• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Petani/Penangkar Benih Kedelai

Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki seseorang dengan semua aspek dengan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat terhadap sesuatu obyek tertentu serta karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui, dalam rangka mengetahui suatu prilaku dalam masyarakat. Nelly (1988) mendefinisikan bahwa karakteristik individu sebagai hasil pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-citanya. Karakteristik petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan seseorang.

Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh individu yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan hidupnya. Karakteristik responden petani kedelai dan penangkar di lokasi kajian dapat diidentifikasi secara keseluruhan berdasarkan identitas petani yang terdiri atas : umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, dan luas kepemilikan lahan. Masing-masing kriteria tersebut juga merupakan faktor internal yang membentuk kekuatan ataupun kelemahan dalam sistem penyediaan benih kedelai bermutu dengan bobot yang berbeda.

1. Umur Petani

Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki (Halim 1992). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik dan psikis seseorang adalah umur. Seseorang yang dalam keadaan fisik dan psikis optimal untuk bekerja berada pada umur produktif. Umur belum produktif diasumsikan secara fisik seseorang yang belum sanggup, dan secara psikis belum diberi tanggungjawab, sedangkan seseorang yang sudah memasuki masa tua dan secara fisik relatif tidak sanggup lagi untuk bekerja dikategorikan sebagai umur yang tidak produktif.

Kriteria umur dikelompokkan ke dalam empat tingkatan yaitu, kurang dari 17 tahun, antara 17-35 tahun, 36-50 tahun, dan lebih dari 50 tahun. Kurang dari 17 tahun dikategorikan usia belum produktif, usia 17-50 tahun merupakan usia produktif dan lebih dari 50 tahun diasumsikan sudah tidak produktif lagi.

Berdasarkan kategori umur petani pada Tabel 5 menunjukkan bahwa di Kabupaten Takalar sebanyak 76% petani berada pada usia produktif yaitu umur 17-50 tahun, masing-masing 14% pada usia 17-35 tahun, 62% pada usia 36-50 tahun. Sebanyak 10% berada pada usia belum produktif, dan sebanyak 14% berada pada usia sudah tidak produktif.

Kabupaten Bone sebanyak 82% petani berada pada usia produktif yaitu umur 17-50 tahun, masing-masing 22% pada usia 17-35 tahun, sebanyak 60% pada usia 36-50 tahun. Usia belum produktif sebanyak 14%, serta sebanyak 4% berada pada usia tidak produktif. Kabupaten Soppeng sebanyak 74% petani berada pada usia produktif yaitu umur 17-50 tahun, masing-masing 10% berada pada usia 17-35 tahun, 64% pada usia 36-50 tahun. Sebanyak 20% petani berada pada usia belum produktif, serta sebanyak 6% petani berada pada usia tidak produktif.

Kabupaten Wajo sebanyak 86% petani berada pada usia produktif yaitu usia antara 17-50 tahun, masing-masing 22% berada pada usia 17-35 tahun, 64% pada usia 36-50 tahun. Sebanyak 4% petani berada pada usia belum produktif dan 10% petani berada pada usia tidak produktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan petani kedelai (74-86%) berada pada usia produktif yang merupakan usia optimal dalam bekerja sehingga hal ini merupakan salah satu faktor kekuatan dalam analisis SWOT. Komposisi petani di setiap lokasi kajian berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi petani kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian

Umur Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. < 17 5 10 7 14 10 20 2 4 24 12 2. 17-35 7 14 11 22 5 10 11 22 34 17 3. 36-50 31 62 30 60 32 64 32 64 125 65, 5 4. >50 7 14 2 4 3 6 5 10 17 8,5 Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 10 0

Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

Komposisi umur penangkar benih kedelai di empat lokasi kajian juga sebagian besar masih berada pada usia produktif. Sebanyak 100% panangkar benih berada pada usia produktif di Kabupaten Takalar dan Soppeng dan sebanyak 80% usia produktif di Kabupaten Bone dan Wajo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan penangkar benih kedelai (80-100%) berada pada usia produktif yang merupakan usia optimal dalam bekerja sehingga hal ini merupakan salah satu faktor kekuatan dalam analisis SWOT. Komposisi penangkar benih kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi penangkar benih kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian

Umur Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. < 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2. 17-35 1 20 3 60 0 0 1 20 5 25 3. 36-50 4 80 1 20 5 100 3 60 13 65 4. >50 0 0 1 20 0 0 1 20 2 10 Jumlah 5 100 5 100 5 100 5 100 20 100

Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

Kemampuan kerja petani sangat ditentukan oleh umur petani/penangkar tersebut. Mulyasa (2003) menyatakan bahwa perkembangan kemampuan berpikir terjadi seiring dengan bertambahnya umur. Usahatani di bidang pertanian idealnya ditekuni oleh petani yang berusia lebih muda, kecenderungan ini dikarenakan perlunya kekuatan fisik dan proses adopsi inovasi baru, dimana petani yang berumur muda akan lebih tanggap bila dibandingkan dengan petani yang berumur lebih tua. Menurut Wiriaatmadja (1986), umur petani/penangkar akan mempengaruhi penerimaan petani/penangkar terhadap hal-hal baru. Lebih

lanjut Padmowihardjo (1994) menyatakan bahwa kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Hal ini berarti pada umur lebih dewasa/tua orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar daripada usia lebih muda. Setelah mencapai umur tertentu, maka kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata diatas 50 tahun dan setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.

2. Tingkat Pendidikan Petani

Tingkat pendidikan merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap akseptabilitas perkembangan informasi dan teknologi seseorang. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah seseorang tersebut untuk menyerap dan menerima informasi, dengan demikian akan berpengaruh terhadap adopsi teknologi dan fleksibel terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi (Winkel 1986).

Pendidikan dimaksud adalah pendidikan formal. Tingkat pendidikan dibagi ke dalam lima stratum yaitu 1) tidak ada (tidak pernah sekolah), 2) Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat (SD/SR), 3) SMP dan yang sederajat, 4) SMU dan yang sederajat, serta 5) Pendidikan tinggi D3, S1 dan S2.

Berdasarkan kategori tingkat pendidikan petani di Kabupaten Takalar sebanyak 40% petani tamat SD, sebanyak 20% petani tamat SMP, sebanyak 26% petani tamat SMA, sebanyak 4% petani D3/S1, dan sebanyak 10% petani tidak tamat SD ataupun tidak sekolah. Kabupaten Bone sebanyak 32% petani tamat SD, sebanyak 40% tamat SMP, sebanyak 20% petani tamat SMA, sebanyak 4% tamat D3/S1, dan sebanyak 4% tidak tamat SD. Kabupaten Soppeng sebanyak 34% petani tamat SD, sebanyak 40% tamat SMP, sebanyak 22% tamat SMA, dan sebanyak 2% tidak tamat SD. Kabupaten Wajo sebanyak 36% petani tamat SD, sebanyak 24% petani tamat SMP, sebanyak 22% petani tamat SMA, sebanyak 8% petani tamat D3/S1, dan sebanyak 10% petani tidak tamat SD. Komposisi petani kedelai menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi petani kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian

Tingkat Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah Pendidikan Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. Tidak tamat SD 5 10 2 4 1 2 5 10 13 6,5 2. Tamat SD 20 40 16 32 17 34 18 36 71 35,5 3. Tamat SMP 10 20 20 40 20 40 12 24 62 31 4. Tamat SMA 13 26 10 20 12 24 11 22 46 23 5. D3/S1 2 4 2 4 0 0 4 8 8 4 Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100 Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

Komposisi tingkat pendidikan pada penangkar benih masing-masing lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 9. Tingkat pendidikan penangkar benih di Kabupaten Takalar sebagian besar tamat SMP/sederajat (60%), sedangkan di Kabupaten Bone tingkat pendidikan penangkar benih sebagian besar tamat SMA/sederajat yaitu 60%. Tingkat pendidikan penangkar benih di Kabupaten Soppeng sebagian besar tamat SD/sederajat yaitu 60%, dan di Kabupaten Wajo tingkat pendidikan penangkar 100% tamat SMA/sederajat.

Tabel 9 Komposisi penangkar benih kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian

Tingkat Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah Pendidikan Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. Tidak tamat SD 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2. Tamat SD 1 20 1 20 3 60 0 0 5 25 3. Tamat SMP 3 60 1 20 0 0 0 0 4 20 4. Tamat SMA 1 20 3 60 2 40 5 100 11 55 5. D3/S1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 5 100 5 100 5 100 5 100 20 100 Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

Pendidikan adalah usaha melakukan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui masyarakat (Wiriatmadja 1986). Tingkat pendidikan petani/penangkar benih kedelai yang tergolong rendah biasanya kurang berdaya, yang akan berimplikasi pada kurang berani dalam menanggung resiko untuk mencoba hal-hal baru yang berhubungan dengan aktifitas berusahatani. Biasanya tingkat pendidikan petani kedelai yang rendah

lebih senang menerapkan teknik berusaha tani kedelai yang telah biasa mereka lakukan secara turun temurun.

Menurut Mulyasa (2003) bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, dimana individu-individu memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan rendahnya keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah, karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya, teknologi dan keterampilan manajemen.

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang memberikan wawasan pola berpikir yang semakin rasional dan kompeten dalam pengambilan keputusan berusahatani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis, semakin efisien bekerja dan semakin banyak teknik berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Pendidikan petani umumnya mempengaruhi pola pikir petani dalam mengelola usahatani.

3. Pengalaman Berusahatani Kedelai

Pengalaman berusahatani merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas petani, dimana yang diinginkan petani berdasarkan pengalaman yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan. Menurut Mardikanto (1993) pengalaman seorang petani berpengaruh dalam mengelola usahatani, petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung sangat selektif dalam proses pengambilan keputusan.

Kriteria pengalaman berusaha tani dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu : 1) belum berpengalaman atau pengalaman masih sedikit kurang dari 5 tahun, 2) berpengalaman, dan 3) sangat berpengalaman. Semakin lama seseorang berusaha tani maka akan semakin banyak mengetahui potensi dan peluang yang ada, sekaligus lebih mampu mengatasi kelemahan dan menyelesaikan kendala-kendala yang ditemui.

Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Takalar sebanyak 70% petani mempunyai pengalaman usahatani antara 5-10 tahun, sebanyak 11% petani mempunyai pengalaman lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 8% petani

mempunyai pengalaman kurang dari 5 tahun. Kabupaten Bone sebanyak 72% petani mempunyai pengalaman usahatani 5-10 tahun, sebanyak 22% petani mempunyai pengalaman usahatani lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 6% petani mempunyai pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun. Kabupaten Soppeng sebanyak 62% petani mempunyai pengalaman usahatani 5-10 tahun, sebanyak 36% petani mempunyai pengalaman usahatani lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 2% petani mempunyai pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun. Kabupaten Wajo sebanyak 54% petani mempunyai pengalaman usahatani antara 5-10 tahun, sebanyak 36% petani mempunyai pengalaman usahatani lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 10% petani mempunyai pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian di empat lokasi kajian maka pengalaman usahatani kedelai bagi sebagian besar petani responden adalah relatif lama sehingga pengalaman lebih banyak. Komposisi petani kedelai menurut pengalaman usahatani di lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Komposisi petani kedelai menurut pengalaman usahatani di lokasi kajian

Pengalaman Usahatani

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1 < 5 4 8 3 6 1 2 5 10 13 6.5

2 5-10 35 70 36 72 31 62 27 54 129 64.5

3 > 10 11 22 11 22 18 36 18 36 58 29

Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100

Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

Pengalaman menangkar penangkar benih pada empat lokasi kajian sebagian besar berada pada 5-10 tahun yaitu sebanyak 16 orang atau 80%. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman penangkar benih kedelai dapat dimasukkan dalam unsur kekuatan pada analisis SWOT. Komposisi pengalaman menangkar penangkar benih kedelai pada lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Komposisi penangkar benih berdasarkan pengalaman menangkar benih di lokasi kajian

Pengalaman menangkar

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1 < 5 1 20 1 20 0 0 2 40 4 20

2 5-10 4 80 4 80 5 100 3 60 16 80

3 >10 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0

Jumlah 5 100 5 100 5 100 5 100 20 100

Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

Pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengalaman seorang petani/penangkar akan berpengaruh dalam mengelola usahatani yang dilakukan. Pengalaman berusahatani memiliki peranan yang sangat penting bagi petani dalam mengembangkan usahataninya, menerima, dan menerapkan teknologi baru (Padmowihardjo 1994).

4. Tingkat Penguasaan Lahan

Tanaman kedelai di Kabupaten Takalar sebagian besar diusahakan di lahan sawah. Luas garapan petani untuk tanaman kedelai sebesar 46% petani yang mengusahakan kedelai pada lahan seluas kurang dari 0,5 ha, sebanyak 30% petani yang mengusahakan kedelai pada luas lahan 0,5-1,0 ha, sebanyak 14% petani yang mengusahakan kedelai dengan luas lahan 1,0-2,0 ha, dan sebanyak 10% petani yang mengusahakan kedelai pada luas lahan lebih dari 2,0 ha. Lahan tersebut 60% diantaranya merupakan milik petani dan 40% merupakan bagi hasil.

Tanaman kedelai di Kabupaten Bone diusahakan di lahan basah (sawah) dan lahan kering. Sebagain besar petani memiliki luas lahan 0,5-1,0 ha yaitu sebanyak 64%. Selanjutnya petani yang mengusahakan kedelai dengan luas lahan seluas 1,0-2,0 sebanyak 24%, petani yang mengusahakan kedelai dengan lahan kurang dari 0,5 ha dan lahan lebih dari 2 ha masing-masing sebesar 6%. Lahan tersebut 100% merupakan milik petani atau petani sebagai pemilik.

Tanaman kedelai di Kabupaten Soppeng diusahakan pada lahan tadah hujan dan lahan kering. Sebanyak 60% petani mengusahakan tanaman kedelai dengan luas lahan 0,5-1,0 ha, kemudian sebanyak 20 % petani memiliki luas

garapan seluas 1,0-2,0 ha, sebanyak 12% petani mengusahakan kedelai dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha, serta sebanyak 8% petani mengusahakan kedelai dengan luas garapan lebih dari 2 ha.

Tanaman kedelai di Kabupaten Wajo juga diusahakan lebih banyak pada lahan kering. Luas garapan untuk tanaman kedelai sebanyak 24% petani yang mengusahakan kedelai pada lahan seluas 1,0-2,0 ha, sebanyak 46% petani yang mengusahakan kedelai pada lahan seluas 0,5-1,0 ha, sebanyak 16% petani yang mengusahakan kedelai pada luas lahan kurang dari 0,5 ha, dan sebanyak 10% petani yang mengusahakan kedelai dengan luas lahan lebih dari 2,0 ha. Komposisi luas penguasaan lahan kedelai di empat lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Komposisi tingkat penguasaan lahan kedelai di lokasi kajian

Luas lahan (ha)

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1 < 0,5 23 46 3 6 6 12 10 20 13 6.5 2 0,5-1,0 7 14 12 24 10 20 12 24 82 41 3 1,0-2,0 15 30 32 64 30 60 23 46 47 23.5 4 > 2,0 5 10 3 6 4 8 5 10 58 29 Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100 Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa luas lahan usahatani kedelai di empat lokasi kajian adalah didominasi oleh luas lahan 0,5-1,0 ha, yaitu 41%. Berdasarkan kondisi tersebut maka petani lebih termotivasi untuk memperoleh pendapatan usahatani yang lebih baik.

Padmowihardjo (1994) menyatakan bahwa semakin luas garapan yang dimiliki petani, maka tingkat adopsi teknologi budidaya yang cenderung akan semakin sesuai. Lebih lanjutkan dinyatakan bahwa ukuran usahatani selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi, artinya makin luas atau besar uasatani, maka semakin tinggi adopsi inovasi petani terhadap teknologi budidaya.

5. Tingkat Penerapan Teknologi Produksi Benih

Tanaman kedelai dapat tumbuh diberbagai agroekosistem dengan jenis tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda. Teknologi produksi benih kedelai meliputi teknologi penggunaan benih bermutu, persiapan lahan, penamanan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, seleksi (roguing), pasca panen, dan pengujian mutu benih.

a. Penggunaan benih bermutu

Cara memproduksi benih kedelai yang baik diperlukan pengetahuan tentang penanganan benih yang meliputi tiga aspek yaitu : aspek genetis, fisiologis, dan fisik. Aspek genetis benih artinya benih memiliki sifat-sifat sesuai dengan deskripsi varietas yang bersangkutan, sedangkan untuk mendapatkan mutu fisiologi dan fisik yang tinggi diperlukan penanganan pra dan pascapanen yang baik. Benih kedelai yang digunakan, pada dasarnya harus benih yang unggul dan bermutu tinggi. Benih yang unggul dan bermutu tinggi akan menjamin pertanaman yang bagus dan hasil panen yang tinggi, yang dicerminkan oleh tingginya tingkat keseragaman benih, daya tumbuh, dan tingkat kemurnian.

Penggunaan benih bermutu di empat lokasi kajian menunjukkan bahwa di Kabupaten Takalar sebanyak 60% belum menggunakan benih bermutu, di Kabupaten Bone dan Wajo masing-masing sebanyak 40% belum menggunakan benih bermutu, dan di Kabupaten Soppeng semua penangkar benih 100% menggunakan benih bermutu.

Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul (benih unggul dan bersertifikat), merupakan faktor yang dapat mempercepat terjadinya kenaikan produksi pertanian. Berdasarkan hal itu maka kemampuan dalam mengembangkan penggunaan benih bermutu dari varietas unggul yang produktif, spesifik lokasi (agroekologi), dan tahan hama, disamping perluasan areal dan skala usaha petani merupakan kunci bagi tercapainya target dan sasaran dari program peningkatan produksi pertanian tanaman pangan (Husodo 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih adalah faktor bawaan (kemurnian varietas), fisiologi dan fisik benih, lingkungan, perlakuan

pascapanen. Faktor fisiologi dan fisik benih meliputi tingkat kematangan benih, benih harus dipanen dari tanaman yang sudah masak fisiologis, tingkat kerusakan mekanis benih, tingkat keusangan benih (hubungan antara vigor awal benih dengan lamanya benih disimpan), patogen pada benih, ukuran dan berat jenis benih, dan komposisi kimia benih.

Faktor lingkungan meliputi musim tanam, kultur teknik, waktu panen, cara tanam, faktor perlakuan pascapanen, cara penimbunan serta lamanya penimbunan brangkasan sebelum pengeringan dan pembijian, cara pengeringan, keseragaman dan kesehatan benih sebelum disimpan, cara pengepakan (khususnya volume dan jenis kemasan), suhu dan kelembaban tempat penyimpanan, dan proses pengangkutan benih.

b. Persiapan lahan

Pemilihan lahan untuk penangkaran benih kedelai, hendaknya disesuaikan dengan masa tanam. Mengingat mutu benih kedelai yang dihasilkan dari pertanaman awal musim hujan biasanya kurang baik, sehingga disarankan menanam kedelai untuk perbenihan pada saat akhir musim hujan di lahan tegal atau menjelang musim kemarau di lahan sawah. Pemilihan lahan untuk penanaman kedelai meliputi teknologi pengolahan tanah.

Pengolahan tanah di Kabupaten Takalar sebanyak 100% responden tidak melakukan atau Tanpa Olah Tanah (TOT). Hal ini dikarenakan penanaman kedelai dilakukan pada sawah irigasi, dimana pada lahan sawah irigasi merupakan bekas pertanaman padi sehingga tidak diperlukan pengolahan tanah yang intensif. Sebanyak 80% responden melakukan pengolahan tanah di Kabupaten Soppeng karena penanaman kedelai pada daerah tersebut di lakukan pada lahan kering, sehingga pengolahan tanah dibutuhkan. Pengolahan tanah di Kabupaten Bone dan Wajo dilakukan masing-masing 40% dan 50% oleh penangkar benih.

Penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Soppeng oleh Sejati et al. (2009) pengelolaan lahan untuk tanaman kedelai sebagian besar tidak melakukan pengolahan tanah atau TOT, karena kondisi lahan sawah setelah panen padi masih cukup lembab, sehingga petani dapat langsung

tanam dengan cara ditugal dan hanya dengan menyemprot gulma dengan menggunakan herbisida.

Pemilihan lahan juga harus memiliki persyaratan sebagai berikut: tanahnya cukup subur/gembur, dengan tingkat kesuburan sedang sampai baik, pengairannya cukup dan atau dibuat saluran-saluran drainase yang baik. Mudah terdapat sarana angkutan, tanah untuk pertanaman benih hendaknya bukan bekas tanaman kedelai sebelumnya agar percampuran varietas dapat dihindarkan, dan sebaiknya pemilihan lahan tersebut, sudah sesuai dengan persyaratan sertifikasi benih untuk menjamin kelulusan lapang oleh BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih).

c. Penggunaan varietas

Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan produksi kedelai. Sejarah pembangunan pertanaian menunjukkan bahwa teknologi esensial untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian adalah varietas unggul. Teknologi ini akan efektif meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian hanya bila benih dari varietas unggul tersebut tersedia bagi petani untuk ditanam dalam skala luas (Widyawati 2008).

Salah satu permasalahan penting dalam produksi kedelai di Indonesia adalah dalam penyediaan benih kedelai yang bermutu. Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu kunci utama dalam peningkatan produksi.

Varietas kedelai yang digunakan di lokasi kajian adalah Varietas Wilis sebanyak 72,5%, Varietas Orba sebanyak 10%, Varietas Mahameru sebanyak 5%, dan Varietas Lokal sebanyak 10%. Alasan penangkar menggunakan varietas tersebut karena varietas-varietas tersebut masih dianggap mempunyai produksi yang tinggi dan tahan terhadap hama serta penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi penggunaan varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi di tingkat petani.

Selama ini benih bermutu dari varietas unggul diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara seperti PT. Shang Hyang Sri dan PT. Pertani dan Balai-Balai Benih. Benih tersebut belum sesuai kebutuhan petani atau permintaan konsumen, sehingga diperlukan upaya-upaya yang bersifat terobosan, diantaranya adalah menjadikan (memberdayakan) beberapa petani/kelompok tani sebagai penangkar benih. Sehingga varietas yang digunakan dalam usaha tani kedelai merupakan varietas unggul yang sesuai (beradaptasi baik) pada lingkungan setempat dan benih sebagai pembawa (carrier) yang tinggi agar ekspresi dari potensi genetik diperoleh secara maksimal.

d. Penggunaan pupuk

Penggunaan pupuk sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil dan perbaikan kesuburan tanah, termasuk pada budidaya kedelai. Pupuk sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman dan untuk meningkatkan hasil.

Teknologi pemupukan terdiri atas cara penggunaan dan dosis pemupukan berdasarkan rekomendasi. Penggunaan pupuk baik cara ataupun dosis yang dilakukan petani/penangkar di lokasi kajian belum efektif dan efisien.

Sebanyak 80% penangkar di Kabupaten Takalar tidak menggunakan pupuk, 60% penangkar di Kabupaten Bone tidak melakukan pemupukan, dan sebanyak 80% penangkar di Kabupaten Soppeng dan Wajo tidak melakukan pemupukan. Alasan penangkar tidak melakukan pemupukan adalah karena harga sarana produksi terutama pupuk semakin mahal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sejati et al. (2009) di Kabupaten Soppeng bahwa alasan petani tidak menggunakan pupuk karena kenaikan harga saprodi terutama pupuk sehingga tidak dapat dijangkau oleh petani dan penanaman kedelai dilakukan secara monokultur, sehingga tidak ada persaingan antar tanaman dalam hal kebutuhan unsur hara.

e. Pengendalian hama dan penyakit

Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu resiko yang harus dipertimbangkan dalam budidaya tanaman kedelai. OPT utama yang perlu diwaspadai adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.). Secara umum dari beberapa sumber referensi, ulat grayak mulai muncul pada fase vegetatif (11 HST) sampai dengan fase generatif pada saat pertumbuhan polong dan biji (51-70 HST). Serangan membahayakan bisa terjadi pada