• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAWATAN METODE KANGGURU TERHADAP KECEMASAN IBU DAN STATUS BANGUN-TIDUR PADA BBLR DI RUMAH SAKIT DI SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAWATAN METODE KANGGURU TERHADAP KECEMASAN IBU DAN STATUS BANGUN-TIDUR PADA BBLR DI RUMAH SAKIT DI SURABAYA"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERAWATAN METODE KANGGURU TERHADAP KECEMASAN IBU

DAN STATUS BANGUN-TIDUR PADA BBLR

DI RUMAH SAKIT DI SURABAYA

Qori’la Saidah

email:qori_ht07@yahoo.com

¹ Pengajar Keilmuan Keperawatan Anak STIKES Hang Tuah Surabaya

Abstract : Clinical condition and treatment in NICU might effect on sleep-wake state

of Low Birth Weight baby and result on maternal anxiety. The aim of this study was to identifiy the effect of kangaroo mother care on maternal anxiety and sleep-wake state of LBW baby. This study use one group pretest-posttest design with 16 samples in Surabaya. PSS:NICU and sleep-wake state scale from Priya were used. The Wilcoxon sign rank test shows p value = 0,000 and the Friedman test shows p value = 0,000. There were significan effect of KMC on maternal anxiety and sleep wake state of LBW baby.

Key word : kangaroo mother care, maternal anxiety, sleep-wake state, low birth

weight baby

Latar Belakang

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan permasalahan yang sering dihadapi pada perawatan bayi baru lahir. Sekitar sepertiga dari jumlah BBLR ini meninggal sebelum stabil atau dalam 12 jam pertama kehidupan bayi. BBLR memerlukan perawatan yang intensif sampai berhasil mencapai kondisi stabil (Blackwell, 2006). Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 presentase BBLR di Indonesia menunjukkan 7,6%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari jumlah bayi yang diketahui penimbangan berat badannya waktu lahir, 11,5% lahir dengan berat badan <2500 gram atau BBLR. Jika dilihat dari jenis kelamin, presentase BBLR lebih tinggi pada bayi perempuan dibandingkan laki-laki yaitu masing-masing 13% dan 10% (Depkes RI, 2009).

Bayi prematur mempunyai fungsi neurologis yang immatur. Bayi ini mempunyai permasalahan dalam hal kemampuan pengaturan, integrasi dan koordinasi status bangun tidurnya.

Kesulitan yang dialami mencakup jumlah waktu tidur tenang (quiet sleep), tidur aktif dan jumlah fase transisi yang tenang. Hal ini terkait dengan fungsi dan kematangan neurologis. Pencapaian status bangun-tidur yang stabil dan transisi antara tiap fasenya merupakan tugas perkembangan utama bayi pada minggu-minggu pertama kehidupan (Als. 1982, 1986 dalam Blackburn, Foreman & Thomas, 2008).

Status bangun-tidur bayi merupakan bahasa bayi yang digunakan untuk mengekspresikan kebutuhan internal sebagai respon terhadap kondisi lingkungan eksternal. Bayi bukan merupakan individu yang bersifat pasif terhadap stimulus lingkungan. Bayi mampu menangani stimulus lingkungan dengan merubah status bangun-tidurnya. Bayi yang mempunyai ambang kontrol yang rendah terhadap stimulus lingkungan akan sulit mentoleransi stimulus lingkungan. Bayi-bayi dengan resiko tinggi terlihat mempunyai ambang yang rendah dan tidak mampu beradaptasi dengan stimulus yang

(2)

Perawatan Metode Kangguru Terhadap Kecemasan Ibu Dan Status Bangun-tidur Pada BBLR (Qori’la Saidah)

94

berulang. Bayi mudah mengalami kelelahan dan kewalahan terhadap stimulus yang didapat, sehingga sering terlihat kacau, mengalami henti nafas atau sering menangis. Reaksi ini menghalangi kemampuan bayi untuk memfokuskan diri terhadap isyarat dari lingkungan (Brazelton & Nugent, 1995). Kesulitan adaptasi dengan lingkungan tampak pada status bangun tidur bayi. Menurut Brazelton dan Nugent (1995), status bangun tidur bayi terlihat dari tingkat aktifitas tubuh, pembukaan dan penutupan mata, keteraturan nafas, reaksi vokal dan respon terhadap stimulus eksternal. Hal ini ditunjukkan dengan status bangun tidur yang tampak, yang terdiri dari status tidur tenang (quiet sleep) dan tidur aktif. Perkembangan dalam status tidur bayi dikategorikan dengan adanya peningkatan status tidur tenang, penurunan status tidur aktif, peningkatan status terjaga, transisi antara status bangun-tidur yang tenang dan peningkatan kemampuan bayi untuk mempertahankan periode tidur seiring dengan peningkatan usia. Pada bayi prematur terjadi status yang tidak sama, bayi ini mengalami status tidur yang tidak jelas. Adanya status ini menunjukkan fungsi neurologik yang immatur. Bayi terlihat mempunyai siklus tidur yang kurang, periode tidur yang lebih pendek, status tidur yang tidak jelas dan periode tidur tenang yang lebih singkat (Foreman, Thomas & Blackburn, 2008).

Status bangun-tidur tenang sangat tergantung dari berat badan bayi (Ingersol dan Thoman, 1999 dalam Foreman, Thomas & Blackburn, 2008). BBLR mengalami status tidur tenang yang lebih sedikit, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan bayi. Peningkatan berat badan yang signifikan sangat diperlukan. Peningkatan jumlah tidur tenang perlu difikirkan dalam pengembangan pelayanan agar perkembangan bayi menjadi lebih optimal. Hal ini akan membantu

pematangan fungsi neurologis bayi. Mengingat permasalahan pada BBLR sangat kompleks, perlu difikirkan pemberian pelayanan yang memfasilitasi interaksi bayi dengan keluarganya. Kedekatan bayi dengan orang tuanya dapat membantu peningkatan tumbuh kembang bayi.

Masalah kesehatan pada bayi, keluarga akan juga terpengaruh terkait dengan kondisi bayi dan peran keluarga. Bayi dengan BBLR sering kali memerlukan perawatan yang intensif sampai bayi stabil dan siap untuk mendapatkan perawatan dirumah. Bayi-bayi ini secara umum berada di ruangan khusus yang terpisah dengan ruang perawatan ibunya. Perpisahan ini bisa menyebabkan kecemasan pada ibu tentang kondisi anaknya.

Menurut Ohgi, et al. (2002) isolasi dan perpisahan dengan orang tua akan mengurangi kesempatan interaksi antara orang tua dengan bayinya dan bisa menimbulkan stress pada interaksi antara ibu dengan bayinya. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan hubungan orang tua dengan bayi dan bisa menghambat perkembangan bayi. Bayi dengan BBLR memerlukan lingkungan yang bisa membantu mengejar tumbuh kembangnya. Interaksi dengan orang tua merupakan faktor terpenting. Orang tua memainkan peranan paling dominan dalam kehidupan bayi, terlebih karena perawatan di rumah sakit hanya bersifat sementara. Interaksi yang dekat antara anak dengan orang tuanya harus dimulai sejak dini, oleh karenanya perawatan perlu mengembangkan berbagai inovasi untuk meningkatkan kedekatan bayi dengan orang tuanya.

Perawatan bayi dengan metode kangguru (PMK) merupakan salah satu metode perawatan noninvasif yang memberikan keuntungan baik bagi bayi maupun ibunya. PMK memfasilitasi interaksi yang dekat antara bayi dengan orang tuanya. Menurut penelitian

(3)

(Qori’ Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

95 Whilhelm (2005) didapatkan bahwa PMK

mempunyai efek signifikan pada temperatur payudara ibu, namun PMK secara statistik tidak menunjukkan efek signifikan dalam mempengaruhi penurunan kadar kortisol atau hormon stress ibu. Sedangkan menurut Shiau (2005), PMK mempunyai efek yang signifikan dalam menurunkan kecemasan. Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh PMK terhadap kecemasan ibu dan perkembangan prilaku bayi prematur masih terbatas sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam.

Metodologi Penelitian

Rancangan dalam penelitian ini menggunakan Quasi-Experimental Design dengan one group pretest posttest design. Namun khusus untuk pengukuran status bangun-tidur bayi dilakukan dengan single subject design dengan repeated measurement. Sampel pada penelitian ini sebanyak 16 responden yang diambil dengan consecutive sampling. Kriteria BBLR yang menjadi responden adalah bayi prematur dengan BB<2500, usia gestasi 31-36 minggu, telah stabil dan tidak mengalami kelainan congenital. Sedangkan kriteria ibu adalah bisa membaca dan menulis, tidak sedang sakit selain nifas dan badan ibu dalam keadaan bersih.

Alat pengumpul data pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner data demografi, lembar observasi status bangun-tidur bayi dan kuesioner kecemasan. Data demografi pasien dituliskan dalam kuesioner data demografi. Instrumen pengukur status bangun-tidur bayi yang digunakan adalah menilai status bangun-tidur bayi yang dikembangkan oleh Priya (2004). Pada instrumen ini status bangun-tidur bayi akan diberikan skor, mulai dari status bangun-tidur tenang (skor 6), tidur aktif (skor 5), mengantuk (skor 4), terjaga tenang (skor 3), terjaga aktif (skor 2) dan menangis (skor 1).

Pengukuran kecemasan ibu pada penelitian ini menggunakan instrumen Parental Stressor Scale: Neonatal Intensive Care Unit (PSS:NICU). PSS:NICU dikembangkan untuk mengukur persepsi orang tua terhadap stressor yang meningkat yang berasal dari lingkungan fisik dan psikis di NICU. PSS:NICU terdiri dari 34 pernyataan tentang pengalaman atau situasi yang bisa terjadi terkait lingkungan NICU dan bayi. Pengalaman atau situasi ini dikelompokkan menjadi 3 klasifikasi, yaitu pemandangan dan suara di ruang NICU, kondisi klinis dan prilaku bayi, serta hubungan orang tua dengan bayinya dan peran orang tua. Penilaian hasil akhir kecemasan dari skor dilakukan dengan menggunakan metrik 2. Metrik 2 merupakan penilaian tingkat stress secara keseluruhan.

Validitas dan reliabilitas dilakukan dengan uji Kappa dan back translation. Uji Kappa dilakukan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti terhadap hasil pengamatan status bangun-tidur BBLR. Hasil uji kappa didapatkan 0,848 yang berarti tidak terdapat perbedaan persepsi antara peneliti dan asisten peneliti. Sedangkan back translation dilakukan terhadap PSS: NICU. Hasil back translation PSS: NICU menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna dengan naskah aslinya sehingga cukup valid. Namun, hasil back translation tidak diujicobakan terlebih dahulu. Peneliti menggunakan nilai reliabilitas yang telah diujikan sebelumnya oleh pengarang PSS: NICU.

Pelaksanaan PMK selama 3 hari. Pengukuran kecemasan ibu dilakukan pada hari pertama sebelum PMK dan hari ketiga setelah PMK. Pelaksanaan PMK dilakukan selama 2 jam setiap harinya. Pengukuran status bangun tidur dilakukan pada menit ke 0, ke 60 dan ke 120 dari pelaksanaan PMK dengan menggunakan lembar observasi.

(4)

Perawatan Metode Kangguru Terhadap Kecemasan Ibu Dan Status Bangun-tidur Pada BBLR (Qori’la Saidah)

96

Hasil Penelitian

Penelitian dilaksanakan di ruang neonatologi RSAL dr. Ramelan dan RSI Surabaya. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010.

A. Karakteristik Responden

Karakteristik responden ibu pada penelitian digambarkan dalam tabel 1. Rata-rata usia responden 26,88 tahun. Sebagian besar responden berpendidikan SLTA. Jumlah responden dengan primipara sama dengan multipara, yaitu masing-masing sebanyak 8 responden. Sebagian besar responden melahirkan secara SC dan belum pernah mempunyai pengalaman melahirkan BBLR sebelumnya.

Tabel 1.

Distribusi frekuensi responden ibu berdasarkan karakteristik pendidikan, paritas, jenis persalinan dan pengalaman sebelumnya di RSI dan RSAL dr. Ramelan Sureabaya bulan Mei-Juni 2010 (n=16)

No Variabel Mean SD Minimal-Maksimal

95% CI

1 Usia Ibu 26,88 3,26 21-32 25,14-28,61

Variabel Frekuensi (f) Prosentase (%) 2 Pendidikan SLTP 1 6,30% SLTA 11 68,80% PT 4 25% 3 Paritas Primi 8 50% Multi 8 50% 4 Jenis Persalinan SC 5 31,30% Spontan Normal 11 68,80% 5 Pengalaman sebelumnya Pernah 3 18,80% Tidakpernah 13 81,30% B. Pengaruh PMK Terhadap Kecemasan Ibu

Distribusi pasien berdasarkan kecemasan sebelum dan setelah PMK didapatkan bahwa sebelum PMK sebagian besar ibu mempunyai kecemasan sedang dengan jumlah 10 orang (62,5%). Sedangkan ibu yang mempunyai kecemasan berat sebanyak 4 orang (25%) dan ibu yang mempunyai kecemasan ringan 2 orang (12,5%). Setelah dilakukan PMK jumlah ibu yang mempunyai kecemasan ringan sebanyak 12 orang (75%). Sedangkan ibu yang mempunyai tingkat kecemasan sedang sebanyak 4 orang (25%) dan tidak ada yang mempunyai kecemasan berat.

Tabel 2.

Distribusi frekuensi kecemasan ibu sebelum dan setelah PMK di RSI dan RSAL dr. Ramelan Surabaya Bulan

Mei-Juni 2010 (n=16)

Kecemasan Pretest Posttest

Cemas ringan 2 12,5% 12 75% Cemas sedang 10 62,5% 4 25% Cemas Berat 4 25,0% Total 16 100% 16 100%

Karakteristik Ibu sebe;um PMK menunjukkan tingkat kecemasan sedang. Setelah dilakukan PMK terjadi penurunan, sebagian besar ibu menjadi ringan tingkat kecemasannya. Setelah dilakukan uji dengan Wilcoxon sign rank test didapatkan nilai p=0,000 yang berarti secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan sebelum dan setelah PMK.

C. Pengaruh PMK terhadap Status Bangun-Tidur

Status tidur bayi pada hari pertama menunjukkan variasi yang beragam. Pada

(5)

(Qori’

No Variabel Mean SD Minimal- 95%

1 Usia Ibu 26,88 3,26 21-32 Variabel ekuensi (f) e (%) 2 Pendidikan SLTP 1 SLTA 11 80% 4 3 Paritas i 8 Multi 8 4 Jenis 5 30% Spontan 11 80% 5 Pengalaman Pernah 3 80% dakpernah 13 30%

Kecemasan etest Posttest

Cemas ringan 2 12,5% 12 75% Cemas sedang 10 62,5% 4 25% Cemas Berat 4 25,0%

16 100% 16 100%

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

97 menit ke 0 hari pertama sebagian besar

berada pada status tidur aktif sebanyak 9 bayi (56,25%). Sedangkan bayi dengan status tidur tenang dan status mengantuk hanya 2 bayi (12,5%), sedangkan yang lainnya bervariasi antara status menangis, terjaga aktif dan terjaga tenang yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (6,25%). Pada menit ke 60, bayi yang mengalami status tidur tenang sebanyak 10 bayi (62,5%). Bayi yang mengalami status tidur aktif 4 bayi,(25%) dan terdapat masing-masing 1 bayi (6,25%) dengan status terjaga tenang dan mengantuk. Pada menit ke 120 terdapat 13 bayi (81,25%) bayi yang mengalami status tidur tenang dan lainnya yaitu 3 bayi (18,75%) mengalami status tidur aktif.

Status tidur bayi pada hari ke 2 menit ke 0 masih didominasi oleh status tidur aktif. Jumlah responden pada status aktif di menit ke 0 sebanyak 12 bayi (75%). Responden dengan status tidur mengantuk sebanyak 3 bayi (18,75%). Responden dengan status terjaga aktif 1 bayi (6,25%). Tidak ada responden yang mempunyai status tidur tenang, terjaga tenang maupun menangis. Pada menit ke 60 terdapat 7 bayi (43,75%) bayi dengan status tidur aktif dan 9 bayi (56,25%) bayi dengan status tidur tenang. Pada menit ke 120 terdapat 13 bayi (81,25%) dengan status tidur tenang dan lainnya 1 bayi (6,25%) mempunyai status tidur aktif.

Pada hari ke 3 menit ke 0 sebagain besar bayi mengalami status tidur aktif sebanyak 7 bayi (43,75%). Terdapat 3 bayi (18,75%) dengan status tidur tenang, 3 bayi (18,75%) dengan status terjaga tenang, 2 bayi dengan status mengantuk dan 1 bayi (6,25%) dengan status terjaga aktif. Pada menit ke 60 terdapat perubahan status tidur bayi. Bayi dengan status tidur tenang sebanyak 14 (87,5%) bayi dan 2 (12,5%) bayi mempunyai status tidur aktif. Pada menit ke 120, jumlah bayi dengan status tidur tenang

sebanyak 15 bayi dan bayi dengan status tidur aktif hanya 1 bayi (6,25%).

Hasil uji Friedman menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) baik pada hari pertama, kedua maupun hari ketiga.. Interval kepercayaan 95% berarti pada nilai α = 5% dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan pada status bangun tidur bayi hari ke 1, 2, 3 pada menit ke 0, 60 dan 120. Selanjutnya, dilakukan post hoc dengan Wilcoxon Sign Rank Test untuk mengetahui perbedaan status bangun-tidur pada tiap menit penukuran yang digambarkan pada tabel 4.

Tabel 3.

Distribusi frekuensi responden bayi menurut berat badan dan jenis kelamin

bayi di RSI dan RSAL dr. Ramelan Surabaya bulan Mei-Juni 2010 (n=16) N0 Variabel Mean SD

Min.-Maks. 95% CI 1 Usia Gestasi 34,06 1,61 31-36 33,20 - 34,92 2 Berat Badan 1722,8 321,8 1288-2300 1551,28 - 1894,22

Variabel Frekuensi (f) Prosentase (%)

3 Jenis kelamin Laki-laki 6 37,5% Perempua n 10 62,5% Tabel 4.

Distribusi frekuensi status bangun-tidur BBLR di RSI dan

RSAL dr. Ramelan Surabaya bulan Mei-Juni 2010 (n=16) p value (95% CI) Hari I

Menit 0 - Menit 60 Menit 60 - Menit 120 Menit 0 - Menit 120 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,005 0,234 0,002

(6)

Perawatan Metode Kangguru Terhadap Kecemasan Ibu Dan Status Bangun-tidur Pada BBLR (Qori’la Saidah)

98

p value (95% CI) Hari II

Menit 0 - Menit 60 Menit 60 - Menit 120 Menit 0 - Menit 120 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001 0,034 0

p value (95% CI) Hari III

Menit 0 - Menit 60 Menit 60 - Menit 120 Menit 0 - Menit 120 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001 0,157 0,001 Pembahasan

Analisis peneliti, bayi yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal akan mampu mengontrol stimulus yang datang padanya dengan merubah berbagai status bangun-tidurnya. Sebagian besar bayi mengalami status tidur aktif dimana bayi tidak tidur dengan nyenyak. Pada tahap ini pertumbuhan dan perkembangan kurang optimal dibandingkan dengan bayi aterm yang mampu menghabiskan sebagian besar waktunya dengan tidur tenang. Tidur tenang merupakan fase tidur yang mampu memberikan fasilitasi pertumbuhan dan perkembangn yang optimal. Oleh karenanya berbagai metode untuk memfasilitasi fase tidur bagi bayi merupakan hal yang penting. Hal ini sesuai dengan penelitian Shiau (2005) yang menyatakan bahwa PMK mempengaruhi penurunan hormon stress pada bayi dan ibu.

Perawatan metode kangguru mempengaruhi status bangun-tidur bayi melalui perubahan hormonal yang menurunkan stress pada bayi. Kedekatan antara ibu dengan bayi melalui kontak kulit menimbulkan rasa aman yang mempengaruhi penurunan hormon stress. Selanjutnya akan mempengaruhi penurunan jumlah konsumsi energi yang sebelumnya digunakan untuk merespon dan mengontrol stimulus lingkungan.

Kecukupan energi ini disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke otak yang berdampak pada peningkatan suplai oksigen dan nutrisi ke otak. Kondisi ini membantu bayi mencapai status tidur tenang yang lebih lama.

Pada observasi menit ke 60 masih banyak dijumpai bayi dengan status tidur aktif. Perawatan metode kangguru dapat membantu bayi untuk mencapai tidur tenang. Hal ini terlihat pada menit ke 120 sebagian besar berada pada status tidur tenang. Sedangkan pada menit ke 60 bayi masih mengalami 1 siklus tidur, namun beberapa bayi telah menunjukkan status tidur tenang sehingga perbandingan status bangun-tidur bayi pada menit ke 60 dengan menit ke 120 menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Meskipun pada menit ke 60 bayi hanya mencapai 1 siklus tidur, namun beberapa bayi telah mencapai tidur tenang. Perubahan jumlah bayi yang mencapai tidur tenang tidak banyak sehingga perbandingan jumlah bayi yang mencapai tidur tenang tidak banyak dan ketika dilakukan uji statistic tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Browne dan Graven (2008) yang mengatakan bahwa pada 1 siklus tidur beberapa bayi telah mencapai tidur tenang.

Simpulan

Karakteristik ibu yang melahirkan BBLR rata-rata berusia 26,88 tahun. Sebagian besar ibu mempunyai pendidikan SLTA. Paritas ibu seimbang antara primipara dan multipara. Sedangkan karakteristik ibu dilihat dari jenis persalinan sebagian besar spontan pervaginam. Sebagian besar ibu tidak mempunyai pengalaman melahirkan BBLR sebelumnya.

Karakteristik BBLR dilihat dari usia gestasi menunjukkan rata-rata 34,01 minggu. Sedangkan berat-badan bayi menunjukkan rata-rata 1722,75 gram. Jenis kelamin bayi pada penelitian ini

(7)

(Qori’ (95% CI) Menit 0 Sig. (2-(95% CI) Menit 0 Sig.

(2-Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

99 sebagian besar perempuan. Sebagian

besar status bangun-tidur bayi pada menit ke 0 adalah tidur aktif dan pada menit ke 120 sebagian besar adalah tidur tenang.

Perawatan metode kangguru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecemasan ibu yang mempunyai BBLR prematur dengan nilai p=0,000. Perawatan metode kangguru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status bangun-tidur BBLR dengan nilai p pada uji Friedman sebesar 0,000 baik pada hari pertama, kedua dan hari ketiga.

Daftar Pustaka

Blackwell, K., & Cattaneo, A. (2006). What is the evidence for kangaroo mother care of the very low birth

weight baby?.

(http://www.ichrc.org/pdf/kangaro o.pdf diperoleh 27 Januari 2010). Brazelton, T.B., & Nugent, J.K. (1995).

Neonatal behavior assessment scale. (3rd edition). London : The lavenham Press Ltd, Mac Keith Press.

Browne, J.V., & Graven, S.N. (2008). Sleep and brain development. (http://www.wonderbabiesco.org/ UserFiles/File/Graven%20and%2 0Browne%20sleep%2008.pdf diperoleh tanggal 20 Februari 2010).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. (http://www.depkes.go.id/downlo ads/publikasi/profil%20kesehatan %20Indonesia.pdf. diperoleh 1 Februari 2010).

Blackburn, T.S., Foreman, W.S. & Thomas, A.K. (2008). Preterm infant state development, j obstet gynecol neonatal nurs. 2008 ; 37

(6): 657-665. doi:10.1111/j.1552-6909.2008.00292.x.

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pm c/articles/PMC2765199/pdf/nihms -80781.pdf/tool=pmcentrez

diperoleh tanggal 23 Januari 2010).

Ohgi, et al. (2002). Comparison of kangaroo care and standart care : behavioral organization, development, and temperament in healthy, low birth weight infant through 1 year. Journal of Perinatology (2002) 22, 374 – 379 doi:10.1038/sj.jp.7210749 (http://www.nature.com/jp/journal /v22/n5/pdf/7210749a.pdf.

diperoleh tanggal 1 Februari 2010).

Priya, J.J. (2004). Kangaroo care for low birth weight babies. Nursing Journal of India, 95, 9.

Shiau, S.H. (2005). Randomized controlled trial of kangaroo care with fullterm infants: Effects on maternal anxiety, breastmilk maturation, breast engorgement, and breastfeeding status. Diakses dari

http://neoreviews.aappublications. org/cgi/reprint/neoreviews;8/2/e5 5 tanggal 1 Februari 2010.

Whilhelm, P.A. (2005). The effect of early kangaroo care on breast skin temperature, distress, and breastmilk production in mother of premature infants. (http://www.newbornnetworks.or g.uk/southern/PDFs/KangarooCar eFinal.pdf diperoleh tanggal 1 Februari 2010).

(8)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN TERHADAP

TERJADINYA PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK

DI KALIMANTAN SELATAN

Marwansyah

Jurusan Keperawatan Poltekkes Banjarmasin Email : marwans.bjm@gmail.com

Abstract : Some diseases are caused largely influenced by lifestyles are less

healthy individuals such as stress , excessive workload ,eating habits / unhealthy drinking , smoking , lack of personal hygine and others that may increase the risk of infectious disease a non-communicable diseases such as hypertension , diabetes mellitus , and heart failure hiperkolesterolnemia . Often death occurs even not from the primary disease but rather caused by complications such as kidney failure . The kidneys are organs that vital as the volume and chemical composition of blood , if the two kidneys for some reason fails to perform its functions it will have serious consequences for patients . The goal in this research would like to get an overview of the factors related to the occurrence of chronic kidney disease in southern Borneo . Research is a descriptive , cross-sectional design with using the Ex Post Facto . This study uses a place in space Hemodialysis and space Inpatient Hospital Medicine Ulin Banjarmasin . Independent variables (independent ) is heriditer factors , socio- cultural factors , factors environmental and clinical factors . While the dependent variable ( tied ) is a chronic renal failure . Data was analyzed by descriptive and analytical . Univariate data using frequency distribution tables while the data is bivariate using Chi Square and analyzed using SPSS computational techniques for Windows . The research found that the rate of chronic renal failure category suffered by respondents in South Kalimantan is largely Failed Terminal kidney with the largest percentage of 61.32 % . Of the four factors examined the results of the study showed that there is no relationship significant but of the four factors that appear there are two factors that have a tendency as a factor that can lead to Chronic kidney disease is heriditer factors and environmental factors . factor heriditer had 2.04 times the odds for terminal kidney failure as compared with respondents who did not support the heriditer factor while environmental factors had 1.46 times the odds for terminal kidney failure compared to those environmental factors that do not support .

Keyword : Heriditer, environmental, social, cultural, health care, failing

chronic kidney A. Pendahuluan

Latar Belakang

Beberapa penyakit yang timbul sebagian besar dipengaruhi oleh pola hidup individu yang kurang sehat seperti stres, beban kerja yang berlebihan, kebiasaan makan/minum yang tidak sehat, merokok, kurangnya

personal hygine dan lain-lain sehingga dapat meningkatkan resiko penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit yang tidak menular misalnya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolnemia dan gagal jantung. kematian yang terjadi seringkali bahkan bukan berasal dari

(9)

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

101 penyakit primernya tetapi lebih

disebabkan oleh komplikasi yang terjadi seperti gagal ginjal.

Ginjal merupakan organ tubuh yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah, jika ke dua ginjal karena sesuatu sebab gagal melakukan fungsinya maka akan berakibat serius bagi penderita. Jika ke dua ginjal gagal dalam melakukan fungsinya maka akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Tidak ada obat yang dapat mengembalikan fungsi ginjal walaupun teknologi bidang kesehatan semakin canggih, saat ini penyakit gagal ginjal hanya bisa diatasi dengan cuci darah atau cangkok ginjal. Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut Rully Roesli (2005) penyakit gagal ginjal bisa menyerang setiap orang baik pria maupun wanita tanpa memandang tingkat ekonomi, sekitar 50.000 pasien gagal ginjal harus menjalani cuci darah. Bila gejala diketahui sedini mungkin penderita bisa mendapat bantuan untuk mengubah atau menyesuaikan pola hidupnya.

(http://www.kompas.com/kesehatan/news /0411/22/060712.htm). Kemudian R.A Habibie menyatakan bahwa banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidak mampu berobat atau cuci darah karena biaya yang sangat mahal. Tindakan cuci darah dilakukan antara 2 – 3 kali seminggu. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm ). Sri Soedarsono menyebutkan bahwa kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal antara lain dari meningkatnya jumlah penderita cuci darah yang jumlahnya rata-rata 250 orang /tahun

(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm). Begitu juga dengan kenaikan penderita gagal ginjal di RSUD Ulin Banjarmasin yang menjalani terapi cuci darah dari tahun ketahun semakin meningkat pada

tahun 2004 sebanyak 5.865 tindakan dan tahun 2005 sebanyak 8.951 tindakan atau terjadi kenaikan sebesar 65,52%

Dari uraian di atas penyakit gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang tergolong berat serta cenderung mengalami peningkatan dengan biaya pengobatan yang mahal maka perlu upaya pencegahan dengan mengetahui pola hidup penderita penyakit gagal ginjal sehingga perlu kiranya diketahui tentang faktor yang berhubungan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan.

Rumusan Masalah

Faktor apa saja yang berhubungan terhadap terjadinya penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan ?

Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Ingin mendapatkan gambaran tentang faktor yang berhubungan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan.

b. Tujuan Khusus

1) Ingin mengetahui gambaran faktor heriditer penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan Selatan 2) Ingin mengetahui gambaran faktor

lingkungan penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan 3) Ingin mengetahui gambaran faktor

Sosial budaya penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan 4) Ingin mengetahui gambaran faktor

klinik/pelayanan kesehatan penderita penyakit gagal ginjal kronik di Kalimantan selatan.

B. Metode penelitian Jenis Penelitian

Penelitian merupakan penelitian deskriptif, rancangan Crossectional dengan menggunakan metode Ex Post Facto.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan tempat di ruang Hemodialisis dan ruang Rawat Inap

(10)

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Terjadinya Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Marwansyah)

102

Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin dan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2007.

Subjek Penelitian

Populasi yang diteliti adalah semua pasien yang menderita gagal ginjal kronis yang dirawat di ruang rawat inap dan ruang hemodialisis dengan kriteria inklusi :

a. Diagnosis penyakit gagal ginjal kronis b. Bersedia menjadi responden

c. Dapat berkomunikasi dengan baik .

Teknik pengambilann sampel

Pengambilan sampling menggunakan teknik Aksidental sampling yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Penentuan jumlah sampel di ruang Hemodialisis menggunakan tabel Krecjie. Rata-rata jumlah pasien yang dirawat di ruang Hemodialisis setiap bulan 120 pasien, sehingga besar sampel yang digunakan menurut tabel Krecjei adalah 92 pasien. Besar sampel untuk pasien yang di rawat inap tersebar dibeberapa ruang sebanyak 10 – 15 pasien, pasien yang sesuai dengan kriteria menjadi sampel sehingga besar sampel menurut tabel Krecjei adalah 14 pasien. Jumlah seluruh sampel dalam penelitian ini adalah 106 responden.

1. Variabel Penelitian

Variabel Indipenden (bebas) adalah faktor heriditer, faktor sosial budaya, faktor lingkungan dan faktor klinik. Sedangkan yang menjadi variable dependen (terikat) adalah gagal ginjal kronik.

2. Alat pengumpulan Data

Alat pengumpul data terdiri dari 6 angket. Angket pertama meliputi data umum tentang karakteristik reponden. Angket ke dua, tiga, empat dan lima tentang faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu terkait dengan

terjadinya penyakit gagal ginjal kronis. Disusun oleh peneliti berdasarkan pendapat dari Depkes tentang faktor yang mempengaruhi status kesehatan dengan berpedoman kepada faktor resiko terjadinya penyakit gagal ginjal.

Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari hasil angket untuk mengetahui karakteristik responden dan faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal ginjal kronis. Data sekunder didapatkan dari data laboratorium yang dilihat dari rekam medis/status pasien.

Teknik Analisa Data

Data dianalisis secara deskriptif analitik. Data univariat menggunakan tabel distribusi frekuensi sedangkan data bivariat menggunakan uji Chi Square. Data dianalisis menggunakan teknik komputasi SPSS for Windows. Penyajian data hasil penelitian dilakukan dengan melalui tabel C. Hasil dan pembahasan penelitian 1. Karakteristik Responden

Data yang dideskripsikan meliputi data distribusi responden menurut umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan.

Tabel. 1

Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin yang menderita Gagal Ginjal Kronis di

RSUD Ulin Banjarmasin No Jenis Kelamin f % 1. Laki-laki 68 64,15 2. Perempuan 38 35,85 Jumlah 106 100,00

Dari tabel di atas bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 64,15 % dibandingkan dengan responden perempuan.

(11)

– s. pendapat dengan dinya a untuk dan l i kam f l riat Data si hasil a nis i No Jenis f % 1. Laki-laki 68 64,15 2. Perempuan 38 35,85 lah 106 100,00 i

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

103 Karakteristik responden berdasarkan Umur

yang menderita Gagal Ginjal Kronis di RSUD Ulin Banjarmasin No Umur (tahun) f % 1. 15 – 25 4 3,77 2. 26 – 35 16 15,09 3. 36 – 45 28 26,42 4. 45 – 65 50 47,17 5. >66 8 7,55 Jumlah 106 100,00

Berdasarkan tabulasi data distribusi frekuensi, prosentasi terbesar menurut umur responden adalah pada rentang usia 45-65 tahun sebesar 47,17 %.

Tabel. 3

Karakteristik responden berdasarkan Tingkat Pendidikan yang menderita Gagal Ginjal

Kronis di RSUD Ulin Banjarmasin

No Pendidikan f % 1. Tidak sekolah 0 0,00 2. Tidak tamat SD /sederajad 6 5,66 3. Tamat SD/sederajad 14 13,21 4. SLTP/sederajad 8 7,55 5. SLTA/sederajad 42 39,62 6. Diploma 16 15,09 7. Sarjana 18 16,98 8. Paska sarjana/S-2 2 1,89 Jumlah 106 100,00

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan dengan prosentasi terbesar menurut tingkat pendidikan responden adalah pendidikan SLTA/sederajad sebesar 39,62%.

Tabel. 4

Karakteristik responden berdasarkan Pekerjaan yang menderita Gagal Ginjal Kronis

di RSUD Ulin Banjarmasin

No Pekerjaan f % 1. Tidak bekerja 40 37,74 2. Petani/nelayan 5 4,72 3. Pengawai Negeri 39 36,79 4. Buruh 5 4,72 5. Pegawai swasta 13 12,26 6. TNI/POLRI 4 3,77 7. Lain-lain 0 0,00 Jumlah 106 100,00

Berdasarkan tabulasi data distribusi frekuensi, prosentasi terbesar menurut pekerjaan responden adalah tidak bekerja atau 37,74% kemudian Pegawai Negeri Sipil sebesar 36,79%.

2. Faktor Heriditer Terhadap Gagal Ginjal Kronik

Tabel 5

Perbandingan Faktor Heriditer Dengan Gagal Ginjal Kronis

Faktor Heriditer

Gagal Ginjal Kronis

Total Gagal Non Ginjal Terminal Gagal ginjal Terminal Tidak Mendukung 38 (40,4%) 56 (59,6%) 94 (100%) Mendukung 3 ( 25,0%) 9 (75,0%) 12 (100%) Total 41 (38,7%) 65 (61,3) 106 (100%)

Berdasarkan tabel 5 ada sebanyak 56 dari 94 (59,6%) responden dari faktor heriditer tidak mendukung terjadinya gagal ginjal terminal, sedangkan responden dari faktor heriditer yang mendukung sebanyak 9 dari 12 (75%) yang terjadi gagal ginjal terminal.

Hasil uji Chi Square terlihat nilai p value 0,362 lebih besar dari alpha (5%) berarti tidak ada hubungan faktor heriditer dengan kejadian gagal ginjal kronik. Dilihat dari nilai Odds Ratio ada kecenderungan bahwa bila faktor heriditer yang mendukung akan lebih besar kemungkinan untuk terjadinya gagal ginjal terminal dimana responden yang faktor heriditer mendukung akan terjadi atau memiliki peluang 2,04 kali untuk terjadi gagal ginjal terminal dibandingkan dengan responden yang faktor heriditer tidak mendukung.

Kalau dibandingkan dengan hasil penelitian, faktor heriditer yang mendukung

(12)

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Terjadinya Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Marwansyah)

104

terjadinya gagal ginjal kronik lebih sedikit dari pada yang tidak mendukung. Menurut Hidayat, A., (2007) faktor heriditer atau keturunan memberikan pengaruh terhadap status kesehatan sesorang mengingat potensi perubahan status kesehatan telah dimiliki melalui faktor genitik, walaupun tidak terlalu besar tetapi akan mempengaruhi respon terhadap berbagai penyakit

3. Faktor Lingkungan Terhadap Gagal Ginjal Kronik

Tabel 6

Perbandingan Faktor Lingkungan Dengan Gagal Ginjal Kronis

Faktor Lingkungan

Gagal Ginjal Kronis

Total Gagal Non Ginjal Terminal Gagal ginjal Terminal Tidak Mendukung 34 (40,5%) 50 (59,5%) 84 (100%) Mendukung 7 (31,8%) 15 (68,2%) 22 (100%) Total 41 (38,7%) 65 (61,3) 106 (100%)

Berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa sebanyak 50 dari 84 (59,5%) responden yang faktor lingkungan tidak mendukung terjadi gagal ginjal terminal sedangkan responden yang faktor lingkungan mendukung ada 15 dari 22 (68,2%) yang terjadi Gagal ginjal terminal.

Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa nilai p value 0,620 lebih besar dari alpha (5%) berati tidak ada hubungan faktor lingkungan dengan kejadian gagal ginjal terminal, namun ada kecenderungan bila faktor lingkungan mendukung akan lebih besar kemungkinan untuk terjadi gagal ginjal terminal. Dilihat dari nilai Odds Ratio bahwa responden yang faktor lingkungan mendukung akan memiliki peluang 1,46 kali untuk terjadi gagal ginjal terminal dibanding dengan responden yang faktor lingkungan yang tidak mendukung.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang mempunyai hubungan langsung dengan hidup organisme atau manusia dengan kata lain adalah dunia dengan segala aspeknya yang

selalu berhubungan dengan kita (Mukono, H.J. 2008). Penyakit dapat muncul terutama karena lingkungan telah tercemar oleh bahan-bahan yang beracun dan berbahaya. Bahan-bahan unsur logam maupun pestisida ini dapat berasal dari buangan industri, pertanian maupun rumah tangga. Pembuangan limbah industri secara sembarangan kelingkungan sangat merugikan kesehatan manusia, berupa penyakit maupun kecacatan. Demikian pula penggunaan berbagai macam pestisida disektor pertanian maupun rumah tangga, pada saatnya akan mencemari lingkungan dan mengakibatkan berbagai penyakit serta gangguan kesehatan.

4. Faktor sosial budaya Terhadap Gagal Ginjal Kronik

Tabel 7

Perbandingan Faktor Sosial Budaya Dengan Gagal Ginjal Kronis

Faktor Sosial Budaya

Gagal Ginjal Kronis

Total Gagal Non Ginjal Terminal Gagal ginjal Terminal Tidak Mendukung 37 (38,5%) 59 (61,5%) 96 (100%) Mendukung 4 (40,0%) 6 (60,0%) 10 (100%) Total 41 (38,7%) 65 (61,3) 106 (100%)

Dari tabel 7 terlihat bahwa responden yang faktor sosial budaya yang tidak mendukung ada 59 dari 96 (61,5%) untuk terjadi gagal ginjal terminal, begitu juga responden yang faktor sosial budaya mendukung ada sebesar 60% untuk terjadi gagal ginjal terminal.

Berdasarkan hasil analisis Chi Square didapatkan p value 1,000 lebih besar dari alpha (5%) yang erarti tidak ada hubungan antara faktor sosial budaya dengan kejadian gagal ginjal kronik.

Jika dilihat dari data di atas nampak faktor sosial budaya lebih banyak dalam katagori tidak mendukung terjadinya gagal ginjal, hal ini mungkin disebabkan karena dalam perhitungan score dilakukan secara kumulatif keseluruhan maka hasil yang didapat lebih rendah dari nilai yang termasuk dalam katagori mendukung. Tetapi kalau dilihat dari masing-masing

(13)

ronis Gagal Non Ginjal Gagal ginjal ndukung 34 (40,5%) 50 (59,5%) 84 (100%) ndukung 7 (31,8%) 15 (68,2%) 22 (100%) 41 (38,7%) 65 (61,3) 106 H.J. ena l ah a ugikan n i i i Ginjal ronis Gagal Non Ginjal Gagal ginjal ndukung 37 (38,5%) 59 (61,5%) 96 (100%) ndukung 4 (40,0%) 6 (60,0%) 10 (100%) 41 (38,7%) 65 (61,3) 106 0%) ) untuk terjadi ada Square lpha l faktor i tungan i endukung. ng

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

105 subvariabel dari faktor sosial budaya

berdasarkan distribusi frekuensi terdapat ada perbedaan (lihat lampiran), misalnya pada subvariabel pola aktivitas didapatkan katagori yang mendukung 58 responden atau 54,7% dan yang tidak mendukung terjadinya gagal ginjal 48 responden atau 45,3%. Begitu pula dengan subvariabel penggunaan waktu senggang didapatkan katagori yang mendukung 64 responden atau 60,4% dan yang tidak mendukung gagal ginjal sebanyak 42 responden atau 39,6%. Perilaku mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap derajat kesehatan masyarakat maka diperlukan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku masyarakat yang bertentangan dengan norma hidup sehat. Perilaku masyarakat tersebut biasanya bersifat lokal spesifik karena perilaku masyarakat disetiap daerah berbeda, terjadi pada golongan, ras dan daerah tertentu dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Menurut Sarwono, (2004) Perilaku kesehatan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikapnya mengenai kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Termasuk di dalam perilaku kesehatan yang dapat diobservasi adalah perilaku hidup sehat. Anies (2006) menyebutkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan atau merupakan fungsi dari pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, sumber atau fasilitas yang mendukung dan kebudayaan masyarakat

5. Faktor Pelayanan Kesehatan Terhadap Gagal Ginjal Kronik

Tabel 8

Perbandingan Faktor Pelayanan Kesehatan Dengan Gagal Ginjal Kronis

Faktor Pelayanan Kesehatan

Gagal Ginjal Kronis

Total Gagal Non Ginjal Terminal Gagal ginjal Terminal Tidak Mendukung 29 (35,8%) 52 (64,%) 81 (100%) Mendukung 12 (48,0%) 13 (52,0%) 25 (100%) Total 41 (38,7%) 65 (61,3) 106 (100%)

Dari tabel 8 menunjukkan bahwa ada 52 dari 81 (64,2%) responden yang faktor pelayanan kesehatan tidak mendukung terjadi gagal ginjal terminal, sedangkan responden yang faktor pelayanan kesehatan mendukung akan terjadi gagal ginjal terminal sebesar 52%.

Hasil uji statistik analisis Chi Square didapatkan p value 0,39 lebih besar dari alpha (5%) yang berarti tidak ada hubungan pelayanan kesehatan dengan terjadinya gagal ginjal kronik. Pengumpulan data difokuskan pada riwayat penyakit/ kesehatan dahulu, riwayat pemakaian obat dan riwayat pembedahan. Jika dilihat dari data di atas nampak faktor pelayanan kesehatan lebih banyak dalam katagori tidak mendukung terjadinya gagal ginjal, hal ini mungkin disebabkan juga karena dalam perhitungan score dilakukan secara keseluruhan maka hasil yang didapat lebih rendah dari nilai yang termasuk dalam katagori mendukung. Tetapi kalau dilihat dari beberapa subvariabel dari faktor pelayanan kesehatan berdasarkan distribusi frekuensi terdapat ada perbedaan, misalnya pada subvariabel riwayat penggunaan obat didapatkan katagori yang mendukung 68 responden atau 64,2% dan yang tidak mendukung terjadinya gagal ginjal 38 responden atau 35,8%.

Simpulan

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik pada penderita di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa dari ke empat faktor tidak ada suatu hubungan yang bermakna tetapi terdapat dua faktor yang mempunyai kencenderungan sebagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit gagal ginjal kronis yaitu faktor heriditer dan faktor lingkungan.

b. Faktor heriditer mempunyai peluang 2,04 kali untuk terjadi gagal ginjal

(14)

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Terjadinya Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Marwansyah)

106

terminal dibandingkan dengan responden yang faktor heriditer tidak mendukung sedangkan faktor lingkungan mempunyai peluang 1,46 kali untuk terjadi gagal ginjal terminal dibanding dengan responden yang faktor lingkungan yang tidak mendukung.

Saran

a. Sebagian besar penderita yang menderita penyakit Gagal Ginjal Kronis sudah dalam katagori Gagal Ginjal Terminal maka perlu upaya pencegahan lebih dini terutama bagi yang mempunyai faktor herediter harus berupaya untuk meminimalkan atau mengurangi tingkat keparahan penyakit Gagal ginjal dengan menjalankan pola hidup sehat.

b. Beberapa penyakit yang timbul sebagian besar dipengaruhi oleh pola hidup individu yang kurang sehat seperti stres, beban kerja yang berlebihan, kebiasaan makan/minum yang tidak sehat, merokok, kurangnya personal hygine dan lain-lain sehingga dapat meningkatkan resiko penyakit Gagal Ginjal Kronis. Oleh karena itu kepada instansi pemerintah maupun Provider perlu meningkatkan upaya promosi kesehatan kepada masyarakat sebagai langkah awal untuk tindakan preventif.

DAFTAR PUSTAKA

Anies (2006), Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Depkes R.I (2002), Paradigma Sehat, Pusat Promosi Kesehatan R.I, Jakarta

Depkes R.I, (1995), Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gagal Ginjal/penyakit Urogenital, Pusdiknakes, Jakarta

Mukono, H.J. (2008), Prinsif Dasar Kesehatan Lingkungan, edisi 2, Airlangga University Press, Surabaya.

Price, A.A & Wilson, L.M (1995), Patofisologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

R.A Habibie & Sri Soedarsono Tinggi, Tingkat Gagal Ginjal, (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/10/0307.htm ) Rully Roesli, Jangan Sampai Kurang Minum,

artikel,

http://www.kompas.com/kesehatan/news /0411/22/060712.htm

Sarwono, S. (1993), Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.

Sugiyono, (1999), Metode Penelitian Adminitrasi, Alfabeta, Jakarta.

WHO, (2002), Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan Manusia Dan Lingkungan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta

(15)

EGC, , , , i, ,

HUBUNGAN PERAN IBU DENGAN TINGKAT SIBLING RIVALRY PADA

ANAK PRASEKOLAH USIA 3-5 TAHUN DI WILAYAH

KELURAHAN KETAWANGGEDE MALANG

Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati

Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Email keperawatan.fk@ub.ac.id

Abstract : Sibling rivalry is an attitude of being antagonistic and jealous toward one’s

biological sibling. This kind of attitude can attach to 3-5 year old preschool children easily since a preschool period is a critical period when children start to develop their emotion. This jealousy occurs for the sake of getting more attention from the mother. Out of that context, the purpose of this research is to get some information on the relationship between the mother’s role and the level of sibling rivalry on the 3-5 year old preschool children. Moreover, the research design is a descriptive analytic correlation with cross sectional approach. The data collection was done by using a purposive sampling with 57 people as the sample. In addition, questionnaire that has been checked its validity and reliability was used as the research instrument. Then, the data are analyzed by using spearman rho correlation. The result shows that most of mothers (43.9%) in Ketawanggede region Malang are in a category of fair in doing their role as mothers and their children’s sibling rivalry level is moderate (43.9%). Moreover, the test result of spearman rho correlation (r=0.289 with p=0.03) shows that there is an existence of mother’s role with as sibling rivalry level of 3-5 year old preschool children. Based on the result of the research, it is suggested that health officer should be able give counseling on how mothers do their role as a mother in public health service. If counseling is well given, it is hoped that those mothers are able to do their role perfectly so that the level of sibling rivalry can be minimized.

Keywords: Mothers’ role, Sibling Rivalry, Preschool children Latar Belakang

Anak usia prasekolah adalah anak yang berumur antara tiga sampai enam tahun. Salah satu perkembangan anak-anak yang perlu mendapat perhatian adalah perkembangan dari segi emosi. Emosi yang rentan pada anak prasekolah adalah rasa cemburu dimana timbul perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih sayang dari orang. Kehadiran adik bayi bagi anak pertama dapat memunculkan berbagai macam kecemburuan atau persaingan yang berbeda

satu sama lainnya yang dikenal dengan istilah sibling rivalry.

Sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan cemburu di antara saudara kandung. Hal ini biasanya terjadi antara dua atau lebih saudara kandung yang berusia berdekatan (1-3 tahun) dan jenis kelaminnya sama.3 Reaksi yang sering ditampakkan adalah anak lebih agresif, memukul atau melukai kakak maupun adiknya, membangkang kepada ibunya, rewel, mengalami kemunduran (berperilaku menyerupai anak kecil seperti mengompol), sering marah dan menangis tanpa sebab serta menjadi lebih lengket dengan ibu.

(16)

Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati)

108

Hasil penelitian mengenai sibling rivalry pada anak prasekolah dari 35 anak diperoleh 80% tingkat sibling rivalry sedang, 16.67 % tingkat sibling rivalry berat, dan 3.33% tingkat sibling rivalry ringan.5 Dampak sibling rivalry pada perkembangan anak dapat berupa perilaku agresif yang mengarah ke fisik seperti menggigit, memukul, mencakar, melukai dan menendang adik bayinya.4 Oleh karena itu, untuk mengurangi terjadinya sibling rivalry maka dibutuhkan peran ibu yang baik.

Peran ibu adalah memberikan kasih sayang dan mendidik anak. Keberhasilan ibu dalam melaksanakan peran tergantung dari kondisi ibu.6 Kondisi yang menyebabkan peran ibu tidak maksimal sehingga menimbulkan sibling rivalry pada anak antara lain kehadiran anggota keluarga baru yang dapat memberikan tekanan pada anak pertama karena perhatian ibu lebih banyak pada adik bayi.7 Kesibukan ibu dengan kariernya juga dapat menimbulkan sibling rivalry yang mengakibatkan waktu kebersamaan dengan anak berkurang.

Peneliti melakukan studi pendahuluan di Wilayah Kelurahan Karang Besuki, Kelurahan Dinoyo dan Kelurahan Ketawanggede. Dari ketiga tempat tersebut, jumlah ibu yang mempunyai anak usia prasekolah dan bayi lebih banyak ditemui di Wilayah Kelurahan Ketawanggede. Di wilayah kelurahan tersebut peneliti mendapatkan data melalui wawancara pada 10 orang ibu, 5 diantaranya masih melakukan peran yang kurang baik seperti

suka mencubit, memukul, dan tidak bisa mengendalikan emosi didepan anak. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara pada 14 orang ibu yang memiliki anak usia 3-5 tahun dan bayi. Mereka mengatakan bahwa sejak kehadiran adik dirumah, sang kakak sering memukul, menggigit adik bayi dan mencari perhatian ketika ibu sedang menggendong adiknya. Hal ini menunjukkan tanda-tanda sibling rivalry tingkat berat.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara peran ibu dengan sibling rivalry pada anak prasekolah usia 3-5 tahun di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang.

Bahan dan Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskripsi analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak prasekolah usia 3-5 tahun dan bayi usia 0-1 tahun di Kelurahan Ketawanggede Malang yang berlangsun pada tanggal 7 - 21 Desember 2011. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 57 orang. Karakteristik responden adalah Ibu yang mempunyai anak berusia 3-5 tahun dan bayi 0-1 tahun dan yang tidak bekerja ( Ibu rumah tangga). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner peran ibu dan sibling rivalry.

Tabel 1. Peran Ibu berdasarkan Usia di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang

Peran Ibu

21-30 tahun 30-40 tahun 40-50 tahun

N % N % N %

Baik 14 24.6% 5 8.8% 1 1.8%

(17)

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013 109 Cukup 12 21.1% 13 22.8% 0 0% Kurang 3 8.8% 8 14.0% 1 1.8% Total 29 50.9% 26 45.6% 2 3.5% N = 57

Berdasarkan tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa peran ibu dengan kategori baik sebagian besar dilakukan oleh ibu yang

berusia 21-30 tahun yaitu sebesar 24.6%. Peran ibu dengan kategori kurang dilakukan oleh ibu yang berusia 30-40 tahun yaitu sebesar 14%.

Tabel 2. Peran Ibu berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang

Peran Ibu

SD SMP SMA Perguruan Tinggi

N % N % N % N %

Baik 5 8.8% 3 5.3% 9 15.8% 3 5.3%

Cukup 2 3.5% 9 15.8% 11 19.3% 3 5.3%

Kurang 4 7% 5 8.8% 2 3.5% 1 1.8%

Total 11 19.3% 17 29.8% 22 38.6% 7 12.3%

Berdasarkan tabel 2 diatas dapat disimpulkan bahwa peran ibu dengan kategori cukup sebagian besar dilakukan oleh ibu yang berpendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak

19.3%. Sedangkan peran ibu dengan kategori kurang dilakukan oleh ibu yang berpendidikan terakhir SMP yaitu sebanyak 8.8%.

Tabel 3. Peran Ibu berdasarkan Jumlah Anak Yang Dimiliki di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang Peran Ibu 2 3 4 5 N % N % N % N % Baik 12 21.1% 3 5.3% 3 5.3% 1 1.8% Cukup 19 33.3% 4 7% 2 3.5% 0 0% Kurang 7 12.3% 4 7% 2 3.5% 0 0% Total 38 66.7% 11 19.3% 7 12.3% 1 1.8% N = 57 109

(18)

Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati)

110

Berdasarkan tabel 3 diatas dapat disimpulkan bahwa peran ibu dengan kategori cukup sebagian besar dilakukan oleh ibu yang memiliki jumlah anak 2 yaitu sebanyak 33.3%.

Peran ibu dengan kategori kurang juga dilakukan oleh ibu yang memiliki jumlah anak 2 yaitu sebanyak 12.3%.

Tabel 4. Tingkat Sibling Rivalry berdasarkan Usia Anak Prasekolah di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang

Tingkat Sibling Rivalry 3-4 tahun 4-5 tahun N % N % Ringan 5 8.8% 14 24.6% Sedang 14 24.6% 11 19.3% Berat 8 14% 5 8.8% Total 29 50.9% 26 45.6%

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry tingkat ringan banyak terjadi pada anak usia 4-5 tahun sebanyak 24.6%. Sedangkan sibling rivalry

dengan tingkat sedang dan berat banyak terjadi pada anak usia 3-4 tahun masing-masing

sebanyak 24.6% dan 14

Tabel 5. Tingkat Sibling Rivalry berdasarkan Jenis Kelamin Antar Saudara di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang

Tingkat Sibling Rivalry Laki-Laki dengan laki-laki Perempuan- Laki-laki Perempuan-perempuan N % N % N % Ringan 4 7% 8 14.1% 7 12.3% Sedang 6 10.5% 10 17.6% 9 15.8% Berat 4 7% 3 5.3% 6 10.5% Total 14 24.6% 21 36.8% 22 38.6% N = 57

Berdasarkan tabel 5 disimpulkan bahwa sebagian besar anak yang mengalami

sibling rivalry tingkat ringan dan sedang terjadi pada anak dengan jenis kelamin perempuan

(19)

N % N 8.8% 14 24.6% 14% 29 50.9% Tingkat -N N N % Ringan 4 14.1% 12.3% Sedang 6 10.5% 10 17.6% 9 15.8% Berat 4 5.3% 10.5% Total 14 % 21 36.8% 22 38.6%

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

111 dengan laki-laki masing-masing sebanyak 14.1%

dan 17.6%. Sedangkan anak yang mengalami sibling rivalry tingkat berat banyak terjadi pada

anak dengan jenis kelamin perempuan dengan

perempuan yaitu sebanyak 10.5%.

Tabel 6. Tingkat Sibing Rivalry berdasarkan Jumlah Saudara Yang Dimiliki di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang

Tingkat Sibling Rivalry 1 2 3 4 N % N % N % N % Ringan 11 19.3% 5 8.8% 3 5.3% 0 0% Sedang 19 33.3% 4 7% 1 1.8% 1 1.8% Berat 8 14% 2 3.5% 3 5.3% 0 0% Total 38 66.7% 11 19.3% 7 12.3% 1 1.8%

Berdasarkan tabel 6 diatas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry tingkat

ringan, sedang dan berat banyak terjadi pada anak yang memiliki jumlah saudara 1 masing-masing sebanyak 19.3%,33.3% dan 14%.

Tabel 7. Tingkat Sibling Rivalry Berdasarkan Urutan kelahiran Di Wilayah kelurahan Ketawanggede Malang Tingkat Sibling Rivalry Anak ke-1 dan ke-2 Anak ke-2 dan ke-3

Anak ke-3 dan ke-4

Anak ke-4 dan ke-5 N % N % N % N % Ringan 10 17.5% 6 10.5% 3 5.3% 0 0% Sedang 21 36.8% 2 3.5% 1 1.8% 1 1.8% Berat 8 14% 2 3.5% 3 5.3% 0 0% Total 39 68.4% 10 17.5% 7 12.3% 1 1.8%

Berdasarkan tabel 7 diatas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry dengan

tingkat ringan, sedang dan berat banyak terjadi pada anak dengan urutan kelahiran 1

(20)

Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati)

112

dan 2 masing-masing sebanyak 17.5%, 36.8% dan 14 %

Tabel 8. Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah

Peran Ibu Tingkat Sibling Rivalry Ringan Sedang Berat N % N % N % Baik 14 24.6% 5 8.8% 1 1.8% Cukup 12 21.1% 13 22.8% 0 0% Kurang 3 8.8% 8 14.0% 1 1.8% Total 29 50.9% 26 45.6% 2 3.5%

Berdasarkan tabel 8 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu yang melakukan perannya dengan kategori baik, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry ringan yaitu sebanyak 17.5%. Sementara ibu yang

melakukan perannya dengan kategori cukup, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry sedang sebanyak 26.3%. Sedangkan ibu yang melakukan perannya dengan kategori kurang, sang anak mengalami tingkat sibling rivalry berat sebanyak 10.5%.

Tabel 9. Uji Korelasi Spearman Rho

Variabel Sampel Korelasi (r) Sig.(p)

1 2 57 -0.289 0.03

Dari tabel 9 dapat diketahui bawha hasil uji korelasi Spearman Rho diperoleh nilai koefisien antara variable 1 dan 2 sebesar 0.289 yang berarti peran ibu memiliki hubungan dengan tingkat sibling rivalry. Nilai tersebut

masuk dalam rentang interval koefisien 0.20-0.399 yang menunjukan tingkat hubungan rendah. Arah korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin baik peran ibu maka tingkat sibling rivalry semakin rendah atau ringan.

(21)

Sibling N N N % 14 24.6% 8.8% 1.8% up 12 21.1% 13 22.8% 0% Kurang 3 14.0% 1.8% Total 29 50.9% 26 45.6% 3.5%

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 2 Nomor 2/Agustus 2013

113

Pembahasan

Peran Ibu Terhadap Perkembangan Anak di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang

Dari data penelitian diperoleh bahwa peran ibu dengan kategori baik sebagian besar dilakukan oleh ibu yang berusia 21-30 tahun sebanyak 22.8%. Sedangkan ibu yang berusia 30-40 tahun dan 40-50 tahun yaitu masing-masing sebanyak 10.5% dan 1.8%. Menurut Chomaria (2008), ibu yang berusia lebih muda (21-30 tahun) cenderung menerapkan pola asuh yang demokratis. Pola asuh demokratis ini ditandai dengan sikap terbuka antara ibu dengan anak sehingga dapat terjalin komunikasi yang harmonis. Hal ini mempermudah ibu untuk melaksanakan perannya seperti mudah untuk memberi pengarahan dan nasihat kepada anak. Sementara ibu yang berusia lebih tua lebih memilih cara pengasuhan yang berpusat pada orang tua yang dapat menimbulkan rasa kurang puas pada anak dan merasa dirinya tidak didengar.

Pendidikan terakhir ibu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peran ibu. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu yang melakukan peran dengan kategori baik dan cukup banyak dilakukan oleh ibu yang berpendidikan terakhir SMA masing-masing sebanyak 15.8% dan 19.3%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yulistyowati (2008) bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih mudah menyerap dan menerima informasi mengenai perkembangan anak. Tetapi pada kenyataannya, ada juga ibu dengan pendidikan SD mampu melakukan peran dengan kategori baik. Terlihat dari data penelitian yang menunjukkan bahwa 8.8% ibu yang berpendidikan terakhir SD mampu melakukan peran dengan kategori baik

dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan SMP dan perguruan tinggi masing-masing sebanyak 5.3%. Menurut Hurlock (2005) ibu yang berpendidikan rendah belum tentu pengetahuannya juga rendah. Hal tersebut dikarenakan ibu memperoleh pengetahuan tentang perkembangan anak dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, media massa serta lingkungan. Pendapat yang tidak sesuai dengan hasil penelitian diungkapkan oleh Habibi (2006) bahwa pendidikan ibu yang tinggi atau pengetahuan yang luas akan membuat ibu memahami bagaimana memposisikan diri dalam tahapan perkembangan anak. Pendapat lain yang juga tidak sesuai dikemukakan oleh Hetherington dan Parke (1979) dalam Petranto (2006) yang menyatakan bahwa ibu dengan latar belakang pendidikan tinggi dalam melakukan peran sebagai ibu tampak sering mengikuti kemajuan mengenai perkembangan dalam mendidik anak sedangkan ibu dengan latar belakang pendidikan rendah memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas tentang kebutuhan perkembangan anak.

Jumlah anak yang dimiliki oleh ibu juga menjadi faktor yang mempengaruhi peran ibu. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa 21.1% ibu yang memiliki anak dengan jumlah 2 melakukan peran dengan kategori baik. Ibu yang memiliki anak dengan jumlah 3 dan 4 melakukan peran dengan kategori baik masing-masing sebanyak 5.3%.

Menurut Gichara (2008) jumlah anak yang dimiliki mempengaruhi ibu dalam mengasuh anak. Semakin banyak anak maka perhatian ibu kepada anak semakin berkurang karena ibu bukan saja hanya mengurus satu anak melainkan juga harus mengurus anaknya yang lain. Hurlock

(22)

Hubungan Peran Ibu Dengan Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun (Rinik Eko Kapti, Soemardini, Chika Juni Rachmawati)

114

(2005) juga menyatakan bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak pula permasalahan yang muncul di rumah sehingga menyebabkan peran ibu tidak maksimal. Teori tersebut menunjukkan kesesuaian data hasil penelitian dengan teori Tingkat Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah Di Wilayah Kelurahan ketawanggede Malang

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar anak yang berusia 3-4 tahun mengalami sibling rivalry tingkat sedang dan berat masing-masing sebanyak 24.6% dan 14%. Sedangkan sibling rivalry tingkat ringan banyak terjadi pada usia 4-5 tahun yaitu sebanyak 24.6%.

Data penelitian tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Gottlieb dan Mandelson (1990) dalam Kail (2001) menyatakan bahwa anak yang berusia di bawah 4 tahun menunjukkan adanya regresi tingkah laku akibat kehadiran adik dalam keluarga. Pada usia tersebut anak mengembangkan kemampuan fisik, kognitif dan sosial. Walaupun mereka semakin percaya diri dan menuju pada kemandirian, namun anak membutuhkan bimbingan, ketenangan hati serta pengakuan yang tetap dari orang tua. Tanpa dukungan ini, anak akan menjadi frustrasi dan tidak bersemangat. Anak pada usia tersebut juga cenderung egosentrik dan mereka sering tidak dapat menerima adanya pembagian perhatian dan kasih sayang orang tua (Sawicki dalam binotiana, 2008)

Teori lain yang sesuai dengan hasil penelitian dikemukakan oleh Helm dan tuner (1996) dalam Binotiana (2008) yang menyebutkan bahwa sibling rivalry dapat berkembang apabila rentang usia anak antara 1½ - 3 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia anak saat hadirnya adik akan semakin besar kemungkinan anak tersebut mengalami sibling rivalry.

Sibling rivalry pada anak juga dipengaruhi oleh jenis kelamin antara saudara kandung. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sibling rivalry tingkat berat sebagian besar terjadi pada kakak-adik dengan jenis kelamin perempuan dengan perempuan sebanyak 10.5%. Sedangkan kakak-adik dengan jenis kelamin laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan laki-laki masing-masing sebanyak 7% dan 5.3%. Sesuai dengan pendapat Gichara (2006) yang menyebutkan bahwa sibling rivalry lebih tinggi pada pasangan kakak-adik yang berjenis kelamin sama dibandingkan dengan kakak-adik yang berjenis kelamin berbeda.

Dari hasil penelitian juga dapat diketahui sibling rivalry tingkat sedang dan berat sebagian besar terjadi pada kakak-adik dengan jenis kelamin perempuan dengan perempuan masing-masing sebanyak 15.8% dan 10.5 %. Kemungkinan hal ini disebabkan karena anak perempuan perasaannya lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan hasil beberapa penelitian didapatkan pada anak perempuan, daerah otak yang membantu mengontrol bahasa dan emosi cenderung lebih besar sehingga emosi anak perempuan akan lebih terlihat (Hurlock, 2005).

Namun hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Gichara (2006) bahwa pada kakak-adik dengan jenis kelamin sama, sibling rivalry cenderung tinggi pada pasangan kakak-adik yang berjenis kelamin laki-laki dengan laki-laki. Pernyataan lain yang juga tidak sesuai dengan hasil penelitian dikemukakan oleh Sawicki (1997) bahwa anak laki-laki akan menunjukkan lebih banyak penurunan tingkah laku akibat kehadiran adik dalam keluarga dibandingkan dengan dengan anak perempuan.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar anak yang memiliki jumlah saudara 1 orang mengalami sibling rivalry tingkat sedang dan berat

Gambar

Tabel 1.  Peran Ibu berdasarkan Usia di Wilayah Kelurahan Ketawanggede Malang
Tabel 3. Peran Ibu berdasarkan Jumlah Anak Yang Dimiliki di Wilayah Kelurahan      Ketawanggede Malang  Peran Ibu  2  3  4  5  N  %  N  %  N  %  N  %  Baik  12  21.1%  3  5.3%  3  5.3%  1  1.8%  Cukup  19  33.3%  4  7%  2  3.5%  0  0%  Kurang  7  12.3%  4
Tabel  4.    Tingkat  Sibling  Rivalry  berdasarkan  Usia  Anak  Prasekolah  di  Wilayah  Kelurahan Ketawanggede Malang
Tabel  6.    Tingkat  Sibing  Rivalry  berdasarkan  Jumlah  Saudara  Yang  Dimiliki  di  Wilayah  Kelurahan Ketawanggede Malang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sugiyono (2009) ³kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara member VHSHUDQJNDW SHUWDQ\DDQ DWDX SHUQ\DWDDQ WHUWXOLV NHSDGD UHVSRQGHQ XQWXN

Tingkat kemampuan berfikir abstraksi peserta didik pada suatu kelas berbeda- beda. Berpikir abstrak dalam hal ini adalah suatu kemampuan menemukan cara- cara dalam

Berdasarkan pada analisa pasar dapat disimpulkan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan, mengingat belum adanya pesaing langsung dalam bisnis ini walaupun pesaing

McLeod, Jr., (2001: 15) menyatakan bahwa data terdiri dari fakta- fakta dan angka-angka yang relatif tidak berarti bagi pemakai. Sebagai contoh, jumlah jam kerja pegawai,

Cara kerja dari transportasi berbasis aplikasi online menggunakan teknologi yang mengharuskan pengguna mengunduh program aplikasi yang telah disediakan oleh

Lanjut, bagian kedua berkaitan dengan kenyataan bahwa di satu sisi Buddha tidak memiliki kesalahan dan telah mencapai semua kualitas bajik dan di sisi lain

(3)Pelimpahan kewenangan kepada perawat, bidan atau tenaga lainnya dalam keadaan tertentu dimana pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak terdapat dokter dan dokter gigi di

Banyaknya PBV yang dibawah rata – rata menandakan bahwa banyak perusahaan yang belum baik dalam mengatur jalannya perusahaan karena harga saham perusahaan tersebut