• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Study on Seed supply system of certified seed in South Sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Study on Seed supply system of certified seed in South Sulawesi"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

BERMUTU DI SULAWESI SELATAN

IDARYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Kajian Sistim Penyediaan Benih Bermutu di Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

IDARYANI. The Study on Seed supply system of certified seed in South Sulawesi. Under direction of MEMEN SURAHMAN and TATIEK KARTIKA SUHARSI.

The objectives of this study are to : (1) obtain characteristics information of soybean farmer and breeders in South Sulawesi, (2) collect demand and supply information of qualified seeds in South Sulawesi as well as current seed supply systems, and (3) identify alternative supply system improvements for qualified seeds through Jabalsim. The research method is survey in four regencies in South Sulawesi, namely Takalar, Bone, Soppeng, and Wajo. Each regency consisted of five districts and each district consists of 10 respondents. Thus, the number of respondent for each district is 50 persons or totally 200 persons for the four regencies. The data consisted of primary and secondary data, and analyzed descriptively and SWOT analysis. The results of the research show that farmer/ seed breeder in the study site is still in productive age, having at least elementary education level, experienced in farming and soybean seed breeding and sufficiently farm size. Supply for Soybean seed has been fulfilled, namely 1198.60 tons. The production realization/availability of soybean seed was 1479.02 tones. Currently, seed supply system is formal and informal (Jabalsim). Policy implication from the proposed strategy are: (1) perform certification on seed obtained from seed supply system in Jabalsim until farm certification, in turn farmers can use qualified seeds on time, and (2) The next certification process at laboratory level remains implemented to meet legal aspects in the form of labeling, so that the result is certified seed.

(4)

IDARYANI. Kajian Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan dibawah bimbingan MEMEN SURAHMAN dan TATIEK KARTIKA SUHARSI

Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan baku industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, dan snack. Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sentra pengembangan kedelai di Indonesia. Produktivitas kedelai di daerah ini baru mencapai rata-rata 1,6 t/ha, padahal potensi varietas unggul kedelai yang telah dihasilkan dapat mencapai lebih dari 2 t/ha. Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara produksi yang dicapai oleh petani dan produksi yang dicapai oleh Badan Litbang Pertanian yaitu adanya pengaruh varietas dan terbatasnya penggunaan benih bermutu di tingkat petani. Penggunaan benih bermutu merupakan kunci sukses pertama dalam usahatani kedelai. Benih yang baik dan bermutu tinggi memberi jaminan keragaan pertanaman dan hasil panen yang tinggi. Berdasakan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan informasi karakteristik petani dan penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan, (2) mendapatkan informasi kebutuhan dan ketersediaan benih bermutu di Sulawesi Selatan serta sistem penyediaan benih bermutu yang ada sekarang, dan (3) mengetahui alternatif perbaikan sistem penyediaan benih bermutu melalui Jabalsim. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode survey pada empat kabupaten yaitu Kabupaten Takalar, Bone, Soppeng, dan Wajo. Masing-masing kabupaten terdiri atas lima kecamatan, dimana setiap kecamatan terdiri dari atas 10 responden, dengan demikian maka jumlah responden untuk setiap kabupaten adalah 50, sehingga total responden untuk empat kabupaten adalah 200 orang. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder, kemudian dianalisis secara deskriptif dan Analisis SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani/penangkar benih kedelai di lokasi kajian masih berada pada usia produktif, mempunyai pendidikan minimal SD, cukup berpengalaman dalam berusahatani dan menangkar benih kedelai, serta tingkat penguasaan lahan yang cukup untuk usahatani kedelai. Kebutuhan potensial benih kedelai di Sulawesi Selatan sudah dapat terpenuhi, dimana kebutuhan tersebut adalah 1.198,60 ton, sedangkan realisasi produksi/ketersediaan benih kedelai adalah 1.479,02 ton. Namun demikian kondisi di lapangan menunjukkan bahwa petani belum sepenuhnya menggunakan benih bermutu karena daya serap petani terhadap penggunaan benih bermutu masih rendah yang dipengaruhi oleh tingginya harga benih bersertifikat dan tingkat kepercayaan petani terhadap manfaat benih bersertifikat. Dengan demikian maka masih perlu dilakukan sosialisasi penggunaan benih kedelai bermutu di tingkat petani.

(5)

alternatif perbaikan sistem penyediaan benih di Sulawesi Selatan adalah (1) menjalin kerjasama dengan pengusaha/pedagang lokal yang saling menguntungkan, (2) meningkatkan keterampilan penangkar untuk menghasilkan

benih bermutu dalam rangka meningkatkan produksi kedelai, dan (3) menghasilkan benih kedelai bermutu melalui kerjasama dengan BPSB.

Rumusan kebijakan dari strategi yang dihasilkan adalah : (1) melakukan sertifikasi terhadap benih yang diperoleh dari sistem penyediaan benih secara Jabalsim sampai tingkat keterangan lulus lapang, sehingga petani dapat menggunakan benih bermutu pada saat dibutuhkan, dan (2) proses sertifikasi selanjutnya pada tingkat laboratorium tetap dilaksanakan untuk memenuhi aspek legalitas benih yang dihasilkan dalam bentuk pelabelan, sehingga benih yang dihasilkan merupakan benih bersertifikat/berlabel.

(6)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

(7)

IDARYANI

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Perbenihan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : I d a r y a n i

NRP : A254090045

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr

Anggota

Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, MS

Diketahui

Ketua Program Studi

Magister Profesional Perbenihan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan judul Kajian Sistim Penyediaan Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan.

Penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan selama penelitian berupa petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari pembimbing penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung mulai dari awal hingga selesainya tugas akhir ini. Untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr. dan Ibu Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat membantu mulai dari tahap awal perencanaan penelitian hingga selesainya tugas akhir ini.

Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibunda tercinta Hj. Fahirah Hasanuddin yang dengan sabar dan tulus mendoakan dan memberikan dukungan moril dan moral untuk keberhasilan penulis. Juga kepada keluarga besar yang telah memberikan sumbang saran dan bantuan serta saudara-saudaraku terkasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan selama penulis kuliah di IPB.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian, rekan-rekan di BPTP Sulawesi Selatan atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan, teman-teman H4 atas dukungan dan kebersamaannya di rumah kita, serta rekan-rekan “Seed Family” Program Magister Perbenihan atas kebersamaan dan semangat yang telah diberikan, serta semua pihak yang telah membantu namun tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

(11)

pada tanggal 29 Agustus 1971 dari pasangan Bapak H. Djamaluddin (Alm) dan Hj. Fahirah Hasanuddin. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan SD, SMP, dan SMA penulis tempuh di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMAN 2 Watampone dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Universitas Hasanuddin (UNHAS) Ujung Pandang dan penulis memilih jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian.

(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Komoditas Kedelai ... 7

Benih Bermutu ... 9

Penyediaan Benih Bermutu ... 10

Sistem Perbenihan ... 13

Kebijakan Perbenihan ... 14

Metode SWOT ... 16

METODOLOGI PENELITIAN ... 19

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

Jenis dan Sumber Data ... 19

Metode Pengambilan Sampel ... 19

Metode Analisis ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Krakteristik Petani/Penangkar Benih Kedelai ... 27

Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Bermutu ... 43

Sistim Penyediaan Benih yang Ada Sekarang ... 50

Alternatif Perbaikan Sistem Penyediaan Benih secara Jabalsim di Sulawesi Selatan………. 55

KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

Kesimpulan ……… 63

Saran ……….. 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat …………... 10

2. Penilaian bobot strategi internal lembaga/sistem……… 21

3. Penilaian bobot strategi eksternal lembaga/sistem……….. 22

4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)……….. 23

5. Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) ……….. 24

6. Komposisi petani kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian…………. 29

7. Komposisi penangkar benih kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian……… 29 8. Komposisi petani kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian……… 31 9. Komposisi penangkar benih kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian………. 31 10. Komposisi petani kedelai menurut pengalaman usahatani di lokasi kajian……… 33 11. Komposisi penangkar benih kedelai menurut pengalaman menangkar benih di lokasi kajian………... 34 12. Komposisi tingkat penguasaan lahan kedelai di lokasi kajian………… 35 13. Persentase tingkat penerapan teknologi produksi benih oleh penangkar

benih kedelai di lokasi kajian……….. 42 14. Perkembangan luas areal panen, produksi, dan produktivitas kedelai di

Sulawesi Selatan tahun 2000-2009……….

44 15. Keragaman pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di

Sulawesi Selatan……….………. 46 16. Keragaman pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di

lokasi kajian ……… 46 17. Produksi benih kedelai bersertifikat di Sulawesi

Selatan………. 47 18. Produksi benih kedelai kelas BR (BR, BR1, dan BR2) di Sulawesi

Selatan ………. 48 19. Tingkat penggunaan benih bersertifikat di empat lokasi kajian di

Sulawesi Selatan ……... 49 20. Alasan petani tidak menggunakan benih bersertifikat di lokasi kajian

(14)

xiii

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. 2.

Bagan alir penelitian ………. Diagram matriks SWOT………

4 25 3. Sistem penyediaan benih kedelai secara formal di Sulawesi Selatan… 51 4. Distribusi benih kedelai melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan………. 54 5. Posisi sistem penyediaan benih kedelai secara Jabalsim di Sulawesi

Selatan………

60

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuesioner penelitian Kajian Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan (Petani Kedelai)……….

71

2. Kuesioner penelitian Kajian Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan (Penangkar Benih Kedelai)………

74

3. Kuesioner penilaian bobot dan rating faktor strategis internal dan eksternal untuk alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai bermutu melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan ……….

(17)

Kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung dan kaya protein nabati yang diperlukan untuk meningkatkan gizi masyarakat, aman dikonsumsi, serta harganya relatif murah. Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan baku industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan snack.

Konsumsi kedelai saat ini 2,3 juta ton yang setara dengan 10,2 kg kedelai per

kapita per tahun atau 28 g kedelai per kapita per hari. Jumlah tersebut sekitar 50% dikonsumsi dalam bentuk tempe (7,7 kg tempe per kapita per tahun), 40% berupa tahudan 10% berupa produk berbasis kedelai lainnya (Nurusa 2007).

Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini telah mencapai 2,3 juta ton/tahun, sementara produksi dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40%, sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor. Naiknya harga kedelai di pasar dunia akhir-akhir ini berdampak terhadap kenaikan harga kedelai di dalam negeri, dari Rp. 3.500 per kg pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 per kg di awal tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh persaingan penggunaan kedelai untuk pangan versus non pangan bio fuel, biomedicine, kosmetik, dan pakan.

Potensi lahan untuk pengembangan tanaman kedelai tersebar di seluruh pulau di Indonesia yaitu seluas 17 juta hektar (Nurusa 2007). Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sentra pengembangan kedelai di Indonesia. Potensi lahan untuk pengembangan kedelai di Sulawesi Selatan mencapai 33.095 ha (BPS 2010). Sementara itu, produktivitas kedelai baru mencapai rata-rata 1,6 t/ha (DISTAN 2010), padahal potensi varietas unggul kedelai yang telah dihasilkan dapat mencapai lebih dari 2 t/ha (BADAN LITBANG 2007).

(18)

Kebijakan pemerintah untuk memacu penggunaan benih bermutu di tingkat petani adalah melalui bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan pengembangan unit pengelolaan benih sumber di tingkat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Kebijakan BLBU tersebut belum mencapai sasaran secara optimal, karena dalam implementasinya masih terdapat kendala non teknis yang perlu diatasi yaitu belum terbentuknya sistem perbenihan yang efektif dan efisien.

Upaya untuk mendukung pengembangan benih bermutu di Sulawesi Selatan, diperluka n berbagai cara, baik yang bersifat teknis maupun kelembagaan agar terbentuk suatu sistem penyediaan benih yang berwawasan agribisnis dan berkelanjutan. Petani diharapkan memiliki akses yang lebih luas dalam memperoleh benih bermutu untuk kepentingan usahataninya dengan harga terjangkau, tepat waktu, dan dalam jumlah yang cukup (Muhammad et al. 2010).

Akses yang luas tersebut dapat tercapai dengan membangun sistem penyediaan benih kedelai bermutu dengan memperhatikan peta pola kebutuhan serta ketersediaan benih pada setiap wilayah berdasarkan kondisi agroklimat. Hingga saat ini, sebagian besar petani kedelai di Sulawesi Selatan menggunakan benih hasil panen musim sebelumnya. Hasil panennya sendiri atau membeli benih dari pedagang benih kedelai yang mendapatkan kedelai dari hasil panen di wilayah lain dari musim panen sebelumnya pada pola jalinan arus benih antar lapang dan musim (Jabalsim). Sistem penyediaan benih sistem Jabalsim masih memiliki beberapa kekurangan walaupun dominan dilakukan di daerah ini. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai sistem penyediaan benih kedelai bermutu di Sulawesi Selatan.

Penggunaan benih bermutu di tingkat petani saat ini masih kurang dari 50%. Penyebab rendahnya tingkat penggunaan benih tersebut diantaranya adalah harga benih bermutu/bersertifikat masih dianggap lebih mahal dibanding benih biasa (tidak bersertifikat) dan benih tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Sistem penyediaan benih yang ada sekarang belum berjalan secara optimal, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan petani akan benih bermutu/bersertifikat.

(19)

1. Bagaimana karakteristik petani/penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan 2. Berapa kebutuhan dan ketersediaan benih bermutu di Sulawesi Selatan dan

bagaiman sistem penyediaan benih kedelai bermutu yang ada sekarang

3. Bagaimana alternatif perbaikan sistem penyediaan benih bermutu kedelai melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan

Kajian sistem penyediaan benih kedelai di Sulawesi Selatan penting dilakukan, agar petani dapat memperoleh benih kedelai bermutu pada saat dibutuhkan. Sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang terdiri dari sistem penyediaan benih secara formal yang dilakukan oleh PT. Pertani dan PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan sistem penyediaan benih secara informal yaitu melalui jalinan arus benih antar lapang dan antar musim (Jabalsim).

Kinerja dari kedua sistem penyediaan benih tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan petani akan benih kedelai bermutu, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya penggunaan benih bersertifikat oleh petani. Benih yang dihasilkan melalui sistem penyediaan benih secara formal varietasnya belum sesuai yang diinginkan petani, harga benih lebih mahal, benih tidak tersedia pada saat dibutuhkan petani, dan memiliki mutu fisiologis yang rendah. Sistem penyediaan benih melalui Jabalsim lebih dominan dilakukan pada saat ini karena selain kondisi agroklimat Sulawesi Selatan yang sesuai untuk pola penyediaan benih secara Jabalsim, juga karena dengan cara ini petani lebih mudah memperoleh benih sesuai yang diinginkannya. Namun demikian benih yang dihasilkan dari sistem penyediaan benih secara Jabalsim memiliki mutu genetis yang rendah.

(20)

Berdasarkan strategi yang diperoleh dari hasil analisis SWOT akan diperoleh sistem penyediaan benih kedelai yang termodifikasi secara formal dan secara informal (Jabalsim), sehingga sistem penyediaan benih tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan sistem penyediaan benih kedelai bermutu yang ideal di Sulawesi Selatan dengan sasaran enam tepat. Dengan demikian maka produksi kedelai yang ditargetkan dapat dicapai. Lebih jelasnya ditunjukkan pada bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir penelitian

Penyediaan benih formal

melalui PT. SHS dan PT.

Pertani

Penyediaan benih informal melalui Jabalsim

Kondisi agroklimat

Karakteristik responden Masalah : harga, waktu,

varietas, dan mutu fisiologis

Masalah : mutu genetis

Diperlukan sistem penyediaan benih yang dapat mengatasi masalah : harga, waktu, varietas, dan mutu genetis

SWOT

(21)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendapatkan informasi tentang karakteristik petani/penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan

2. Mendapatkan informasi kebutuhan dan ketersediaan benih bersertifikat di Sulawesi Selatan dan sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang 3. Mengetahui alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai di Sulawesi

(22)
(23)

Tanaman kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penghasil protein nabati yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sejalan dengan perkembangan tanaman kedelai, maka industri pangan berbahan baku kedelai akan terus berkembang. Kebutuhan akan protein hewani telah mendorong berkembangnya industri peternakan, sehingga memacu pertumbuhan industri pakan ternak. Komponen terpenting kedua dari pakan konsentrat setelah jagung adalah bungkil kedelai (Tangendjaja et al. 2003). Berdasarkan kondisi tersebut, maka perkembangan industri pangan berbahan baku kedelai dan industri pakan ternak di Indonesia telah menyebabkan permintaan kedelai akan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan pada tahun 2004, memperkirakan bahwa konsumsi kedelai adalah sekitar 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sekitar 1,1 juta ton. Hal ini diperkuat oleh data statistik dari Food Association Organisation (FAO) dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa konsumsi kedelai pada tahun 2004 sebesar 1,84 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0,72 ton. Kekurangannya diimpor terutama dari negara Amerika sebesar 1,2 juta ton atau sekitar 61% dari total kebutuhan (Sejati et al. 2009).

(24)

1970-2004, sehingga terjadinya peningkatan produktiviats kedelai merupakan cerminan adanya kemajuan dalam penerapan teknologi budidaya kedelai. Pertumbuhan produktivitas masih jauh di bawah laju penurunan areal panen, sehingga produksi kedelai menurun dengan tajam (Sejati et al. 2009)

Berdasarkan data Ditjentan (2004), kendala yang menyebabkan terus menurunnya areal panen kedelai antara lain adalah : (1) produktivitas yang relatif masih rendah, sehingga kurang menguntungkan dibandingkan komoditas pesaing lainnya, (2) belum berkembangnya industri perbenihan, (3) keterampilan petani yang masih rendah, (4) rentan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT), (5) belum berkembangnya pola kemitraan, karena sektor swasta belum tertarik untuk melakukan agribisnis kedelai, dan (6) kebijakan perdagangan bebas (bebas tarif impor), sehingga harga kedelai impor lebih murah dibanding kedelai dalam negeri. Kendala tersebut menyebabkan banyak petani yang beralih dari kedelai ke tanaman lain, seperti jagung hibrida yang lebih menguntungkan.

Seiring dengan rencana pembangunan pertanian jangka menengah, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa sasaran pengembangan kedelai adalah meningkatkan produksi nasional dengan pertumbuhan sebesar 7% per tahun. Pencapaian sasaran tersebut maka diperlukan upaya keras dan konsisten melalui berbagai strategi, terutama peningkatan areal panen, produktivitas dan mutu, kebijakan pengadaan sarana produksi, dan pemasaran (Sejati et al. 2009).

(25)

Benih Bermutu

Benih bermutu merupakan syarat utama dalam mendukung keberhasilan usahatani kedelai. Menurut Sadjad (1993) mutu benih meliputi mutu fisik, fisiologis, dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi : (1) kebersihan benih dari kotoran fisik dan campuran biji-biji pecah atau biji tanaman lain, (2) penampilan benih (ukuran benih) dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi yang serba normal pula. Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya, serta tidak terdapat campuran varietas lain.

Secara spesifik, penggunaan benih bermutu tinggi berdampak pada pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil panen yang tinggi. Syarat benih bermutu adalah : (1) murni dan diketahui nama varietasnya; (2) daya tumbuh tinggi (minimal 80%) dan vigornya baik; (3) biji sehat, bernas, tidak keriput, dipanen pada saat biji telah matang; (4) dipanen dari tanaman yang sehat, tidak terinfeksi penyakit (cendawan, bakteri, dan virus); dan (5) benih tidak tercampur biji tanaman lain atau biji rerumputan (Wirawan & Wahyuni 2002).

Benih dianggap bermutu tinggi jika memiliki daya tumbuh (daya berkecambah) ≥80 % (bergantung pada jenis dan kelas benih) dan nilai kadar air di bawah 13 % (bergantung pada jenis benih). Pengendalian mutu dalam industri benih memiliki tiga aspek penting yaitu :

1. Penetapan standar minimum mutu benih yang dapat diterima

2. Perumusan dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai dan mempertahankan standar mutu yang telah ditetapkan.

3. Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya masalah dalam mutu dan cara mengatasinya.

Benih berdasarkan kelas adalah sebagai berikut :

1. Benih penjenis, BS (Breeder Seed) yaitu benih yang diproduksi dan diawasi oleh pemulia tanaman dan atau instansi yang menanganinya, sebagai sumber untuk perbanyakan benih dasar

(26)

mengolah benih BD (UPBS lingkup badan litbang pertanian) sehingga kemurniannya tetap terjaga

3. Benih pokok, BP (Stock Seed) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih atau pihak swasta yang terdaftar

4. Benih sebar, BR (Extension Seed) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih dan penangkar benih dengan bimbingan dan pengawasan dari BPSB.

Benih bermutu dapat diperoleh dengan melakukan sertifikasi benih, yaitu dengan memberikan persyaratan khusus atau standarisasi pada kelas-kelas benih tersebut dengan pemberian standar di lapang dan standar di laboratorium (Mugnisjah & Setiawan 1995).

Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat pada kelas Benih Dasar dan Benih Pokok memiliki kadar air maksimum 11 %, benih murni minimum 98%, kotoran benih maksimum 2%, campuran varietas lain maksimum 0,1 dan 0,2%, serta daya tumbuh minimum 80%. Benih sebar label biru dan label hijau memiliki kadar air maksimum 11 %, benih murni minimum 97%, kotoran benih maksimum 3%, campuran varietas lain maksimum 0,5 dan 0,7%, serta daya tumbuh minimum 80% dan 70%. Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat

Kelas Benih Kadar Air Maks (%) Benih Murni Min (%) Kotoran Benih Maks (%) Benih Varietas Lain Maks (%) Daya Tumbuh Min (%)

Benih Dasar 11 98 2 0.1 80

Benih Pokok 11 98 2 0.2 80

Benih Sebar

- Label bir (BR)

- Label hijau

(BR1 dan BR2) 11 11 97 97 3 3 0.5 0.7 80 70

Sumber : Litbang Deptan, 2007

Penyediaan Benih Kedelai Bermutu

(27)

laboratorium), sampai dengan pengolahan benih setelah dipanen, dan penanganannya (handling) hingga di tangan konsumen (Sadjad 1994).

Lembaga atau perusahaan yang terlibat dalam pengadaan benih bermutu harus mampu memproduksi benih tersebut dengan menggunakan teknik produksi, penanganan (handling), dan pengendalian mutu yang dapat menjamin bahwa benih yang dihasilkannya benar-benar lebih baik daripada benih yang dihasilkan petani dan mendistribusikan benih tersebut hingga ke tingkat petani yang membutuhkan sebelum waktu tanam (Mugnisjah & Setiawan 1990). Benih unggul yang dihasilkan oleh industri benih jika tidak sampai ke petani maka benih itu tidak tersedia dan petani akan mencari benih alternatif yang tersedia tanpa menangguhkan penanamannya.

Wirawan & Wahyuni (2002) berpendapat bahwa permasalahan pengadaan benih kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan alasan sebagai berikut : (1) produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara usahatani kurang menguntungkan, (2) harga kedelai konsumsi nasional rendah sehingga petani kurang tertarik mengusahakannya, (3) masa edar (waktu pemasaran) benih kedelai sangat singkat karena daya simpannya yang sangat singkat, dan (4) harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal semakin mengecilkan minat petani untuk menanam kedelai dan penangkar benih kedelai juga kurang berminat. Dengan demikian maka diperlukan strategi untuk mengatasi masalah tersebut.

Sebelum benih kedelai varietas unggul dilepas dan disebarkan ke konsumen, benih kedelai yang diproduksi tersebut harus melalui tahapan sertifikasi benih yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih seperti : (1) benihnya matang dan kering dengan kadar air maksimum 11%, (2) daya

(28)

keriput, mulus, dan tidak ada bekas gigitan hama serangga (Wirawan & Wahyuni 2002).

Sistem Perbenihan

Sistem perbenihan dapat diartikan sebagai peraturan yang harus diikuti dan program yang harus dilaksanakan untuk mencapai produksi dan distribusi benih dengan kualitas dan kuantitas yang direncanakan (Douglas 1980). Dalam sistem perbenihan tercakup peran semua subsistem, seperti pemuliaan tanaman, perusahaan benih (BUMN atau swasta), pengawas mutu (BPSB), penangkar benih sebar, pengelolaan benih, dan pemasaran benih. Douglas (1980) membagi perkembangan sistem perbenihan menjadi empat tahap, yaitu :

Tahap I : Petani masih menggunakan benih sendiri, varietas lokal, dan mutu benih tidak terjamin serta cara budidayanya yang tradisional Tahap II : Beberapa petani menggunakan benih bermutu, mulai terdapat

pengusaha benih secara komersial, varietas unggul mulai menggantikan varietas lokal

Tahap III : Beberapa komponen sistem perbenihan telah dilaksanakan, penyediaan benih bermutu hampir cukup, varietas unggul dengan cepat mengganti varietas lokal, tetapi petani belum semuanya menggunakan benih bermutu. Tingkat penggantian benih per musim tanam atau seed replacement rate berkisar antara 30-60%, sedang sisanya masih dipenuhi oleh benih yang diperoleh dari hasil panen petani sendiri (saved seeds).

Tahap IV : Pada tahap ini sistem perbenihan sudah sangat maju dan berjalan lancar. Peraturan perbenihan telah dijalankan, kebijakan dalam perbenihan jelas dan umumnya mendukung perkembangan produksi dan pemasaran benih secara komersial. Pada tahap ini usahatani bersifat komersial penuh, budidaya menerapkan teknik maju yang baku, dan terdapat deferensiasi fungsi komponen usahatani.

(29)

kedelai di Indonesia baru mencapai tahap II, dan pada saat ini sistem perbenihan kedelai nampaknya sudah mengarah ke tahap III.

Penyebab lambatnya perkembangan benih kedelai, antara lain : (1) usahatani kedelai bersifat sampingan, bukan utama sehingga petani belum

memikirkan penggunaan benih bermutu sebagai komponen utama, (2) usahatani pada setiap petani skalanya sempit, tersebar dalam areal yang terpencar, musim tanam terbagi dan tidak serempak sehingga tidak kondusif untuk pasar industri benih kedelai, (3) musim tanam kedelai, utamanya MH I (awal musim hujan) berbarengan dengan musim paceklik, petani tidak memiliki modal untuk membeli benih kedelai, sehingga lebih suka menggunakan benih sendiri, (4) benih kedelai yang diproduksi oleh pengusaha benih formal dinilai mahal oleh petani, dan (5) jaminan mutu benih bersertifikat dalam hal daya tumbuh, vigor, kemurnian, dan kesehatan benih belum dapat meyakinkan petani.

Upaya untuk mengatasi masalah lambatnya perkembangan benih kedelai, pada prinsipnya adalah penumbuhan usaha perbenihan yang disesuaikan dengan perkembangan usahatani kedelai. Strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut : (1) mendorong terbentuknya penangkar benih informal di sentra produksi kedelai, (2) memberdayakan kelompok tani di sentra produksi kedelai melalui pelatihan, magang, dan sekolah lapang teknis produksi kedelai, (3) mendorong salah satu anggota kelompok tani di sentra produksi kedelai menjadi penangkar benih, pada tahap awal menyediakan benih untuk kelompoknya, selanjutnya berkembang untuk petani lain di wilayahnya, (4) membimbing penangkar benih informal untuk menjadi perusahaan benih formal skala kecil, berbasis modal anggota kelompok atau koperasi, (5) menjadikan perusahaan benih formal kecil di sentra produksi kedelai sebagai kekuatan sistem perbenihan kedelai nasional, (6) membentuk Asosiasi Perusahaan Benih dan mengusahakan kemitraan antara perusahaan benih berskala kecil dengan berskala besar seperti PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Pioneer, dan sebagainya, serta (7) menjadikan usaha perbenihan sebagai bagian integral dari agribisnis di pedesaan.

(30)

Kebijakan Perbenihan

Legislasi pengembangan perbenihan tidak terlepas dari UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman. UU dan PP tersebut merupakan tonggak arahan yang oleh semua industri benih harus diacu (Sadjad 1997). UU dan PP tersebut bersifat mendorong produsen dan melindungi konsumen. Perlindungan ini diwujudkan bagi para konsumen benih berupa persyaratan mutu benih yang harus dipenuhi oleh industri benih. Pelanggaran karena kelalaian apalagi kesengajaan dalam mengedarkan benih yang mutunya tidak sesuai dengan label dapat dipidana dengan ancaman hukuman penjara dan atau denda yang cukup berat. Berdasarkan UU dan PP tersebut benih seharusnya merupakan komoditas yang bernilai tinggi mengingat sanksi hukum atas pelanggarannya yang cukup berat. UU tersebut juga memberi perlindungan pada produsen benih yang benar.

UU No. 12 tahun 1992 terdapat pasal-pasal yang bersifat melindungi misalnya pasal 8 yang berbunyi : “Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri“. Menurut Sadjad (1997), bahwa dengan adanya pasal 8 tersebut maka yang dikatakan sebagai produsen benih bermutu adalah produsen yang menghasilkan benih melalui penemuan varietas unggul atau introduksi dari luar negeri dan konsumen benih hanya akan mendapatkan benih yang bermutu. Pasal ini merupakan perlindungan terhadap produsen dan konsumen benih. Pada pasal 9 ayat 1 ada patokan untuk penemuan varietas unggul yang harus dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Pasal ini berbunyi :

“Penemuan varietas unggul dilakukan melalui pemuliaan tanaman”. Perundangan ini secara spesifik lebih membatasi pengertian benih bermutu yang lebih menekankan pada batasan mutu genetik. Untuk itu pemerintah harus terus menerus mendorong agar industri benih meningkatkan teknologinya sehingga produksinya dapat digolongkan benih bermutu.

(31)

1. Pendirian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi untuk bidang penelitian dan pengembangan, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan varietas unggul dan benih sumber

2. Pendirian Perum Sang Hyang Seri untuk perbanyakan benih agar tersedia bagi petani

3. Pembentukan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) untuk mengawasi produksi dan pemasaran benih

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1971, dibentuk Badan Benih Nasional (BBN), dan lima bulan kemudian yaitu pada bulan Oktober 1971 dikeluarkan Kepres No. 72 tahun 1971 tentang Pembinaan, Pengawasan Pemasaran, dan Sertifikasi Benih.

Sistem pengadaan benih nasional didukung oleh kelembagaan perbenihan, mulai dari penciptaan varietas, seleksi varietas sampai dengan perbanyakan dan penyaluran benih. Keterlibatan pemerintah dalam sistem produksi benih adalah mendukung petani dengan tidak sepenuhnya menyerahkan produksi benih pada produsen benih swasta. Produksi Benih Penjenis dan Benih Dasar merupakan tanggung jawab pemerintah.

Lembaga Perbenihan yang ada di daerah diklasifikasi dalam 3 level yang berbeda yaitu Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu (BBP).

a). BBI dibentuk berdasarkan SK Dirjen Tanaman Pangan No. SK.I.A5.82.6 yang tugas utamanya adalah : i). Memperbanyak Benih Dasar dan Benih Pokok dan; ii). Memberikan informasi, pelatihan dan melakukan pertemuan dengan penyuluh pertanian, penangkar benih, petugas serta ahli benih.

b). BBU dan BBP tugasnya memproduksi Benih Pokok dan Benih Sebar. Benih Pokok yang dihasilkan akan didistribusikan kepada penangkar benih untuk diperbanyak menjadi Benih Sebar. Pada kondisi tertentu BBU hanya memproduksi Benih Sebar.

(32)

Seri, yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 44 Tahun 1985. Upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha perbenihan pertanian, Perum Sang Hyang Seri diubah statusnya menjadi perusahaan Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan PP No. 18 Tahun 1995.

Metode

Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat

(SWOT)

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.

Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2002). Analisis ini bila diterapkan secara akurat, asumsi sederhana ini mempunyai kekuatan yang sangat besar atas rancangan suatu

strategi yang berhasil. Penjabaran dari komponen analisis SWOT adalah sebagai

berikut :

Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan

lembaga/sistem. Kecendrungan-kecendrungan penting merupakan salah satu

sumber peluang. Identifikasi sumber terbaik, perubahan pada situasi regulasi,

perubahan teknologi dan memberikan peluang bagi lembaga. Ancaman adalah

situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan lembaga. Ancaman

merupakan pengganggu utama bagi keadaan sekarang dan keadaan yang

diinginkan di masa mendatang.

Kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan, atau keunggulan-keunggulan

lain. Kekuatan dapat terkandung pada sumberdaya keuangan, citra, dan

faktor-faktor lainnya. Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam

sumberdaya, keterampilan dan kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja

efektif suatu organisasi.

Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk membantu

(33)

kerangka acuan logis yang memedomani perubahan sistematik tentang situasi

lembaga dan alternatif-alternatif pokok yang mungkin dipertimbangkan. Sebagai

hasilnya, analisis ini memberikan kerangka yang dinamik dan bermanfaat untuk

analisis strategik. Secara keseluruhan, analisis SWOT menunjukkan peran penting

dari identifikasi kekuatan dan kelemahan intern dalam pencarian strategi efektif

oleh pemegang keputusan. Pencocokan yang cermat antar kekuatan dan

kelemahan merupakan inti dari formulasi strategi yang tepat.

Lingkungan internal dan eksternal pada dasarnya terdapat 4 unsur yang

selalu dimiliki dan dihadapi yakni secara internal memiliki sejumlah kekuatan

(strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan secara eksternal akan

berhadapan dengan berbagai peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

Fokus analisis berorientasi pada posisi masa depan. Menganalisis berbagai

kemungkinan yang dapat terjadi termasuk peluang ataupun ancaman dengan

melihat alasan-alasan terjadinya sesuatu permasalahan.

Rangkuti (2002) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi

berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini

didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan

peluang (opportunities). Secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan

(weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi

selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.

Empat strategi yang dihasilkan dari hasil analisis SWOT yaitu strategis

Strength-Opportunities (SO) bertujuan untuk menarik keuntungan dari peluang

yang tersedia dari lingkungan eksternal. Strategi Weaknesses-Opportunities (WO)

bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang

dari lingkungan luar. Strategi Strengths-Threats (ST) bertujuan untuk

menghindari atau memperkecil dampak ancaman dari luar. Strategi

Weaknesses-Threats (WT) bertujuan untuk memperkecil kelemahan internal dan menghindari

(34)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan, meliputi empat kabupaten yaitu : Kabupaten Takalar, Bone, Soppeng, dan Wajo. Penentuan lokasi penelitian tersebut dengan menggunakan metode purposive dengan pertimbangan keempat lokasi tersebut merupakan daerah sentra pengembangan tanaman kedelai di Sulawesi Selatan. Setiap kabupaten ditentukan lima kecamatan, dengan pertimbangan bahwa produksi dari lima kecamatan dari setiap kabupaten relatif lebih tinggi dan jumlah petani kedelai lebih banyak dibanding kecamatan lain.

Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Desember 2010.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data petani/penangkar yang diperoleh langsung dari petani kedelai dan penangkar benih dengan menggunakan metode wawancara langsung melalui pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) (Lampiran 1 dan 2). Data primer untuk analisis SWOT (untuk menentukan faktor internal dan eksternal, penentuan bobot, serta rating) diperoleh dari peneliti (berdasarkan multi disiplin dan terlibat dalam penelitian kedelai) sebanyak empat orang, penyuluh (setiap lokasi kajian) sebanyak empat orang, dan key informan satu orang, sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 9 orang. Metode yang dilakukan adalah metode focus group discussion (FGD) dengan metode semi partisipatif untuk mengetahui informasi kualitatif secara lebih mendalam. Data sekunder diperoleh dari data yang ada di Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB-TPH), Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (DISTAN), Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan.

Metode Pengambilan Sampel

(35)

petani kedelai setiap kabupaten sebanyak 50 orang, setiap kabupaten terdiri atas lima kecamatan, sehingga masing-masing kecamatan diperoleh 10 orang sampel. Jumlah sampel untuk petani kedelai pada empat kabupaten sebanyak 200 orang. Beberapa acuan yang dapat dipertimbangkan menyangkut ukuran pengambilan sampel berkaitan dengan ragam populasi, yaitu : (1) jika populasi besar, sampel dapat diambil dengan persentase kecil dan jika populasi kecil dapat diambil persentase besar, (2) ukuran sampel sebaiknya tidak kurang dari 30 satuan, dan (3) jumlah sampel disesuaikan dengan kemampuan biaya. Pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan kriteria kedua yaitu ukuran sampel sebaiknya tidak kurang dari 30 satuan.

Metode Analisis

Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan untuk menjawab alternatif sistem penyediaan benih kedelai bermutu di Sulawesi Selatan, metode analisis yang digunakan adalah analisis SWOT.

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (E) yaitu Peluang (opportunities) dan Ancaman (threats) dengan faktor internal (I) yaitu Kekuatan (strengths) dan Kelemahan (weaknesses). Proses penyusunan alternatif melalui tiga tahap analisis yaitu :

1. Tahap pengumpulan data, terdiri dari :

a. Analisis lingkungan internal dan eksternal lembaga/sistem

Analisis lingkungan internal dimaksudkan untuk memahami kekuatan dan kelemahan yang dimiliki lembaga/sistem. Aspek yang dianalisis pada lingkungan internal antara lain sumberdaya lahan, sumberdaya manusia, dan keuangan. Analisis lingkungan eksternal dimaksudkan untuk memahami peluang dan ancaman yang dimiliki lembaga/sistem, diantaranya mengidentifikasi aspek pemerintah, kebijakan, dan teknologi. b. Teknik pembobotan

(36)

dibandingkan menggunakan skala 1, 2, dan 3. Skala yang digunakan menunjukkan :

1 = jika faktor strategis eksternal atau internal pada baris/horizontal kurang penting daripada faktor strategis eksternal dan internal pada kolom/vertikal

2 = jika faktor strategis eksternal atau internal pada baris/horizontal sama penting daripada faktor strategis eksternal dan internal pada kolom/vertikal

3 = jika faktor strategis eksternal atau internal pada baris/horizontal lebih penting daripada faktor strategis eksternal dan internal pada kolom/vertikal

Bobot setiap faktor strategis diperoleh dengan menentukan total nilai setiap faktor strategis terhadap jumlah keseluruhan faktor strategis dengan menggunakan rumus :

Xi Ai = --- n ∑ xi i = 1

Bentuk dari penilaian bobot dengan metode pairwise comparison terdapat pada Tabel 2 dan 3 (Kinnear & Taylor 1991). Contoh perhitungan bobot disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 2 Penilaian bobot strategis internal lembaga/sistem

Faktor strategis internal A B ……… Total Bobot

A B

(37)

Tabel 3 Penilaian bobot strategis eksternal lembaga/sistem Faktor strategis

eksternal

A B ……… Total Bobot

A B

……… Total

Sumber : Kinnear & Taylor, 1991

Lebih jelasnya dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah dibawah ini : - Tahap I (kolom 1), diberikan daftar yang menjadi faktor-faktor strategis

internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan, serta faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman

- Tahap II (kolom 2), diberikan bobot mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis lembaga/sistem (semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00)

- Tahap III (kolom 3), menghitung rating untuk masing-masing faktor dengan pemberian skala mulai dari 4 sampai 1 variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan dan peluang), diberikan nilai mulai dari 1 sampai 4 (sangat baik), sedangkan variabel yang bersifat negatif kebalikannya, misalnya jika kelemahannya besar sekali nilainya adalah -4 dan bila kelemahannya dibawah rata-rata nilainya -1.

Pemberian nilai rating pada matriks Internal Factor Evaluation (IFE) untuk faktor kelemahan dan kekuatan, yaitu :

1 = kelemahan utama 2 = kelemahan kecil 3 = kekuatan kecil 4 = kekuatan utama

Pemberian nilai rating pada matriks Exrenal Factor Evaluation (EFE) untuk faktor peluang dan ancaman, yaitu

(38)

2 = jawaban rata-rata 3 = jawaban diatas rata-rata 4 = jawaban superior

Nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada tiap faktor sehingga menghasilkan skor. Total skor pembobotan diperoleh dari semua hasil kali tersebut dan dijumlahkan secara vertikal. Hasil pembobotan dan peringkat (rating) berdasarkan analisa situasi lembaga/sistem dalam matriks (contoh perhitungan rating dapat dilihat pada Lampiran 3)

- Tahap IV (kolom 4), dilakukan perkalian bobot pada pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4 (nilai bobot/skor masing-masing variabel), selanjutnya total skor pembobotan diperoleh dari semua hasil kali tersebut dan dijumlahkan secara vertikal.

- Jumlahkan nilai yang dibobot untuk setiap variabel untuk menentukan total nilai yang dibobot.

Bentuk matriks IFE dan EFE dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor internal Bobot Rating Total Skor

Kekuatan 1.

2.

Kelemahan 1.

(39)
[image:39.595.82.489.62.745.2]

Tabel 5 Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)

Faktor internal Bobot Rating Total Skor

Peluang 1. 2.

Ancaman 1.

2.

Sumber : Rangkuti,2002

2. Tahap analisis

Berdasarkan semua informasi yang berpengaruh terhadap lembaga/sistem, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model kuantitatif perumusan strategi. Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis lembaga/sistem adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi suatu lembaga/sistem dan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini juga dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis, yaitu:

a. Strategi SO : memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

b. Strategi ST : menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

c. Strategi WO : memanfaatkan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada

d. Strategi WT : meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman

(40)

IFAS

EFAS

STRENGTHS (S) Menentukan faktor kekuatan internal

WEAKNESSES (W) Menentukan faktor kelemahan internal

OPPORTUNITIES (O) Menentukan faktor peluang eksternal

STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan

kekuatan untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan

kelemahan untuk memanfaatkan peluang THREATHS (T)

Menentukan faktor ancaman eksternal

STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan

kekuatan untuk mengatasi ancaman

STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan

kelemahan dan

[image:40.595.108.517.81.304.2]

menghindari ancaman Sumber: Rangkuti, 2002

(41)
(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani/Penangkar Benih Kedelai

Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki seseorang dengan semua aspek dengan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat terhadap sesuatu obyek tertentu serta karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui, dalam rangka mengetahui suatu prilaku dalam masyarakat. Nelly (1988) mendefinisikan bahwa karakteristik individu sebagai hasil pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-citanya. Karakteristik petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan seseorang.

Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh individu yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan hidupnya. Karakteristik responden petani kedelai dan penangkar di lokasi kajian dapat diidentifikasi secara keseluruhan berdasarkan identitas petani yang terdiri atas : umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, dan luas kepemilikan lahan. Masing-masing kriteria tersebut juga merupakan faktor internal yang membentuk kekuatan ataupun kelemahan dalam sistem penyediaan benih kedelai bermutu dengan bobot yang berbeda.

1. Umur Petani

(43)

Kriteria umur dikelompokkan ke dalam empat tingkatan yaitu, kurang dari 17 tahun, antara 17-35 tahun, 36-50 tahun, dan lebih dari 50 tahun. Kurang dari 17 tahun dikategorikan usia belum produktif, usia 17-50 tahun merupakan usia produktif dan lebih dari 50 tahun diasumsikan sudah tidak produktif lagi.

Berdasarkan kategori umur petani pada Tabel 5 menunjukkan bahwa di Kabupaten Takalar sebanyak 76% petani berada pada usia produktif yaitu umur 17-50 tahun, masing-masing 14% pada usia 17-35 tahun, 62% pada usia 36-50 tahun. Sebanyak 10% berada pada usia belum produktif, dan sebanyak 14% berada pada usia sudah tidak produktif.

Kabupaten Bone sebanyak 82% petani berada pada usia produktif yaitu umur 17-50 tahun, masing-masing 22% pada usia 17-35 tahun, sebanyak 60% pada usia 36-50 tahun. Usia belum produktif sebanyak 14%, serta sebanyak 4% berada pada usia tidak produktif. Kabupaten Soppeng sebanyak 74% petani berada pada usia produktif yaitu umur 17-50 tahun, masing-masing 10% berada pada usia 17-35 tahun, 64% pada usia 36-50 tahun. Sebanyak 20% petani berada pada usia belum produktif, serta sebanyak 6% petani berada pada usia tidak produktif.

Kabupaten Wajo sebanyak 86% petani berada pada usia produktif yaitu usia antara 17-50 tahun, masing-masing 22% berada pada usia 17-35 tahun, 64% pada usia 36-50 tahun. Sebanyak 4% petani berada pada usia belum produktif dan 10% petani berada pada usia tidak produktif.

(44)
[image:44.595.126.507.103.221.2]

Tabel 6 Komposisi petani kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian

Umur Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1. < 17 5 10 7 14 10 20 2 4 24 12

2. 17-35 7 14 11 22 5 10 11 22 34 17

3. 36-50 31 62 30 60 32 64 32 64 125 65,

5

4. >50 7 14 2 4 3 6 5 10 17 8,5

Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 10

0

Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

Komposisi umur penangkar benih kedelai di empat lokasi kajian juga sebagian besar masih berada pada usia produktif. Sebanyak 100% panangkar benih berada pada usia produktif di Kabupaten Takalar dan Soppeng dan sebanyak 80% usia produktif di Kabupaten Bone dan Wajo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan penangkar benih kedelai (80-100%) berada pada usia produktif yang merupakan usia optimal dalam bekerja sehingga hal ini merupakan salah satu faktor kekuatan dalam analisis SWOT. Komposisi penangkar benih kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi penangkar benih kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian

Umur Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1. < 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2. 17-35 1 20 3 60 0 0 1 20 5 25

3. 36-50 4 80 1 20 5 100 3 60 13 65

4. >50 0 0 1 20 0 0 1 20 2 10

Jumlah 5 100 5 100 5 100 5 100 20 100

Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

(45)

lanjut Padmowihardjo (1994) menyatakan bahwa kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Hal ini berarti pada umur lebih dewasa/tua orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar daripada usia lebih muda. Setelah mencapai umur tertentu, maka kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata diatas 50 tahun dan setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.

2. Tingkat Pendidikan Petani

Tingkat pendidikan merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap akseptabilitas perkembangan informasi dan teknologi seseorang. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah seseorang tersebut untuk menyerap dan menerima informasi, dengan demikian akan berpengaruh terhadap adopsi teknologi dan fleksibel terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi (Winkel 1986).

Pendidikan dimaksud adalah pendidikan formal. Tingkat pendidikan dibagi ke dalam lima stratum yaitu 1) tidak ada (tidak pernah sekolah), 2) Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat (SD/SR), 3) SMP dan yang sederajat, 4) SMU dan yang sederajat, serta 5) Pendidikan tinggi D3, S1 dan S2.

(46)
[image:46.595.126.531.124.256.2]

Tabel 8 Komposisi petani kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian

Tingkat Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah Pendidikan Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. Tidak

tamat SD

5 10 2 4 1 2 5 10 13 6,5

2. Tamat SD 20 40 16 32 17 34 18 36 71 35,5 3. Tamat

SMP

10 20 20 40 20 40 12 24 62 31

4. Tamat SMA

13 26 10 20 12 24 11 22 46 23

5. D3/S1 2 4 2 4 0 0 4 8 8 4

Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100 Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

Komposisi tingkat pendidikan pada penangkar benih masing-masing lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 9. Tingkat pendidikan penangkar benih di Kabupaten Takalar sebagian besar tamat SMP/sederajat (60%), sedangkan di Kabupaten Bone tingkat pendidikan penangkar benih sebagian besar tamat SMA/sederajat yaitu 60%. Tingkat pendidikan penangkar benih di Kabupaten Soppeng sebagian besar tamat SD/sederajat yaitu 60%, dan di Kabupaten Wajo tingkat pendidikan penangkar 100% tamat SMA/sederajat.

Tabel 9 Komposisi penangkar benih kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi kajian

Tingkat Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah Pendidikan Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1. Tidak

tamat SD

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2. Tamat SD 1 20 1 20 3 60 0 0 5 25 3. Tamat

SMP

3 60 1 20 0 0 0 0 4 20

4. Tamat SMA

1 20 3 60 2 40 5 100 11 55

5. D3/S1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 5 100 5 100 5 100 5 100 20 100 Sumber : data pimer yang telah diolah, 2011

[image:46.595.117.522.473.607.2]
(47)

lebih senang menerapkan teknik berusaha tani kedelai yang telah biasa mereka lakukan secara turun temurun.

Menurut Mulyasa (2003) bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, dimana individu-individu memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan rendahnya keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah, karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya, teknologi dan keterampilan manajemen.

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang memberikan wawasan pola berpikir yang semakin rasional dan kompeten dalam pengambilan keputusan berusahatani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis, semakin efisien bekerja dan semakin banyak teknik berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Pendidikan petani umumnya mempengaruhi pola pikir petani dalam mengelola usahatani.

3. Pengalaman Berusahatani Kedelai

Pengalaman berusahatani merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas petani, dimana yang diinginkan petani berdasarkan pengalaman yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan. Menurut Mardikanto (1993) pengalaman seorang petani berpengaruh dalam mengelola usahatani, petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung sangat selektif dalam proses pengambilan keputusan.

Kriteria pengalaman berusaha tani dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu : 1) belum berpengalaman atau pengalaman masih sedikit kurang dari 5 tahun, 2) berpengalaman, dan 3) sangat berpengalaman. Semakin lama seseorang berusaha tani maka akan semakin banyak mengetahui potensi dan peluang yang ada, sekaligus lebih mampu mengatasi kelemahan dan menyelesaikan kendala-kendala yang ditemui.

(48)

mempunyai pengalaman kurang dari 5 tahun. Kabupaten Bone sebanyak 72% petani mempunyai pengalaman usahatani 5-10 tahun, sebanyak 22% petani mempunyai pengalaman usahatani lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 6% petani mempunyai pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun. Kabupaten Soppeng sebanyak 62% petani mempunyai pengalaman usahatani 5-10 tahun, sebanyak 36% petani mempunyai pengalaman usahatani lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 2% petani mempunyai pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun. Kabupaten Wajo sebanyak 54% petani mempunyai pengalaman usahatani antara 5-10 tahun, sebanyak 36% petani mempunyai pengalaman usahatani lebih dari 10 tahun, dan sebanyak 10% petani mempunyai pengalaman usahatani kurang dari 5 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian di empat lokasi kajian maka pengalaman usahatani kedelai bagi sebagian besar petani responden adalah relatif lama sehingga pengalaman lebih banyak. Komposisi petani kedelai menurut pengalaman usahatani di lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Komposisi petani kedelai menurut pengalaman usahatani di lokasi kajian

Pengalaman Usahatani

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1 < 5 4 8 3 6 1 2 5 10 13 6.5

2 5-10 35 70 36 72 31 62 27 54 129 64.5

3 > 10 11 22 11 22 18 36 18 36 58 29

Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100

Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

[image:48.595.121.512.443.535.2]
(49)

Tabel 11 Komposisi penangkar benih berdasarkan pengalaman menangkar benih di lokasi kajian

Pengalaman menangkar

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1 < 5 1 20 1 20 0 0 2 40 4 20

2 5-10 4 80 4 80 5 100 3 60 16 80

3 >10 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0

Jumlah 5 100 5 100 5 100 5 100 20 100

Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

Pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengalaman seorang petani/penangkar akan berpengaruh dalam mengelola usahatani yang dilakukan. Pengalaman berusahatani memiliki peranan yang sangat penting bagi petani dalam mengembangkan usahataninya, menerima, dan menerapkan teknologi baru (Padmowihardjo 1994).

4. Tingkat Penguasaan Lahan

Tanaman kedelai di Kabupaten Takalar sebagian besar diusahakan di lahan sawah. Luas garapan petani untuk tanaman kedelai sebesar 46% petani yang mengusahakan kedelai pada lahan seluas kurang dari 0,5 ha, sebanyak 30% petani yang mengusahakan kedelai pada luas lahan 0,5-1,0 ha, sebanyak 14% petani yang mengusahakan kedelai dengan luas lahan 1,0-2,0 ha, dan sebanyak 10% petani yang mengusahakan kedelai pada luas lahan lebih dari 2,0 ha. Lahan tersebut 60% diantaranya merupakan milik petani dan 40% merupakan bagi hasil.

Tanaman kedelai di Kabupaten Bone diusahakan di lahan basah (sawah) dan lahan kering. Sebagain besar petani memiliki luas lahan 0,5-1,0 ha yaitu sebanyak 64%. Selanjutnya petani yang mengusahakan kedelai dengan luas lahan seluas 1,0-2,0 sebanyak 24%, petani yang mengusahakan kedelai dengan lahan kurang dari 0,5 ha dan lahan lebih dari 2 ha masing-masing sebesar 6%. Lahan tersebut 100% merupakan milik petani atau petani sebagai pemilik.

(50)

garapan seluas 1,0-2,0 ha, sebanyak 12% petani mengusahakan kedelai dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha, serta sebanyak 8% petani mengusahakan kedelai dengan luas garapan lebih dari 2 ha.

[image:50.595.124.520.354.462.2]

Tanaman kedelai di Kabupaten Wajo juga diusahakan lebih banyak pada lahan kering. Luas garapan untuk tanaman kedelai sebanyak 24% petani yang mengusahakan kedelai pada lahan seluas 1,0-2,0 ha, sebanyak 46% petani yang mengusahakan kedelai pada lahan seluas 0,5-1,0 ha, sebanyak 16% petani yang mengusahakan kedelai pada luas lahan kurang dari 0,5 ha, dan sebanyak 10% petani yang mengusahakan kedelai dengan luas lahan lebih dari 2,0 ha. Komposisi luas penguasaan lahan kedelai di empat lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Komposisi tingkat penguasaan lahan kedelai di lokasi kajian

Luas lahan (ha)

Takalar Bone Soppeng Wajo Jumlah

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % 1 < 0,5 23 46 3 6 6 12 10 20 13 6.5 2 0,5-1,0 7 14 12 24 10 20 12 24 82 41 3 1,0-2,0 15 30 32 64 30 60 23 46 47 23.5 4 > 2,0 5 10 3 6 4 8 5 10 58 29

Jumlah 50 100 50 100 50 100 50 100 200 100 Sumber : Data primer yang telah diolah, 2011

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa luas lahan usahatani kedelai di empat lokasi kajian adalah didominasi oleh luas lahan 0,5-1,0 ha, yaitu 41%. Berdasarkan kondisi tersebut maka petani lebih termotivasi untuk memperoleh pendapatan usahatani yang lebih baik.

(51)

5. Tingkat Penerapan Teknologi Produksi Benih

Tanaman kedelai dapat tumbuh diberbagai agroekosistem dengan jenis tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda. Teknologi produksi benih kedelai meliputi teknologi penggunaan benih bermutu, persiapan lahan, penamanan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, seleksi (roguing), pasca panen, dan pengujian mutu benih.

a. Penggunaan benih bermutu

Cara memproduksi benih kedelai yang baik diperlukan pengetahuan tentang penanganan benih yang meliputi tiga aspek yaitu : aspek genetis, fisiologis, dan fisik. Aspek genetis benih artinya benih memiliki sifat-sifat sesuai dengan deskripsi varietas yang bersangkutan, sedangkan untuk mendapatkan mutu fisiologi dan fisik yang tinggi diperlukan penanganan pra dan pascapanen yang baik. Benih kedelai yang digunakan, pada dasarnya harus benih yang unggul dan bermutu tinggi. Benih yang unggul dan bermutu tinggi akan menjamin pertanaman yang bagus dan hasil panen yang tinggi, yang dicerminkan oleh tingginya tingkat keseragaman benih, daya tumbuh, dan tingkat kemurnian.

Penggunaan benih bermutu di empat lokasi kajian menunjukkan bahwa di Kabupaten Takalar sebanyak 60% belum menggunakan benih bermutu, di Kabupaten Bone dan Wajo masing-masing sebanyak 40% belum menggunakan benih bermutu, dan di Kabupaten Soppeng semua penangkar benih 100% menggunakan benih bermutu.

Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul (benih unggul dan bersertifikat), merupakan faktor yang dapat mempercepat terjadinya kenaikan produksi pertanian. Berdasarkan hal itu maka kemampuan dalam mengembangkan penggunaan benih bermutu dari varietas unggul yang produktif, spesifik lokasi (agroekologi), dan tahan hama, disamping perluasan areal dan skala usaha petani merupakan kunci bagi tercapainya target dan sasaran dari program peningkatan produksi pertanian tanaman pangan (Husodo 2006).

(52)

pascapanen. Faktor fisiologi dan fisik benih meliputi tingkat kematangan benih, benih harus dipanen dari tanaman yang sudah masak fisiologis, tingkat kerusakan mekanis benih, tingkat keusangan benih (hubungan antara vigor awal benih dengan lamanya benih disimpan), patogen pada benih, ukuran dan berat jenis benih, dan komposisi kimia benih.

Faktor lingkungan meliputi musim tanam, kultur teknik, waktu panen, cara tanam, faktor perlakuan pascapanen, cara penimbunan serta lamanya penimbunan brangkasan sebelum pengeringan dan pembijian, cara pengeringan, keseragaman dan kesehatan benih sebelum disimpan, cara pengepakan (khususnya volume dan jenis kemasan), suhu dan kelembaban tempat penyimpanan, dan proses pengangkutan benih.

b. Persiapan lahan

Pemilihan lahan untuk penangkaran benih kedelai, hendaknya disesuaikan dengan masa tanam. Mengingat mutu benih kedelai yang dihasilkan dari pertanaman awal musim hujan biasanya kurang baik, sehingga disarankan menanam kedelai untuk perbenihan pada saat akhir musim hujan di lahan tegal atau menjelang musim kemarau di lahan sawah. Pemilihan lahan untuk penanaman kedelai meliputi teknologi pengolahan tanah.

Pengolahan tanah di Kabupaten Takalar sebanyak 100% responden tidak melakukan atau Tanpa Olah Tanah (TOT). Hal ini dikarenakan penanaman kedelai dilakukan pada sawah irigasi, dimana pada lahan sawah irigasi merupakan bekas pertanaman padi sehingga tidak diperlukan pengolahan tanah yang intensif. Sebanyak 80% responden melakukan pengolahan tanah di Kabupaten Soppeng karena penanaman kedelai pada daerah tersebut di lakukan pada lahan kering, sehingga pengolahan tanah dibutuhkan. Pengolahan tanah di Kabupaten Bone dan Wajo dilakukan masing-masing 40% dan 50% oleh penangkar benih.

(53)

tanam dengan cara ditugal dan hanya dengan menyemprot gulma dengan menggunakan herbisida.

Pemilihan lahan juga harus memiliki persyaratan sebagai berikut: tanahnya cukup subur/gembur, dengan tingkat kesuburan sedang sampai baik, pengairannya cukup dan atau dibuat saluran-saluran drainase yang baik. Mudah terdapat sarana angkutan, tanah untuk pertanaman benih hendaknya bukan bekas tanaman kedelai sebelumnya agar percampuran varietas dapat dihindarkan, dan sebaiknya pemilihan lahan tersebut, sudah sesuai dengan persyaratan sertifikasi benih untuk menjamin kelulusan lapang oleh BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih).

c. Penggunaan varietas

Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan produksi kedelai. Sejarah pembangunan pertanaian menunjukkan bahwa teknologi esensial untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian adalah varietas unggul. Teknologi ini akan efektif meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian hanya bila benih dari varietas unggul tersebut tersedia bagi petani untuk ditanam dalam skala luas (Widyawati 2008).

Salah satu permasalahan penting dalam produksi kedelai di Indonesia adalah dalam penyediaan benih kedelai yang bermutu. Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu kunci utama dalam peningkatan produksi.

(54)

Selama ini benih bermutu dari varietas unggul diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara seperti PT. Shang Hyang Sri dan PT. Pertani dan Balai-Balai Benih. Benih tersebut belum sesuai kebutuhan petani atau permintaan konsumen, sehingga diperlukan upaya-upaya yang bersifat terobosan, diantaranya adalah menjadikan (memberdayakan) beberapa petani/kelompok tani sebagai penangkar benih. Sehingga varietas yang digunakan dalam usaha tani kedelai merupakan varietas unggul yang sesuai (beradaptasi baik) pada lingkungan setempat dan benih sebagai pembawa (carrier) yang tinggi agar ekspresi dari potensi genetik diperoleh secara maksimal.

d. Penggunaan pupuk

Penggunaan pupuk sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil dan perbaikan kesuburan tanah, termasuk pada budidaya kedelai. Pupuk sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman dan untuk meningkatkan hasil.

Teknologi pemupukan terdiri atas cara penggunaan dan dosis pemupukan berdasarkan rekomendasi. Penggunaan pupuk baik cara ataupun dosis yang dilakukan petani/penangkar di lokasi kajian belum efektif dan efisien.

(55)

e. Pengendalian hama dan penyakit

Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu resiko yang harus dipertimbangkan dalam budidaya tanaman kedelai. OPT utama yang perlu diwaspadai adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.). Secara umum dari beberapa sumber referensi, ulat grayak mulai muncul pada fase vegetatif (11 HST) sampai dengan fase generatif pada saat pertumbuhan polong dan biji (51-70 HST). Serangan membahayakan bisa terjadi pada fase terakhir (fase generatif) sebab kondisi tanaman tidak mampu lagi menggantikan daun yang telah dirusak oleh ulat grayak dengan tumbuhnya daun baru. Selain itu serangan pada fase generatif akan sangat menurunkan kemampuan tanaman waktu pengisian polong atau biji.

Tingkat serangan ulat grayak rata-rata relatif rendah, di bawah ambang batas pengendalian (AP) (<25%-kerusakan daun) proses ini berjalan sampai dengan + 40 HST, sehingga pengendalian yang dianjurkan adalah pengendalian secara mekanis, yaitu dengan cara mengumpulkan ulat dan telur yang masih mengelompok dan sudah tersebar, kemudian dimusnahkan.

Persentase petani/penangkar yang melakukan pengendalian hama penyakit di lokasi kajian adalah di Kabupaten Takalar dan Bone sebanyak 40%, dan di Kabupaten Soppeng dan Wajo sebanyak 20%.

Hasil penelitian yang dilakukan Sejati et al. (2009) di Kabupaten Soppeng ternyata gangguan hama dan penyakit tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman kedelai. Hal ini disebabkan karena sudah adanya usaha preventif setiap ada gejala serangan, sehingga pengendalian hama dilakukan berdasarkan pemantauan. Jika populasi hama tinggi atau kerusakan daun 12,5% dan kerusakan polong 2,5%, tanaman disemprot dengan insektisida efektif. Pengendalian secara kultur teknis antara lain pergiliran tanaman dan tanam serentak dalam satu hamparan.

Gambar

Tabel 5 Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)
Gambar 2   Diagram Matrik SWOT
Tabel 6   Komposisi petani kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian
Tabel 8  Komposisi petani kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi  kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya ukuran smartcard yang digunakan adalah 8 KB dan 16 KB.Untuk sistem yang menggunakan pasangan kunci privat dan publik membutuhkan smartcard dengan

Absorbsi stelsel bisa diterjemahkan dengan kata lain yakni sistem hisapan yang berarti ancaman hukuman tindak pidana yang ringan terhisap oleh ancaman hukuman yang

Pada saat dilakukan uji konsolidasi pada sampel tersebut, pemampatan yang relatif kecil (ditunjukan dengan perubahan void ratio e, yang kecil ) akan terjadi bila

 Reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat potensial mengganggu keberhasilan terapi

Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keadaan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya, Pasal 123 Ayat

Salisbury &amp; Ross (1995) menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh pada konsentrasi tertentu mampu menghambat kerja hormon endogen dan dapat menggangu pertumbuhan

Selain layanan interkoneksi dengan biaya sebagaimana dimaksud butir 1 diatas, Indosat membuka kemungkinan adanya penyesuaian biaya interkoneksi atas dasar nilai ekonomis

Pada perhitungan neraca air ini mempunyai batas lingkup yaitu hanya pada akuifer bebas (unconfined).Pada Gambar 1 dibawah ini akan menggambarkan bahwa perhitungan