• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

A. LATAR BELAKANG

Kebutuhan masyarakat akan Bahan Bakar Minyak (BBM) sejatinya akan terus menimbulkan permasalahan, kebutuhan yang kian meningkat tidak sepadan dengan ketersediaan bahan bakar fosil yang pada dasarnya bersifat unrenewable. Pengembangan Bahan Bakar Nabati seperti bioetanol merupakan strategi yang tepat guna mengurangi pemakaian BBM yang jumlahnya semakin menipis. Terkait dengan diversifikasi konsumsi bahan nabati sebagai bahan baku bioetanol, harus diperhatikan bahwa konsumsi bahan nabati sebagai bahan baku bioetanol seharusnya tidak sampai mengganggu fungsi utama bahan nabati itu sendiri yaitu sebagai sumber karbohidrat manusia. Artinya, bahan bakar nabati tersebut merupakan sumber karbohidrat yang bersifat non competitive dengan bahan nabati lainnya dalam hal pangan.

Sagu merupakan sumber karbohidrat yang potensial untuk digunakan bahan baku pembuatan bioetanol, dilihat dari luas areal sagu di Indonesia yang saat ini sekitar 51.3% dari luas perkebunan sagu dunia sementara pemanfaatannya di Indonesia saat ini hanya sekitar 4-5% dari potensi produksinya yaitu sekitar 5 juta ton pati kering. Empulur sagu merupakan substrat yang heterogen karena terdiri dari pati dan komponen serat. Komponen serat dapat dikonversi menjadi gula-gula sederhana namun keberadaannya dapat mengurangi efisiensi hidrolisis akibat dari keterbatasan aksesibilitas dari enzim untuk selulosa. Oleh karena itu, perlakuan pendahuluan (pretreatment) menjadi penting dalam meningkatkan efisiensi hidrolisis enzimatik. Pretreatment dengan menggunakan gelombang mikro (microwave) dapat membuat pati tergelatinisasi, menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas dan meningkatkan porositas selulosa dalam biomassa. Hidrolisis enzimatis empulur sagu untuk menghasilkan gula-gula sederhana terdiri dari dua tahap yaitu likuifikasi (α-amilase) dan sakarifikasi (dextrozyme, selulase dan xilanase). Dalam tahap konversi empulur sagu menjadi gula-gula sederhana, dibutuhkan konsorsium enzim dalam tahap sakarifikasi agar komponen serat juga dapat dikonversi menjadi gula-gula sederhana.

Konsentrasi enzim berpengaruh terhadap hidrolisis substrat. Konsentrasi enzim mempengaruhi kinetika reaksi hidrolisis dimana dengan semakin meningkatnya jumlah enzim yang ditambahkan ke dalam substrat maka kinetika enzim dalam menghidrolisis substrat semakin meningkat sehingga jumlah produk yang terbentuk semakin meningkat dan jumlah substrat yang tersisa semakin sedikit. Namun, pada konsentrasi tertentu, aktivitas enzim tidak akan meningkat lagi karena jumlah enzim dalam substrat sudah mengalami kejenuhan.

Microwave pretreatment mempengaruhi karakteristik substrat yang akan dihidrolisis enzim sebab pada dasarnya gelatinisasi setiap jenis pati mempunyai kisaran dan dalam pati itu sendiri tidak hanya berbeda bentuk dan ukuran tetapi juga energi yang diperlukan untuk pengembangan pati. Apabila energi gelombang mikro yang diberikan melebihi jumlah yang dibutuhkan akan mengakibatkan kondisi substrat empulur sagu menjadi rusak dan sifatnya menjadi resisten terhadap enzim yang ditambahkan. Jika demikian, maka penambahan dosis enzim ke dalam substrat tidak akan meningkatkan aktivitas enzim. Melalui peningkatan pemberian konsentrasi enzim dapat diketahui sifat penerimaan empulur sagu terhadap enzim dan melihat apakah metode pemanasan yang diberikan justru membentuk sifat resisten pada empulur sagu. Dengan metode pemanasan yang tepat serta pemberian konsentrasi enzim optimum

2

 

diharapkan akan meningkatkan konsentrasi gula-gula sederhana yang dihasilkan sebagai substrat pada fermentasi bioetanol sehingga juga dapat meningkatkan rendemen bioetanol.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat penerimaan enzim terhadap pemanasan gelombang mikro pada empulur sagu dengan pemberian konsentrasi enzim yang berbeda-beda sehingga dapat ditentukan kombinasi perlakuan pemanasan dan konsentrasi enzim terbaik untuk meningkatkan perolehan gula terfermentasikan (fermentable sugar) yang dimanfaatkan untuk produksi bioetanol.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SAGU (Metroxylon sagu)

1. Botani dan Budidaya Sagu

Sagu adalah tanaman sumber karbohidrat berbiji tunggal yang batangnya menghasilkan sagu. Sagu memiliki daun sirip, menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun kelapa. Daun sagu muda berangsur-angsur berubah menjadi coklat kemerah-merahan apabila sudah tua dan matang. Bunga sagu berbentuk rangkaian yang keluar pada ujung batang. Bunga ini tumbuh didahului dengan tanda mengecilnya daun bendera. Tanaman sagu berbunga pada umur 8-15 tahun, tergantung pada kondisi tanah, tinggi tempat tumbuh dan varietas. Batang pohon sagu dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Batang pohon sagu

Pohon sagu (Metroxylon sp.) berkembang biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Di Maluku dan Papua, pohon sagu tumbuh secara alami tanpa adanya budidaya. Taksonomi tanaman sagu menurut Haryanto dan Pangloli (1992) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermathophyta Ordo : Spadiciflorae Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae Famili : Palmae Genus : Metroxylon

Di kawasan Indo Pasifik terdapat lima marga Palma yang patinya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon

 

4 dan Arenga, karena kandungan patinya cukup tinggi. Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu : yang berbunga/berbuah dua kali (Pleonanthic) dan berbunga/berbuah sekali (Hapaxantic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan karbohidratnya lebih tinggi. Golongan ini terdiri dari 5 varietas penting, yaitu :

a) Metroxylon sagus, Rottbol atau sagu Molat. b) Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni.

c) Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu Ihur.

d) Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru. e) Metroxylon rumphii, Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan.

Dari kelima varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tuni, dan Molat (Anonim 2004).

Tumbuhan sagu banyak terdapat di daerah rawa air tawar, rawa bergambut, rawa air payau dengan kadar garam rendah, di sepanjang aliran sungai, dan di sekitar sumber air (Soeroso 2008). Persyaratan ekologis untuk pertumbuhan tanaman sagu adalah pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut, jumlah curah hujan antara 2000-4000 mm per tahun yang tersebar merata sepanjang tahun (Restiwati 1996).

2. Potensi dan Produksi Sagu

Indonesia memiliki pertanaman sagu dan hutan sagu yang luas dan tersebar di berbagai pulau. Areal sagu di Indonesia dapat dijumpai dari Sabang sampai Merauke dengan karakteristik yang beraneka dan nama lokal yang beragam. Pertanaman sagu dan hutan sagu di dunia diperkirakan mencapai 2 juta ha, 51.3% (1.12 juta ha) berlokasi di Indonesia (Flach 1983) dalam Abbas et al. (2009). Kertopermono (1996) dalam Abbas et al. (2009) melaporkan bahwa luas areal sagu di Indonesia jauh lebih luas dibanding dengan yang dilaporkan Flach (1983) yaitu seluas 1,528,917 ha dengan penyebaran : Irian Jaya 1,406,469 ha; Maluku 41,949 ha; Sulawesi 45,540 ha; Kalimantan 2,795 ha; Jawa Barat 292 ha; dan Sumatera 31,872 ha. Luas areal penyebaran tanaman sagu di Indonesia tidak menyebar rata. Flach (1983) memperkirakan keragaman sagu di Indonesia lebih tinggi dijumpai di propinsi Papua dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Sagu adalah tanaman sumber pati di daerah tropis dan banyak memberikan perhatian karena produktivitas pati yang cukup tinggi. Bahkan sagu adalah satu-satunya tanaman yang dapat tumbuh di lahan gambut dimana pH areanya sangat rendah, level air tanahnya tinggi dan kandungan mineralnya sangat rendah tanpa adanya perbaikan tanah. Lahan gambut di Asia diperkirakan mencapai 20-30 juta ha (Fukui 1984 and Kyuma 1992 dalam Yamamoto 2004).

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun sementara konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 4-5% dari potensi produksi.

 

5

Dokumen terkait