• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENCEGAHAN PENULARAN PADA ISTERI DARI ANGGOTA TNI AL HIV POSITIF DI SURABAYA

A. Karakteristik Sosiodemografi Responden

1. Umur

Umur responden secara biologi terbanyak pada umur produktif. Pada umur ini responden masih bisa hamil dan punya anak. Salah satu cara penularan HIV adalah melalui air susu dan dari jalan lahir dari ibu yang terinfeksi HIV (Mahdiana, 2010), oleh karena itu responden kelompok kasus harus mempertimbangkan apabila ingin hamil. Salah satu pencegahan penularan bagi penderita HIV adalah mencegah kehamilan. Secara umum, pada umur tertentu seseorang memiliki perilaku tertentu yang bisa mempengaruhi kesehatannya, misalnya kebiasaan keluar malam, minum minuman keras dan ke klub malam yang berujung ke WPS. Sebagai seorang suami atau laki-laki perilaku tersebut bisa berdampak pada pasangannya. Hal ini diperkuat oleh responden pada wawancara mendalam bahwa

terinfeksi HIV positif berawal dari minum minuman keras, ke WPS dan seks bebas, seperti dituturkan oleh empat orang responden, dan salah satunya menuturkan berikut ini :

“Saya diajak senior minum miras dan habis itu ke perempuan. Tadinya saya hanya minum saja tapi lama-lama mau juga” (DVT)

2. Agama

Agama responden kebanyakan adalah beragama islam. Dalam ajaran agama Islam antara lain tidak boleh menolak ketika suami minta berhubungan seks, suami dipandang sebagai Iman dalam rumah tangga yang harus diikuti kemauannya. Suami sebagai Iman dalam hal ini sudah melanggar ajaran agama, yaitu tidak jujur kepada isterinya bahwa dirinya telah berisiko kena HIV. hasil wawancara mendalam, beberapa suami menyatakan perlunya untuk penyegaran rohani agar tidak terpengaruh perilaku yang negatif. Hal ini diperkuat oleh isteri mereka,

a 22 73,3 8 26,7 0,000 0,026 suami 20 69 9 31 0,000 0,055 (0,016-hatan 16 35,6 29 64,4 0,617 0,375 (0,139-16 44,4 20 55,6 0,053 0,375 (0,139-secara IK 1,195

No ependen Variabel Sig OR

1 dan Toma 0,000

2 ap status 0,004

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

173

juga mengharapkan adanya pembekalan rohani agar suaminya tidak berbuat macam-macam. Seperti yang diutarakan salah satu responden berikut ini :

“Suami diharapkan bisa disadarkan dan bisa berubah Tingkah lakunya. Dari dinas diharapkan memberikan bimbingan rohani, karena ada peraturan ya tetep dilanggar” (Ny. WLN)

Kurangnya penyegaran rohani juga dinyatakan oleh salah satu suami responden bahwa selama penugasan di kapal tidak ada penyegaran rohani. Penyegaran rohani dilaksanakan di pendirat (satuan kerja TNI AL yang ada di darat) dan diikuti oleh perwakilan dari kapal saja, seperti penuturan berikut ini :

“Iman harus kuat buk, harus ada campur tangan perwira rohani (paroh), paroh itu buk adanya hanya ada di pendirat, Pendalaman iman dengan mengundang ustad yang terkenal; Kalau ada ceramah agama itu adanya hanya di pendirat dan dihadiri oleh perwakilan saja, lima sampai tujuh orang, di kapal tidak ada siraman rohani” (Bpk IWT)

Hal ini menunjukkan kebutuhan mereka untuk mendapat penyegaran rohani ketika berlayar. Pada hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan dengan terjadinya penularan HIV pada responden, namun demikian berdasarkan hasil wawancara mendalam didapatkan perlunya penyegaran rohani untuk menguatkan keimanan mereka. 3. Suku

Sebagian besar responden berasal dari suku jawa. Suku dari responden tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV Pada waktu penelitian responden sudah menjadi penduduk di Surabaya, walaupun pengakuan responden berasal dari suku jawa tetapi kemungkinan responden sudah terpengaruh dengan budaya suku di Surabaya. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

4. Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden sebagian besar tidak bekerja. Pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV.

Responden yang tidak bekerja, lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengurus rumah tangga mereka. Sebagai istri anggota TNI AL sering ditinggal suami berlayar dengan waktu yang lama, mereka disamping sebagai ibu rumah tangga juga menggantikan peran suaminya untuk mengurus rumah tangga. Hal ini menyebabkan waktu mereka tersita untuk urusan rumah tangga dan hampir tidak punya waktu luang untuk bertemu teman untuk berdiskusi. Responden bertemu temannya sama-sama sebagai ibu rumah tangga sehingga untuk menambah wawasan sangatlah kurang. Informasi mengenai HIV sebenarnya bisa didapatkan dari membaca maupun berdiskusi dengan temannya.

5. Pendidikan

Pendidikan responden lebih banyak berpendidikan SMP dan SMA, Pada kelompok kontrol didapatkan responden berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Pendidikan responden merupakan pendidikan umum yang tidak ada materi pembelajaran mengenai HIV. Green dan rekan-rekannya menganalisis kebutuhan kesehatan komunitas dengan cara menetapkan lima diagnosis berbeda, salah satunya adalah diagnosis pendidikan.Sesuai perspektif perilaku, pendidikan memberi penekanan pada faktor predisposisi, faktor pendorong dan faktor pemungkin. Faktor pendidikan dan organisasi menguji hubungan antara kondisi perilaku dan lingkungan dengan status kesehatan atau kualitas hidup untuk menentukan apa penyebabnya. Pada penelitian ini yang menjadi awal penyebab terjadinya penularan adalah suami responden. Kondisi perilaku suami yang tidak sehat yaitu sering minum minuman keras dan melakukan seks bebas mempengaruhi kualitas hidup mereka.Pendidikan mengenai HIV diperlukan bagi responden maupun suami agar mereka bisa mendiagnosis perilaku kesehatan mereka sendiri.

6. Penggunaan obat terlarang

Responden tidak ditemukan pernah menggunakan obat terlarang dengan

Model Pencegahan Penularan Pada Isteri Dari Anggota TNI AL HIV Positif (Kusdariah)

174

suntikan. TNI AL melarang anggota dan keluarganya menggunakan obat terlarang atau Narkoba. Sangsi pelanggaran peraturan penggunaan obat terlarang bagi anggota sangat berat yaitu bisa dikeluarkan dari dinas. Bagi keluarga yang menggunakan maka sangsi juga akan berdampak pada anggota. Beratnya sangsi yang ada maka penggunaan Narkoba di lingkungan TNI jarang ditemukan.

7. Riwayat perkawinan

Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus terdapat 2 orang memiliki riwayat perkawinan kedua dan ketiga. Sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak merupakan perkawinan pertama. Penualaran HIV pada responden tidak diketahui apakah penularan berasal dari suami sekarang atau suami terdahulu. Riwayat perkawinan pada penelitian ini memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya penularan pada responden. Perkawinan memiliki kehidupan rumah tangga antara sumai, isteri dan keluarga yang lain. Dalam rumah tangga tersebut terjadi komunikasi antara anggota keluarga. Aplikasi komunikasi dalam keluarga berkaitan dengan fokus pemahaman diri dari para anggota keluarga. (Ruben, 1988; Hinde & Hinde 1988 dalam Puspitawati 2009). Salah satu pola komunikasi yang sangat dikuasai perempuan adalah menggunakan bahasa tubuh. Perempuan umumnya pandai menggunakan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi yang ampuh dan memaksimalkan kelebihan tersebut untuk mendapatkan keinginannya. Mereka juga pandai menyembunyikan perasaan dan membungkusnya dalam kemasan keluhan sehingga melibatkan pasangannya untuk menyelesaikannya (Surbakti, 2008). Sifat komunikasi yang dimiliki perempuan demikian justru merugikan perempuan sendiri. Pada responden dengan suami HIV positif tidak perlu menggunakan komunikasi tersembunyi atau menggunakan bahasa tubuh. Perempuan diharapkan berterus terang mengkomunikasikan kepada suaminya maupun sumai kepada isterinya.

Pada wawancara mendalam didapatkan beberapa responden menginginkan suami

segera memberitahu kepada isterinya kalau positif HIV, sehingga bisa dicegah penularannya sedini mungkin, seperti penuturan salah satu responden berikut ini :

“Apabila suami positif, istri wajib mengetahui, supaya bisa mengantisipasi atau mencegah penularan kepada anak-anak” (NY WLN)

Pola komunikasi laki-laki lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan rasional daripada emosional, laki-laki lebih dianggap tegas, terus terang, berani, dan rasional. Rasionalisasi komunikasi dalam rumahtangga juga menyebabkan peristiwa komunikasi kehilangan sukma. Bagaimanapun, pola komunikasi dalam rumahtangga pasti selalu dibumbui oleh unsur-unsur yang melibatkan emosional, hal ini dikarenakan ikatan suami istri tidak didasarkan pada ikatan formal berdasarkan kontrak hukum, melainkan didasarkan pada komitmen yang melibatkan jiwa dan raga. Rasionalisasi pola pikir menyebabkan laki-laki lebih sering menyembunyikan dan memikul sendiri beban pikiran dan perasaannya daripada kaum perempuan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan budaya dan tradisi yang selalu menempatkan kaum laki-laki pada posisi yang kuat, tangguh, jantan, tidak mudah mengeluh, dan berani menghadapi tantangan. Pandangan ini menyebabkan suami tidak berani berterus terang untuk mengungkapkan ketakutan, kegelisahan, ketidakberdayaan maupun kekhawatirannya (Surbakti, 2008).

8. Pangkat suami

Pangkat suami didapatkan terbanyak adalah berpangkat Tamtama. Pangkat tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penularan HIV pada responden. Golongan kepangkatan menentukan pendapatan anggota TNI AL. Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa pada umumnya penghasilan atau gaji suami diserahkan hampir semua pada isterinya, seperti diutarakan oleh salah salah satu ibu, sebagai berikut :

“Cukup buk, anak-anak masih kecil mungkin belum butuh biaya banyak kali ya” (Ny.DMNT)

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

175

Secara umum kebutuhan rumah tangga sekarang menjadi kebutuhan yang konsumtif. Pendapatan atau gaji yang terbatas dimungkinkan kebutuhannya menjadi tidak terpenuhi atau kurang. Hal ini diperparah dengan suami yang berhubungan dengan WPS yang mengeluarkan beaya.

B. Hubungan terjadinya penularan HIV