• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat: kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat: kasus di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MOTIVASI PEMANENAN KAYU RAKYAT

BERDASARKAN KARAKTERISTIK

PETANI HUTAN RAKYAT

(Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

ANDREA SHANDY PRABOWO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

ANALISIS MOTIVASI PEMANENAN KAYU RAKYAT

BERDASARKAN KARAKTERISTIK

PETANI HUTAN RAKYAT

(Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

ANDREA SHANDY PRABOWO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

RINGKASAN

ANDREA SHANDY PRABOWO. Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat (Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat). Dibimbing oleh UJANG SUWARNA dan LETI SUNDAWATI.

Usaha kayu rakyat sampai saat ini umumnya masih dianggap sebagai usaha sampingan atau tabungan karena daur tanam yang panjang dan kontribusi pendapatan yang rendah. Pengelolaan hutan rakyat terfokus pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Mereka memiliki karakteristik masing-masing. Salah satu bagian dari pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat; (2) mengetahui motivasi pemanenan kayu rakyat; dan (3) menganalisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat.

Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan terhadap contoh atau responden dari suatu populasi. Adapun contoh atau responden penelitian ini ialah petani hutan rakyat yang pernah melakukan pemanenan kayu rakyat. Penentuan responden dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan keterjangkauan lokasi responden dan efektivitas waktu penelitian. Jumlah responden berjumlah 60 jiwa.

Petani hutan rakyat di Desa Padasari melakukan pemanenan kayu rakyat dengan motivasi beragam, dimana motivasi terbanyak ialah membangun rumah (38,67%). Selain itu, motivasi lainnya berurutan menurut persentasenya dari terendah hingga tertinggi ialah modal usaha (16%), memperbaiki rumah (14,67%), membeli tanah (10,67%), biaya pendidikan (9,33%), membayar utang (2,67%), membeli rumah (2,67%), biaya kesehatan (1,33%), biaya pernikahan (1,33%), kebutuhan sehari-hari (1,33%), dan ongkos naik haji (1,33%). Berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat, motivasi membangun rumah umumnya muncul pada responden berusia 40–44 tahun dan 60–64 tahun, berjenis kelamin pria, berpendidikan terakhir setingkat SD dan SLTP, jenis pekerjaan pokok sebagai petani, berpengalaman usaha tani selama 10–19 tahun, memiliki luas lahan di bawah 0,29 ha, memiliki jumlah anggota keluarga 3–4 jiwa, dan berpenghasilan rata-rata bulanan antara Rp 1.300.000,00/bulan hingga Rp 2.590.000,00/bulan.

(4)

iii

SUMMARY

ANDREA SHANDY PRABOWO. Motivation Analysis of Timber Harvesting Based on Characteristics of Community Forest Farmers (Study in the Village Padasari, District Cimalaka, Sumedang Regency, West Java). Supervised by UJANG SUWARNA and LETI SUNDAWATI.

Timber business from community forests untill today generally are still regarded as a side business or as savings because of long-time cycle of planting and low-income contribution. The management of community forests are focused at the housewifery level or community forest farming families. They have their own characteristics. One part of the management of community forests is timber harvesting. The objectives of this research are: (1) identify the characteristics of community forest farmers; (2) find out the motivation of timber harvesting; and (3) analyzing the motivation of timber harvesting based on characteristics of community forest farmers.

This research uses a survey method with purposive sampling. The samples or respondents are the community forest farmers who have harvested their timber. The respondents were selected puposively, totally 60 persons.

The community forest farmers in the village of Padasari harvested their timber with different motivations. The highest percentage of motivation is to build a house (38.67%). The other motivations sequentially according to its percentage from the highest untill the lowest are business capital (16%), repaire a house (14.67%), buying land (10.67%), education costs (9.33%), debts payment (2.67%), buy a house (2.67%), medical expenses (1.33%), wedding expenses (1.33%), daily necessities (1.33%), and pilgrim costs (1.33%). Based on characteristics of community forest farmers, the motivation to build a house generally appear in the respondents aged between 40–44 years old and 60–64 years old, male, elementary school and junior high school education, principal occupation as farmers, 10–19 years farming experience, land ownership below 0.29 ha, has family members 3–4 persons, and average monthly income Rp 1,300,000.00/month untill Rp 2,590,000.00/month.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat (Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan para dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

(6)

v

Judul Skripsi : Analisis Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat Berdasarkan Karakteristik Petani Hutan Rakyat

(Studi di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

Nama : Andrea Shandy Prabowo NRP : E14051574

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua,

Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F NIP. 19720512 199702 1 001

Anggota,

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F NIP. 19640830 199003 2 001

Mengetahui,

Kepala Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan (Alm.) Bapak H. Untung Raharjo Ismail dan Ibu Nuryati. Pada tahun 2005 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Tanjungsari, Sumedang. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Setahun berikutnya, penulis mengambil Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (DPSDM) Forest Management Students Club (FMSC) 2006-2007, Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Anggota (DPSDA) Koperasi Mahasiswa IPB (Kopma IPB) 2006-2008, dan Ketua Badan Pengawas Kopma IPB 2008-2009. Pengalaman kepanitiaan penulis ialah sebagai Divisi Logistik dan Transportasi (Logstran) Bussines Plan Competiton, Campus Fair Kopma IPB 2005; Ketua Panitia Pendidikan Dasar Kopma IPB 2006; Ketua Rangkaian Acara Campus Fair Kopma IPB 2007; dan Steering Committee Rangkaian Acara Campus Fair Kopma IPB 2008.

Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2007 di Cagar Alam (CA) Leuweung Sancang, Garut; dan Taman Wisata Alam (TWA) Kamojang, Bandung. Tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi; dan di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pada tahun 2009, penulis juga mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya dalam penyusunan skripsi ini. Adapun skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Salah satu bagian dari pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat. Kegiatan tersebut disebabkan motivasi tertentu berdasarkan kebutuhan rumah tangga petani tersebut. Perbedaan karakteristik petani hutan rakyat dapat menyebabkan perbedaan pengelolaan hutan rakyat.

Skripsi ini memuat gambaran motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat masing-masing. Gambaran tersebut disajikan dalam bentuk tabel sederhana dan teks deskriptif. Metode penelitian yang digunakan ialah metode survei dengan purposive sampling. Penelitian dilaksanakan di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober sampai November 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan, baik dari teknik penulisan maupun materi skripsi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, April 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui lembar ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku pembimbing. Nasehat, motivasi, dan bimbingan yang Bapak dan Ibu berikan kepada penulis telah membantu penyusunan skripsi ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih atas nasehat dan saran kepada Ir. Rita Kartika Sari, M.Si; Dr. Ir. Endes Nurfilmarasa Dachlan, MS; dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS selaku penguji pada saat sidang komprehensif.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih atas izin penelitian kepada Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Sumedang dan Dinas Kehutanan Sumedang. Selain itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada keluarga Bapak Entis Sutisna selaku Ketua Kelompok Petani Bagjamulya. Informasi, keikhlasan, dan keramahtamahan Bapak sekeluarga telah memperlancar proses penyusunan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis, yaitu Bapak (Alm.) H. Untung Raharjo Ismail, Ibu Nuryati, Truelly Meutia Khristina, SE, dan Keluarga Bapak dr. H. Zubair Dangkua, SpAn, KIC. Rasa terima kasih disampaikan atas segala doa, perhatian, nasehat, motivasi, keikhlasan, kasih sayang, dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis.

Berikutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Diana Dewi Setia Budhie, S.Pt yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, dan pengorbanan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada kawan-kawan kosan 3 Beruang (Wissa Hary Pamudji, S.Hut; Daryl Darussalam, S,Hut; Alfian Nugroho, S.Hut, dan Bagus Dwi Haryo, SE), kawan-kawan All Blue Community, keluarga besar Kopma IPB, dan keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB atas dukungan, motivasi, dan kerja samanya selama ini.

Bogor, April 2011

(10)

ix

3.1 Kerangka Penelitian ... 11

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.3 Bahan dan Alat ... 14

3.4 Teknik Pengambilan Contoh ... 15

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.6 Jenis Data ... 16

3.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data ... 16

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

4.1 Letak Geografis ... 17

5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat ... 21

5.2 Pemanenan Kayu Rakyat ... 26

5.3 Karakteristik Petani Hutan Rakyat ... 32

5.4 Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat ... 40

(11)

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1 Kesimpulan ... 81

6.2.Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(12)

xi

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Harga kayu rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor ... 7

2. Kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat menurut berbagai sumber ... 7

3. Karakteristik petani hutan rakyat menurut berbagai sumber ... 8

4. Motivasi pemanenan kayu rakyat menurut berbagai sumber ... 10

5. Alokasi penggunaan lahan di Desa Padasari ... 19

6. Potensi jenis tanaman kayu komersil di Desa Padasari ... 21

7. Kontribusi sumber pendapatan tahunan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat di Desa Padasari ... 24

8. Sebaran responden menurut kelompok usia ... 33

9. Sebaran responden menurut jenis kelamin ... 34

10. Sebaran responden menurut pendidikan terakhir ... 34

11. Sebaran responden menurut jenis pekerjaan pokok ... 35

12. Sebaran responden menurut pengalaman berusaha tani... 36

13. Sebaran responden menurut luas kepemilikan lahan ... 37

14. Sebaran responden menurut jumlah anggota keluarga ... 38

15. Sebaran responden menurut penghasilan rata-rata bulanan ... 39

16. Motivasi pemanenan kayu rakyat di Desa Padasari ... 40

17. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada kelompok usia responden ... 46

18. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada jenis kelamin responden ... 50

19. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada pendidikan terakhir responden ... 54

(13)

21. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada pengalaman berusaha tani responden ... 62 22. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada luas

kepemilikan lahan responden ... 67 23. Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada jumlah

anggota keluarga responden ... 71 24 Persentase kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat pada

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 14 2. Jalan masuk menuju ke Desa Padasari ... 17 3. Kondisi tegakan hutan rakyat di Desa Padasari ... 22 4. Penerapan sistem agroforestry oleh petani hutan rakyat di Desa Padasari . 23 5. Alat penebangan yang digunakan ... 28 6. Proses pengangkutan kayu ... 29 7. Kondisi hutan rakyat pasca pemanenan kayu rakyat di Desa Padasari... 32 8. Kondisi rumah responden yang menyebabkan mereka membutuhkan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

(16)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kayu rakyat merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu yang tidak dapat terpenuhi oleh kayu yang berasal dari hutan alam (Syahadat 2006). Hutan rakyat merupakan tabungan atau usaha sampingan, karena daur tanam yang panjang dan kontribusi pendapatan yang rendah (Hardjanto 2000).

Pengelolaan hutan rakyat terfokus pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Pemegang keputusan berada di kepala rumah tangga atau orang yang dituakan dalam rumah tangga. Petani hutan rakyat sebagai pemegang keputusan memiliki karakteristik yang beragam. Keragaman karakteristik membuat keragaman pola pengelolaan hutan rakyat (Awang 2007).

Salah satu bagian dari pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat. Perilaku pemanenan disebabkan oleh motivasi pemanenan yang muncul akibat adanya kebutuhan hidup yang mendesak pada rumah tangga petani sebagai pengelola hutan rakyat (Syahadat 2006). Kebutuhan tersebut menyebabkan petani memanen kayu lebih cepat daripada daur volume maksimum, sehingga nilai harga kayu yang dihasilkan lebih rendah. Hal ini juga berkaitan dengan status usaha kayu rakyat sebagai tabungan, sehingga melakukan pemanenan pada waktu yang tidak menentu.

Pola pemanenan kayu rakyat saat ini membuat petani tidak memperoleh manfaat secara ekonomi yang optimal. Hasil penjualan kayu saat dipanen sebelum mencapai daur volume maksimum akan lebih sedikit. Peran tanaman bagi lingkungan juga menjadi tidak optimal.

1.2 Perumusan Masalah

(17)

Jika dikaitkan dengan karakteristik petani masing-masing, motivasi-motivasi pemanenan kayu rakyat akan berkelompok sesuai karakteristik tertentu atau akan menyebar merata. Hal ini manjadi gambaran bagi tindakan pembinaan yang harus dilakukan dan sasaran yang dituju.

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat; 2. mengetahui motivasi pemanenan kayu rakyat; dan

3. menganalisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat.

1.4 Manfaat Penelitian

(18)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat

Suharjito (2000) menjelaskan bahwa hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut masyarakat hukum adat).

2.1.2 Karakteristik Hutan Rakyat

Karakteristik hutan rakyat menurut Ditjen RRL (2005) dalam Tinambunan (2008):

1. Lokasi hutan rakyat terbatas pada lahan milik, lahan marga atau adat, kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak berhutan dan tanah negara yang terlantar.

2. Usaha hutan rakyat ditinjau dari segi usaha, sebagian besar berskala kecil sampai menengah yang dalam pengembangannya menghadapi masalah pemilikan lahan yang sempit (di Pulau Jawa) dan status lahan sering belum jelas.

3. Pelaksana pengelolaan hutan rakyat biasanya adalah stratum masyarakat paling bawah yang mempunyai kemampuan teknis, ekonomis, dan manajemen minimal.

4. Pola penanaman hutan rakyat tidak monokultur (homogen) tetapi bersifat heterogen, yaitu penanaman berbagai jenis tanaman di satu areal lahan pada waktu bersamaan.

5. Pelaksana pengelolaan hutan rakyat umumnya kurang mempunyai keterampilan dalam pengelolaan hutan.

(19)

7. Dalam peraturan perundangan yang ada, seperti dalam uraian kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat yang mencapai 10 butir, tidak ada yang mencakup keteknikan hutan.

8. Dimensi kayu yang dipanen biasanya kecil. Sebagai contoh di beberapa hutan rakyat Jawa Barat terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm.

9. Pola penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, seperti dikemukakan Simon (1995) dalam Tinambunan (2008), ada tiga pola, yaitu (1) penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik; (2) penanaman pohon di teras bangku; dan (3) penanaman pohon di seluruh lahan milik.

2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Windawati (2004), secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam dan berbeda di setiap daerah, baik cara memilih jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Pada umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh masyarakat petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu murni dan campuran.

1. Hutan Rakyat Murni

Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur), seperti di Pulau Jawa untuk jenis sengon, jati, dan di Lampung untuk jenis damar mata kucing. Dari jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan ekonominya kurang dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman.

2. Hutan Rakyat Campuran

(20)

5

tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

b. Hutan rakyat campuran dengan sistem agroforestry atau wanatani, yaitu berbentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan, dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti jenis kayu-kayuan (sengon dan jati), sayur-sayuran (petai dan nangka), tanaman pangan (singkong dan jagung), hijauan makanan ternak (rumput gajah), tanaman obat-obatan (kapolaga dan jahe), lebah madu, dan lainnya. Kelebihan pola tanam ini yaitu mempunyai daya tahan yang kuat terhadap serangan hama, penyakit, dan angin. Secara ekonomis dapat diperoleh keuntungan ganda yang berkesinambungan melalui panen harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Tenaga kerja yang terserap akan lebih banyak dan berkelanjutan.

Selanjutnya menurut Djuwadi (2002) dalam Wijiadi (2007), pola penanaman hutan rakyat ialah sebagai berikut:

1. Pola pagar, yaitu pola penanaman tanaman kehutanan yang mengelilingi tanaman pertanian.

2. Pola selang-seling, yaitu pola penanaman tanaman kehutanan yang berselang-seling dengan tanaman pertanian. Contohnya: tanaman pertanian satu larik, tanaman kehutanan pada larik berikutnya.

3. Pola alley cropping, atau pola terowongan, penanaman tanaman kehutanan dan tanaman perkebuanan berkelompok pada larikan masing-masing.

4. Pola acak, yaitu pola penanaman yang menyebar.

(21)

Umumnya pola penanaman dipengaruhi oleh ketersediaan lahan. Jika lahan berbukit-bukit, pola yang digunakan ialah mozaik atau acak. Sedangkan jika lahan datar, pola yang digunakan ialah pola pagar, selang-seling, atau alley cropping.

Menurut Djajapertjunda (2003) dalam Wardhana (2008), potensi hutan rakyat yang sudah berkembang sekarang ini mencapai luasan 1.265.000 ha yang tersebar di 24 propinsi, dan diantaranya diperkirakan seluas 500.000 ha terdapat di Jawa. Potensi tegakan tanaman kayu milik rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43.000.000 m3, yang terutama terdiri dari kayu sengon, jati, akasia, sonokeling, mahoni, dan jenis tanaman buah-buahan.

Witantriasti (2010) mengemukakan bahwa pelaksanaan penebangan dilakukan oleh tengkulak, karena petani menjual kayunya dalam bentuk tegakan. Hal ini membuat semua proses kegiatan termasuk biaya penebangan dan biaya angkut diserahkan kepada tengkulak.

Witantriasti (2010) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa persepsi petani dalam pembangunan hutan rakyat merupakan penilaian hutan rakyat terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat yang menyangkut penilaian terhadap lahan milik yang dimanfaatkan untuk hutan rakyat. Semakin baik persepsi, maka semakin baik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani.

2.1.4 Hasil Hutan Rakyat

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2004) dalam Mile (2007) menyebutkan ragam produk dan jasa yang mempunyai nilai komersial untuk pengembangan hutan rakyat, antara lain: a) hasil hutan berupa kayu pertukangan untuk bangunan, meubel, perkakas kerajinan; b) kayu lapis, pulp, dan kertas; c) hasil hutan bukan kayu yang dihasilkan dari tanaman serbaguna berupa buah-buahan, biji-bijian, bunga-bungaan, getah-getahan, rotan bambu, gaharu, damar, minyak resin, lebah madu, dan sutera alam; d) jasa lingkungan dari ekosistem hutan yang dapat dikembangkan sebagai obyek wisata alam wisata petualangan, hutan pendidikan, dan hutan penelitian.

(22)

7

yang memiliki nilai harga lebih mahal dibanding jenis kayu sengon. Hal ini menunjukkan bahwa meranti dan mahoni dianggap lebih berkualitas oleh pasar.

Tabel 1 Harga kayu rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor

Jenis kayu Nama ilmiah Diameter (cm) Harga (Rp/phn)

Sengon Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen

< 20 110.000

20-29 200.000-270.000

>30 300.000-340.000

Mahoni Swietenia mahagoni (L.) Jacq. 20-29 500.000-1.000.000

> 30 1.000.000-1.500.000

Meranti Shorea sp. 20-29 500.000-1.000.000

> 30 1.000.000-1.500.000

Sumber: Witantriasti (2010)

Pendapatan petani hutan rakyat berasal dari bermacam sumber. Persentase kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani menurut beberapa penelitian disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat menurut berbagai sumber

Sumber Tahun Lokasi Sumber pendapatan Kontribusi (%)

Nugroho 2010 Desa Kanekes, Kecamatan

Leuwidamar, Kabupaten

Sultika 2010 Desa Sidamulih,

Kecamatan Pamarican,

Suwardi 2010 Desa Sukaresmi,

Kecamatan Sukaresmi,

Witantriasti 2010 Desa Gunung Sari,

Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Kayu rakyat 44,01

Hasil hutan bukan kayu 2,64

Sawah 4,69

Ternak 3,95

Buruh 20,78

Wiraswasta 23,94

Sumber: Nugroho (2010), Sultika (2010), Suwardi (2010), dan Witantriasti (2010)

(23)

memang terdapat kebutuhan. Istilah tebang butuh pun menjadi dikenal untuk menandai pemanenan pada hutan rakyat. Syahadat (2006) mengungkapkan bahwa kayu rakyat adalah hasil hutan yang diperoleh dari lahan milik sendiri, maka pengolahan dan pemanfaatan hasil hutan sepenuhnya menjadi hak pemilik, sedangkan fungsi pemerintah dalam hal ini hanya melakukan pembinaan untuk menjamin kelestarian hutan dan melindungi kelancaran peredaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan.

2.2 Petani Hutan Rakyat

2.2.1 Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengelompokkan petani hutan rakyat berdasarkan karakteristik tertentu seperti terlihat pada Tabel 3. Diniyati et al. (2008) membedakan petani berdasarkan tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama, besaran pendapatan, dan luas garapan. Karakteristik responden (petani hutan rakyat) dalam penelitian Sultika (2010) berkelompok menurut usia, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan luas hutan rakyat. Sedikit berbeda, penelitian Suwardi (2010) membedakan petani hutan rakyat berdasarkan umur, kepemilikan lahan, mata pencaharian, dan pendidikan.

Tabel 3 Karakteristik petani hutan rakyat menurut berbagai sumber

Sumber Tahun Lokasi penelitian Karakteristik

Diniyati et

al.

2008 Priangan Timur usia, tingkat pendidikan, jenis

pekerjaan utama, besaran pendapatan, dan luas garapan

Sultika 2010 Desa Sidamulih, Kecamatan

Pamarican, dan Desa Bojong,

Suwardi 2010 Desa Sukaresmi, Kecamatan

Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

umur, kepemilikan lahan, mata pencaharian, dan pendidikan

Wijiadi 2007 Desa Sambirejo, Kecamatan

Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, luas lahan

Witantriasti 2010 Desa Gunung Sari, Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

usia, pendidikan, pengalaman usaha tani

Sumber: Diniyati et al. (2008), Sultika (2010), Suwardi (2010), Wijiadi (2007), dan Witantriasti

(24)

9

Witantriasti (2010) mengelompokkan karakteristik petani hutan rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor menjadi kelompok usia, pendidikan, dan pengalaman usaha tani. Pada karakteristik usia, dominansi terjadi pada kelompok usia 35–49 tahun, yang menunjukkan regenerasi usaha tani di lokasi tersebut. Dalam karakteristik pendidikan, dominansi terjadi di tingkat SD, yang menunjukkan keterbatasan sarana pendidikan di atas SD. Sedangkan dominansi yang terjadi di karakteristik pengalaman usaha tani ialah pada kelompok petani yang telah berusaha tani selama 20–30 tahun, yang menunjukkan bahwa mereka telah menggantungkan hidupnya kepada usaha tani untuk mencukupi kebutuhannya.

Karakteristik petani menurut Wijiadi (2007) meliputi usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, dan luas kepemilikan lahan. Karateristik usia menunjukkan hubungan usia produktif manusia dengan kenyataan usia petani hutan rakyat. Karakteristik pendidikan menunjukkan ketersediaan sarana pendidikan, tingkat perekonomian, dan kemampuan menerima inovasi. Karakteristik jumlah anggota keluarga menunjukkan jumlah tanggungan secara ekonomi rumah tangga petani. Karakteristik pekerjaan menunjukan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sedangan karakteristik luas kepemilikan lahan menunjukkan pemerataan luas kepemilikan lahan.

2.2.2 Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat

Motivasi menurut Sudaryanto et al. (1987) dalam Witantriasti (2010) merupakan faktor dalam (endogen) yang tumbuh dalam diri manusia yang berupa nilai-nilai yang mendorong untuk memanfaatkan kesempatan dan atau mengambil manfaat dari kondisi-kondisi yang menguntungkan. Secara singkat, motivasi dapat dikatakan sebagai motif yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Minat dari dalam tersebut akan tercermin dalam perilaku yang sebenarnya merupakan kumpulan fantasi dari berbagai aspek. Motivasi dalam diri manusia terdorong karena adanya keinginan untuk hidup, keinginan untuk memiliki sesuatu, dan keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan pengakuan.

(25)

bukanlah berdasarkan pertimbangan ekonomi pohon, tetapi berdasarkan pertimbangan desakan ekonomi petani itu sendiri. Hal ini yang memunculkan istilah daur butuh, yaitu keputusan menebang ditentukan oleh kebutuhan petani. Jangka waktu periode penebangan masih belum teratur karena waktu penebangan dan jumlah pohon yang ditebang masih berdasarkan kebutuhan ekonomi yang mendadak seperti adanya hajatan pernikahan, khitanan, pendidikan, dan lain-lain.

Tabel 4 Motivasi pemanenan kayu rakyat menurut berbagai sumber

Sumber Tahun Lokasi penelitian Karakteristik

Butar-Butar 2006 Desa Burno, Kecamatan

Senduro, Kabupaten Lumajang,

2003 Priangan Timur hajatan pernikahan, khitanan,

pendidikan, dan lain-lain

Witantriasti 2010 Desa Gunung Sari, Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

biaya sekolah, ongkos kesehatan, membangun rumah, maupun membangun masjid

Sumber: Butar-Butar (2006), Suryandari dan Puspitojati (2003), dan Witantriasti (2010)

Penelitian Butar-Butar (2006) mengatakan bahwa petani akan memanen tanaman apabila mereka anggap sudah menguntungkan, walaupun belum masak tebang, karena mereka berprinsip walaupun untungnya sedikit tetapi cepat hasil agar bisa menanam lagi. Desakan yang timbul seperti membayar utang, biaya pendidikan, dan lain-lain. Hal itu didukung oleh penelitian Handoko (2007), bahwa kegiatan pemanenan yang dilakukan petani hutan rakyat berupa pemilihan tegakan yang memiliki nilai jual yang dapat memenuhi kebutuhan yang jumlahnya cukup besar.

Penelitian Witantriasti (2010) menjelaskan bahwa kegiatan pemanenan di Desa Gunung Sari menerapkan sistem tebang pilih dengan kriteria umur yang cukup, walaupun tidak jarang yang belum memenuhi kriteria. Motivasi pemanenan kayu rakyat disebabkan oleh kebutuhan mendesak, seperti biaya sekolah, ongkos kesehatan, membangun rumah, maupun membangun masjid.

(26)

III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah melalui pengembangan hutan rakyat yang menghasilkan kayu rakyat (Syahadat 2006).

Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Jenis tanaman kayu-kayuan pada hutan rakyat umumnya dijadikan investasi yang bersifat jangka panjang. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil, biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia (Suharjito 2000). Hardjanto (2000) mengemukakan tentang kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan kurang penting dibanding komoditi lain oleh sebagian besar petani. Hal ini disebabkan karena kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian, dan sebagainya. Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan.

Pengelolaan hutan rakyat terletak pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Pemegang keputusan berada di kepala rumah tangga atau orang yang dituakan dalam rumah tangga. Kepala rumah tangga atau orang yang dituakan inilah yang kemudian dianggap sebagai petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat sebagai pemegang keputusan memiliki karakteristik yang beragam.

(27)

miliknya. Hal itulah yang membuat petani memiliki motivasi untuk melakukan salah satu tindakan pengelolaan hutan rakyat, yaitu pemanenan kayu rakyat.

Pola pemanenan kayu rakyat saat ini membuat petani tidak memperoleh manfaat secara ekonomi yang optimal. Hasil penjulan kayu saat dipanen sebelum mencapai daur volume maksimum akan lebih sedikit. Peran tanaman bagi lingkungan juga menjadi tidak optimal.

Menurut Awang (2007), keragaman karakteristik petani hutan rakyat membuat keragaman pola pengelolaan hutan rakyat. Salah satu kegiatan pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat, dimana di dalamnya terdapat motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan tertentu. Secara langsung, terdapat hubungan antara karakteristik petani hutan rakyat dan motivasi pemanenan kayu rakyat. Sejauh mana perbedaan karakteristik petani hutan rakyat dapat mempengaruhi kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat, sehingga dapat menggambarkan perilaku pemanenan kayu rakyat.

Sebagai contoh, jika petani berusia antara 40–44 tahun, motivasi pemanenan kayu rakyat dominan yang muncul ialah untuk biaya pendidikan, karena mereka memiliki anak yang akan atau sedang bersekolah di lembaga pendidikan yang membutuhkan biaya besar dan tidak tercukupi oleh pendapatan tetap mereka. Hal itu masih terkait dengan anggapan bahwa usaha hutan rakyat ialah usaha sampingan atau tabungan. Dengan demikian, karakteristik petani hutan rakyat dapat menjelaskan kondisi yang memungkinkan petani hutan rakyat melakukan pemanenan kayu rakyat miliknya.

Pemanenan kayu rakyat oleh petani disebabkan motivasi yang beragam, bergantung kebutuhan yang terjadi pada rumah tangga masing-masing. Hal ini yang menyebabkan adanya daur butuh, yaitu pemanenan yang lebih cepat daripada daur optimalnya. Daur butuh tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan yang optimal.

(28)

13

Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara. Hal ini menjelaskan bahwa hutan rakyat tidak hanya memiliki manfaat ekonomi semata, tetapi juga manfaat sosial, dan manfaat ekologi.

Hutan rakyat secara ekologis memiliki manfaat seperti mencegah erosi, menjaga ketersediaan air, mempertahankan suhu agar tetap stabil, penyerap sinar matahari yang mengganggu penglihatan, menjaga ketersediaan oksigen, pengurang karbon dioksida, dan habitat satwa. Pemanenan hutan rakyat menyebabkan kerusakan lingkungan kecil, seperti beberapa mata air yang mengering, perubahan cuaca di lingkungan sekitarnya, dan hilangnya habitat beberapa satwa. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan petani hutan rakyat sendiri yang tinggal di sekitar lahan hutan rakyatnya.

Kondisi petani yang kurang sejahtera membuat mereka akan meningkatkan frekuensi pemanenan, karena terkait status usaha hutan rakyat bagi mereka. Sementara kelestarian alam akan terganggu, yang pada saatnya akan membahayakan lingkungan tempat tinggal petani hutan rakyat dan menyebabkan potensi kayu rakyat berkurang. Pengendalian pemanenan hutan rakyat merupakan tindakan bijaksana dalam upaya menjaga manfaat hutan rakyat, yang salah satunya ialah sebagai penghasil kayu rakyat. Selain itu, perlu ada pembinaan keberlanjutan usaha hutan rakyat berupa upaya mempertahankan motivasi menanam dan meragamkan jenis tanaman yang ditanam oleh petani.

(29)

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitan ini dilaksanakan di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pada lokasi ini terdapat hutan rakyat yang dikelola oleh petani hutan rakyat yang telah berpengalaman dan pernah melakukan pemanenan kayu rakyat. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2010.

3.3 Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan terhadap petani pengelola hutan rakyat yang telah melakukan pemanenan kayu sebagai responden. Alat-alat yang digunakan antara lain: (1) daftar kuesioner, (2) alat tulis, (3) komputer, dan (4) perangkat lunak yang diperlukan, seperti Microsoft Office 2007.

Manfaat Ekonomi Manfaat Ekologi

Kayu Rakyat

Hutan Rakyat

Petani Hutan Rakyat

Motivasi Pemanenan Kayu Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Pembinaan Pengelolaan Hutan Rakyat

(30)

15

3.4 Teknik Pengambilan Contoh

Metode penelitian ini ialah metode survei yang dilakukan terhadap cotoh atau responden dari populasi tertentu. Penentuan responden dilakukan secara

purposive dengan mempertimbangkan keterjangkauan lokasi responden dan

efktivitas waktu penelitian. Responden penelitian ialah petani hutan rakyat yang pernah melakukan pemanenan kayu rakyat.

Populasi petani hutan rakyat di Desa Padasari sebanyak 110 jiwa. Dari jumlah tersebut, penelitian ini mengambil contoh secara purposive sebanyak 60 jiwa petani hutan rakyat sebagai responden penelitian. Dengan persentase contoh terhadap populasi sebesar 54,55%; contoh atau responden dianggap mewakili populasi karena lebih dari setengah jumlah populasi (> 50%)

3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Wawancara

Wawancara dilakukan dengan dua teknik, yaitu wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan melalui pertanyaan yang sesuai dengan yang tercantum dalam kuesioner (Lampiran 1). Sedangkan wawancara tidak terstruktur sifatnya lebih fleksibel serta terbuka untuk mendapatkan informasi tambahan atau pelengkap.

3.5.2 Observasi

Observasi dilakukan dalam wujud kegiatan pengamatan di lokasi penelitian. Selain itu, observasi juga dapat berwujud kegiatan pengukuran terhadap objek penelitian.

3.5.3 Pengumpulan literatur

(31)

3.6 Jenis Data

Pada penelitian ini diambil beberapa informasi yang diperlukan dan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) data primer, yaitu data yang diperoleh dari pertanyaan dalam kuesioner pada Lampiran 1; dan (2) data sekunder, yaitu data berupa (a) letak dan keadaan umum lokasi penelitian, seperti keadaan penduduk, jenis flora dan fauna, dan tata guna lahan; dan (b) data lain sebagai bahan penunjang.

3.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

(32)

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis

Menurut Monografi Desa Padasari (2009), Desa Padasari terletak di Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Adapun letak geografis wilayah Desa Padasari terletak antara 107°55'54" LU–6°46'11" LS. Selain itu, Desa Padasari merupakan kawasan pemukiman yang berada di kaki gunung sebelah barat daya Gunung Tampomas (1.684 mdpl). Kondisi topografi Desa Padasari yang berbukit-bukit sudah terlihat sejak dari jalan masuk menuju ke Desa Padasari seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Jalan masuk menuju ke Desa Padasari

(33)

Menurut Monografi Desa Padasari (2009), jarak Desa Padasari dari pusat pemerintahan Kecamatan Cimalaka sejauh 7 km, jarak dari pemerintahan Kabupaten Sumedang sejauh 12 km, jarak dari Ibu Kota Propinsi Jawa Barat (Bandung) sejauh 47 km, dan jarak dari Ibukota Indonesia (Jakarta) sejauh 77 km.

4.2 Iklim

Menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Desa Padasari termasuk ke dalam tipe iklim B, curah hujan rata-rata 2.100 mm per tahun dan suhu udara 22 °C (Monografi Desa Padasari 2009). Menurut sistem klasifikasi Oldeman, Desa Padasari termasuk ke dalam tipe D3, artinya bahwa wilayah ini memiliki 3– 4 bulan basah selama setahun dan hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam (Rajati 2006).

4.3 Kependudukan

Berdasarkan Monografi Desa Padasari (2009), jumlah penduduk desa tersebut sejumlah 2.306 jiwa, terdiri dari 1.145 jiwa pria, 1.161 jiwa wanita, dan 728 Kepala Keluarga (KK). Seluruh penduduk Desa Padasari memeluk Agama Islam. Rasio kepadatan penduduk Desa Padasari sebesar 14.424 jiwa per km2, dengan luas 0,15987 km2. Sebagai perbandingan, rasio kepadatan penduduk Propinsi Jawa Barat sebesar 1.126 jiwa per km2, dengan luas 34.816,96 km² (BPS 2010a). Jika diperbandingkan, rasio kepadatan penduduk Desa Padasari 1.280,99% rasio kepadatan penduduk Propinsi Jawa Barat, sementara luas Desa Padasari 0,00046% luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian, kepadatan penduduk Desa Padasari termasuk jarang, karena persentase rasio kepadatan penduduk tidak sesuai dengan persentase luas wilayah (BPS 2010b).

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, secara umum mata pencaharian umum masyarakat Desa Padasari ialah bertani dan berkebun. Hasil pertanian berupa padi umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sedangkan hasil perkebunan berupa cengkeh, kopi, lada, cabai merah, cabai rawit, vanili, dan buah-buahan umumnya dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

(34)

(TNI-19

AD), pengusaha, supir, buruh, pedagang, pengajar, dan sebagainya. Jenis mata pencaharian yang beragam tersebut tersebar dengan jumlah yang sedikit (data kuantitatif tidak ada).

4.4 Tata Guna Lahan

Menurut Tabel 5, persentase alokasi lahan terluas ialah sawah dan ladang, yakni seluas 70,09 ha (43,84%). Alokasi lahan untuk hutan rakyat termasuk ke dalam alokasi sawah dan ladang.

Tabel 5 Alokasi penggunaan lahan di Desa Padasari

No. Alokasi Luas (ha) Persentase (%)

1. Sawah dan Ladang 70,09 43,84

2. Jalur Hijau 40,00 25,02

3. Pemukiman 16,00 10,01

4. Jalan 5,00 3,13

5. Bangunan Umum 2,00 1,25

6. Pemakaman 1,00 0,63

7. Empang 0,16 0,10

8. Lain-lain 25,62 16,03

Total 159,87 100,00

Sumber: Monografi Desa Padasari (2009)

Persentase lokasi terbesar kedua ialah jalur hijau, seluas 40 ha (25,02%). Adapun jalur hijau ialah kawasan yang harus tetap ditanami dan ditumbuhi pepohonan, seperti daerah kanan kiri sungai (kakisu), sisi danau, dan sisi jalan.

4.5 Flora dan Fauna

Flora kawasan ini termasuk tipe hujan hujan pegunungan, floranya terdiri dari beraneka ragam jenis pohon-pohonan berkayu serta jenis-jenis dari golongan liana dan epifit. Flora yang mendominasi kawasan antara lain jamuju (Podocarpus

imbricatus), rasamala (Altingia excelsea), dan saninten (Castanea argentea).

(35)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat

Potensi jenis tanaman kayu komersil (komoditas perdagangan) yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat di Desa Padasari antara lain seperti tercantum pada Tabel 6. Sedangkan tanaman perkebunan yang dikembangkan petani hutan rakyat antara lain: kopi, lada, cengkeh, vanili, dan tanaman buah-buahan.

Tabel 6 Potensi jenis tanaman kayu komersil di Desa Padasari

No. Nama lokal Nama umum Nama ilmiah*

1. Antopeka Mahoni uganda Khaya anthotheca

2. Bayur Bayur Pterospermum javanicum Jungh.

3. Dahu Dahu Dracontomelon mangiferum Bl.

4. Durian Durian Durio zibethinus Murr

5. Jati Jati Tectona grandis L.f.

6. Kamper Kamper Dryobalanops aromatica Gaertn.

7. Kelapa Kelapa Cocos nucifera L.

8. Ki Hiang Wangkal Albizia procera (Roxb.) Benth

9. Mahoni Mahoni Swietenia mahagoni (L.) Jacq.

10. Manglid Manglid Magnolia Blumei Prantl.

11. Matoa Matoa Pometia pinnata J.R.& G.Forst

12. Menteng Menteng Baccaurea racemosa Muell. Arg

13. Mindi Mindi Melia azedarach L.

14. Nangka Nangka Artocarpus heterophyllus Lam

15. Picung Kluwak Pangium edule

16. Puspa Puspa Schima wallichii (DC.) Korth.

17. Salam Salam Syzygium polyanthum Wigh Walp

18. Sengon merah Sengon Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen

19. Sobsi Kayu afrika Maesopsis eminii Engl.

20. Surian Surian Toonasp.

21. Teureup Benda Artocarpus elastica Reinw

22. Tisuk Waru Gunung Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem

* Sumber: Plantamor (2010)

(36)

22

dilihat tanaman muda yang berada di bawah naungan sebagai tanda bahwa terdapat permudaan pada tegakan hutan rakyat di Desa Padasari.

Gambar 3 Kondisi tegakan hutan rakyat di Desa Padasari

Adapun teknik silvikultur yang diterapkan petani ialah teknik permudaan campuran antara alami dan buatan. Permudaan alami berasal dari perkembangbiakan tanaman-tanaman itu sendiri. Sedangkan permudaan buatan dilakukan dengan menanami kembali lahan yang kosong setelah pemanenan.

(37)

Teknik penanaman cukup sederhana, yaitu dengan teknik cabutan. Tidak ada keterangan jelas mengenai waktu yang khusus untuk melakukan penanaman. Jarak tanam yang diterapkan petani beragam, berkisar antara 11 m sampai 66 m, namun pada umumnya jarak tanam yang diterapkan ialah 33 m. Petani juga tidak mengkhususkan jenis tertentu dengan jarak tanam tertentu, pada prinsipnya bahwa tanaman kehutanan ditanam cukup renggang agar dapat tumbuh dengan baik. Jika terdapat jarak tanam yang renggang, itu merupakan alokasi untuk penanaman tanaman perkebunan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, petani di Desa Padasari menerapkan sistem

agroforestry dengan pola penanaman acak dan mosaik. Hal ini disebabkan oleh

topografi lahan yang cenderung miring dan berbukit-bukit akibat keberadaan wilayah Desa Padasari yang terletak di kaki Gunung Tampomas.

Gambar 4 Penerapan sistem agroforestry oleh petani hutan rakyat di Desa Padasari

(38)

24

Padasari antara lain cengkeh, kopi, lada, vanili, cabai merah, cabai rawit, dan buah-buahan. Pemanenan tanaman tersebut umumnya dilakukan tahunan. Pada gambar juga dapat dilihat bahwa penanaman tanaman perkebunan dilakukan pada lahan yang datar, sedangkan tanaman kehutanan tidak terpengaruhi topografi.

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani hanya sebatas memberikan ruang yang cukup bagi tanaman agar bisa tumbuh tanpa hambatan dari tanaman sekitarnya. Bentuk pemeliharaan seperti pembersihan rumput dan tanaman pengganggu lain di sekitar tanaman tersebut. Jika sudah cukup besar, pemangkasan batang dilakukan untuk membentuk tajuk yang rapi dan batang utama yang lurus. Kegiatan penyulaman juga dilakukan apabila terdapat tanaman yang kering atau mati, bibit untuk penyulaman berasal dari anakan tanaman di sekitarnya. Frekuensi pemeliharaan tidak dilakukan secara teratur.

Di samping menerapkan sistem agroforestry, petani juga mengolah lahannya untuk sawah. Hasil dari sawah umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sendiri. Hal ini disebabkan harga gabah yang cenderung rendah, gangguan hama, dan cuaca yang sulit diprediksi sehingga petani terkadang merugi jika menjual hasil sawah mereka. Akan tetapi, untuk petani yang memiliki lahan sawah luas, mereka tetap akan menjual sebagian hasilnya. Kontribusi pendapatan dari sawah sebesar 14,25%, seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kontribusi sumber pendapatan tahunan terhadap pendapatan total tahunan petani hutan rakyat di Desa Padasari

Sumber pendapatan Jumlah pendapatan tahunan (Rp/th) Kontribusi (%)

Kebun 126.658.000 8,06

Gula aren 27.000.000 1,72

Kayu rakyat 32.654.024 2,08

Sawah 223.800.000 14,25

(39)

(8,06%), gula aren (1,72%), dan kayu rakyat (2,08%). Kontribusi usaha kayu rakyat yang rendah diakibatkan oleh banyaknya pemakaian kayu rakyat untuk penggunaan pribadi (Lampiran 3).

Pada tahun 1991, beberapa petani di Desa Padasari membentuk kelompok tani yang bernama Bagjamulya. Saat ini, Kelompok Tani Bagjamulya dipimpin oleh Bapak Entis Sutisna dan memiliki anggota berjumlah 33 jiwa petani. Adapun petani yang terdapat di Desa Padasari sejumlah 110 jiwa petani. Kegiatan Kelompok Tani Bagjamulya ialah melakukan pembinaan kepada anggota tentang teknik budidaya tanaman-tanaman komersil yang cocok dengan kondisi lingkungan di desa tersebut. Manfaat keanggotaan kelompok tani ialah kemudahan akses bantuan yang berbentuk bibit tanaman dari Dinas Kehutanan Sumedang; dan bimbingan teknik budidaya tanaman komersil, baik tanaman kehutanan maupun tanaman perkebunan.

Keanggotaan kelompok tani Bagjamulya hanya 30% dari seluruh petani yang terdapat di Desa Padasari. Hal itu disebabkan oleh dua sebab, yaitu kekurangan kesadaran tentang manfaat keanggotaan kelompok tani, atau rasa kekecewaan terhadap kelompok tani Bagjamulya yang dianggap tidak aspiratif dan kurang adil.

Petani di Desa Padasari terdiri dari tiga jenis, yaitu petani lokal petani hamparan, dan petani penggarap. Petani lokal ialah petani yang bertempat tinggal dan memiliki lahan di wilayah Desa Padasari. Petani hamparan ialah petani yang hanya memiliki lahan di wilayah Desa Padasari, sementara tempat tinggal mereka di desa lain. Petani penggarap ialah petani yang menggarap lahan milik orang lain. Umumnya, petani hamparan bekerja sama dengan petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Menurut penuturan masyarakat setempat, lahan petani hamparan lebih luas, karena lahan tersebut diperoleh dari hasil pembelian, sementara petani lokal memperoleh lahan dari warisan yang umumnya sudah dibagi-bagi.

(40)

26

pengukur tersebut, terutama pengukur diameter, maka mereka sudah dapat menaksir pertumbuhan dan perkembangan pohon tersebut selanjutnya.

Berdasarkan keterangan masyarakat setempat, petani di Desa Padasari memiliki pemahaman mengenai kelestarian alam lingkungan mereka. Petani berpandangan bahwa mereka akan berusaha memelihara lokasi lahan yang terletak di hulu sungai, karena merupakan sumber air bagi lingkungan tempat tinggal mereka. Jika lahan mereka berada di daerah tersebut, maka mereka akan mengolahnya dengan bijaksana, walaupun tetap mengusahakan lahan tersebut agar dapat memberikan nilai ekonomi bagi mereka. Setidaknya, mereka tidak akan membiarkan lahan tersebut tidak terawat. Bentuk kebijaksanaan mereka ialah dengan memanen tanaman kayu jika memang terpaksa sekali.

Pada bulan Agustus 2010, di Desa Padasari telah terjadi bencana tanah longsor. Lokasi bencana terjadi pada lahan bukan pemukiman. Kejadian tersebut telah mengubur lahan perkebunan milik sejumlah petani. Menurut keterangan beberapa peneliti yang memberitahukan kepada masyarakat setempat, tanah di Desa Padasari didominasi kandungan pasir, sehingga mudah longsor bila terguyur hujan yang cukup lama. Kejadian ini juga membuat pemerintah setempat membuat himbauan untuk mengungsi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah yang topografinya cukup curam. Relokasi pemukiman saat ini sedang direncanakan untuk menjamin keselamatan masyarakat.

5.2 Pemanenan Kayu Rakyat

Potensi tanaman kayu komersil di Desa Padasari terdiri dari beberapa jenis (Tabel 6). Berdasarkan hasil wawancara, jenis yang menjadi unggulan ialah jenis mahoni, karena harga jualnya yang lebih tinggi dibandingkan tanaman kayu lain (Lampiran 3). Harga jual kayu jenis mahoni berkisar antara Rp 250.000,00/pohon sampai Rp 1.667.000,00/pohon, bergantung pada besar diameter dan umur. Sebagian besar petani hutan rakyat di Desa Padasari memiliki jenis tisuk atau waru gunung di lahan mereka, karena jenis ini memang tumbuh secara alami.

(41)

penumpunya besar dan menutup kuncup daun yang bila gugur meninggalkan bekas berbentuk gelang mengelilingi ranting. Daunnya tunggal, bundar dengan ujung lancip dan berukuran besar, berbulu halus dan bertangkai panjang. Urat daun utamanya sekitar 7 buah yang tersusun seperti jari.

Kayu tisuk memiliki potensi yang cukup besar dari segi manfaatnya, maupun kegunaannya. Salah satu manfaat kayu tisuk dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, batang, dan kotak korek api.

Seperti telah diungkapkan oleh Hardjanto (2000), bahwa kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan kurang penting dibanding komoditi lain oleh sebagian besar petani hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian. Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan. Petani hutan rakyat di Desa Padasari memiliki pandangan yang sama pula. Mereka hanya melakukan pemanenan kayu rakyat hanya pada kondisi tertentu. Kontribusi pendapatan tahunan dari kayu rakyat hanya sebesar 2,08% dari pendapatan total tahunan (Tabel 7).

Dalam proses pemanenan, para petani menunggu tawaran dari pihak yang mereka sebut sebagai bandar atau pedagang pengumpul untuk membeli kayu milik mereka yang masih berupa tegakan. Setelah muncul tawaran dari pedagang pengumpul, petani melakukan negosiasi harga jual. Dalam proses negosiasi ini, petani jarang menggunakan data fisik tegakan mereka seperti diameter dan tinggi hasil pengukuran. Pedagang pengumpul terkadang tidak jauh berbeda, mereka sebelumnya hanya melakukan survei pendahuluan tentang kondisi lokasi, keadaan tegakan, dan jumlah tegakan di sana. Dasar penentuan harga yang digunakan oleh petani ialah besar batang utama pohon, jenis, dan jumlah pohon yang akan dijual. Secara umum ketika pedagang pengumpul sudah mencukupi kewajibannya terhadap petani, maka petani tidak ikut campur terhadap masalah proses penebangan dan pengangkutan.

(42)

28

sumber daya manusia, peralatan penebangan, dan peralatan pengangkutan. Gambar 5 memperlihatkan alat yang biasa digunakan untuk proses penebangan kayu rakyat (chainsaw) di Desa Padasari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedagang pengumpul sebelum bernegosiasi harga dengan petani belum memiliki data pengukuran yang pasti atau tepat. Ketika dalam proses penebangan, mereka melakukan pengukuran dimensi kayu masing-masing tegakan. Hasil pengukuran tersebut hanya menjadi rahasia mereka sendiri.

Setelah proses penebangan, pedagang pengumpul mengangkut kayu yang telah berupa sortimen ke lokasi-lokasi penumpukan yang berbeda-beda menurut jaringan yang mereka miliki. Gambar 6 memperlihatkan proses pengangkutan kayu rakyat dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu rakyat semsntara. Kayu hutan rakyat tersebut kemudian menunggu permintaan dari industri perkayuan baik di daerah sekitar maupun dari daerah lain. Industri yang umumnya membeli kayu rakyat tersebut ialah industri furnitur skala kecil sampai menengah.

(43)

Selain dijual dalam bentuk tegakan, petani hutan rakyat di Desa Padasari pun melakukan pemanenan kayu untuk digunakan sendiri. Petani menyewa tenaga kerja harian untuk menebang pohon yang akan dipanen. Biaya yang ditimbulkan proses pemanenan menjadi tanggung jawab petani sendiri. Kayu hasil pemanenan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk membangun rumah, memperbaiki rumah, atau sebagai bahan baku produksi usaha furnitur mereka sendiri.

Syahadat (2006) memberikan penjelasan bahwa untuk lebih

mengoptimalkan dalam pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam pemberian izin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu: (a) pemanfaatan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri; dan (b) pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan.

Gambar 6 Proses pengangkutan kayu

(44)

30

hak atau rakyat yang akan melakukan penebangan pohon wajib melaporkan rencana penebangan kepada Kepala Desa setempat atau pejabat setara yang diangkat Kepala Dinas Propinsi dengan tembusan Kepada Kepala Dinas Kabupaten, kemudian pada ayat (2) Penyampaian rencana penebangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan: a) bukti kepemilikan hak atas tanah; b) peta areal hutan hak atau rakyat yang berisi letak, luas dan batas-batasnya diketahui oleh camat setempat; dan c) potensi tegakan hutan hak atau rakyat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/2005 pasal 17, ayat (1) yang menyatakan bahwa semua hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berupa rotan dan gaharu dari areal hutan hak yang akan digunakan dan atau diangkut ke daerah lainnya dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setara.

Untuk lebih mengoptimalkan dalam penatausahaan hasil hutan umumnya dan khususnya di hutan rakyat, maka dalam upaya menjaga kelestarian hutan sesuai dengan PP No. 34/2002, pejabat yang berwenang dalam menerbitkan bukti kepemilikan kayu rakyat atau SKAU dalam hal ini adalah Kepala Desa atau pejabat yang setara diberikan pelatihan setingkat pejabat penerbit lainnya seperti Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan (P2LHP), Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) dan kemudian diberikan sertifikat serta Surat Ijin Penerbitan SKAU (SIPSKAU), sedangkan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap pejabat tersebut dilakukan oleh Dinas Kabupaten setempat yang membidangi kehutanan.

(45)

P2SKSHH. DHH-KR dibuat atas dasar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh PHH, dan harus disahkan oleh petugas Kehutanan yang berkualitas PHH, dan ini merupakan dasar dalam permohonan penerbitan SKSHH. Kemudian pada pasal 35, ayat (1) SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, dinyatakan bahwa pemilik hutan hak atau rakyat termasuk pemilik kebun yang memanfaatkan kayu bulat dari

land clearing wajib membuat dan melaporkan realisasi penebangan atau

pemanenan dan pengangkutan kayu bulat dengan menggunakan format blanko Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB), dan kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten dengan tembusan Kepala Dinas Propinsi.

SKSHH sendiri terdiri dari tujuh lembar. Lembar pertama dan kedua menyertai perjalanan perjalanan kayu. Lembar ketiga dikirim ke Dinas Kehutanan Pusat sebagai arsip. Lembar keempat dikirim ke Kepala Dinas daerah yang dituju. Lembar kelima menjadi arsip penerbit, yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan (UPTD Kehutanan). Lembar keenam diberikan kepada pembeli kayu. Lembar terakhir dikirim ke Dinas Kehutanan Propinsi.

Walaupun prosedur telah disusun, tetapi pada pelaksanaan seringkali terjadi beberapa hal yang diluar prosedur. Petani seringkali tidak melakukan koordinasi dengan Kepala Desa atau UPTD Kehutanan setempat, karena menganggap bahwa kayu yang dijual ialah milik mereka dan berada di tanah mereka yang legal. Selain itu, tidak sedikit pula terdapat oknum yang mengatasnamakan UPTD Kehutanan dan melakukan pungutan liar terhadap petani maupun pedagang pengumpul. Tidak hanya itu, proses yang dilakukan oleh UPTD Kehutanan tidak jarang sangat memakan waktu, sementara petani tidak dapat menunggu lama karena kebutuhan mereka tidak dapat ditangguhkan. Jumlah tegakan yang dipanen juga terkadang menjadi penyebab petani tidak mau berkoordinasi dengan UPTD Kehutanan setempat, karena jumlah tegakan yang dipanen hanya sedikit.

(46)

32

perkebunan. Bila mereka sudah merasa cukup memiliki lahan untuk perkebunan, mereka menanami lokasi ini dengan tanaman kehutanan.

Gambar 7 Kondisi hutan rakyat pasca pemanenan kayu rakyat di Desa Padasari

Selain hasil hutan kayu, hutan rakyat di Desa Padasari memiliki potensi lain walaupun tidak banyak berupa hasil hutan bukan kayu, yaitu gula aren dan bambu. Prioritas usaha gula aren lebih menonjol dibandingkan dengan bambu, karena mereka membudidayakan tanaman aren secara teratur.

5.3 Karakteristik Petani Hutan Rakyat 5.3.1 Kelompok Usia

(47)

Menurut BPS (2010c), usia produktif berkisar antara usia 15–64 tahun. Pada Tabel 8, terdapat 41 jiwa (68,33%) responden yang berada pada usia produktif. Dengan demikian, sebagian besar responden memiliki kemampuan untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dirinya pribadi atau keluarganya.

Tabel 8 Sebaran responden menurut kelompok usia

Kelompok usia (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

30–34 2 3,33

Terdapat beberapa hal menarik yang ditemukan di lokasi penelitian berkaitan dengan kelompok usia. Penyebaran dominan kelompok usia 60–64 tahun menunjukkan bahwa pemegang keputusan dalam lembaga pengelolaan hutan rakyat di Desa Padasari masih berada pada orang-orang yang sudah berusia cukup lanjut, walaupun mereka masih termasuk ke dalam usia produktif. Dengan kata lain, kepemilikan lahan masih dimiliki oleh petani-petani yang sudah berusia lanjut. Menurut mereka, kepemilikan akan diwariskan setelah mereka sudah tidak mampu lagi mengelola lahan yang ada, atau jika anak-anak mereka mengalami kesulitan keuangan. Adapun pemuda-pemudi di Desa Padasari lebih memilih untuk mencari nafkah lain di daerah lain seperti kawasan perkotaan atau desa lain. Mereka tidak terlalu tertarik untuk menjadi petani, karena dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman, cenderung kurang sejahtera, dan identik dengan orang yang berusia lanjut.

5.3.2 Jenis Kelamin

(48)

34

keluarga atau yang dituakan, hal ini sangat identik dengan jenis kelamin pria. Menurut tradisi di lokasi penelitian, pria memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarganya masing-masing. Walaupun sebagian besar wanita hanya sebagai pendukung dari pria dalam mengelola lahan hutan rakyat, mereka tidak jarang pula mencurahkan waktunya untuk beraktivitas mengelola lahan mereka.

Tabel 9 Sebaran responden menurut jenis kelamin

Kelompok jenis kelamin Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Pria 56 93,33

Wanita 4 6,67

Total 60 100,00

Selain itu, penelitian ini juga menemukan responden wanita sebagai kepala keluarga atau orang yang dituakan (Tabel 9). Hal ini disebabkan oleh status janda atau sebagai ahli waris. Mereka tidak secara intensif mengelola hutan rakyatnya, sebagian diserahkan kepada anggota keluarga pria.

5.3.3 Pendidikan Terakhir

Karakteristik pendidikan terakhir menunjukkan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di lokasi tersebut (Witantriasti 2010). Pada Tabel 10, responden menyebar dari tingkat pendidikan terakhir setingkat SD sampai S1. Semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir semakin sedikit responden yang telah menempuhnya. Sebaran responden terbanyak terdapat di tingkat SD (terendah), yaitu sebanyak 30 jiwa (50%). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden masih rendah. Jika tingkat pendidikan rendah, kemampuan untuk menerima inovasi tinggi namun kemampuan berinovasi rendah (Wijiadi 2007).

Tabel 10 Sebaran responden menurut pendidikan terakhir

Kelompok pendidikan terakhir Jumlah (jiwa) Persentase (%)

SD 30 50,00

SLTP 16 26,67

SMA 10 16,67

S1 4 6,67

Total 60 100,00

(49)

Padasari hanya sampai tingkat SD, lembaga pendidikan tingkat berikutnya terdapat di desa lain. Selain itu, secara ekonomi mereka tidak terlalu mampu untuk menjalani pendidikan yang lebih tinggi setelah SD, karena pendapatan rumah tangga mereka yang tidak menentu. Dengan keterbatasan sarana, prasarana, dan ekonomi, tujuan utama pendidikan bagi mereka ialah untuk memperoleh kemampuan baca dan tulis saja. Faktor lainnya ialah hubungan antara tingkat pendidikan dan kelompok usia, dimana kelompok usia dominan ialah 60–64 tahun. Pada waktu mereka muda dahulu, pendidikan tidak terlalu dibutuhkan, karena kebanyakan dari mereka hanya melanjutkan hidupnya di Desa Padasari, dan meneruskan usaha bertani milik keluarga mereka.

5.3.4 Karakteristik Jenis Pekerjaan Pokok

Karakteristik jenis pekerjaan pokok menunjukan ketersediaan lapangan pekerjaan di lokasi tersebut (Wijiadi 2007). Pekerjaan pokok ialah aktivitas atau pekerjaan yang menyita waktu sehari-hari paling banyak dan atau memberikan pendapatan paling besar. Berdasarkan Tabel 11, terdapat 12 jenis pekerjaan yang berbeda. Sebaran responden terbanyak ialah pada jenis pekerjaan petani yang berjumlah 45 jiwa (75%).

Tabel 11 Sebaran responden menurut jenis pekerjaan pokok

Kelompok jenis pekerjaan pokok Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Guru Sekolah Dasar 1 1,67

(50)

36

baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan mendesak; dan (2) memiliki pengetahuan mengenai potensi jenis beserta manfaatnya.

Karakteristik jenis pekerjaan pokok sebenarnya masih berkaitan dengan karakteristik kelompok usia, dimana responden dominan berusia antara 60–64 tahun. Pada selang usia itu, mereka umumnya telah melewati masa pensiun, baik dari pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun pegawai swasta. Setelah pensiun, aktivitas mereka ialah mengolah lahan mereka (bertani), yang dianggap lebih tenang dan menguntungkan. Selain pensiunan, tidak sedikit pula yang memang telah puluhan tahun memilih pekerjaan pokok sebagai petani, karena pekerjaan ini telah turun-temurun di Desa Padasari. Salah satu penyebab lain dari banyaknya responden yang bekerja sebagai petani ialah rendahnya kesempatan kerja di Desa Padasari.

5.3.5 Pengalaman Berusaha Tani

Karakteristik pengalaman berusaha tani menunjukkan ketergantungan hidup responden kepada usaha tani untuk mencukupi kebutuhannya (Witantriasti 2010). Karakteristik pengalaman berusaha tani dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yang berbeda (Tabel 12) berdasarkan kaidah teknik penyajian data dalam Walpole (1992). Responden penelitian ini menyebar antara kelompok dengan pengalaman berusaha tani di bawah 9 tahun sampai kelompok dengan pengalaman berusaha tani selama 60–69 tahun.

Responden penelitian banyak terdapat pada kelompok dengan pengalaman berusaha tani selama 10–19 tahun, yaitu sebanyak 18 jiwa (30%) seperti terlihat pada Tabel 12. Bahkan jika digabung, terdapat 32 jiwa (53,33%) responden pada selang pengalaman berusaha tani selama 10–29 tahun.

Tabel 12 Sebaran responden menurut pengalaman berusaha tani

Kelompok pengalaman berusaha tani (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Gambar

Tabel 1 Harga kayu rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan,
Tabel 3 Karakteristik petani hutan rakyat menurut berbagai sumber
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran
Gambar 2 Jalan masuk menuju ke Desa Padasari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Subjek pertama mengungkapkan bahwa sumber bumi yang paling dibutuhkan adalah air, sebab air sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari para perempuan Samin, sehingga mereka sangat

Pemah saya agak khawatir kamus Tesaurus Bahasa Indonesia ini ku- rang diapresiasi, sebab rupa-rupa- nya ada juga yang tidak dapat mene- rima sesuatu yang berbeda dari seba- tas

Dari hasil penelitian, untuk dapat meningkatkan hasil Net Profit Margin , sebaiknya perusahaan dalam melakukan kegiatan operasional tidak terlalu boros, karena

Diberitahukan kepada masyarakat luas bahwa Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tegal melalui Pejabat Pengadaan telah melaksanakan proses pengadaan langsung Pengadaan Barang

Item-item kajian dibina berdasarkan item yang telah diubahsuai daripada instrumen yang telah digunakan dalam kajian lepas oleh penyelidik lain seperti Siti Asiah (2002), bertajuk

mengurangkan masalah dalam hubungan manusia dan untuk memperbaiki kehidupan melalui interaksi manusia yang lebih baik.Selain itu,terdapat ramai pekerja dalam profesion bantuan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan dari hasil analisis regresi disimpulkan bahwa kompensasi

Lumpur tinja yang berasal dari truk tinja tidak langsung di proses atau ditampung di kolam stabilisasi anaerobik 1 akan tetapi akan ditampung terlebih dahulu di tangki imhoff