• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha berdagang makanan merupakan sektor informal yang selalu dinamis, yang penghasilannya tidak menentu dan siapa saja bisa memasuki sektor tersebut. Hart (1985) menyatakan bahwa pendapatan pada sektor informal didasarkan pada usaha sendiri bukan berdasarkan gaji. Usaha berdagang makanan ini dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber nafkah. Sumber-sumber nafkah ini menjadi basis nafkah dalam membangun strategi nafkah. Dharmawan (2007) menyatakan bahwa basis nafkah adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian, di mana setiap individu atau rumah tangga dapat memanfaatkan peluang nafkah dengan “memainkan” kombinasi “modal-keras” (tanah, finansial, dan fisik) dan “modal-lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia, untuk menghasilkan sejumlah strategi-penghidupan (livelihoods strategies). Pada usaha berdagang makanan yang memiliki pendapatan yang tidak menentu dan basis nafkah terbatas mengakibatkan pedagang makanan melakukan strategi nafkah.

Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Kemudian dalam penelitian Iqbal (2004) menjelaskan bahwa strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumah tangga.

Untuk menjelaskan strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan, maka subbab berikut ini menjelaskan secara rinci sistem penghidupan rumah tangga pedagang makanan. Setelah penjelasan sistem penghidupan rumah tangga pedagang makanan, maka disusul dengan penjelasan strategi-strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan.

Sistem Penghidupan Rumah Tangga Pedagang Makanan Sistem Usaha Berdagang Makanan

Berdasarkan observasi usaha berdagang makanan di Jalan Babakan, menunjukkan bahwa pengelolaan usaha berdagang makanan dengan manajemen usaha yang sederhana dengan cara tradisional. Usaha berdagang makanan ini juga belum terakomodir secara teratur sehingga banyak pedagang makanan yang berdagang di pinggir jalan, trotoar dan bangunan-bangunan yang berada di permukinan padat penduduk. Usaha berdagang makanan yang bertempat di trotoar dan pinggir jalan pada umumnya menjalankan usaha berdagang dengan menggunakan gerobak atau tenda, bertempat di public area seperti trotoar dan pinggir jalan, dan menggunakan air sumur dalam ember. Sementara itu, usaha berdagang yang berada di permukiman padat penduduk pada umumnya menjalankan usaha berdagang di bangunan tembok permanen melalui sewa atau bangunan milik sendiri yang bangunannya bergabung dengan bangunan rumah

50

tempat tinggal. Berikut ini terdapat tabel matriks yang menjelaskan lokasi, teknologi, pengadaan bahan baku dan resiko berdagang yang dialami oleh contoh kasus dari responden.

Tabel 12. Matriks perbedaan sistem usaha berdagang makanan contoh kasus pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012

Contoh kasus Hasil obervasi

Ibu EP (28 tahun), tergolong pada jenis usaha yang mempekerjakan pegawai yaitu mempekerjakan suaminya. (1) Detail lokasi

Di trotoar depan telkom Babakan.

(2) Detail teknologi

a)Ketika berdagang Ibu EP meletakkan satu gerobak kayu dorong sewaan di pinggir jalan. Di samping gerobak terdapat tiga ember yang berisi air untuk mencuci piring, mangkok, sendok, dan gelas yang telah digunakan konsumen. Di belakang gerobak yaitu tepatnya di trotoar terdapat juga enam kursi plastik dan satu meja kayu berukuran kurang lebih 60 cm x 2 m. Di atas trotoar tersebut dipasang terpal kurang lebih seluas emam meter persegi untuk mengayomi kursi dan meja. Terpal yang digunakan dalam berdagang tersebut sudah sobek.

b)Tidak ada gaji untuk pegawai karena pegawai adalah suami sendiri.

(3) Detail pengadaan bahan baku

Dengan cara membeli bahan-bahan berdagang pada pedagang langgananya.

(4) Detail resiko berdagang

Penipuan yang dilakukan oleh konsumen, relokasi atau penggusuran, dan biaya retribusi.

Ibu SKS (48 tahun), tergolong pada jenis usaha yang mempekerjakan pegawai yaitu mempekerjakan suaminya dan satu pegawai. (1) Detail lokasi

Di bangunan sewa yang terletak di Babakan Tengah.

(2) Detail teknologi

a)Warung makan ini terkenal dengan tempe mendoannya. Tempe mendoan dibuat oleh Ibu SKS dan pegawainya sendiri setelah warung tutup. Di dalam warung terdapat satu buah etalase ukurannya kurang lebih 1 m x 40 cm, tiga meja berukuran kurang lebih 1,5 m x 60 cm, satu meja berukuran kurang lebih 2 m x 0,5 m, tiga kursi kayu yang berukuran kurang lebih 1 m x 20 cm, dua belas kursi plastik, piring, gelas, teko air, sendok, garpu, kompor, ricecooker, cobek, panci, penggorengan, dan rak piring. Sementara itu, di warung terdapat kran air yang mengalirkan air tampungan dari sumur.

b)Pegawai digaji sebesar Rp500.000 per bulan dan suami tidak digaji.

(3) Detail pengadaan bahan baku

Dengan cara pergi ke pasar untuk membeli bumbu masak, kedelai, daun pisang, ayam dan sayur pada satu pedagang langganannya, sedangkan Ibu SKS membeli ikan pada pedagang yang memberi harga termurah. Sementara itu, telur, beras, gas, dan air galon diantarkan oleh toko langganannya.

(4) Detail resiko berdagang

Banyaknya jenis tarikan dana yang diminta oleh pihak desa seperti uang sampah, pengajian akbar, dan santunan anak yatim. Sumber: data primer

51 Pada tabel matriks 12 menunjukkan bahwa sistem usaha berdagang makanan yang bertempat di public area berbeda dengan sistem usaha berdagang makanan yang bertempat di area permukiman pada penduduk, walaupun teknologi yang digunakan sama yaitu teknologi yang tergolong sederhana. Berdasarkan observasi, penggunaan teknologi sederhana pada usaha dagang makanan di public area yaitu berupa digunakannya gerobak kayu dorong, air yang ditempatkan pada ember, satu jenis pisau dapur, dan berbelanja di pasar tradisional. Resiko yang dihadapi dalam berdagang makanan di public area berupa penipuan oleh konsumen, relokasi, penggusuran dan uang retribusi. Sementara itu, teknologi yang digunakan oleh pedagang makanan yang berdagang di permukiman padat penduduk Jalan Babakan juga tergolong sederhana. Teknologi sederhana ini ditunjukkan oleh pemakaian air sumur, belanja di pasar tradisional, penggunaan cobek, dan jenis panci masak yang masih biasa. Resiko yang dialami oleh pedagang makanan yang berdagang di permukiman adalah banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa.

Berdasarkan tabel matriks 12 juga menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan sistem usaha berdagang makanan yang bertempat di public area dan di permukiman padat penduduk, tetapi pada intinya sama yaitu sistem usaha yang mereka kerjakan masih menggunakan teknologi sederhana. Sementara itu, terdapat perbandingan resiko yang dialami oleh pedagang makanan di public area

dan di permukiman padat penduduk. Resiko yang dihadapi oleh pedagang makanan di public area adalah penipuan oleh konsumen, relokasi, penggusuran dan uang retribusi. Resiko yang dihadapi oleh pedagang makanan di permukiman padat penduduk adalah banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa dan libur akademik mahasiswa. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa resiko pedagang makanan di public area lebih tinggi dari pada resiko pedagang makanan di permukiman padat penduduk, karena pedagang makanan di

public area beresiko terhadap penggusuran sehingga dapat mengakibatkan hilangnya sumber nafkah. Hal ini diperkuat dengan contoh kasus Ibu NAR.

“Katanya IPB akan menggusur pedagang-pedagang seperti saya Mbak. Ya, saya harus bagaimana jika nanti itu benar-benar terjadi. Saya berfikir bagaimana keadaan saya nanti. Saya mencari makan dari berdagang seperti ini Mbak. Malah akhir-akhir ini pegawai desa semakin menekan pedagang seperti saya dengan alasan katanya pedagang seperti saya itu bisa berjualan berkat pertolongan dari desa. Makanya Mbak pegawai desa mau menaikan uang retribusi dari Rp3500 per hari Rp10.000 per hari jika tidak membayar katanya saya disuruh tidak berjualan di sini” (NAR, 41 tahun).

Contoh kasus Ibu NAR yang merupakan pedagang makanan yang berdagang di trotoar, menunjukkan bahwa Ibu NAR sangat khawatir dengan adanya resiko penggusuran dan naiknya tarif retribusi. Bagi Ibu NAR trotoar adalah sumber nafkah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan kehidupan agar bisa bertahan hidup. Maka dari itu, resiko penggusuran sangat mengancam sumber penghidupannya. Selain itu, terdapat juga ancaman yang datang dari preman dan aparat IPB, hal ini sesuai dengan penuturan Ibu NEN dan Bapak AHS.

“Dulu ketika saya masih bekerja di warung-warung milik keluarga saya, saya sering melihat preman dan anak buahnya yang makan tanpa membayar. Kemudian untuk mendapatkan tempat berdagang di trotoar maka harus membeli pada orang yang

sebelumnya menempati lahan tersebut dan juga harus tetap bayar ke desa serta

52

jika ada isu penggusuran dan relokasi maka pedagang-pedagang yang ada di sana iuran untuk menyuap seorang oknum dari pihak IPB atau desa agar usaha berdagang makanan tidak di bongkar ” (NEN, 25 tahun).

Berdasarkan penuturan Ibu NEN menunjukkan bahwa dalam usaha memperoleh ijin tempat berdagang maka pedagang yang berdagang di trotoar Jalan Babakan harus membayar sejumlah uang kepada pedagang yang sebelumnya menempati trotoar tersebut, kemudian juga harus membayar sejumlah uang pada aparat desa dan preman yang menguasai area tersebut. Selain itu, para preman dan anak buahnya juga memeras para pedagang makanan dengan cara makan makanan dagangan tanpa membayarkan sejumlah uang kepada pedagang makanan. Penggunaan public area seperti trotoar ini sebagai tempat berdagang, sangat rawan terjadi penggusuran atau penertiban. Oleh karena itu, terdapat celah bagi oknum dari beberapa instansi untuk melakukan pemungutan liar. Penuturan Ibu NEN ini diperkuat oleh penuturan Bapak AHS.

“Penarikan uang retribusi dari para pedagang itu di bawahi oleh dua pihak yaitu

pihak desa yang mengambil uang retribusi di auning (pedagang yang berjualan di

trotoar dan pinggir jalan) dan pihak IPB yang mengambil uang hak guna usaha dari para pedagang berkios di Babakan Raya. Dulu sekitar dua tahun ada oknum IPB yang juga memungut uang retribusi dari auning, akibatnya para pedagang merasa aman berdagang di auning itu. Pada tahun 2013 ada rencana dari IPB untuk mentata ulang pedagang yang ada di Babakan Raya. Ya, kalau saya sebagai ketua paguyuban

pedagang sih mendukung kebijakan yang positif saja dan saya akan

memperjuangkan agar tidak ada kapitalisme yang bermodal untuk menguasai kios- kios tersebut nantinya. Menurut saya, pihak Bisnis dan Kemitraan IPB cenderung frontal dalam upaya pengusiran para pedagang kaki lima yang berada di trotoar, karena pihak dari IPB ini mengambil kebijakan yang tidak terlebih dulu disosialisasikan kepada para pedagang. Ya, kalau para pedagang diusir nanti bagaimana keadaan keluarga pedagang. Seharusnya, pihak IPB mendekati masyarakat menggunakan hati bukan otak” (AHS, ketua paguyuban pedagang di kios Babakan Raya).

Berdasarkan penuturan Pak AHS menunjukkan bahwa berdagang di trotoar mempunyai resiko penggusuran dan relokasi yang dilakukan oleh pihak berwenang yaitu IPB. Dari kewenangan IPB ini terdapat oknum IPB yang melakukan penarikan uang retribusi pada pedagang makanan yang berdagang di trotoar Jalan Babakan, sehingga para pedagang makanan merasa aman dari penggusuran atau relokasi.

Resiko-resiko yang dihadapi oleh pedagang makanan di Jalan Babakan adalah penipuan oleh konsumen, pemerasan oleh preman, adanya penggusuran atau relokasi, banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa. Atas dasar adanya resiko-resiko tersebut maka rumah tangga pedagang makanan tidak bisa menggantungkan hidupnya pada usaha berdagang makanan, melainkan harus melakukan income diversity berupa adanya pekerjaan sampingan seperti buruh cuci baju, tukang pijit, dan mempekerjakan anggota rumah tangga.

Sumber Nafkah Rumah Tangga Pedagang Makanan

Ellis (2000) menyatakan bahwa terdapat lima jenis modal yang diidentifikasi sebagai basis sumber nafkah untuk membangun strategi nafkah. Kelima modal tersebut adalah modal alam, fisik, sumber daya manusia, finansial dan sosial. Modal alam mengacu pada sumber daya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan

53 hidup mereka. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka.

Sementara itu, Dharmawan (2007) menyatakan bahwa keberadaan struktur sosial-ekonomi sebagai faktor tunggal penentu sebuah strategi nafkah, sehingga sistem nafkah (kumpulan strategi nafkah) merupakan respon adaptif-reaktif masyarakat atas tekanan perubahan struktur ekonomi dan institusional yang membelenggu sistem penghidupan mereka. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa strategi nafkah dibentuk oleh lima basis sumber nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia, finansial dan sosial) yang dipengaruhi oleh keberadaan struktur sosial-ekonomi. Setiap sistem penghidupan yang dibangun oleh rumah tangga selalu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh lima basis nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia, finansial dan sosial) yang telah mengalami tekanan akibat perbedaan struktur sosial-ekonomi.

“Pada Mazhab Bogor, strategi penghidupan dan nafkah pedesaan dibangun selalu menunjuk ke sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sistem nafkah yang denikian, basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktifitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian. Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya setempat. Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya. Ketiga elemen tersebut adalah: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku), (2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agararia, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) supra-struktur sosial (setting ideologi, etika- moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku)” (Dhramawan 2007: 179).

Berdasarkan beberapa penelitian-penelitian sebelumnya dapat dibandingkan sistem nafkah yang dibangun oleh rumah tangga pedesaan, daerah suburban, dan perkotaan dalam mengeksistensikan kehidupan. Pemilihan lokasi yang berjenjang ini dimaksudkan untuk melihat dampak perbedaan struktur sosial-ekonomi pada sistem nafkah yang dibangun oleh masing-masing rumah tangga pada lokasi- lokasi tersebut.

Berdasarkan tabel matriks 13 menunjukkan bahwa sistem nafkah yang dibangun pada masing-masing rumah tangga di masing-masing lokasi mempunyai perbedaan. Dari lokasi pedesaan, daerah suburban, sampai daerah perkotaan menunjukkan semakin beragam strategi nafkah yang dibangun untuk mempertahankan hidup. Hal ini karena dari lokasi pedesaan, daerah suburban, sampai daerah perkotaan menunjukkan ketersediaan sumber nafkah yang semakin berkurang akibat perbedaan struktur sosial-ekonomi. Berkurangnya sumber nafkah dan tekanan struktur sosial-ekonomi inilah yang kemudian mendorong rumah tangga memanipulasi dan mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa diakses.

54

Tabel 13. Matriks perbandingan strategi nafkah rumah tangga berdasarkan subyek penelitian.

Judul Penelitian Subyek

Penelitian

Lokasi Penelitian

Strategi Nafkah yang Dibangun Sistem nafkah rumah tangga petani kentang di dataran tinggi Dieng3 Rumah tangga petani kentang Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

(1) strategi intensifikasi lahan pertanian (on farm), (2) strategi mendiversifikasi sumber nafkah (on farm dan

non farm) yaitu migrasi dan berdagang. Strategi nafkah sektor informal di daerah subburban Rumah tangga pedagang makan Jalan Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

(1) pola nafkah ganda, (2) strategi mengeksploitasi diri, (3) strategi menekan biaya berdagang, (4) strategi pemanfaatan lahan, (5) strategi mempekerjakan anggota keluarga, (6) strategi pembagian kerja, (7) strategi ekspansi usaha, serta (8) strategi berhutang dan pencairan investasi4. Strategi nafkah rumah tangga miskin perkotaan5 Rumah tangga miskin perkotaan Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara

(1) pola nafkah ganda, (2) pemanfaatan kelembagaan ekonomi, (3) pemanfaatan jaringan sosial, (4) nafkah berbasis perdagangan, (5) mengganti jenis makanan, (6) nafkah berbasis rumah

kontrakan, (7) nafkah berbasis peluang kerja di sektor

industri, (8) berhutang, dan (9) mencairkan aset rumah

tangga.

Berdasarkan tabel matriks 13, menunjukkan bahwa berkurangnya sumber nafkah dan tekanan struktur sosial-ekonomi yang mendorong rumah tangga memanipulasi dan mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa diakses. Basis nafkah rumah tangga pedagang makanan untuk membangun sistem nafkah terdiri dari lima sumber nafkah yaitu modal alam, fisik, sumber daya manusia, finansial dan sosial. Pertama, modal alam berupa pemanfaatan lahan yang digunakan dalam menjalankan usaha berdagang makanan seperti public area, lahan sewa atau lahan miliki sendiri. Kedua, modal fisik berupa wujud fisik bangunan yang digunakan dalam berdagang seperti mendirikan tenda atau bangunan tembok. Ketiga, modal sumber daya manusia berupa pendidikan terakhir yang ditempuh pedagang makanan dan jumlah pegawai yang dipekerjakan dalam menjalankan usaha

3

Sumber: skripsi yang ditulis oleh Turasih pada tahun 2011 4

Sumber: data primer tahun 2012 yang sudah dianalisis 5

55 berdagang. Keempat, modal finansial berupa uang yang digunakan dalam menjalankan usaha berdagang dalam kurun waktu satu hari, Kelima, modal sosial berupa jumlah mitra kerja yang membantu mengeksistensikan usaha berdagang seperti pemasok bahan, pemodal usaha berdagang dan mitra usaha.

Modal sosial ini membantu pedagang makanan ketika mengalami masa sulit secara finansial seperti contoh kasus Ibu NAR (41 tahun) menyatakan bahwa “Setelah lebaran, saya mengalami kekurangan modal karena selama satu bulan dagangan tutup, untuk berdagang lagi biasanya saya mengambil dahulu barang- barang keperluan saya di pedagang langganan saya". Sementara itu, terdapat contoh kasus Ibu OY(51 tahun).

“Berjualan itu hasilnya tidak tentu Neng, tetapi yang jelas penghasilan malam hari itu lebih banyak dari pada siang hari seperti ini. Jika kami kekurangan modal, maka kami berhutang barang belanjaan dari toko dahulu, baru besoknya kami membayar barang belanjaan tersebut, kadang-kadang kami juga mencicil belanjaan tersebut Neng” (Ibu Oy, 51 tahun)

Berdasarkan penuturan Ibu NAR dan OY menunjukkan bahwa mereka memanfaatkan modal sosial yaitu berupa bantuan pemasok bahan untuk bangkit dari masa sulit dari kekurangan modal finansial. Mereka memilih untuk memanfaatkan modal sosial berupa bantuan dari pemasok bahan karena mereka merupakan pendatang dari luar Kecamatan Dramaga, sehingga mereka tidak bisa meminta bantuan saudara-saudara mereka. Berbeda dengan contoh kasus Pak SHD yang memanfaatkan modal sosial yang berupa bantuan modal dari pemodal usaha, pemodal usaha ini tidak lain adalah saudaranya sendiri.

“Dulu ketika awal saya mendirikan warung di sini, saya bayar untuk dapat lahan sebesar Rp 12.000.000 ke orang yang awalnya berjualan di sini, sedangkan sekarang saya masih ditarik uang kebersihan dan keamanan sebesar Rp 6000,00 per hari pada aparat desa. Saya berdagang bersama istri tetapi istri melayani cabang warung ini yang diberi nama LS. LS terletak di seberang jalan Mbak bahkan sudah punya bangunan tetap walaupun menyewa. Kalau MRS ini ya masih beginilah selalu dibongkar jika jualannya sudah habis, tetapi penghasilan kotor dari MRS lebih banyak daripada LS mbak. Saya dan istri berjualan ini diberi

modal oleh kakak saya makanya keuntungannya itu dibagi sama kakak saya”

(SHD, 31 tahun).

Berdasarkan penuturan Pak SHD menunjukkan bahwa modal sosial yang diakses merupakan modal sosial yang dekat dengan dirinya, karena Pak SHD merupakan penduduk asli Babakan Lebak.

Tabel 14. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tingkat sumber nafkah dan strategi nafkah, tahun 2012

Tingkat strategi nafkah Tingkat sumber nafkah

total

Tinggi Sedang Rendah

Rendah (< 6 strategi) 0 3 1 4

Sedang (= 6 strategi) 2 6 5 13

Tinggi (> 6 strategi) 2 10 6 18

Total 4 19 12 35

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa semakin tinggi sumber nafkah yang dimanfaatkan maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun. Hal ini

56

ditunjukkan pada responden yang memiliki sumber nafkah yang sedang dan tinggi membangun strategi nafkah yang semakin beragam dibanding dengan responden yang memiliki sumber nafkah yang rendah. Hal ini diperkuat dengan contoh kasus dalam matrik 15 menunjukkan bahwa semakin secure modal alam yang dapat diakses maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin besar modal finansial untuk berdagang maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin permanen bangunan atau modal fisik yang dimanfaatkan untuk berdagang maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin banyak pegawai yang dipekerjakan maka semakin tinggi tingkat pendapatan; sementara itu, tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka belum tentu tingkat pendapatan akan tinggi atau rendah.

Tabel 15. Matriks perbandingan sumber nafkah rumah tangga contoh kasus responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga, tahun 2012

Contoh kasus Sumber nafkah Modal alam Modal finansial Modal fisik Modal sumberdaya manusia Modal sosial

Strategi nafkah yang dibangun EP Lahan umum Rp220.000 per hari Mendiri- kan tenda sementara (1). Tamat SMA (2). Usaha berdagang dibantu oleh suami empat orang pema- sok bahan

1) Pola nafkah ganda 2) Strategi mengeksploitasi diri 3) Strategi menekan biaya berdagang 4) Strategi mempekerjakan anggota keluarga 5) Strategi memanfaatkan lahan umum

Dokumen terkait