• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PEDAGANG MAKANAN DI SEKTOR INFORMAL

Umur dan Tingkat Pendidikan Responden

Data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan di Jalan Babakan, umur rata-rata pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan di Jalan Babakan adalah 40 tahun dengan kisaran umur antara 22 sampai 74 tahun, yang sebagian besar berumur 30 tahun ke atas. Sementara itu, tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima, yaitu: kategori sangat rendah (tidak tamat SD/sederajat), rendah (tamat SD/sederajat), sedang (tamat SMP/sederajat), tinggi (tamat SMA/sederajat), dan sangat tinggi (tamat perguruan tinggi). Dari jumlah responden sebanyak 35 pedagang makanan, maka pada gambar 5 menunjukkan persentase tingkat pendidikan pedagang makanan di Jalan Babakan.

Sumber: data primer 11.40% 31.40% 17.10% 22.90% 17.10% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% tidak tamat SD/sederajat tamat SD/sederajat tamat SMP/sederajat tamat SMA/sederajat tamat perguruan tinggi

Gambar 5. Tingkat pendidikan responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012

Berdasarkan gambar 5, menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan terdapat 31,4% tamat SD/sederajat; 22,9% tamat SMA/sederajat; 17,1% tamat perguruan tinggi/sederajat; 17,1% tamat SMP/sederajat; dan 11,4% tidak tamat SD/sederajat. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan akhir pedagang makanan tergolong dalam tingkat pendidikan rendah lebih banyak dari pada pendidikan akhir pedagang makanan yang tergolong dalam tingkat pendidikan tinggi. Hal ini diperkuat dengan penelitian Suwartika (2003) yang menyatakan bahwa tenaga kerja sektor informal mempunyai tingkat pendidikan formal rendah lebih besar dibandingkan dengan tingkat pendidikan formal tinggi. Meskipun begitu, hasil penelitian Iqbal (2004) yang menyatakan bahwa faktor pendorong tumbuh kembangnya sektor informal adalah adanya tingkat pendidikan dan keahlian yang

26

terbatas tidak dapat dibenarkan karena sektor informal ini juga menampung pekerja yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan sangat tinggi.

Rendahnya tingkat pendidikan akhir yang ditempuh oleh pekerja sektor informal ini disebabkan keadaan ekonomi rumah tangga yang kurang mencukupi kehidupan masing-masing anggota rumah tangga. Sebagai contoh Mbak FTH (22 tahun) salah satu responden yang tidak dapat melanjutkan sekolah sampai jenjang perguruan tinggi.

“Bapak saya merupakan buruh tani Mbak, oleh karena itu, saya tidak sekolah

sampai jenjang pendidikan tinggi. Saya bisa berjualan ini karena ajakan kakak. Awalnya saya membantu kakak di warung ini, kemudian akhirnya warung ini diberikan kepada saya. Sebelum berdagang, saya sempat bekerja di pabrik garmen selama hampir satu tahun Mbak” (FTH, 22 tahun).

Penuturan Mbak FTH (22 tahun) menunjukkan bahwa ketidakmampuan orang tuanya untuk membiayainya menempuh jenjang pendidikan yang tinggi mengakibatkan dirinya masuk ke dunia kerja, sampai akhirnya masuk sebagai pedagang makanan di sektor informal. Sektor informal khususnya berdagang makanan ini membutuhkan keterampilan. Keterampilan ini didapatkan dengan cara magang sebelum mendirikan usaha berdagang makanan. Sebagai contoh kasus Ibu NEN (25 tahun) dan Bapak UL, 28 tahun.

“Ketika saya duduk di bangku SMA, saya ikut bekerja tante di Bara. Setelah itu, saya bekerja di warung makan milik anak tante selama dua tahun. Baru setelah menikah saya mendirikan warung ini bersama kakak, yang mempunyai warung juga di Bara. Setelah saya melahirkan dan anak saya berumur 2,5 tahun barulah saya mengelola warung ini sendiri”(NEN, 25 tahun).

“Awalnya saya ke sini diajak oleh kakak ipar saya. Saya dulu membantu

berdagang nasi goreng kakak ipar saya karena kakak ipar saya mempunyai empat

warung nasi goreng. Sekarang warung nasi gorengnya sudah berkurang dua, mungkin saja karena banyak saingan. Sebelum ke sini, saya sempat merantau ke Jakarta Selatan, di sana saya berjualan ayam bakar selama dua tahun. Kemudian, saya pindah ke Jakarta Utara untuk berjualan ikan selama dua setengah tahun” (UL, 28 tahun).

Penuturan dari Mbak FTH (22 tahun) menunjukkan bahwa pendidikan rendah menjadikannya sebagai pekerja di sektor informal, sedangkan pernyataan Ibu NEN (25 tahun) dan Bapak UL (28 tahun) menunjukkan bahwa keterampilan melalui magang menjadikan mereka bisa memasuki sektor informal yaitu sebagai pedagang makanan. Hal ini sejalan dengan penelitian Suwartika (2003) yang menyatakan bahwa sektor informal ini mudah dimasuki oleh orang-orang yang hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pengalaman kerja bukan melalui pendidikan formal. Sektor informal ini merupakan solusi bagi masalah kemiskinan dan pengangguran.

Selain itu, terdapat juga pekerja sektor informal yang tergolong dalam pendidikan sangat tinggi. Walaupun pendidikan sangat tinggi ini memungkinkan mereka untuk bekerja di sektor formal tetapi mereka memilih untuk menjadi pekerja sektor informal karena mereka mempunyai prinsip kehidupan dan jiwa

entrepreneur. Contoh kasus Pak STN (29 tahun) dan Pak RA (29 tahun) merupakan lulusan perguruan tinggi tetapi memilih untuk menjadi pekerja sektor informal.

“Sebelum berdagang soto ini, saya dulu adalah karyawan sebuah perusahaan Jepang yang sudah bekerja selama lima tahun tetapi karena cara kerja perusahaan Jepang ini kurang cocok dengan idealogi yang saya miliki, maka saya mengundurkan diri

27 dari perusahaan tersebut. Setelah saya mendengar cerita sukses dari beberapa tetangga saya di bidang wirausaha, maka saya mencoba berdagang soto ini. Ya, usaha pertama saya ini merupakan wahana untuk belajar. Belum tentu toh Mbak usaha pertama merupakan jalan sukses di masa depan, siapa tahu akan sukses di bidang lain gitu lo maksudnya. Tapi Alhamdulillah saya sudah bisa mengekspansi soto ini ke Cikarang. Soto yang di Cikarang dikelola oleh adik saya. Soto yang di Cikarang baru berdiri seminggu jadi belum diketahui omset penjualannya Mbak” (STN, 29 tahun).

“Dulu sebelum mendirikan usaha ini, selama tujuh tahun saya merupakan karyawan even organiser sebuah perusahaan dan juga bekerja sebagai kontraktor. Setelah saya menikah, saya mengundurkan diri dan kemudian saya mendirikan usaha ini. Ya, usaha ini saya buka dengan misi mengurangi pengangguran pada tingkat pendidikan SMP karena karyawan yang saya pekerjakan rata-rata adalah lulusan SMP”(RA, 29 tahun).

Berdasarkan penuturan Pak STN (29 tahun) dan Pak RA (29 tahun) menunjukkan bahwa pada pekerja sektor informal yang tergolong pada tingkat pendidikan sangat tinggi, memilih untuk masuk ke dalam usaha sektor informal khususnya usaha berdagang makanan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) prinsip dan idealisme individu, (2) motivasi eksternal dari cerita sukses teman yang berusaha di sektor informal, dan (3) adanya jiwa entrepreneur.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa sektor informal dapat dimasuki oleh semua golongan umur dan tingkat pendidikan. Syarat yang dibutuhkan dalam memasuki sektor informal adalah pengetahuan dan keterampilan yang berasal dari pengalaman kerja.

Jenis Kelamin Responden

Berdasarkan data primer di lapangan menunjukkan bahwa pedagang makanan yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin laki-laki. Data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Frekuensi dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan jenis kelamin, tahun 2012

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

laki-laki 17 48,6

perempuan 18 51,4

Sumber: data primer

Total 35 100,0

Berdasarkan tabel 3, menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 51,4% pedagang makanan berjenis kelamin perempuan dan 48,6% pedagang makanan berjenis kelamin laki-laki. Hal itu dapat diartikan bahwa pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan banyak dilakukan oleh perempuan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian mengenai strategi nafkah rumah tangga nelayan oleh Iqbal (2004) yang menyatakan bahwa sektor informal dan perdagangan kecil, biasanya banyak ditekuni oleh para wanita. Contoh kasus Ibu NAR (41 tahun) dan Ibu SYH (47 tahun).

“Saya semula merupakan ibu rumah tangga, tetapi untuk membantu suami maka saya berdagang nasi kuning ini. Setelah suami saya di-PHK, akhirnya dia juga ikut

28

berjualan nasi kuning. Suami saya berjualan nasi kuning di pinggir jalan dekat dealer honda Cibanteng. Setelah saya selesai berjualan, biasanya saya masih harus mengerjakan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga seperti mencuci baju, masak, dan bersih-bersih rumah”(NAR, 41 tahun).

“Dahulu suami saya merupakan sopir angkot maka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Saya pun bekerja sebagai buruh masak di suatu kosan kemudian karena tidak tahan dengan tingkah laku mahasiswi yang kos, akhirnya saya meminta ijin ke lurah untuk berdagang gado-gado menggunakan tenda, kemudian akhirnya dibuatkan kios oleh IPB. Suami saya kadang-kadang membantu usaha berdagang makanan, ketika tidak ada orang yang memintanya menjadi sopir. Sekarang mah jasa suami saya jarang digunakan atau disewa orang, oleh karena itu, suami saya membantu usaha warung ini” (SYH, 47 tahun) .

Berdasarkan penuturan Ibu NAR (41 tahun) dan SYH (47 tahun) menunjukkan bahwa perempuan yang berusaha di sektor informal sebagai pedagang makanan berusaha membantu suami untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hal ini menunjukkan adanya pola nafkah ganda. Pekerjaan perempuan pada dua contoh kasus Ibu NAR dan SYH menunjukkan bahwa perempuan memilih pekerjaan yang dekat dengan kegiatan rumah seperti memasak. Maka dari itu, wajar jika jumlah pedagang makanan yang berjenis kelamin perempuan lebih besar dari pada laki-laki. Selain itu, penuturan tersebut menunjukkan bahwa perempuan mempunyai peran ganda yaitu menjadi ibu rumah tangga dan pedagang makanan di sektor informal. Pekerjaan perempuan ini hanya dianggap sebagai pekerjaan untuk membantu suami padahal berdasarkan data primer, Ibu NAR (41 tahun) dan Ibu SYH (47 tahun) memiliki penghasilan lebih tinggi di banding dengan penghasilan suaminya.

Status Perkawinan Responden

Status perkawinan menunjukkan banyaknya tanggungan dalam suatu rumah tangga. Jika berstatus sudah kawin maka jumlah yang ditanggung untuk dinafkahi lebih banyak dari pada berstatus belum kawin. Berdasarkan data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 85,7% pekerja sektor informal sebagai pedagang makanan berstatus sudah kawin dan 14,3% pekerja sektor informal sebagai pedagang makanan berstatus belum kawin.

Tabel 4. Frekuensi dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan status perkawinan, tahun 2012

Status Perkawinan Frekuensi Persentase

kawin 30 85,7

belum kawin 5 14,3

Total 35 100,0

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 4, menunjukkan bahwa pedagang makanan di Jalan Babakan yang berstatus sudah kawin lebih banyak dari pada yang berstatus belum kawin. Status perkawinan ini mempunyai nilai pada sektor informal khususnya usaha berdagang makanan, dengan sudah berstatus kawin maka dalam mengerjakan usaha makanan dapat melibatkan dua individu yang diikat dengan tali perkawinan. Pelibatan berdasarkan status perkawinan ini didasarkan atas kerja

29 sama dan komplementer (saling melengkapi). Contoh Ibu YAT (30 tahun) dan Ibu EP (28 tahun).

Saya biasanya pergi ke pasar dua hari sekali, kemudian ketika selesai ke pasar saya langsung masak untuk dagangan mie ayam. Setelah selesai masak biasanya gerobak sudah saya letakkan di pinggir jalan depan gang ini. Kemudian, biasanya nanti setelah dhuhur suami saya mengelilingkan gerobak mie ayam sampai malam” (YAT, 30 tahun).

“Saya sudah berjualan soto mie selama dua tahun, sebelum jualan soto mie, dahulu saya pernah ikut adik saya berjualan soto di Citereup, sedangkan suami saya berdagang sayur di pasar Ciampea. Setelah adik saya bangkrut, maka ilmunya saya gunakan untuk berdagang soto mie ini bersama suami saya. Selain berdagang soto mie ini, saya juga memasok Baslok ke dua warung dan jika ada acara hiburan di desa maka saya pun berdagang Baslok. Saya dan suami saya saling bekerja sama

saja misalnya jika seperti ini saya jaga soto mie maka suami saya di rumah sedang membuat Baslok untuk saya jual nanti di acara hiburan desa. Saya yang menjualkan Baslok tersebut karena suami saya malu jika berjualan Baslok. Lalu ada juga satu karyawan yang kos di dekat rumah saya, tetapi kos makannya di tempat saya yaitu dua kali makan dalam sehari dengan menu makanan yang sama seperti yang keluarga saya makan, sehingga saya hanya menarifnya tiga ratus ribu rupiah per bulan” (EP, 28 tahun).

Penuturan Ibu YAT (30 tahun) dan Ibu EP (28 tahun) menunjukkan bahwa adanya kerja sama dan saling melengkapi dalam hubungan suami-istri untuk menjalankan usaha berdagang makanan, tetapi proporsi kontribusi dalam usaha berdagang yang dilakukan Ibu YAT yaitu lebih pada kegiatan memasak dan ke pasar sedangkan suaminya lebih berkontribusi pada kegiatan produksi yaitu menjalankan usaha berdagang makanan tersebut. Berbeda dengan contoh kasus Ibu EP, Ibu EP lebih mendominasi dalam kegiatan produksi yaitu berjualan sedangkan suami Ibu EP lebih mendominasi dalam kegiatan memasak. Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat rasa gengsi dari internal individu. Berdasarkan data tersebut juga menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan seimbang dalam bekerja sebagai pedagang makanan di sektor informal.

Daerah Asal Responden

Berdasarkan data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 34,3% pedagang makanan merupakan penduduk asli Kecamatan Dramaga, 65,7% pedagang makanan merupakan penduduk yang berasal dari luar Kecamatan Dramaga. Berdasarkan tabel 5 dapat disimpulkan secara umum bahwa pedagang yang bukan berasal dari Kecamatan Dramaga merupakan pedagang yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa pedagang yang berdagang di Jalan Babakan lebih banyak berasal di luar Kecamatan Dramaga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan merupakan pendatang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan informan yang tinggal di sekitar Jalan Babakan dan Kepala Desa Babakan Raya.

“Dahulu Babakan Raya teh tidak seramai ini. Dahulu, di sekitar Babakan Raya ini masih berupa hutan karet dan masih adem. Pada sekitar 1990-1997 warkop mah masih ramai oleh konsumen mahasiswa bahkan sampai antri karena sekitar 1994

30

pedagang makanan masih jarang ada. Babakan raya yang biasa disebut Bara ini

mulai ramai oleh pedagang gerobak itu pada tahun 1998 kemudian pada tahun

2000 IPB membangun kios-kios yang berada di pinggir trotoar jalan” (SND, 42 tahun).

“Awalnya yang berdagang di sekitar sini itu adalah penduduk asli sini, tetapi seiring waktu berjalan menjadi banyak pendatang. Sebelum tahun 1997 ketika kepala desanya masih Pak END, memperbolehkan keberadaan pedagang kaki lima. Kemudian setelah tahun 1997, yang mana pada saat itu saya sudah menjadi kepala desa maka saya meneruskan kebijakan yang dibuat oleh Pak END. Eh gara-gara hal itu pihak desa banyak memperoleh teguran dari IPB” (Pak YYT, Kepala Desa Babakan Raya)

Berdasarkan penuturan Pak SND dan Pak YYT menunjukkan bahwa perubahan waktu serta kebijakan yang diterapkan oleh kepala Desa Babakan dan IPB mengakibatkan masuknya pendatang dari luar Kecamatan Dramaga untuk bergadang makanan di Jalan Babakan.

Tabel 5. Sebaran daerah asal responden pedagang makanan di Jalan Babakan tahun 2012

Daerah Asal Frekuensi Persentase

Bangkalan 1 2,9 Banten 1 2,9 Brebes 2 5,7 Cianjur 1 2,9 Dramaga 12 34,3 Garut 1 2,9 Indramayu 1 2,9 Kebumen 1 2,9 Klaten 1 2,9 Lampung 1 2,9 Madura 1 2,9 Medan 1 2,9 Padang 1 2,9 Pemalang 1 2,9 Purwokerto 1 2,9 Rembang 1 2,9 Solo 2 5,7 Subang 1 2,9 Sumedang 3 8,6 Tasik 1 2,9

Sumber: data primer

Total 35 100,0

Selain itu, diperkuat juga dengan hasil penelitian Tan (2006) yang menyatakan bahwa:

“Keberadaan IPB juga membawa adanya program pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh Lembaga pengabdian Masyarakat (LPM). Program ini berlangsung pada tahun 2000, wujud program ini adalah menyediakan kios

31 tersebut pada awalnya disewakan pada orang-orang lokal. Namun tiga tahun kemudian kios-kios tersebut beralih tangan kepada pedagang pendatang. Para pedagang pribumi mengalihkan hak pakai kios tersebut kepada orang lain karena usaha mereka tidak maju atau tidak mampu bersaing dengan pendatang” (Tan, 2006: 75).

Berdasarkan hasil penelitian Tan (2006), data primer, penuturan Pak SND seorang warga Desa Babakan dan Pak YYT seorang kepala Desa Babakan Raya menunjukkan bahwa pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan sebagian besar adalah orang-orang pendatang dari berbagai daerah sekitar Jalan Babakan.

Ikhtisar

Umur rata-rata pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan di Jalan Babakan adalah 40 tahun dengan kisaran umur antara 22 sampai 74 tahun, yang sebagian besar berumur 30 tahun ke atas. Sementara itu, Tingkat pendidikan akhir pedagang makanan tergolong dalam tingkat pendidikan rendah lebih banyak dari pada pendidikan akhir pedagang makanan yang tergolong dalam tingkat pendidikan tinggi. Meskipun begitu, hasil penelitian Iqbal (2004) yang menyatakan bahwa faktor pendorong tumbuh kembangnya sektor informal adalah adanya tingkat pendidikan dan keahlian yang terbatas tidak dapat dibenarkan karena sektor informal ini juga menampung pekerja yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan sangat tinggi. Sektor informal dapat dimasuki oleh semua golongan umur dan tingkat pendidikan. Syarat yang dibutuhkan dalam memasuki sektor informal adalah pengetahuan dan keterampilan yang berasal dari pengalaman kerja. Sementara itu, jumlah pedagang makanan berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada pedagang makanan berjenis kelamin laki-laki. Perempuan yang berusaha di sektor informal sebagai pedagang makanan berusaha membantu suami untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hal ini menunjukkan adanya pola nafkah ganda. Pedagang makanan di Jalan Babakan yang bersatatus sudah kawin lebih banyak dari pada yang berstatus belum kawin. Status perkawinan ini mempunyai nilai pada sektor informal khususnya usaha berdagang makanan, di mana dengan sudah berstatus kawin maka dalam mengerjakan usaha makanan dapat melibatkan dua individu yang diikat dengan tali perkawinan. Pelibatan berdasarkan status perkawinan ini didasarkan atas kerja sama dan komplementer (saling melengkapi). Sementara itu, laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan seimbang dalam bekerja di sektor informal.

Pedagang makanan di Jalan Babakan lebih banyak berasal di luar Kecamatan Dramaga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan merupakan pendatang. Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah responden yang berstatus sudah kawin lebih tinggi daripada pedagang makanan yang berstatus belum kawin, karena umur rata-rata pedagang makanan adalah 40 tahun. Sementara itu, pedagang makanan yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada pedagang makanan yang berjenis kelamin laki-laki, karena aktifitas dapur merupakan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Pandangan ini merupakan pandangan yang dibentuk oleh kebudayaan Indonesia.

33

BAB V

STRUKTUR NAFKAH RUMAH TANGGA PEDAGANG

Dokumen terkait