• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4.1. Karakteristik Kondisi Penelitian

4.1.1. Kondisi Budidaya dan Pemasaran Jamur di Indonesia

Sejak tahun 1991 hingga akhir tahun 2003, jamur tiram menjadi komoditas jamur nomor dua yang diproduksi dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jamur tiram lebih digemari dibanding jenis-jenis jamur lain seperti jamur shiitake dan jamur merang yang sebelumnya (sejak 1986) menempati peringkat kedua. Peringkat pertama dari daftar produksi jamur tersebut masih ditempati oleh jamur

kancing (jamur champignon) (Gunawan dalam Novita, 2004).

Budidaya jamur tiram mencapai masa-masa paling populer pada tahun 2001-2002. Antara tahun-tahun tersebut, jamur tiram di wilayah Bogor relatif cukup banyak diusahakan oleh produsen lokal. Ledakan popularitas usaha budidaya jamur tiram ini ternyata tidak bertahan lama. Pada akhir tahun 2002, sejumlah produsen jamur tiram mengalami kebangkrutan dan terpaksa menutup usahanya. Penyebab kebangkrutan pada saat itu diperkirakan adalah karena jumlah pasokan jamur tiram segar yang sangat berlimpah dan menyebabkan harga turun.

Penurunan harga tersebut dan ditambah dengan jumlah pasokan yang terus meningkat, tidak dapat diimbangi oleh penyerapan permintaan. Hal ini membuat sejumlah pengusaha jamur mengalami kerugian sehingga terpaksa menutup usahanya. Seleksi alam ini kemudian menyisakan produsen yang mampu bertahan dan tetap menyuplai jamur tiram segar. Saat penelitian ini berlangsung, mulai ada kecenderungan bahwa akan ada produsen-produsen jamur tiram baru bermunculan dengan kapasitas produksi yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan bangkrutnya beberapa pengusaha jamur beberapa tahun silam, ketua Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI) menyatakan bahwa sejak tahun 2001 hingga 2004 ekspor jamur Indonesia menurun drastis yakni dari US$ 4,02 juta pada tahun 2001 menjadi US$ 1,72 juta pada tahun 2003, walaupun permintaan luar negeri terhadap ekspor jamur Indonesia masih sangat tinggi. Saat ini nilai ekspor turun karena karena banyaknya perusahaan eksportir yang tutup. Sebagian besar penyebab tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut adalah karena

kesalahan manajerial1.

Penelitian ini mendapatkan gambaran awal bahwa permintaan pedagang kepada produsen memang masih belum seluruhnya dipenuhi produsen di wilayah Bogor. Hal ini mencerminkan bahwa daya serap pasar masih lebih besar daripada jumlah yang saat ini dipenuhi. Permintaan yang belum dipenuhi sekitar 50-100 kg untuk setiap pasar setiap harinya, dan perkiraan total yang belum terpenuhi antara 200 hingga 300 kilogram perharinya. Angka tersebut diperoleh setelah melalui wawancara dengan responden produsen serta pedagang yang terlibat dalam pemasaran jamur tiram ini. Dengan timbulnya produsen-produsen jamur tiram yang baru ini diharapkan mampu mengisi pasar tanpa menimbulkan limpahan produksi yang berlebih, sehingga harga jamur tiram tidak mengalami penurunan, namun sebaliknya, dapat meningkatkan harga menjadi lebih baik lagi bagi produsen.

1

4.1.2. Organisasi Produsen Jamur di Indonesia

Produsen dan pengusaha jamur di Indonesia dinaungi oleh sebuah wadah organisasi yaitu Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia atau disingkat MAJI. Organisasi ini berpusat di Bandung, Jawa Barat, dengan memiliki cabang dan juga pengurus tersendiri pada beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa daerah yang memiliki cabang kepengurusan MAJI diantaranya adalah Bandung, Bogor, Bali, Garut, Yogyakarta, Bekasi, dan juga Karawang.

MAJI memiliki peran penting dalam membantu perkembangan usaha jamur di Indonesia, tidak hanya terbatas pada komoditas jamur tiram saja, namun juga meliputi jamur-jamur lainnya yang dapat dibudidayakan di Indonesia seperti

jamur kuping, jamur merang, jamur kancing (champignon), jamur shiitake, jamur

maitake, dan juga juga jamur lingzhi. Keberadaan MAJI pada beberapa daerah sentra produksi jamur diharapkan akan dapat membantu pengusaha jamur dalam tahap permodalan awal, hingga pada tahap pemasaran produksinya. Dengan demikian, budidaya jamur dapat menjadi sebuah alternatif untuk menjadi mata pencaharian yang memadai, dan juga memenuhi kebutuhan akan konsumsi jamur di Indonesia.

4.1.3. Industri Jamur di Indonesia

Saat ini di Indonesia ada lima macam jamur yang telah banyak dibudidayakan, yakni jamur tiram, jamur kuping, jamur merang, jamur kanc ing (champignon), jamur shiitake. Selain kelima jenis jamur tersebut, masih ada jenis-jenis jamur yang dibudidayakan di Indonesia namun dalam skala yang tidak terlalu besar seperti jamur lingzhi, dan jamur maitake.

a. Jamur Shiitake

Produksi jamur shiitake di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti,

namun ada beberapa perusahaan yang khusus memproduksi jamur shiitake dalam skala yang relatif besar. Contohnya seperti PT Inti Mekar Sejati di Cipanas

dengan kapasitas satu ton shiitake segar per hari, Inti Jamur Raya di Bandung

dengan jumlah baglog berkisar antara 10.000-13.000 baglog, PT Betafarm di Lembang, dan juga PT Cibodas Mandiri di Bandung dengan kapasitas produksi yang tak jauh berbeda. Perusahaan-perusahaan ini umumnya menghasilkan jamur dalam keadaan segar untuk tujuan ekspor, dan sebagian juga untuk pasar dalam negeri.

b. Jamur merang

Jamur merang sebagai salah satu jenis jamur yang populer di sebagian masyarakat Indonesia telah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. Daerah Karawang dan Subang telah dikenal sebagai salah satu sentra produksi jamur ini. Produksi jamur merang di Karawang dapat mencapai kuantitas rata-rata 2 ton per hari, sementara di Subang, produksi terbanyak dihasilkan di Kecamatan Jatiasari dengan kuantitas rata-rata 7-8 kuintal per hari. Salah satu perusahaan yang telah memproduksi jamur merang untuk tujuan ekspor adalah PT Randutatah Gemilang di Pasuruan dengan kapasitas produksi mendekati 12 ton/bulan (Trubus, 1999)

c. Jamur kuping

Untuk komoditas jamur kuping, wilayah telah mulai dib udidayakan di Yogyakarta dalam skala yang cukup besar. Di desa Umbulharjo, Yogyakarta, telah dibangun 150 buah kumbung dengan kapasitas 6.000 baglog setiap kumbungnya, dan akan segera dibangun sentra-sentra produksi baru di daerah

Malang, dan Pacet, Jawa Timur. Pemasaran produksinya lebih difokuskan kepada pasar lokal dan wilayah-wilayah lain di pulau Jawa ini..

d. Jamur Champignon

Di Indonesia, jamur champignon belum banyak berkembang. Hal ini

dikarenakan banyak kendala yang menyertai produksinya, seperti memerlukan investasi besar, suhu dan kelembaban yang sangat spesifik, waktu produksi yang relatif lebih lama (berkisar antara delapan hingga 11 bulan) serta resiko kegagalan yang relatif lebih tinggi dibandingkan budidaya jamur-jamur lainnya. PT Indo Evergreen sebagai salah satu produsen jamur champignon di Indonesia memilih tujuan ekspor sebagai sasaran utama pemasaran produksinya. Hal ini lebih dikarenakan kenyataan bahwa konsumen domestik tidak terlalu antusias untuk mengkonsumsi jenis jamur ini dibandingkan dengan konsumen pasar luar negeri. Pemasaran jamur champignon di Indonesia sendiri lebih difokuskan ke jamur segar untuk konsumsi restoran dan rumah makan di wilayah Jakarta, Bandung, dan Bali. Sementara untuk tujuan ekspor, jamur dipasarkan dalam bentuk yang sudah dikalengkan dengan wilayah ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Taiwan.

Dokumen terkait