• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik kelompok usia dapat menunjukkan beberapa hal, antara lain regenerasi usaha tani di lokasi tersebut (Witantriasti 2010) dan hubungan usia produktif manusia dengan kenyataan usia responden (Wijiadi 2007). Pada Tabel 8, penyajian data disesuaikan dengan penyajian data yang dilakukan oleh BPS (2005). Responden penelitian ini menyebar antara kelompok usia 30–34 tahun sampai kelompok usia 80–84 tahun. Sebaran responden terbanyak ialah pada kelompok usia 60–64 tahun sebanyak 14 jiwa (23,33%).

Menurut BPS (2010c), usia produktif berkisar antara usia 15–64 tahun. Pada Tabel 8, terdapat 41 jiwa (68,33%) responden yang berada pada usia produktif. Dengan demikian, sebagian besar responden memiliki kemampuan untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dirinya pribadi atau keluarganya.

Tabel 8 Sebaran responden menurut kelompok usia

Kelompok usia (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

30–34 2 3,33 35–39 0 0,00 40–44 6 10,00 45–49 6 10,00 50–54 6 10,00 55–59 7 11,67 60–64 14 23,33 65–69 7 11,67 70–74 7 11,67 75–79 3 5,00 80–84 2 3,33 Total 60 100,00

Terdapat beberapa hal menarik yang ditemukan di lokasi penelitian berkaitan dengan kelompok usia. Penyebaran dominan kelompok usia 60–64 tahun menunjukkan bahwa pemegang keputusan dalam lembaga pengelolaan hutan rakyat di Desa Padasari masih berada pada orang-orang yang sudah berusia cukup lanjut, walaupun mereka masih termasuk ke dalam usia produktif. Dengan kata lain, kepemilikan lahan masih dimiliki oleh petani-petani yang sudah berusia lanjut. Menurut mereka, kepemilikan akan diwariskan setelah mereka sudah tidak mampu lagi mengelola lahan yang ada, atau jika anak-anak mereka mengalami kesulitan keuangan. Adapun pemuda-pemudi di Desa Padasari lebih memilih untuk mencari nafkah lain di daerah lain seperti kawasan perkotaan atau desa lain. Mereka tidak terlalu tertarik untuk menjadi petani, karena dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman, cenderung kurang sejahtera, dan identik dengan orang yang berusia lanjut.

5.3.2 Jenis Kelamin

Karakteristik jenis kelamin dapat memberikan gambaran pengelolaan hutan rakyat berdasarkan jenis kelamin (Suwardi 2010). Pada Tabel 9, Sebaran responden terbanyak terjadi pada jenis kelamin pria sebanyak 56 jiwa (93,33%). Secara umum petani hutan rakyat ialah seseorang yang berperan sebagai kepala

34

keluarga atau yang dituakan, hal ini sangat identik dengan jenis kelamin pria. Menurut tradisi di lokasi penelitian, pria memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarganya masing-masing. Walaupun sebagian besar wanita hanya sebagai pendukung dari pria dalam mengelola lahan hutan rakyat, mereka tidak jarang pula mencurahkan waktunya untuk beraktivitas mengelola lahan mereka.

Tabel 9 Sebaran responden menurut jenis kelamin

Kelompok jenis kelamin Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Pria 56 93,33

Wanita 4 6,67

Total 60 100,00

Selain itu, penelitian ini juga menemukan responden wanita sebagai kepala keluarga atau orang yang dituakan (Tabel 9). Hal ini disebabkan oleh status janda atau sebagai ahli waris. Mereka tidak secara intensif mengelola hutan rakyatnya, sebagian diserahkan kepada anggota keluarga pria.

5.3.3 Pendidikan Terakhir

Karakteristik pendidikan terakhir menunjukkan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di lokasi tersebut (Witantriasti 2010). Pada Tabel 10, responden menyebar dari tingkat pendidikan terakhir setingkat SD sampai S1. Semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir semakin sedikit responden yang telah menempuhnya. Sebaran responden terbanyak terdapat di tingkat SD (terendah), yaitu sebanyak 30 jiwa (50%). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden masih rendah. Jika tingkat pendidikan rendah, kemampuan untuk menerima inovasi tinggi namun kemampuan berinovasi rendah (Wijiadi 2007).

Tabel 10 Sebaran responden menurut pendidikan terakhir

Kelompok pendidikan terakhir Jumlah (jiwa) Persentase (%)

SD 30 50,00

SLTP 16 26,67

SMA 10 16,67

S1 4 6,67

Total 60 100,00

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab rendahnya tingkat pendidikan responden. Pertama ialah minimnya sarana dan prasarana pendidikan setelah tingkat SD di Desa Padasari. Ketersediaan lembaga pendidikan di Desa

Padasari hanya sampai tingkat SD, lembaga pendidikan tingkat berikutnya terdapat di desa lain. Selain itu, secara ekonomi mereka tidak terlalu mampu untuk menjalani pendidikan yang lebih tinggi setelah SD, karena pendapatan rumah tangga mereka yang tidak menentu. Dengan keterbatasan sarana, prasarana, dan ekonomi, tujuan utama pendidikan bagi mereka ialah untuk memperoleh kemampuan baca dan tulis saja. Faktor lainnya ialah hubungan antara tingkat pendidikan dan kelompok usia, dimana kelompok usia dominan ialah 60–64 tahun. Pada waktu mereka muda dahulu, pendidikan tidak terlalu dibutuhkan, karena kebanyakan dari mereka hanya melanjutkan hidupnya di Desa Padasari, dan meneruskan usaha bertani milik keluarga mereka.

5.3.4 Karakteristik Jenis Pekerjaan Pokok

Karakteristik jenis pekerjaan pokok menunjukan ketersediaan lapangan pekerjaan di lokasi tersebut (Wijiadi 2007). Pekerjaan pokok ialah aktivitas atau pekerjaan yang menyita waktu sehari-hari paling banyak dan atau memberikan pendapatan paling besar. Berdasarkan Tabel 11, terdapat 12 jenis pekerjaan yang berbeda. Sebaran responden terbanyak ialah pada jenis pekerjaan petani yang berjumlah 45 jiwa (75%).

Tabel 11 Sebaran responden menurut jenis pekerjaan pokok

Kelompok jenis pekerjaan pokok Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Guru Sekolah Dasar 1 1,67

Kepala Desa 1 1,67 Mandor bangunan 1 1,67 Pedagang 4 6,67 Pengojek 1 1,67 Pengrajin 1 1,67 Pengusaha 2 3,33 Pesuruh 1 1,67 Petani 45 75,00 Supir 1 1,67 TNI-AD 1 1,67 Tukang servis 1 1,67 Total 60 100,00

Petani yang dimaksud di sini ialah responden yang sehari-hari beraktivitas mengolah lahan, baik lahan pertanian (sawah), maupun lahan hutan rakyat (tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan). Petani memiliki berbagai ciri, yaitu: (1) menggantungkan kebutuhan hidupnya pada usaha pengelolaan lahannya,

36

baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan mendesak; dan (2) memiliki pengetahuan mengenai potensi jenis beserta manfaatnya.

Karakteristik jenis pekerjaan pokok sebenarnya masih berkaitan dengan karakteristik kelompok usia, dimana responden dominan berusia antara 60–64 tahun. Pada selang usia itu, mereka umumnya telah melewati masa pensiun, baik dari pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun pegawai swasta. Setelah pensiun, aktivitas mereka ialah mengolah lahan mereka (bertani), yang dianggap lebih tenang dan menguntungkan. Selain pensiunan, tidak sedikit pula yang memang telah puluhan tahun memilih pekerjaan pokok sebagai petani, karena pekerjaan ini telah turun-temurun di Desa Padasari. Salah satu penyebab lain dari banyaknya responden yang bekerja sebagai petani ialah rendahnya kesempatan kerja di Desa Padasari.

5.3.5 Pengalaman Berusaha Tani

Karakteristik pengalaman berusaha tani menunjukkan ketergantungan hidup responden kepada usaha tani untuk mencukupi kebutuhannya (Witantriasti 2010). Karakteristik pengalaman berusaha tani dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yang berbeda (Tabel 12) berdasarkan kaidah teknik penyajian data dalam Walpole (1992). Responden penelitian ini menyebar antara kelompok dengan pengalaman berusaha tani di bawah 9 tahun sampai kelompok dengan pengalaman berusaha tani selama 60–69 tahun.

Responden penelitian banyak terdapat pada kelompok dengan pengalaman berusaha tani selama 10–19 tahun, yaitu sebanyak 18 jiwa (30%) seperti terlihat pada Tabel 12. Bahkan jika digabung, terdapat 32 jiwa (53,33%) responden pada selang pengalaman berusaha tani selama 10–29 tahun.

Tabel 12 Sebaran responden menurut pengalaman berusaha tani

Kelompok pengalaman berusaha tani (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

0–9 5 8,33 10–19 18 30,00 20–29 14 23,33 30–39 7 11,67 40–49 12 20,00 50–59 2 3,33 60–69 2 3,33 Total 60 100,00

Menurut responden, pengalaman berusaha tani berawal ketika mereka fokus mengolah lahannya setiap hari, walaupun sejak kecil mereka sudah mulai membantu mengolah lahan milik orang tua mereka. Sebagai contoh, pengalaman berusaha tani pada beberapa responden bermula saat mereka pensiun atau berhenti dari pekerjaan pokok mereka selain sebagai petani.

5.3.6 Luas Kepemilikan Lahan

Karakteristik luas kepemilikan lahan menunjukkan pemerataan luas kepemilikan lahan (Wijiadi 2007) dan tingkat sosial masyarakat di lokasi tersebut (Sultika 2010). Karakteristik luas kepemilikan lahan dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yang berbeda (Tabel 13) berdasarkan kaidah teknik penyajian data dalam Walpole (1992). Responden menyebar dari kelompok yang memiliki lahan dengan luasan di bawah 0,29 ha sampai kelompok yang memiliki lahan dengan luasan antara 1,8–2,09 ha. Semakin luas lahan yang dimiliki, semakin rendah jumlah responden.

Tabel 13 Sebaran responden menurut luas kepemilikan lahan

Kelompok luas kepemilikan lahan (ha) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

0–0,29 28 46,67 0,3–0,59 17 28,33 0,6–0,89 4 6,67 0,9–1,19 4 6,67 1,2–1,49 3 5,00 1,5–1,79 3 5,00 1,8–2,09 1 1,67 Total 60 100,00

Sebaran responden terbanyak ialah kelompok yang memiliki lahan dengan luasan di bawah 0,29 ha sebanyak 28 jiwa (46.67%). Hal ini menunjukkan lahan yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar sempit, penyebaran merata, dan terstruktur seperti struktur sosial. Sultika (2010) mengungkapkan bahwa semakin luas lahan yang dimiliki, maka semakin tinggi status sosialnya.

Lahan yang dimiliki oleh responden sebagian besar berasal dari warisan keluarga yang dibagi-bagikan, sehingga luas masing-masing secara umum semakin sempit. Selain itu, beberapa responden pernah menjual lahan akibat kebutuhan ekonomi yang menyebabkan luas lahan mereka berkurang. Pembeli lahan biasanya ialah petani-petani hamparan (tidak tinggal di Desa Padasari),

38

sehingga luas lahan petani hamparan lebih luas dibandingkan luas lahan milik petani lokal.

Walaupun sebagian besar responden memiliki luas lahan yang sempit, mereka tetap menerapkan sistem agroforestry dalam mengelola lahannya. Mereka menanami lahan mereka dengan tanaman pertanian (sawah), tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan. Pada responden yang luas lahannya sempit, hasil sawah digunakan untuk kebutuhan makan mereka sehari-hari, tanaman perkebunan untuk mencukupi kebutuhan selain makanan, dan tanaman kehutanan (kayu rakyat) untuk kebutuhan mendesak.

5.3.7 Jumlah Anggota Keluarga

Karakteristik jumlah anggota keluarga menunjukkan jumlah tanggungan secara ekonomi rumah tangga responden (Wijiadi 2007). Berdasarkan Tabel 14, pengelompokkan berdasarkan asumsi bahwa rumah tangga itu terdiri dari minimal dua jiwa (pasangan suami istri). Responden penelitian ini menyebar antara kelompok dengan jumlah anggota keluarga 1–2 jiwa sampai kelompok dengan jumlah anggota keluarga 9–10 jiwa. Adapun keterangan mengenai jumlah anggota keluarga ialah sebagai berikut: (1) kelompok dengan jumlah anggota keluarga 1–2 jiwa ialah keluarga yang baru menikah atau tidak memiliki keturunan; (2) kelompok dengan jumlah anggota keluarga 3–4 jiwa ialah keluarga yang memiliki anak 1–2 jiwa, karena mengikuti program Keluarga Berencana (KB) dan tidak berani memiliki anak lebih akibat kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu; (3) kelompok dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 4 jiwa ialah keluarga yang cukup mampu secara ekonomi dan berani memiliki anak lebih banyak. Semakin sedikit anggota keluarga, jumlah jiwa yang ditanggung secara ekonomi semakin sedikit, tetapi juga semakin sedikit jiwa yang membantu dalam mengelola lahan masing-masing (Wijiadi 2007).

Tabel 14 Sebaran responden menurut jumlah anggota keluarga

Kelompok jumlah anggota keluarga (jiwa) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1–2 9 15,00 3–4 41 68,33 5–6 8 13,33 7–8 1 1,67 9–10 1 1,67 Total 60 100,00

Sebaran responden terbanyak ialah kelompok dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 3–4 jiwa yang berjumlah 41 jiwa (68,33%), seperti terlihat pada Tabel 14. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden terpilih terdiri dari pasangan suami istri yang memiliki 1–2 jiwa anak, mengikuti program KB, dan kondisi ekonomi keluarga kurang mampu.

5.3.8 Penghasilan Rata-Rata Bulanan

Karakteristik penghasilan bulanan menunjukkan kemampuan ekonomi responden (Diniyati et al. 2008). Perhitungan penghasilan dilakukan dengan menghitung penghasilan kotor pada bulan-bulan terakhir dari pendapatan- pendapatan yang meliputi penghasilan bulanan (gaji dan tunjangan), pensiunan, pendapatan usaha dagang, pendapatan usaha tani tanaman pertanian, pendapatan usaha tani tanaman perkebunan, dan pendapatan hasil pemanenan yang dikonversi ke jangka waktu bulanan. Penghasilan kotor bulan-bulan terakhir diambil karena dapat menunjukkan kondisi ekonomi rumah tangga petani terkini.

Tabel 15 Sebaran responden menurut penghasilan rata-rata bulanan

Kelompok penghasilan rata-rata bulanan (Rp/bln) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

0–1,29 23 38,33 1,3–2,59 20 33,33 2,6–3,89 8 13,33 3,9–5,19 5 8,33 5,2–6,49 1 1,67 6,5–7,79 1 1,67 7,8–9,09 2 3,33 Total 60 100,00

Karakteristik penghasilan rata-rata bulanan dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yang berbeda (Tabel 15), pembagian kelompok dilakukan sesuai dengan kaidah teknik penyajian data dalam Walpole (1992). Responden menyebar dari kelompok yang berpenghasilan rata-rata bulanan di bawah Rp 1.290.000,00/bulan sampai kelompok reponden yang berpenghasilan rata-rata antara Rp 7.800.000,00/bulan hingga Rp 9.090.000,00/bulan. Secara umum, semakin besar penghasilan rata-rata bulanan, semakin rendah jumlah responden yang memiliki karakteristik tersebut.

Sebaran responden banyak mengumpul pada kelompok penghasilan rata- rata bulanan di bawah Rp 2.590.000,00/bulan, yaitu sebanyak 43 jiwa (71,66%). Sebaran tersebut terdiri dari 23 jiwa (38,33%) kelompok dengan penghasilan rata-

40

rata bulanan di bawah Rp 1.290.000,00/bulan dan 20 jiwa kelompok dengan penghasilan rata-rata bulanan antara Rp 1.300.000,00/bulan hingga Rp 2.590.000,00/bulan. Hal ini terjadi karena sebagian besar memiliki pekerjaan utama sebagai petani (75%) dan sebagian besar berusia antara 60–64 tahun (23,33%), sehingga bergantung dari hasil panen tanamannya. Adapun Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Sumedang senilai Rp 1.058.978,00 (Pemda Jabar 2009). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki penghasilan rata-rata bulanan pada UMR.

Dokumen terkait