• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

A. KARAKTERISTIK EMPULUR SAGU

Empulur sagu merupakan salah satu bagian dalam pohon sagu sebagai tempat cadangan makanan, sebagian akan digunakan untuk pembentukan bunga pada akhir pertumbuhannya (Flach 1977). Pada tahap pengolahan sagu, batang sagu yang telah ditebang akan dipotong-potong sepanjang 2.5-3 m dan dihancurkan untuk selanjutnya digunakan pada tahap ekstraksi pati (Ditjen Aninkra-IPB 1978). Empulur sagu yang digunakan pada penelitian ini berasal dari industri rakyat di daerah Cimahpar dalam keadaan basah sehingga dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Setelah dikeringkan empulur sagu digiling menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Tepung empulur sagu

Seperti yang terlihat pada Gambar 7, tepung empulur sagu berwarna kecoklatan. Hal ini menandakan empulur sagu tersebut sudah mengalami browning atau reaksi pencoklatan. Perubahan warna menjadi coklat atau browning ini diduga diakibatkan rentang waktu yang cukup lama antara panen sagu dengan pengolahan pasca panennya dan transportasi empulur sagu yang memungkinkan kondisi untuk terbentuknya reaksi kimiawi seperti browning secara enzimatis. Menurut Eskin et al. (1977) warna coklat pada batang sagu timbul karena jaringannya terluka atau rusak. Kerusakan jaringan dapat terjadi karena perlakuan pasca panen sehingga jaringan akan memar, terpotong, dan rusak. Menurut Safitri et al. (2009), empulur sagu dengan cepat menjadi coklat di sepanjang bagian vaskular dan timbul titik coklat di bagian empulurnya.

Reaksi pencoklatan dapat berlangsung secara enzimatik maupun non enzimatik. Secara enzimatik, reaksi pencoklatan berlangsung dikarenakan adanya enzim fenolase atau polifenolase yang dapat mengkatalisa oksidasi senyawa fenol (Schwimmer 1981). Reaksi pencoklatan ini membentuk peroksida dan hidrogen peroksida yang kemudian mengoksidasi komponen pembawa warna sehingga membentuk warna coklat (Marlette et al. 1960). Joslyn dan Ponting (1951) dalam Handoko (2010) menyatakan bahwa kerusakan pada jaringan akibat pengolahan pasca panen empulur sagu merupakan kerusakan pada protoplasma sel sehingga fenolase terlepas dari organellanya dan menjadi aktif. Apabila fenolase ini kontak dengan udara maka reaksi pencoklatan secara enzimatis dapat terjadi. Warna coklat

16 yang terbentuk berikatan kuat dengan pati empulur sagu sehingga akan berdampak pada penurunan kualitas pati sehingga empulur sagu yang telah dikeringkan selanjutnya disimpan dengan cara dikemas dalam plastik untuk menghindari kontak empulur sagu dengan udara. Intensitas warna coklat ini juga dapat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa fenolik yang dapat berasal dari air yang digunakan selama proses pengolahan pasca panen, sebab menurut Subagyo et al. (1996), wilayah pertumbuhan tanaman sagu sebagian besar berada pada hutan rawa yang dialiri oleh sungai yang berwarna hitam. Sungai yang berwarna hitam memiliki nutrisi yang rendah namun tinggi kandungan senyawa polifenol yang memberikan warna coklat pada air.

Karbohidrat merupakan komponen utama pada empulur sagu, seperti terlihat pada Tabel 3. Komponen utama lainnya dari empulur sagu yaitu air dan serat. Kadar air empulur sagu cukup tinggi, hal ini sangat dipengaruhi oleh kelembaban relatif lingkungan, jumlah air yang ditambahkan selama proses pasca panen, dan juga proses pengeringan empulur sagu. Menurut Hodge dan Osman (1976), gugus hidrofilik pada molekul pati menyebabkan penyerapan air sesuai dengan kelembaban udara di sekitarnya. Pada keadaan normal, pati mengandung air sekitar 12-14%. Hal ini dikarenakan adanya struktur amorf pada pati, struktur amorf tersebut memiliki ikatan antar molekul yang tidak kuat sehingga air mudah masuk meskipun tanpa dilakukan pemanasan. Kandungan air yang tinggi ditambah dengan bagian jaringan yang terluka akibat pemotongan dan penebangan serta kontak dengan udara dapat membantu tumbuhnya mikroba kontaminan (Ditjen Aninkra-IPB 1978).

Tabel 3. Komposisi Proksimat Tepung Empulur Sagu

Parameter Nilai Kadar Air (% basis basah) 14.53

Kadar Abu (% basis kering) 5.16 Kadar Protein (% basis kering) 1.59 Kadar Lemak (% basis kering) 3.72 Kadar Serat (% basis kering) 7.93 Karbohidrat (by diffrence) (% basis kering) 81.60 Kadar Pati (% basis kering) 55.86

Kadar pati tepung empulur sagu yang digunakan pada penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Fuji et al. (1986) yang tersaji pada Tabel 1, demikian pula dengan hasil penelitian Derosya (2010), diperoleh kadar pati sebesar 73%. Akan tetapi, kandungan pati pada empulur sagu yang diteliti oleh Safitri et al. (2009) ialah sebesar 57,25%. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda tergantung dari umur, jenis, dan lingkungan tempat tanaman sagu tersebut tumbuh. Semakin tua umur tanaman sagu maka kandungan pati dalam empulur sagu semakin besar dan pada umur tertentu kandungan pati tersebut akan menurun. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordial bunga.

Empulur sagu terletak di bagian dalam dari batang tanaman sagu. Menurut Burkill (1935), bagian dalam batang sagu yang telah terbuka merupakan bahan yang sangat mudah terfermentasi sehingga dengan beberapa hari penundaan pengolahan setelah penebangan sampai dengan ekstraksinya akan terjadi fermentasi oleh mikroorganisme. Fermentasi ini membentuk asam dan berarti komponen pati dalam empulur sagu berkurang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa waktu dan kondisi penanganan pasca

17 panen empulur sagu memberi pengaruh terhadap kualitas empulur sagu terutama kandungan patinya. Selain dapat berkurang akibat terjadinya fermentasi selama tahap pengolahan pasca panen dan transportasi, pati empulur sagu juga dapat berkurang akibat serangan hewan-hewan perusak seperti tikus dan unggas (Stanton 1977 dalam Handoko 2010). Semua hewan perusak ini juga membantu menghantarkan mikroorganisme kontaminan pada ujung potongan batang sagu, sehingga kandungan pati pada empulur sagu semakin berkurang.

Yamamoto (2004) menjelaskan bahwa kandungan pati tertinggi di dalam empulur berada di sepanjang tahap berbunga dan setelah itu kandungannya berkurang karena tranlokasi menjadi bunga dan buah. Dapat disimpulkan bahwa kandungan pati yang rendah ini pada tepung empulur sagu dapat diakibatkan oleh : (1) waktu dan kondisi pengolahan pasca panen serta transportasi yang memungkinkan batang sagu terfermentasi oleh mikroorganisme, (2) serangan hewan-hewan perusak, dan (3) perbedaan varietas, tingkat kematangan, dan lingkungan tempat sagu tumbuh.

Empulur sagu memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi dan hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fuji et al. (1986), bahwa kadar abu empulur sagu berkisar 4-5%. Kadar abu memperlihatkan komponen mineral atau bahan organik yang tidak ikut terbakar saat bahan organik dibakar. Kandungan mineral empulur sagu dipengaruhi oleh kandungan mineral pada lahan tempat sagu tumbuh. Kandungan unsur makro yaitu Ca, K, dan Mg serta unsur Cu, B, dan Zn yang terdapat pada lahan tempat tanaman sagu tumbuh mempengaruhi jumlah kandungan mineral sagu. Apabila tanaman sagu ditanam di lahan gambut yang memiliki tingkat keasaman tanah yang cukup tinggi maka unsur-unsur mikro yang terdapat dalam tanah membentuk kation-kation dengan asam organik dari asam karboksilat dan fenolat yang terdapat pada lahan gambut (Setiawan et al. 2005). Akibatnya mineral yang dapat diserap oleh tumbuhan sagu juga akan berkurang sehingga kandungan mineral sagupun berkurang.

Kadar lemak empulur sagu yaitu 3.72%, sementara berdasarkan penelitian oleh Fuji et al. (1986) kadar lemak kasar empulur sagu tidak melebihi 0.5%. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya komponen lain yang bukan lemak namun larut dalam pelarut yang digunakan yaitu n-heksana. Menurut Natsir (2004), pelarut n-heksana merupakan senyawa hidrokarbon rantai panjang sehingga gugus nonpolar yang bersifat hidrofob mendominasi sifat senyawa ini. Senyawa lainnya seperti sikloheksana, minyak tanah, dan asam asetat mempunyai kesamaan struktur molekul serta merupakan senyawa karbon sehingga senyawa-senyawa tersebut dapat larut dalam n-heksana. Dengan demikian dimungkinkan kadar lemak yang terdapat di dalam empulur sagu juga berasal dari senyawa nonpolar namun non trigliserida yang larut dalam n-heksana.

Kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks yang menyebabkan amilosa tidak dapat keluar dari granula pati (Sunarti 2007). Keberadaan lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi karena akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Hal ini dapat terlihat dari kekentalan dan kelekatan pati yang berkurang karena jumlah air serapan yang digunakan untuk mengembangkan granula pati berkurang.

Kadar protein tepung empulur sagu penelitian sesuai dengan hasil penelitian Fuji et al. (1986) yaitu 1.06-1.76%. Protein di dalam sagu akan terkoagulasi dan terbuang dalam penyaringan dan dekantasi meskipun jumlahnya 10% di dalam keseluruhan bahan (Howling 1979). Protein tersebut akan terbuang dan sebagian juga larut dalam pati sehingga di dalam pati akan terkandung protein dalam persentase tertentu. Kadar protein yang tinggi pada tepung atau pati baik untuk bahan pangan namun tidak demikian

18 apabila pati atau tepung tersebut digunakan untuk kebutuhan non pangan, sebab dengan semakin meningkatnya jumlah protein maka jumlah kadar pati dalam bahan semakin berkurang.

Kadar protein dalam pati dapat mempengaruhi warna sirup glukosa. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan senyawa amino (asam amino, peptide, dan protein) pada kondisi suhu yang tinggi akan menghasilkan warna coklat atau browning. Reaksi browning ini berlangsung secara non enzimatik (Handoko 2010). Namun reaksi pencoklatan secara non enzimatis tidak hanya terjadi dengan adanya senyawa amino pada protein sebab pada teori aldehid aktif, terjadinya pencoklatan dapat diakibatkan dehidrasi gula yang mengakibatkan terbentuknya aldehid aktif. Hasil dehidrasi gula akan berwarna coklat karena karamelisasi gula sehingga reaksi pencoklatan enzimatis dapat terjadi tanpa adanya protein maupun asam amino (Marlet et al. 1960 dalam Handoko 2010)

Kandungan serat pada tepung empulu sagu lebih tinggi daripada yang terkandung di dalam pati sagu kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu sebesar 0.11%. Hal ini dikarenakan pada pati, empulur sagu telah mengalami proses ekstraksi sehingga serat ikut terpisah dari pati, sedangkan pada empulur sagu serat dan pati belum terpisah. Sama halnya dengan kandungan pati, kandungan serat kasar juga dipengaruhi oleh varietas, umur, dan lingkungan tempat tanaman sagu tumbuh.

Serat mengandung tiga komponen utama, yaitu : selulosa, lignin, dan hemiselulosa dengan perbandingan sekitar 4 : 3: 3 sehingga sering disebut dengan istilah lignoselulosa. Besarnya perbandingan antara ketiga komponen tersebut tergantung pada jenis tanamannya. Selulosa merupakan bagian terbesar dari komponen lignoselulosa tanaman, dapat dicirikan sebagai polimer linier yang memiliki berat molekul tinggi. Ikatan β-1,4 glikosida yang kuat dari selulosa dapat berbentuk kristal mikrofibril, yang kemudian bersama-sama membentuk serat selulosa yang bersifat tidak larut (Winarno 1998).

Hemiselulosa merupakan polimer yang memiliki berat molekul rendah dan monomer gula penyusun yang bervariasi daripada selulosa. Monomer penyusun selulosa ialah glukosa sedangkan hemiselulosa terdiri dari kelompok heksosa, pentosa, asam heksuronat, dan deoksi heksosa. Lignin merupakan polimer fenil propan yang diikat dengan eter sehingga berfungsi sebagai perekat. Lignin merupakan material paling kuat di dalam biomas dan resisten terhadap degradasi baik secara biologis, enzimatis, maupun kimiawi. Lignin memiliki kandungan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan komponen penyusunnya yang lain sehingga menyebabkan lignin memiliki energi yang tinggi. Lignin merupakan perekat antara selulosa dan hemiselulosa sehingga memperkuat struktur lignoselulosa.

Serat kasar didefinisikan sebagai fraksi yang tersisa setelah didigesti dengan larutan asam sulfat (H2SO4) standar dan sodium hidroksida (NaOH) pada kondisi yang terpembanding. Metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua bahan yang larut dalam asam dengan pendidihan dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4). Bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium alkali. Residu yang tidak larut dikenal sebagai serat kasar. Pengukuran kadar serat kasar tidak dapat menentukan jumlah kandungan komponen lignoselulosa yang terdapat di dalam suatu bahan. Metode yang dapat mengukur masing-masing komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin ialah metode Van Soest (1969). Analisa komponen serat dengan metode Van Soest (1969) dilakukan dengan metode NDF (Neutral Detergent Fiber), ADF (Acid Detergent Fiber), dan selulosa.

NDF terdiri dari empat komponen kimia dengan komponen terbesarnya merupakan selulosa dan hemiselulosa. ADF merupakan NDF tanpa hemiselulosa dimana komponen hemiselulosa pada NDF dihilangkan dengan cara mendidihkan hemiselulosa pada asam. NDF terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin sedangkan ADF sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin dan sebagian kecil hemiselulosa

19 dan substansi pektat sehingga dianggap hanya terdiri dari selulosa dan lignin. Hasil uji komponen serat tepung empulur sagu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Serat Tepung Empulur Sagu

Komponen Nilai NDF (% basis kering) 14.51

ADF (% basis kering) 9.79 Selulosa (% basis kering) 2.93 Hemiselulosa (% basis kering) 4.72 Lignin (% basis kering) 6.86

Terdapat perbedaan yang signifikan diantara hasil analisa kadar serat kasar dengan analisa komponen serat dimana jumlah lignoselulosa pada uji serat kasar adalah 7.93% sedangkan pada uji komponen serat, jumlah total lignoselulosa yang merupakan nilai NDF ialah 14.51%. Hal ini dapat dijelaskan sesuai dengan penuturan Simanjuntak (2007) bahwa hemiselulosa lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi komponen monomernya yang terdiri dari D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa dan L-arabinosa. Pelarut yang digunakan untuk hidrolisis pada analisa kadar serat ialah H2SO4. Sesuai dengan penuturan Simanjuntak (2007), bahwa hemiselulosa yang terdapat di dalam tepung empulur sagu terhidrolisis oleh asam sulfat menjadi gula-gula sederhana sehingga larut dan terbuang ketika dilakukan penyaringan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Suparjo (2010) bahwa salah satu kelemahan analisa proksimat ialah data yang kurang tepat terutama untuk analisa kadar serat kasar dikarenakan hemiselulosa dan sebagian lignin menjadi larut dalam larutan asam yang digunakan. Larutnya hemiselulosa dalam larutan asam ini membuat pengukuran komponen serat berkurang dari yang seharusnya dan seperti yang juga diungkapkan oleh Suparjo (2010) bahwa pengukuran serat kasar hanya merupakan pedoman proporsional dalam pakan yang digunakan oleh ternak. Oleh sebab itu pula, diperlukan analisa komponen serat (Van Soest 1969) untuk memperoleh data komponen serat yang lebih akurat.

Berdasarkan uji komponen serat, tepung empulur sagu yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar mengandung lignin (6.86%), hemiselulosa (4.72%), dan selulosa (2.93%). Selulosa dan hemiselulosa dapat dihidrolisis menggunakan enzim menjadi monomer glukosa dan xilosa sehingga dengan konsorsium enzim akan meningkatkan jumlah gula yang terbentuk untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai substrat pada tahap fermentasi. Namun pada bahan empulur sagu ini terkandung lignin yang cukup tinggi yaitu 6.86% jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu oleh Derosya (2010), yaitu 1.40%. Kadar lignin tinggi ini diduga berasal dari tanaman sagu yang masak panen, seperti yang diutarakan oleh Runcang et al. (1998), setelah tanaman sagu berbunga dan berbuah, kadar pati cepat menurun. Selain mengandung pati, pada empulur masak panen terdapat senyawa lignin sebesar 9-22% serta senyawa fenolik <1% (Cecil et al. 1982).

Kandungan lignin yang tinggi dapat menghalangi hidrolisis enzim sebab struktur lignin melekat pada selulosa dan hemiselulosa serta membentuk bagian kristal di bagian luar lignoselulosa sementara komponen selulosa dan hemiselulosa yang akan dihidrolisis berada di dalam struktur kristal lignin tersebut. Agar komponen selulosa dan hemiselulosa dapat dihidrolisis oleh enzim maka komponen lignin ini harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum memasuki tahap hidrolisis enzimatis.

20

B. KARAKTERISTIK ENZIM

Enzim sebagai katalis proses hidrolisis pati memiliki beberapa kelebihan dibandingkan katalis asam, diantaranya adalah reaksi hidrolisis yang terjadi beragam, kondisi proses yang digunakan tidak ekstrim, tingkat konversi tinggi, polutan rendah, dan diperoleh reaksi yang spesifik (Judoamidjojo 1989). Melalui karakterisasi enzim, dapat diketahui suhu dan pH optimum pada saat enzim bekerja sehingga hidrolisis berlangsung pada kondisi optimum enzim. Akitivitas enzim umumnya dinyatakan dengan satuan unit (U). Satu unit menyatakan jumlah enzim yang dibutuhkan untuk mengkatalis substrat dan menghasilkan satu µmol produk per satuan waktu (menit) pada kondisi standar. Kondisi standar adalah dimana enzim bekerja secara optimal, yaitu meliputi pH dan suhu (Chaplin dan Buckle 1990).

Karakterisasi dilakukan pada enzim-enzim yang digunakan baik pada tahap likuifikasi maupun sakarifikasi. Aktivitas enzim alfa amilase yang diperoleh yaitu 6.74 x 102 U/ml pada pH 6 dengan suhu optimum 95oC. Aktivitas enzim dextrozyme, selulase, dan xilanase selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Enzim Amilolitik dan Holoselulolitik

Enzim pH optimum Suhu Optimum Aktivitas (U/ml) Alfa amilase 6 95oC 6.74 x 102 Dextrozyme (AMG dan

Pullulanase)a

4.5 60oC 1.45 x 102

Selulase 5 60oC 4.4 x 102

Xilanase 6 50oC 1.82 x 102

Sumber : aAkyuni (2004)

Berdasarkan hasil uji aktivitas enzim, enzim yang akan digunakan pada tahap likuifikasi ialah enzim α-amilase yang dikondisikan pada pH 6 dan suhu 95oC. Pada tahap sakarifikasi digunakan konsorsium enzim yang terdiri dari dextrozyme, selulase, dan xilanase. Kondisi pH masing-masing enzim berbeda sehingga dikondisikan sesuai pH optimum masing-masing enzim. Dikarenakan suhu optimum kerja masing-masing enzim berada pada suhu 50oC dan 60oC maka suhu optimum kerja konsorsium enzim untuk tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50oC. Hal ini dilakukan karena suhu sangat mempengaruhi kerja enzim, apabila suhu optimum enzim diturunkan maka aktivitasnya akan menurun. Namun, penurunan aktivitas enzim akibat suhunya yang diturunkan tidak sebesar penurunan aktivitas enzim yang kondisi suhunya dinaikkan melebihi suhu optimumnya (Derosya 2010). Makin tinggi suhu maka makin cepat jalannya reaksi. Namun, harus diperhatikan jika katalisator yang dipakai adalah enzim, karena enzim sensitif terhadap suhu tinggi maka jika suhu terlalu tinggi aktivitas enzim akan menurun bahkan enzim dapat rusak (Griffin dan Brooks 1989).

C. PEMANASAN EMPULUR SAGU MENGGUNAKAN GELOMBANG MIKRO

(MICROWAVE)

Secara teknis, hidrolisis enzimatis merupakan reaksi penguraian dengan air melalui bantuan enzim. Sarah (2001) menjelaskan bahwa proses dan analisa yang melibatkan enzim, umumnya menggunakan cara batch yaitu mereaksikan substrat dengan enzim yang sudah dilarutkan dalam air,

21 sehingga enzim bercampur dengan substrat. Dengan demikian, agar enzim dapat bercampur dengan substrat maka substrat terlebih dahulu harus dilarutkan dalam air.

Substrat empulur sagu merupakan substrat yang heterogen dimana di dalamnya mengandung pati dan serat (selulosa dan hemiselulosa). Pati dan serat merupakan komponen polisakarida yang dapat dihidrolisis oleh enzim menjadi monosakarida. Namun hidrolisis enzim tidak dapat langsung dilakukan tanpa pemanasan sebab granula pati tidak larut dalam air dingin (Wirakartakusumah 1981 dalam Widiyanto 1984). Selain itu, penggabungan molekul linier pati (amilosa) dengan molekul bercabang pati (amilopektin) melalui ikatan hidrogen akan membentuk struktur kristalin. Adanya struktur kristalin menghambat penetrasi enzim ke dalam substrat sehingga secara umum pati tidak dapat dicerna oleh enzim.

Volume granula pati akan mengembang jika suspensi pati dan air dipanaskan. Pengembangan volume granula akan meregangkan misella sehingga air akan terperangkap ke dalam granula, granula akan semakin membesar sampai pada suatu keadaan dimana pati kehilangan struktur kristalinnya. Dengan adanya pemanasan maka granula pati yang semula resisten terhadap aktivitas enzim, setelah digelatinisasi maka akan mengembang sehingga mudah dipengaruhi oleh kerja enzim. Pada umumnya pengembangan granula pati terjadi pada suhu 60-70oC (Hodge dan Osman 1976) dan pada suhu yang lebih tinggi maka pati akan mengalami gelatinisasi membentuk pasta atau sol yang tergantung asal dan konsentrasi pati.

Selulosa mengandung ikatan hidrogen intra molekuler yang mempertahankan kekuatan rantai selulosa dan ikatan inter molekul yang menyebabkan rantai selulosa saling berikatan membentuk mikrofibril (Tsao 1978). Bila dibandingkan dengan selulosa, hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis menjadi monomer gula serta lebih siap untuk dicerna oleh enzim (Crowder dan Chheda 1982). Komponen hemiselulosa dan selulosa berikatan kuat dengan lignin yang merupakan fraksi yang sukar dicerna oleh enzim. Lignin merupakan polimer aromatik polifenolat yang terdiri atas unit-unit oksifenilpropana yang tergabung dalam ikatan silang yang kompleks dan memiliki rantai karbon yang panjang sehingga sukar dihidrolisis (McDonnald dan Roderick 1999).

Struktur lignin harus dirusak terlebih dahulu agar selulosa dan hemiselulosa dapat diakses oleh enzim. Menurut Deepak et al. (2010) pemanasan dengan gelombang mikro (microwave) mampu merusak struktur lignin pada empulur sagu dalam paparan waktu yang singkat. Selulosa membutuhkan suhu di atas 100oC untuk dapat tergelatinisasi (Safitri et al. 2009). Akan tetapi pada pemanasan dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit belum dapat dipastikan mampu merusak struktur selulosa sementara dengan pemanasan di atas 150oC warna sampel akan mulai gelap dan terus meningkat dengan naiknya suhu hingga pada suhu 200oC akan terbentuk furfural (Derosya 2010).

Tujuan dari pemanasan sebelum tahap hidrolisis ialah perlakuan yang tidak hanya dapat membuat pati di dalam tepung empulur sagu tergelatinisasi, akan tetapi juga untuk menghilangkan lignin, menghilangkan kristalinitas dan meningkatkan porositas selulosa dan hemiselulosa dalam biomassa. Pemanasan dengan gelombang mikro sebagai perlakuan pendahuluan memiliki keunggulan dibandingkan pemanasan secara konvensional maupun menggunakan otoklaf. Secara fisik, radiasi gelombang mikro memberikan energi berupa pasokan panas internal ke biomassa dengan air sebagai media perpindahan panas sehingga pemanasan akan berlangsung secara merata. Pemanasan yang merata menyebabkan proses gelatinisasi pati berlangsung bersamaan dengan degradasi lignin dan peningkatan porositas selulosa dan hemiselulosa. Laju reaksi pemanasan gelombang mikro 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional. (Kunlan et al. 2001). Hal ini bermanfaat untuk menghindari pembentukan produk samping seperti furfural yang merupakan inhibitor dalam proses fermentasi alkohol.

22 Metode pemanasan menggunakan gelombang mikro melibatkan penerapan radiasi gelombang mikro untuk biomassa pada lingkungan yang berair (slurry). Slurry yang digunakan pada penelitian ini ialah slurry 8%. Pada konsentrasi slurry yang lebih tinggi, energi pemanasan yang dipasok tidak merata sehingga terdapat komponen pati dan serat yang tidak terkena perlakuan pemanasan gelombang mikro sementara pada konsentrasi yang lebih rendah, jumlah air bebas di sekitar lingkungan slurry lebih tinggi dibandingkan pada slurry 8% sehingga akan mengurangi efisiensi penggunaan air (Derosya 2010). Pemanasan dengan gelombang mikro dilakukan pada aras daya (power level) 50% dan 30% sesuai dengan penelitian Derosya (2010) bahwa derajat polimerisasi (DP) dan dextrose equivalent (DE) terbaik diperoleh dari pemanasan dengan gelombang mikro pada aras daya 30% (3 menit) dan 50% (2 menit). Perbandingan sebelum dan sesudah bahan dikenai perlakuan pemanasan dengan gelombang mikro disajikan pada Gambar 8.

Berdasarkan pengamatan secara visual, tampak bahwa pemanasan dengan menggunakan aras

Dokumen terkait