• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Bermutu

Perkembangan Luas Panen dan Produksi Kedelai

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia. Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman kedelai. Tanaman kedelai ditanam oleh petani pada MH, MK I dan MK II (lahan kering, lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan setelah padi).

Potensi lahan pengembangan tanaman kedelai mencapai 33,095 ha. Sedang rata-rata pengembangan tanaman kedelai selama sepuluh tahun terakhir seluas 19.211 persen. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai di Sulawesi Selatan tahun 2000-2009 disajikan pada Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan dalam kurun waktu sepuluh tahun (2000-2009) perkembangan luas panen mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun dengan rata-rata perkembangan sebesar -1.33% per tahun. Perkembangan luas panen tertinggi terjadi dari tahun 2007 ke tahun 2008 yaitu 47,31%, sedangkan penurunan luas panen yang sangat tajam terjadi pada tahun 2001 dari 38.564 ha menjadi 16.625 ha pada tahun 2002 atau sekitar -56,89%.

Penurunan areal panen antara lain disebabkan karena usahatani kedelai beresiko tinggi yang ditimbulkan oleh hama dan iklim. Jika terjadi hujan pada waktu panen kedelai maka hasil yang diperoleh akan rusak. Sebenarnya nilai imput produksi kedelai per satuan luas lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai imput produksi jagung, terutama karena jagung lebih banyak menggunakan pupuk, namun demikian produksi kedelai beresiko tinggi bagi petani.

Tabel 14 Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai di Sulawesi Selatan, 2000-2009

No. Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas Ha Perkem bangan (%) Ton Perkem bangan (%) Ton/ha Perkem bangan (%) 1. 2000 38,564 - 49,587 - 1,52 - 2. 2001 16,625 -56,89 30,907 -37,67 1,60 5,26 3. 2002 15,167 - 8,77 19,500 -36,91 1,35 -15,63 4. 2003 17,754 17,06 24,140 23,69 1,42 5,19 5. 2004 18,029 1,55 26,875 11,42 1,49 4,93 6. 2005 16,794 - 6,85 27,262 1,44 1,62 8,73 7. 2006 14,189 - 15,51 22,242 -18,41 1,56 -3,70 8. 2007 12,029 - 15,22 18,970 -14,71 1,58 1,28 9. 2008 17,721 47,31 29,128 53,55 1,53 -3,17 10. 2009 25,234 42,40 41,278 41,71 1,60 4,58 Rata-rata -1,33 2,68 0,83

Sumber : Distan Sulsel 2010 (dianalisis) Keterangan : (-) = penurunan

Penurunan areal panen antara lain disebabkan karena usahatani kedelai beresiko tinggi yang ditimbulkan oleh hama dan iklim. Jika terjadi hujan pada waktu panen kedelai maka hasil yang diperoleh akan rusak. Sebenarnya nilai imput produksi kedelai per satuan luas lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai imput produksi jagung, terutama karena jagung lebih banyak menggunakan pupuk, namun demikian produksi kedelai beresiko tinggi bagi petani. Resiko tinggi tersebut berkaitan dengan hama, ketahanan terhadap curah hujan atau air pada saat panen, dan tingkat produktivitas serta tingkat harganya yang relatif rendah, akhirnya petani kurang tertarik menanam kedelai, sehingga persentase perkembangan luas panen kedelai cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun bahkan mengalami penurunan. Penurunan luas panen juga diakibatkan penggunaan benih bermutu yang belum dilakukan, karena kebutuhan akan benih tersebut belum bisa terpenuhi.

Perkembangan produksi kedelai selama sepuluh tahun terakhir pada masa yang sama, mengikuti perkembangan luas panen dengan rata-rata 2,68%. Produksi kedelai selama sepuluh tahun terakhir tertinggi diperoleh pada tahun 2009 sebesar 41.278 ton, namun perkembangan produksi tertinggi diperoleh dari tahun 2007 ke 2008 yaitu 53,55%. Ditinjau dari segi produktivitas tanaman ini, juga mengalami perkembangan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan rata-rata perkembangan 0,83%. Produktivitas kedelai tertinggi selama sepuluh tahun terakhir dicapai pada tahun 2001 dan 2009 yaitu 1,6 t/ha, namun demikian

perkembangan produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2004 ke tahun 2005 yaitu 8,73%, sedangkan penurunan produktivitas yang tajam terjadi pada tahun 2002 yaitu 1,60 ton/ha pada tahun 2001 menjadi 1,35 ton/ha pada tahun 2002 (terjadi penurunan sebesar 15,63%).

Sejati et al. (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya faktor penyebab menurunnya luas areal panen, produksi, dan produktivitas kedelai di lahan petani secara umum dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu : (1) faktor alam yang meliputi kondisi iklim, kondisi tanah, dan keberadaan hamparan lahan petani, (2) faktor biotik mencakup keberadaan gulma, dan (3) faktor social ekonomi yang meliputi kepemilikan lahan usaha, status tanaman, ketersediaan modal usahatani, resiko usahatani dan curahan tenaga kerja dalam pengelolaan usahatani kedelai.

Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Bermutu

Penyediaan benih bermutu yang dapat memenuhi enam tepat merupakan persyaratan utama dalam mendukung usaha peningkatan produksi kedelai. Kebutuhan benih kedelai berfluktuasi dari tahun ke tahun sesuai dengan perubahan luas tanam. Kebutuhan benih sebar (BR) paralel dengan luas areal penanaman. Untuk mengetahui kebutuhan benih kedelai sekarang atau masa mendatang diperlukan data luas areal tanam atau luas panen. Keragaan tanaman kedelai di Sulawesi Selatan dan keragaan pertanaman (luas areal tanam, luas areal panen, produksi, produktivitas, dan kebutuhan benih) di lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16.

Luas areal pertanaman kedelai di Sulawesi Selatan sebesar 29.965, luas areal panen sebesar 25.234 ha, produksi 41.278 ton, dan produktivitas sebesar 1,6 t/ha. Berdasarkan luas areal tanam dan asumsi penggunaan benih sebanyak 40 kg/ha, maka kebutuhan potensial benih kedelai di Sulawesi Selatan adalah 1.198,6 ton.

Tanaman kedelai di Sulawesi Selatan ditanam di lima kabupaten utama, yang luasnya mencapai lebih dari 1000 hektar, yaitu Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Jeneponto, dan Maros serta secara keseluruhan tanaman kedelai di daerah tersebut ditanam di 15 kabupaten

Tabel 15 Keragaan pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di Sulawesi Selatan

Keragaan tanaman kedelai Jumlah

Luas areal tanam (ha) 29.965

Luas areal panen (ha) 25.234

Produksi (t) 41.278

Produktivitas (t/ha) 1,6

Kebutuhan benih potensial (t) 1.198,60

Sumber : Distan Sulsel, 2010

Produktivitas kedelai tertinggi di antara empat lokasi kajian diperoleh di Kabupaten Soppeng yaitu 2,0 t/ha, sedangkan produktivitas terendah diperoleh di Kabupaten Wajo yaitu sebesar 1,2 t/ha. Hal ini disebabkan karena tingkat penggunaan benih bermutu di daerah Soppeng juga tertinggi dibanding daerah lain (44%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Muhammad (2010) di Sulawesi Selatan bahwa dengan penggunaan benih kedelai bermutu dapat meningkatkan hasil sebesar 20-30%.

Kebutuhan benih tertinggi diperoleh pada Kabupaten Bone yaitu sebesar 526,64 ton dan kebutuhan terendah di Kabupaten Takalar yaitu 35,16 ton. Hal ini sesuai dengan luas tanam kedelai, dimana luas tanam yang tertinggi terdapat di Kabupaten Bone dan terendah terdapat di Kabupaten Takalar. Keragaan pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di empat lokasi kajian disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Keragaan pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di lokasi kajian

No. Kabupaten Luas Areal Tanam (ha) Luas areal panen (ha) Produksi (t) Produktivitas (t/ha) Kebutuhan benih (t) 1. Takalar 879 819 1.083 1,3 35,16 2. Bone 13.166 10.141 19.414 1,9 526,64 3. Soppeng 2.590 2.485 5.251 2,0 99,40 4. Wajo 4.405 3.270 4.045 1,2 176,20

Sumber : Distan Sulsel, 2010

Keberhasilan peningkatan produksi pangan umumnya dan produksi kedelai khususnya sangat ditentukan oleh ketersediaan benih unggul dan bermutu,

disamping tepat mutu, benih juga harus tepat waktu dan tepat harga. Upaya untuk memenuhi persyaratan benih tersebut, peran instansi atau pihak yang bertanggung jawab terhadap produksi benih, distribusi, dan pemasaran benih adalah sangat vital, disamping harus berkoordinasi dengan baik. Melalui penggunaan benih unggul bermutu yang tepat akan diperoleh beberapa keuntungan, diantaranya : dapat meningkatkan produksi persatuan luas dan persatuan waktu, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, dan pada akhirnya dapat pula meningkatkan pendapatan petani.

Penyediaan benih kedelai dalam jumlah yang cukup, mutu, varietas, waktu, harga, dan lokasi yang tepat akan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani, namun disayangkan sampai sekarang ketersediaan benih yang tepat tersebut belum merata penyebarannya di setiap lokasi petani pengguna benih.

Upaya untuk mencukupi kebutuhan benih tanaman pangan telah dilakukan berbagai upaya guna meningkatkan produksi benih bermutu dari varietas unggul. Produksi benih tanaman pangan khususnya kedelai di Sulawesi Selatan dilakukan oleh PT. Pertani, PT. Sang Hyang Seri (SHS), dinas, dan swasta. Realisasi produksi benih kedelai berbagai kelompok produsen benih di Sulawesi Selatan untuk kelas Benih Dasar, Benih Pokok, dan Benih Sebar dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Produksi benih kedelai bersertifikat di Sulawesi Selatan

Produsen Produksi benih kedelai (t)

PT. Pertani -

PT. Sang Hyang Seri 1.417,801

Dinas 14,035

Swasta 50,192

Jumlah 1.482,028

Sumber : BPSB Sulawesi Selatan, 2010

Konstribusi benih kedelai bersertifikat yang paling besar berasal dari PT. SHS dari total produksi benih kedelai yang dilakukan oleh beberapa produsen benih di Sulawesi Selatan. Selanjutnya pihak swasta merupakan produsen benih kedelai terbesar setelah PT. SHS.

Produksi benih komersial (kelas benih BR) dilakukan oleh balai benih kabupaten, produsen benih BUMN, penangkar, dan produsen/penangkar swasta. Realisasi produksi benih sebar (BR) di Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Produksi benih kedelai kelas BR (BR, BR1, dan BR2) di Sulawesi Selatan

Komoditi Kelas benih Produksi benih (t) Kedelai - BR - BR1 - BR2 11.025 1.258.630 209.363 -

Sumber : BPSB Sulawesi Selatan, 2010

Kebutuhan benih potensial berdasarkan luas pertanaman kedelai, dengan asumsi penggunaan benih 40 kg/ha ditingkat petani, berarti membutuhkan benih sekitar 1.198,600 ton. Berdasarkan produksi benih kedelai yaitu 1.479.018 ton, maka dengan kebutuhan tersebut diatas sudah dapat terpenuhi bahkan melebihi. Kondisi ini tidak mengindikasikan bahwa petani sudah sepenuhnya menggunakan benih bermutu. Kenyataan di lapangan menunjukkan lebih dari 50% petani responden masih menggunakan benih yang berasal dari hasil panen sendiri, berasal dari petani lain ataupun beli dari kios. Hal ini disebabkan karena benih yang dihasilkan tidak terdistribusi dengan baik dan tidak tepat waktu, sehingga pada saat petani akan menanam benih belum ada di tempat.

Keterlambatan waktu tanam akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu sehingga memberikan dampak hasil yang tidak maksimal. Benih yang dihasilkan tersebut juga tidak dapat digunakan untuk pertanaman berikutnya karena benih kedelai memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga mengharuskan benih tersebut harus segera ditanam untuk menghindari masa simpan yang terlalu lama. Varietas yang diproduksi juga tidak sesuai dengan varietas yang diinginkan oleh petani. Petani lebih senang menggunakan varietas Wilis, Orba, ataupun varietas lokal, dengan alasan bahwa kedua varietas tersebut mempunyai produksi tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit serta daya serap petani masih kurang.

Varietas suatu tanaman akan bermanfaat bagi pengguna bila dibutuhkan selalu tersedia dan harganya tidak terlalu mahal, serta adanya keunggulan dari

varietas tersebut. Pendistribusian suatu benih bermutu dapat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain sistem produksi, pengolahan hasil, penyimpanan hasil, dan penanganan selama distribusi (Nurmanaf et al. 2003).

Rendahnya daya serap tersebut banyak dipengaruhi oleh daya beli petani dan tingkat keyakinan petani terhadap manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan benih kedelai berlabel/bersertifikat.

Tingkat Penggunaan Benih bermutu di Lokasi Kajian

Tanaman kedelai merupakan tanaman cash crop yang dibudidayakan di lahan sawah dan lahan kering. Penggunaan benih bersertifikat dari varietas unggul bervariasi antar lokasi. Tabel 19 menujukkan tingkat penggunaan benih bersertifikat di lokasi kajian.

Berdasarkan Tabel 19 tingkat penggunaan benih bersertifikat di lokasi kajian menunjukkan bahwa persentase penggunaan benih bersertifikat yang tertinggi terdapat di Kabupaten Soppeng sebesar 44%, selanjutnya Kabupaten Bone sebesar 36%, Kabupaten Wajo sebesar 28% dan terendah adalah Kabupaten Takalar sebesar 26%. Total penggunaan benih bersertifikat oleh responden sebesar 33,5 %. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan benih bersertifikat di Sulawesi Selatan masih termasuk rendah, walaupun kebutuhan akan benih bersertifikat dapat terpenuhi.

Tabel 19 Tingkat penggunaan benih bersertifikat di empat lokasi kajian di Sulawesi Selatan

Kabupaten Jumlah Responden Persentase (%)

Populasi Yang Menggunakan benih bersertifikat Takalar 50 13 26 Bone 50 18 36 Soppeng 50 22 44 Wajo 50 14 28 Total 200 67 33,5

Sumber : data primer yang telah diolah, 2011

Alasan petani tidak menggunakan benih bersertifikat adalah disamping karena harga benih tersebut mahal (menurut 50,5% responden), juga karena masih

ada petani yang beranggapan bahwa penggunaan benih bermutu belum tentu meningkatkan hasil. Sosialisasi penggunaan benih bermutu masih sangat dibutuhkan disetiap lokasi kajian. Alasan petani tidak menggunakan benih bersertifikat di Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Alasan petani tidak menggunakan benih bersertifikat di lokasi kajian

Alasan

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. Mahal 33 66 20 40 20 40 28 56 101 50,5 2. tidak meningkatkan hasil 7 14 5 10 10 20 10 20 32 16 3. meningkatkan hasil 5% 5 10 10 20 6 12 7 14 28 14 4. meningkatkan hasil 10% 5 10 10 20 4 8 2 4 21 10,5 5. meningkatkan hasil 15% 0 0 5 10 10 20 3 6 18 9 Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100

Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

Hal ini sesuai dengan penelitian Sulaeman et al. (1998) di Lampung mengatakan bahwa petani enggan menggunakan benih bersertifikat karena (1) merasa benih bersertifikat lebih mahal dari benih kedelai yang dibeli dari petani lain atau dari kios, dan (2) petani pada umumnya belum yakin benih bersertifikat dapat meningkatkan produksi.