7) adalah:Suatu

areal atau kawasan baik daratan maupun lautan yang berfungsi secara khusus untuk perlindungan keanekaragaman hayati, dan alam yang terkait dengan

budaya serta dikelola secara resmi atau cara-cara efektif lainnya”.

Berdasarkan IUCN, terdapat 9 tujuan utama kawasan yang dilindungi, yaitu: (1) Penelitian untuk ilmu pengetahuan (scientific research), (2) Perlindungan kehidupan liar (wilderness protection), (3) Perlindungan keanekaragaman jenis dan genetik (preservation of species and genetic diversity), (4) Pemeliharaan jasa lingkungan (maintenance of environmental services), (5) perlindungan fitur budaya dan alam yang khas (protection of specific natural and cultural features), (6) Rekreasi dan pariwisata (tourism and recreation), (7) Pendidikan (education), (8) Pemanfaatan sumberdaya secara lestari (sustainable use of resources from natural ecosystems), dan (9) Perlindungan tradisi dan budaya (maintenance of cultural and traditional attributes).IUCN mengembangkan 6 kategori pengelolaan kawasan yang dilindungi berdasarkan tujuan utamanya seperti disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Matrik kategori kawasan yang dilindungi dan tujuan pengelolaan

Tujuan pengelolaan Kategori pengelolaan menurut IUCN

IA IB II III IV V VI

Penelitian untuk ilmu pengetahuan 1 3 2 2 2 2 3

Perlindungan kehidupan liar 2 1 2 3 3 - 2

Badak Jawa, dan tahun 1923 ditetapkan suaka alam Lorent , pada tahun 1940 didirikan 17 CA. Dr. S.H Kooders dikenal sebagai pelopor perlindungan alam di Hindia Belanda yang pada tahun 1912 mendirikan perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda (Jepson & Whittaker

2002:147). 13

Jumlah kawasan konservasi di Indonesia adalah 521 unit yang terdiri CA (43,57%), SM (14,4%), TN (9,6%), TWA (22,07%), Tahura (4,41%), TB (2,5%), dan KSA lainnya (3,45%). Sedangkan luas kawasan konservasi di Indonesia adalah 27,1 juta hektar, yang terdiri CA (15,16%), SM (18,55%), TN (60,39%), TWA (2,76%), Tahura (1,3%), TB (0,82%), dan KSA lainnya (1,02%) (Kemenhut 2012:1).

14

(41)

Tujuan pengelolaan Kategori pengelolaan menurut IUCN

IA IB II III IV V VI

Perlindungan keanekaragaman jenis dan

genetic 1 2 1 1 1 2 1

Pemeliharaan jasa lingkungan 2 1 1 - 1 2 1

Perlindungan alam dan budaya yang

khas - - 2 1 3 1 3

Rekreasi dan pariwisata - 2 1 1 3 1 3

Pendidikan - - 2 2 2 2 3

Pemanfaatan sumberdaya alam secara

lestari - 3 3 - 2 2 1

Pemeliharaan budaya/tradisi - - - 1 2

Sumber : IUCN (1994:8)

Catatan: IA: Strict Nature Reserve; IB: Wilderness Area; II: National Park; III: Natural Monument; IV:Habitat/Species Management Area; V: Protected Landscape/Seascpae; VI: Managed resources protected Area; 1:tujuan pertama; 2:tujuan kedua, 3:potensial untuk dapat diterapkan; - : tidak dapat diterapkan.

Tingkatan kategori pengelolaan kawasan yang dilindungi yang dikembangkan IUCN menunjukkan tingkat campur tangan manusia.Kategori I sampai dengan III dikelola secara sangat alami artinya campur tangan manusia secara langsung dan modifikasi lingkungan sangat dibatasi, sedangkan pada kategori IV, V, dan VI campur tangan manusia dan modifikasi lingkungan dapat dilakukan lebih besar. Phillips (2002:9) dan Dudley (2008:24) menggambarkan hubungan antara kategori pengelolaan kawasan yang dilindungi dan tingkat modifikasi lingkungan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Sumber: Phillips (2002:9), dan Dudley (2008:24)

Gambar 2.2 Kategori pengelolaan kawasan yang dilindungi dan tingkat modifikasi lingkungan

Kondisi lebih alami Kondisi kurang alami Garis yang

menunjukkan tingkat modifikasi lingkungan

Ia/Ib

II/III

IV VII

V

Kategori pengelolaan kawasan konservasi IUCN

(42)

2.3.3 Kawasan Konservasi di Indonesia

Sistem konservasi yang sedang dilaksanakan di Indonesia sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam Strategi Konservasi Dunia (World

Conservation Strategy)15yang pada dasarnya memuat tiga aspek, yaitu: (1)

perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, (2) pengawetan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi program penangkaran, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (3) menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem oleh manusia secara lestari.

Pemerintah Indonesia pada tahun 1990 mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan undang-undang ini, kawasan konservasi16di Indonesia dibagi dua, yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA), dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).KSA adalah:“Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.”(Pasal 1 ayat 9 UU No. 5 Tahun 1990).Sedangkan KPA adalah:“Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya”(Pasal 1 ayat 13 UU No. 5 Tahun 1990).

KSA dibagi dua, yaitu Cagar Alam (CA), dan Suaka Margasatwa (SM), sedangkan KPA dibagi 3 yaitu Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA), dan Taman wisata alam (TWA).Selain itu, dalam rangka kerjasama internasional, Indonesia juga mengenal Cagar Biosfir (CB).Kategori pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia sesuai dengan kriteria pengelolaan kawasan yang dilindungi IUCN yaitu kategori I sampai dengan VI kecuali kategori V seperti disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Matrik kategori kawasan konservasi Indonesia dan tujuan pengelolaan

Tujuan pengelolaan Kategori pengelolaan kawasan konservasi Indonesia

CA SM TN TAHURA TWA TB CB

Penelitian untuk ilmu pengetahuan 1 2 2 3 3 3 2

Perlindungan kehidupan liar 2 1 2 2 3 2 2

Perlindungan keanekaragaman jenis

dan genetic 1 1 1 2 2 2 2

Pemeliharaan jasa lingkungan 2 2 1 3 3 3 3

Perlindungan alam dan budaya yang

khas - - 2 3 3 3 1

Rekreasi dan pariwisata - 3 1 1 1 1 3

15

Strategi konservasi dunia disusun pada tahun 1980 oleh UNEP (United Nations Environment Progamme) kerjasama dengan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource), dan WWF (1993:x).

16

(43)

Tujuan pengelolaan Kategori pengelolaan kawasan konservasi Indonesia

CA SM TN TAHURA TWA TB CB

Pendidikan 3 3 2 2 2 3 1

Pemanfaatan sumberdaya alam

secara lestari - - 3 - 3 1

-Pemeliharaan budaya/tradisi - - - 2

Sesuai kategori IUCN IA IB II III III IV VI

Sumber :Fathoni (1998:8)

Catatan: IA: Strict Nature Reserve; IB: Wilderness Area; II: National Park; III: Natural Monument; IV:Habitat/Species Management Area; V: Protected Landscape/Seascpae; VI: Managedresources protected Area; 1:tujuan pertama; 2:tujuan kedua, 3:potensial untuk dapat diterapkan; - : tidak dapat diterapkan.

2.3.4 Tata Kelola TN dan Kawasan yang dilindungi

Tata kelola (governance)17adalah proses penetapan, penerapan dan penegakan aturan main. Menurut Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNDP (1999, 2000) dalam Dudley dan Stolton (2008:148) tata kelola adalah kekuasaan, hubungan, hak, tanggung jawab, dan pertanggung-jawaban.Dalam konteks kawasan yang dilindungi, tata kelola mencakup isu-isu mulai dari kebijakan sampai praktek, prilaku sampai makna, investasi sampai dampaknya.Tata kelola sangat penting dalam mencapai tujuan kawasan yang dilindungi secara efektif, penentuan bagi hasil (sharing) biaya dan manfaat atau pengelolaan yang adil, kunci penyelesaian konflik sosial, dan berdampak pada dukungan publik.Terdapat empat tipe tatakelola pengelolaan kawasan yang dilindungi, yaitu:

1 Tata kelola oleh pemerintah (government managed protected areas).Kewenangan, tanggung jawab dan pertanggungjawaban pengelolaan kawasan yang dilindungi, penentuan tujuan, pembuatan dan pelaksanaan rencana pengelolaan, dan sumberdaya dimiliki oleh suatu lembaga pemerintah. Namun, pemerintah dapat mendelegasikan pengelolaan kawasan yang dilindungi kepada organisasi semi otonom (para-statal), LSM, swasta, atau kepada masyarakat.

2 Tata kelola oleh swasta (private protected areas). Kawasan yang dilindungi dimiliki oleh individu, koperasi, LSM atau perusahaan.

3 Tata kelola oleh banyak pihak atau pengelolaan bersama (co-managed protected areas). Pengelolaan bersama didefinisikan sebagai pembagian kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya antara lembaga pemerintah dan masyarakat atau stakeholder lainnya (Pinkerton 1992). Tata kelola bersama ada beberapa bentuk: pengelolaan kolaboratif, kewenangan dan pertanggung jawaban berada pada satu lembaga tetapi dibutuhkan konsultasi atau menginformasikan kepada stakeholder lainnya yang diatur melalui peraturan atau kebijakan.

17

(44)

4 Tata kelola oleh masyarakat (community conserved areas).Kawasan yang dilindungi dimiliki oleh masyarakat setempat yang diatur oleh undang-undang adat atau dengan cara efektif lainnya.

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adalah konsep pengelolaan sumberdaya alam yang memberikan peran tanggung jawab kepada masyarakat untuk memanfaatkan dan melindungi sumberdaya alam (Uphoff 1998). Konsep ini berasal dari sistem pengelolaan yang berkembang di masyarakat setempat dan telah dipraktikkan dalam waktu yang lama, yang didasarkan pada pengetahuan masyarakat setempat, norma dan aturan adat yang berkembang di masyarakat. Banyak kajian menunjukkan bahwa sistem ini mampu mengelola sumberdaya alam secara lestari. Menurut Pomeroy (1994:3), sistem pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat mempunyai beberapa keunggulan, antara lain:

1) Lebih menjamin keterlibatan aktif masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam. Premis yang dibangun dalam sistem ini adalah bahwa manusia mempunyai kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

2) Lebih efektif dan adil. Dalam hal administrasi, dan penegakan aturan, sistem ini lebih murah dibandingkan sistem sentralistik. Masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap sumberdaya alam sehingga mereka lebih bertanggungjawab untuk kelestariannya.

3) Lebih fleksibel, dan mudah dilakukan modifikasi. Sistem yang dibangun umumnya lebih adaptif artinya mudah melakukan perubahan sesuai kondisi lingkungan. Keterlibatan masyarakat dalam menyusun dan melaksanakan aturan akan meningkatkan penerimaan dan kepatuhan terhadap sistem ini.

Definisi dan kriteria kawasan yang dilindungi adalah netral terhadap tipe kepemilikan atau tata kelola.Sumberdaya dari enam kategori kawasan yang dilindungi dapat dimiliki dan atau dikelola oleh lembaga pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi (Dudley & Stolton 2008:148).

2. 4 Desentralisasi

Desentralisasi menurut Ribot (2002:4) didefinisikan sebagai suatu tindakan resmi pemberian kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada aktor-aktor dan organisasi pada tingkatan yang lebih rendah baik secara hierarki kewilayahan (territorial hierarchy) maupun politik-administratif (political-administrative). Kekuasaan oleh Fisher et al. (2000) didefinisikan sebagai kapasitas atau kewenangan untuk mengambil keputusan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Agrawal dan Ostrom (2001:488) mendefinisikan kekuasaan sebagai pemberian hak untuk mengambil keputusan terhadap pengelolaan sumberdaya alam.

Ribot (2002:4) membedakan desentralisasi menjadi dua tipe.Pertama, desentralisasi politik atau disebut juga desentralisasi demokratis (political or

democratic decentralization).Kedua, desentralisasi administratif atau

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Tabel 2.3 Pergeserankonsep pengelolaan kawasan yang dilindungi
Gambar 2.2Kategori pengelolaan kawasan yang dilindungi dan tingkat
Gambar 3.1  Peta Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

3. Pola perlindungan yang digunakan oleh masyarakat marga-marga dalam Suku Kanume adalah sistem Sasi, Totem, dan Tempat Sakral. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan sumberdaya tumbuhan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng yang ditinjau dari segi spesies tumbuhan yang dimanfaatkan,

Kebanyakan rawa gambut mempunyai zona hutan yang terpusat, yang berubah dari hutan yang tinggi dengan tajuk yang tidak rata di bagian luar, serupa dengan hutan Dipterocarpacea

Selain menjadi tempat tinggal, kawasan TNGHS juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yaitu dengan

Faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh marga-marga dalam Suku Kanume yaitu adanya pembagian konsepsi ruang

Faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh marga-marga dalam Suku Kanume yaitu adanya pembagian konsepsi ruang

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik masyarakat pemanfaat desa penyangga Taman Nasional Baluran (TN Baluran) yang memanfaatkan sumberdaya hutan,

KESIMPULAN Pola temporal titik panas hotspot di Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah dari bulan Januari hingga Desember mulai tahun 2001 hingga 2020 terlihat