• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan teoritis yang melandasi penelitian ini terdiri dari tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, definisi konseptual, dan definisi operasional. Masing-masing uraian tersebut, ditulis dalam subbab-subbab di bawah ini.

Tinjauan Pustaka Pengertian Strategi Nafkah

Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali digunakan oleh Duque dan Pastrana pada tahun 1973, kemudian konsep tersebut digunakan dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu (Crow 1989 dikutip Widiyanto 2009). Ellis (2000) mendefinisikan bahwa nafkah mengarah pada perhatian hubungan antara aset dan pilihan orang untuk kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk bertahan hidup, yang mana sebuah nafkah terdiri dari aset, (alam, fisik, manusia, modal keuangan, dan sosial) kegiatan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumah tangga. Sementara itu, Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumah tangga yaitu dengan menyusun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan (Iqbal 2004).

Dharmawan (2007) menyatakan bahwa nafkah dan strategi nafkah termasuk dalam ilmu sosiologi nafkah yang merupakan keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial dengan sistem penghidupannya, yang mana dalam menjalankan nafkahnya seseorang atau sekelompok orang dapat mengakses dua basis nafkah yang saling mengisi yaitu sektor pertanian dan non-pertanian. Sementara itu, menurut Widiyanto (2009) bahwa sistem nafkah yang dibangun petani tembakau sangat dipengaruhi oleh etika moral petani baik pada level individu, rumah tangga, hingga komunitas. Ada dua pijakan etika moral dalam membentuk strategi nafkahnya yaitu etika moral berbasis sosial-kolektif dan individualmaterialism. Berbagai kondisi atau situasi membuat rumah tangga petani terdorong atau tertarik memasuki domain lainnya, seperti “livelihood diversification” dan migrasi. Strategi srabutan merupakan strategi yang diterapkan sebagai respon dan adaptasi rumahtangga petani karena “base livelihood” dianggap tidak mampu lagi memberikan jaminan kehidupan. Strategi ini diterapkan oleh rumah tangga petani tembakau, baik pada situasi normal

6 maup terha meng strate pun krisis. adap kondis gurangi bia egi koping. Sumb Gam Menu term mem survi Sum berpi meng 1. M m ke 2. M pr 3. M in 4. M m 5. M be ko tangg perta ber: (Dharmaw Pada situa si ekologi m aya. Semen asi normal maupun da ntara pada , strategi i alam upaya situasi kris ini merupak meningkat sis, strategi kan sebaga tkan penda i ini dapat ai adaptasi apatan atau dikatakan mbar 1. Mob basi urut Redcli arjinalkan s miliki strateg ival” atau” s mber-Sumbe Ellis (200 ikir tentan gidentifikas Modal alam menghasilkan elangsungan Modal fisik roduksi eko Modal manu ndividu dan Modal finan membeli baik Modal sosia erpartisipasi ontribusi un Sementara ga petani anian, yang wan 2007: 179 ilisasi moda s nafkah pa ft (1986) da seperti petan gi di dalam strategi cop er Strategi 00), menya ng kehidup si lima kateg m mengacu n produk n hidup mer mengacu onomi. usia menga populasi. nsial menga k barang pro al mengacu i, dan mer ntuk mata pe a itu, menu adalah seg g mana seti 9) al dan sumb ada mazhab alam Widiy ni, kelompo m bertahan h ping”. Nafkah atakan bahw pan (misa gori modal u pada sum yang dig reka. pada aset acu pada acu pada st oduksi atau u pada jari reka dapat encaharian m urut Dharm gala aktivita iap individu ber daya ma bogor yanto (2009) ok usaha ke hidup yang wa pengiku alnya Scoo utama sebag mber daya gunakan o dibawa u tingkat pe tok uang t konsumsi, ingan sosia memperole mereka. mawan (200 as ekonom u atau rum

anusia (SDMM) pedesaann di dua ), orang-ora

cil dan kelu sering dise ang dalam p uarga petani ebut sebaga posisi yang i dikatakan ai “strategi ut garis Ch ones 1998 gai basis na alam (tana oleh popul hambers dan 8) cenderu afkah yaitu: n Conway ung untuk ah, air, poh

lasi manu

hon) yang sia untuk untuk menggeksistensikkan proses

kesehatan endidikan ddan status

tunai yang dan akses p al dan aso eh dukunga 07) bahwa mi pertanian mah tangga dapat diak pada kredit. siasi di m an yang m basis nafk n dan ekon dapat mem kses untuk mana orang memberikan kah rumah nomi non- manfaatkan

7 peluang nafkah dengan “memainkan” kombinasi “modal-keras” (tanah, finansial, dan fisik) dan “modal-lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan sumberdaya manusia (SDM) yang tersedia, untuk menghasilkan sejumlah strategi- penghidupan (livelihoods strategies). Strategi nafkah rumah tangga lebih mengacu kepada sarana untuk memperoleh kehidupan, termasuk kemampuan berupa

tangible assets dan intangible assets. Inti dari livelihooh dapat dinyatakan sebagai kehidupan (a living). Melalui campur tangan manusia, asset-asset nyata (tangible assets) dan asset tidak nyata (intangible assets) berkontribusi terhadap kehidupan (a living) (Chambers 1995 dikutip Widiyanto 2009)

Migrasi Desa-Kota

Kebijakan pembangunan yang berbasis peningkatan perekonomian meng

takan bahwa kemandekan ekono

akibatkan adanya pengabaian sektor pertanian. Pengabaian sektor pertanian ini mengakibatkan adanya banyak lahan pertanian yang dikonversi untuk lahan- lahan industri atau perumahan dan insfrastruktur lainnya yang letaknya bukan hanya di kota tetapi sudah mulai menjalar di wilayah pedesaan. Konversi lahan ini akhirnya mengakibatkan adanya pengangguran di wilayah pedesaan. Sajogyo (1982) dalam Widodo (2009) menyatakan bahwa transformasi agraria yang terjadi di Jawa telah mengguncang kelestarian sistem sosial desa. Transformasi agraria tersebut memberikan beberapa persoalan besar di pedesaan, yaitu ketimpangan penguasaan sumber nafkah agraria yang semakin tajam dan hilangnya berbagai sumber nafkah tradisional yang digantikan oleh struktur nafkah baru yang berada di sektor non pertanian. Struktur nafkah baru ini ternyata tidak juga memberikan kesempatan pada peningkatan kesejahteraan. Dampak lebih jauh dari proses transformasi ini adalah terjadinya ketidakpastian nafkah dan kelumpuhan struktur kelembagaan jaminan asli yang mapan di perdesaan.

Menurut Todaro dan Stilkind (1981) menya

mi di desa serta adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi memaksa para masyarakat desa untuk mencari jalan lain dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Lebih lanjut, Todaro dan Stilkind (1981) menyatakan bahwa keadaan pertanian yang menyedihkan mendorong untuk migrasi ke kota, kemudian mereka mengisi sektor informal di kota seperti sektor informal yang produktif (memperbaiki peralatan rumah tangga) atau sektor informal yang tidak produktif yang sering bersifat parasit (pedagang kaki lima, tukang parkir, pelacur, dan lain- lain). Selain itu, adanya pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sedangkan lahan yang tersedia semakin sempit menjadikan masyarakat di desa dan kota semakin terstratifikasi. Pada umumnya stratifikasi masyarakat digolongkan menjadi masyarakat atas, menengah dan bawah. Masyarakat atas mempunyai akses yang mudah untuk memasuki sektor formal, sedangkan masyarakat menengah dan bawah mempunyai akses terbatas untuk memasuki sektor formal (Hariyono 2007). Berbagai kondisi atau situasi seperti itu, membuat rumah tangga petani terdorong atau tertarik memasuki domain lainnya, seperti

“livelihood diversification” dan migrasi serta strategi srabutan sebagai respon dan adaptasi rumah tangga petani karena “base livelihood” dianggap tidak mampu lagi memberikan jaminan kehidupan (Widiyanto 2009). Adanya strategi nafkah yang diungkapkan Widiyanto (2009) tersebut tidak selamanya dapat

8

dilakukan secara mulus seperti halnya migrasi yang dapat memadati daerah perkotaan yang akhirnya mereka yang tidak terserap pada lapangan kerja di sektor industri maupun jasa menjadi beban tambahan bagi kota yang mengakibatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat. Mereka yang tidak mau menganggur terpaksa melakukan pekerjaan apa saja sekedar untuk bertahan hidup, sehingga berdampak pada semakin menurunnya daya dukung ekonomi kota yang membuat semakin banyak pula orang-orang yang terlempar di sektor informal (Musyarofah 2006).

“The factor which enter into the decision to migrate and the process of migration

ut Lee (1889) migrasi ini akibat daera

Pengertian sektor informal

Adanya pemisahan antara sektor formal dan informal menunjukkan adanya perma

beskala kecil yang menghasilkan dan

ha informal dalam sistem yang lebih luas ditent

n informalitas dalam may be summarized under four headings, as follow: (1) factors associated with the area of origin, (2) factors associated with the area of destination, (3) intervening obstacles, (4) personal factors” ( Lee 1889: 16-17).

Dari keempat faktor migrasi di atas, Menur

h asal yang mempunyai tanda-tanda negatif seperti masyarakat tertekan karena berkurangnya lahan pertanian dan kesempatan bekerja yang menurun, sedangkan di daerah tujuan dapat memberikan peluang untuk bekerja. Pada kenyataannya daerah tujuan menjadi terpuruk karena banyaknya orang yang bermigrasi sehingga akhirnya mengakibatkan keterpurukan di daerah tujuan yang terwujud adanya kesemrawutan sektor informal dan kriminalitas. Maka dari itu, Todaro dan Stilkind (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan sektor informal bukan merupakan obat mujarab untuk mengobati pengangguran di perkotaan.

salahan tenaga kerja yaitu status informal yang produktifitasnya rendah (Arfida 2003). Konsep sektor informal yang dikemukakan pertama kali oleh Hart (1991) dalam Thomas (1992) dalam Suwartika (2003) adalah konsep unit usaha dengan ciri-ciri padat karya, pengelolaan usaha bersifat kekeluargaan, tingkat pendidikan formal yang rendah, mudah dimasuki oleh pedagang baru, serta sifat usaha yang berubah-ubah dan tidak stabil.

“Sektor informal adalah unit-unit usaha yang

mendistribusikan barang/jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri, dan dalam usahanya itu sangat dihadapkan pada berbagai kendala seperti modal fisik, pengetahuan dan ketetrampilan” (Sethurahman 1976 dikutip Suwartika 2003) .

Pada dasarnya posisi usa

ukan oleh hubungannya dengan pelaku-pelaku ekonomi lain dan negara, negara dalam hal ini bertindak sebagai perencana kebijakan dan penanganan pembangunan kota dan desa (Chandrakirana dan Sadoko, tidak ada tahun). Sektor informal dapat dilihat dan ditemukan di tempat-tempat umum seperti: jalanan dan lokasi keramaian. Dari hal tersebut sejalan dengan definisi Chandrakirana dan Sadoko (tidak ada tahun), tentang sektor informal yaitu:

“Definisi-definisi yang telah diajukan selama ini merumuska

berbagai cara: menurut ‘cara bekerja’ yang mempunyai ciri-ciri tertentu (ILO Kenya Report); satuan usaha dalam jumlah tenaga kerja kecil (Sethuraman); status ketenagaan kerja yang ditentukan atas dasar pemilikan faktor produksi (PREALC); pasaran tenaga kerja yang tidak dilindungi (Mazumdar); kegiatan ekonomi yang berlangsung di luar sistem legal (de Soto); dan sebagai proses perolehan

9 penghasilan di luar sistem regulasi (Castells & Portes)” (Chandrakirana dan Sadoko tidak ada tahun: 16).

ntara itu, definisi sektor i

Seme nformal menurut Thomas (1990) dalam Suwartika

Terbentuknya Sektor Informal

Seiring adanya pembangunan dan modernisasi di pedesaan, telah membawa damp

mberikan tempat lagi bagi penduduk

Kemudian, Iqbal (2004) mengungkapkan bahwa akibat dari pertumbuhan

terhadap sumber daya ekonomi dan potensi lahan di pedesaan yang kan untuk embutuhkan keahlian maupun modal yang tinggi, dan bisa dilakukan ntuan pemerintah setempat, karena sifatnya pada sektor relatif tinggi, karena sektor ini berkembang mema

di sekitar kota merupakan sumber daya (2003) menyatakan bahwa sektor informal ditimbang berdasarkan ukuran usaha yang dikombinasikan dengan berbagai peraturan terkait, yang mana di sektor informal hanya mempekerjakan sedikit pekerja.

ak yang tidak diinginkan berupa ketimpangan (inequality) akses terhadap sumber-sumber nafkah bagi masyarakat di pedesaan dan lumpuhnya kelembagaan penjamin ketahanan-hidup asli, dengan arti lain bahwa pembangunan dan modernisasi telah menghancurkan tata-nilai asli dan meminggirkan mekanisme

social-security net sehingga tradisi tidak dapat bekerja optimal (Dharmawan 2007). Keberadaan industri mengakibatkan kecenderungan masyarakat yang bersifat individualis (Mardiyaningsih 2003).

“Dampak pembangunan kota ternyata tidak me

asli (dwellers) dalam proses produksi ekonomi kota yang tidak bertumpu pada lahan sawah. Akhirnya, mereka seperti terputus dari ikatan lahan sawah dan tradisi” (Budiyanto 2001: 15).

penduduk dan luapan tenaga kerja yang ada serta semakin pesatnya pembangunan di pedesaan memicu tumbuhnya sektor informal (underground economy) yang semakin beragam, faktor yang mendorong tumbuh kembangnya sektor informal adalah:

a. Akses

semakin langka, karena rasio lahan terhadap manusia semakin ciut. b. Tingkat pendidikan dan keahlian yang terbatas, tidak memungkin

bisa masuk dalam lapangan pekerjaan formal, karena daya tampungnya yang sedikit.

c. Tidak m

oleh semua kalangan masyarakat. d. Tidak terkait dengan berbagai kete

yang tidak terdata. e. Tingkat kebutuhan

seiring dengan tumbuhnya sektor lain yang menjadi sandaran sektor informal. Breman (1980) menyatakan bahwa adanya kecenderungan untuk ndang sektor informal sebagai “sisa” migran pedesaan, sehingga sektor informal ini dianggap bermula dari proses urbanisasi yang berlangsung terus menerus. Lebih lanjut, Hart (1973) mengungkapkan bahwa walaupun banyak alternatif kegiatan informal untuk memperoleh penghasilan, tapi kegiatan informal ini belum memperhatikan curahan waktu atau besarnya keuntungan yang diperoleh dari kegiatan informal tersebut.

“Bagi pelaku informal, tempat-tempat umum

kunci untuk berwirausaha. Sebagai lokasi yang tidak ditempati oleh pengusaha bermodal besar, daerah-daerah kota yang berupa pinggiran jalan, taman, terminal bis, pinggiran rel kereta api dapat dipakai sebagai lokasi usaha yang tarif sewanya

10

terjangkau. Hal ini merupakan suatu peluang ekonomi yang penting, karena usaha- usaha informal umumnya bermodal kecil” (Chandrakirana dan Sadoko, tidak ada tahun: 80).

Dengan kata lain bahwa pembangunan dan pertumbuhan penduduk masy

Jenis-Jenis Pekerjaan Sektor Informal

Adanya gerak pembangunan memberikan kesempatan pada masyarakat

sekunder.

uka pada pekerja yang terampil.

r.

penuh, kegiatan ini dilakukan

an biasanya menetap di suatu tempat dan penyalur di

a misalnya montir, tukang cukur, tukang cuci merupakan arakat desa mengakibatkan urbanisasi, urbanisasi ini secara berkelanjutan menimbulkan adanya sektor informal, kemudian pertumbuhan penduduk alami kota mengakibatkan banyaknya penduduk juga terlempar di sektor informal. Hal ini menunjukkan bahwa terbatasnya daya dukung kota dalam menyediakan lapangan kerja formal sedangkan penduduk selalu meningkat, sehingga banyak penduduk yang terlempar di sektor informal.

untuk mencari tambahan penghasilan. Kebutuhan yang semakin meningkat, sementara pekerjaan yang menjadi sandaran utama mengalami penurunan. Dalam prakteknya, kegiatan-kegiatan informal meliputi bermacam-macam hal, mulai dari usaha-usaha marginal sampai perusahaan-perusahaan besar (Hart 1973). Lebih lanjut Hart (1973) menyatakan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan informal yang sah berasal dari:

1. Kegiatan-kegiatan primer dan

Kegiatan primer dan sekunder terb

Keterampilan ini bisa diperoleh dengan cara magang secara informal (dengan bayaran sedikit) pada salah satu pekerja dalam waktu yang relatif lama. Contoh kegiatan primer dan sekunder adalah penjahit, kontraktor bangunan, pembuat sepatu, pertanian dan perkebunan.

2. Usaha tersier dengan modal yang relatif besa Usaha tersier merupakan pekerjaan yang tidak

pekerja yang sebelumnya telah mengumpulkan tabungan dengan berbagai cara yang kemudian diinvestasikan kembali dengan manajemen sendiri. Contoh usaha tersier adalah perumahan, transportasi, dan kegiatan sewa menyewa. 3. Distribusi kecil-kecilan.

Usaha eceran kecil-kecil

kota, mereka membentuk perserikatan dengan orang-orang lainnya untuk memadukan usaha. Adanya perserikatan ini mengakibatkan pemusatan kelompok etnis tertentu yang kemudian menjadi jaringan informal untuk mencegah masuknya orang lain ke dalam perdagangan komoditi tertentu. Contoh usaha eceran kecil-kecilan adalah pedagang kaki lima, penyalur, dan pedagang pasar. “Pedagang kaki lima berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda, dan secara gelar” (Chandrakirana dan Sadoko tidak ada tahun: 38). 4. Jasa yang lain.

Jasa-jasa lainny

kegiatan yang mempunyai persyarakat keahlian dan modal kecil sehingga membatasi kemungkinan masuk ke pekerjaan tersebut. ada contoh lain misalnya tukang membersihkan kotoran manusia yang merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan sehingga terbuka dalam batas-batas permintaan pasar dan keengganan pribadi.

11 5. ransaksi pribadi.

pribadi merupakan kemampuan individu untuk mencari

1973) penghasilan informal yang tidak sah dapat d

Perbedaan Ciri-Ciri Sektor Informal dan Formal

Perbedaan ciri-ciri sektor informal dan formal dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Sektor informal

T

Transaksi-transaksi

sumberdaya dari orang lain, secara tetap (seperti seorang klien pada patronnya) atau dalam keadaan darurat, menyangkut seluruh struktur hubungan desa-kota dan hubungan komunitas di kota. Contoh dari transaksi pribadi adalah pengemis dan pinjam meminjam.

Sementara itu, menurut Hart (

iperoleh berasal dari: (1) jasa (contoh: lintah darat, suap-menyuap, dan mucikari) dan (2) transaksi (contoh: pencopetan, perjudian, dan perampokan). Alternatif-alternatif kegiatan informal tersebut menggambarkan luasnya kesempatan memperoleh penghasilan bagi orang yang mempunyai sumber nafkah yang terbatas, tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah pendapatan yang tidak tetap.

Tabel 1. Perbedaan karakteristik dari dua sektor ekonomi

Karakteristik Sektor Formal

1. Teknologi Capital intensive Labour Intensive

2. Organisasi Birokratis Hubungan

kekeluargaa Sedikit n 3. Modal Berlebih ja ratur Teratur aan tas

8. Kredit Dari bank atau

ma

ank

9. Keuntungan Tinggi Rendah

ngan klien ormal ibadi

12. Pemberitaan/advertising Penting ting

s guna

le

tahan ada

khususnya

4. Jam Ker Teratur Tidak te

5. Upah Normal : Tidak teratur

6. Kesedi Berkualitas Tidak berkuali

7. Harga Harga pas Cenderung bisa

dinegosiasikan Pribadi, bukan b institusi yang sa

dengan bank

10. Hubungan de Secara f Secara pr

11. Biaya tetap Besar Kecil (dapat

diabaikan) Kurang pen 13. Pemanfaatan barang beka Tidak ber Berguna 14. Modal tambahan Indispensible Dispensib

15. Perangkat pemerin Besar Hampir tidak 16. Ketergantungan terhadap

dunia luar

Besar :

untuk orientasi ekspor

Hampir tidak ada atau kecil Sumber: Chris Gerry (1987) dikutip Suwartika

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan perbedaan sektor formal dan informal berdasarkan karakteristik teknologi, organisasi, modal, jam kerja, upah, kesediaan,

12 harga

Kerangka Pemikiran

Daerah suburban meru yang masyarakatnya telah terperangkap dalam suatu transformasi meninggalkan pertanian tetapi masih belum

pengkotaan dan perubahan sosial

Pedagang makanan menggunakan sumber-sumber nafkah untuk menja

sumen n

2 menunjukkan kerangka berfikir penelitian strategi sektor informal daerah suburban.

, kredit, keuntungan, hubungan dengan klien, biaya tetap, pemeritaan, pemanfaatan barang-barang bekas, modal tambahan, perangkat pemerintahan, dan ketergantungan terhadap dunia luar.

pakan sebuah kawasan

didominasi oleh kegiatan-kegiatan industrial, maka dari itu banyak masyarakat di daerah suburban yang mencari nafkah pada sektor informal yang tidak teratur. Ketidakteraturan ini terlihat bagaimana pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan yang mengambil public area seperti pinggir jalan atau trotoar, dan menjual makanan yang tidak bersih.

Terbentuknya daerah suburban dapat disebabkan adanya industrialisasi. Industrialisasi ini merupakan salah satu pemicu proses

. Proses pengkotaan dan perubahan sosial ini berpotensi pada adanya konflik dan sengketa, yang berkaitan dengan ketidakseimbangan distribusi resiko dan manfaat industri pada masyarakat sekitar industri. Salah satu bentuk industri adalah industri jasa pendidikan yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berdampak pada pengalihan profesi dari dominasi petani menjadi pekerja sektor informal.

Salah satu sektor informal yang banyak ditemukan adalah pedagang makanan.

lankan usahanya. Sumber-sumber nafkah tersebut adalah modal sosial, sumber daya manusia, finansial, fisik, dan alam. Sumber-sumber nafkah ini dapat direkayasa sesuai dengan kondisi yang dialami masing-masing individu atau rumah tangga pedagang makanan. Sumber nafkah ini kemudian mempengaruhi strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan. Beberapa strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makan dapat dikategorikan sebagai berikut:

(1) Tingkat alokasi waktu (2) Tingkat reguleritas kerja (3) Tingkat pendapatan (4) Tingkat spesialisasi kerja (5) Tingkat investasi

(6) Tingkat siklus pekerjaan (7) Tingkat hutang

(8) Tingkat luas jaringan (9) Tingkat luas kon (10) Tingkat jaminan laha Berikut ini adalah gambar nafkah pedagang makanan di

13 Daerah Suburban (X1) Sumber nafkah X1.2 Tingkat modal sosial X1.1 Tingkat modal alam eterangan: : mempengaruhi searah : saling mempengaruhi

sektor informal di daerah suburban

eterangan:

: mempengaruhi searah

: saling mempengaruhi

sektor informal di daerah suburban K K

: : berhubungan berhubungan tidak tidak langsung langsung Gambar 2. Bagan alir strategi nafkah Gambar 2. Bagan alir strategi nafkah

X1.5 Tingkat modal fisik X1.4 Tingkat modal finansial X1.3 Tingkat modal SDM Y.1.2. Tingkat reguleritas kerja Y.1.1. Tingkat alokasi waktu Y.1.4. Tingkat Spesialisasi pekerjaan

(Y1) Strategi Nafkah Y.1.6. siklus pekerjaan Tingkat Y.1.3. Tingkat pendapatan Y.1.5. Tingkat investasi Y.1.7. Tingkat hutang Y.1.8. Tingkat luas

jaringan Y.1.9. tingkat luas

konsumen Y.1.10. Tingkat jaminan lahan Kapasitas Menabung Alasan Bertahan Hidup Ragam Investasi

14

Hipotes Penelitian

Sebagaimana dirumuska itian yaitu: (1) menerangkan

dita

Definisi Konseptual

1. Daerah suburban ad i antara desa dan kota serta is

n dalam tujuan penel

strategi yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan untuk mempertahankan kehidupan, (2) menerangkan sebab-sebab pedagang makanan bertahan menjadi pedagang makanan di Jalan Babakan, dan (3) menerangkan cara pengelolaan surplus pendapatan pedagang makanan di Jalan Babakan. Maka dari itu, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

(1).Diduga strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan semakin bervariasi dengan bertambahnya sumber nafkah yang dimanfaatkan oleh pekerja informal.

(2).Diduga karena alasan bertahan hidup, maka pedagang makanan melanjutkan usaha berdagang makanan sekalipun di area publik.

(3).Diduga karena alasan bertahan hidup, maka semakin banyak strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan.

(4).Diduga semakin tinggi kapasitas menabung, maka semakin bervariasi ragam investasi yang dilakukan oleh pedagang makanan.

Tujuan (1) ditajamkan dengan menjawab hipotesis (1), tujuan (2) jamkan dengan menjawab hipotesis (2) dan (3), serta tujuan (3) ditajamkan dengan menjawab hipotesis (4).

alah daerah yang terletak d

adanya proses pengkotaan, yang mana penduduk daerah suburban kurang mempunyai akses terhadap lahan sawah sehingga penduduknya menjalankan ekonomi campuran.

Dokumen terkait