• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA ILMIAH H.A. MUKTI ALI

Disamping menjadi Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Mukti Ali memiliki banyak pengalaman bidang-bidang keagamaan di dalam maupun luar negeri. Mukti Ali dikenal sebagai cendekiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sekitar 32 buku. Diantaranya yang paling popular adalah:

1. Pengantar Ilmu Perbandingan Agama (1959 dan 1987) 2. Pemikiran Keagamaan di dunia Islam (1990)

3. Masalah-masalah Keagamaan Dewasa ini (1977)

4. Mengenal Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) 5. Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979)

6. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Anggota Dewan Penerjemah dan

Penafsir Al-Qur’an)

7. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Anggota Dewan Penerjemah dan

Penafsir Al-Qur’an)

8. Ilmu Perbandingan Agama. Suatu Pembahasan tentang Merthodos dan Sistematika.

30

Selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:

1. Muhammad Iqbal, tentang jatuhnya manusia dari surge dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder

2. “Kebudayaan dalam Pendidikan Nasional” dalam Muhajir, Evolusi strategi kebudayaan

3. “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks

Teologi di Indonesia

4. “Ilmu Perbandingan Agama dan Kerukunan Hidup Antar Umat beragama” dalam Samuel Pardede 70th

DR. TB. Simatupang, saya adalah orang yang beruntung (http://rgstudies.blogspot co

id/2016/08/mukti-ali.html diakses pada 7 Februari 2016 pukul 09:14)

31 BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN H.A. MUKTI ALI A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali

Peran seorang tokoh dalam kancah pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan sangat berarti, ini menandakan bahwa keilmuan secara

dinamis berkembang melalui hasil “ijtihad” para tokoh. Mereka meluangkan

waktu untuk berfikir dan mengartikulasikan gagasan-gagasannya untuk kemudian disosialisasikan. Niatan utama mereka adalah proses kesinambungan pola pikir dan membentengi matinya pengetahuan.

Dan salah seorang tokoh yang telah terbukti melalui tindakannya untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia adalah Mukti Ali. Dengan memangku jabatan Mementrian Agama, tentunya beliau mendapatkan posisi yang strategis untuk mengolah pola pikirnya menjadi sebuah ide yang kemudian diaplikasikan melalui kebijakan-kebijakannya untuk perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Dan berikut adalah penjelasan mengenai konsep pendidikan Islam:

1. Menurut Al-Qur’an Dan Hadis

Tugas manusia yang pertama adalah menjadi hamba Allah yang taat, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Adz-Dzariyat 56, yang artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan

supaya mengabdi (ibadah) kepada-Ku.“ Manusia diperintah untuk

32

Dalam rangka menjalani tugasnya tersebut, Allah telah membekali dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam firman-Nya “Dan Dia

mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)

seluruhnya…”(Q.S. Al-Baqarah: 31). Inilah cikal bakal ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada manusia pertama dari Sang Pemilik Ilmu. Selain kepada nabi Adam AS., Allah SWT juga memberikan hikmah (kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan) kepada para nabi dan rasulnya. Kepada sebagian rasul pula, Allah menurunkan kitab suci sebagai sumber ilmu pengetahuan. Firman Allah:

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami

kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan

kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqoroh:151). Dalam beberapa ayat-Nya pula, Allah telah memberikan tempat yang istimewa kepada muslim yang memiliki ilmu.

Segala sesutu sesungguhnya memiliki dasar dan teori yang kuat, begitupun dengan perincian dasar pendidikan Islam dalam al-Qur’an

tersebut, selain sebagai sumber hukum yang pertama, al-Qur’an juga

33

tidak terbatas pada kaum muslim-muslimin saja, akan tetapi dari kaum non-muslim pun dapat mengambil sedikit pesan dalam al-Qur’an yang

kemudian di praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Mukti Ali dalam buku karangan Damami (1998 231) menjelaskan

bahwa “pendidikan agama yang terpenting bagi keluarga terutama anak -anak adalah mendisiplinkan mereka mendirikan sholat dan dapat membaca al-Qur’an dengan fasih dan memahaminya. Konsep pendidikan menurut Mukti Ali adalah bagaimana seorang pelajar dapat bersikap disiplin terhadap ibadah dan kewajibannya dalam menuntut ilmu. Itu semua dilakukan bukan atas dasar untuk mendapatkan pujian ataupun nilai yang baik, akan tetapi murni dari dalam hati lillahi ta’ala.

Selain al-Qur’an, pendidikan Islam juga berdasarkan pada hadis,

berikut adalah hadis mengenai pendidikan Islam:

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu

dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang

34

musyrik.” Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab: “Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.”(H.R. Abu

Dawud)

Setiap anak dilahirkan atas fitrohnya yaitu suci tanpa dosa, dan apabila anak tersebut menjadi yahudi atau nasrani, dapat dipastikan itu adalah dari orang tuanya. Orang tua harus mengenalkan anaknya tentang sesuatu hal yang baik yang harus dikerjakan dan mana yang buruk yang harus ditinggalkan. Sehingga anak itu bisa tumbuh berkembang dalam pedndidikan yang baik dan benar.

Rasulullah Bersabda:

Hamid bin Abdirrahman berkata, aku mendengar Muawwiyah

berkata, aku mendengar Rasulullah saw Bersabda:” Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik, maka Allah akan memberikan kepadanya pengetahuan dalam Agama, sesungguhnya aku adalah orang yang membagi sementara Allah adalah sang pemberi, umat ini tidak akan pernah berhenti menegakkan perintah Allah, dan tidak akan medhoroti mereka, orang-orang yang menentangnya sampai

datang hari kiamat.” (HR.Bukhori).

Hadis di atas menerangkan kepada kita bahwa kehendak Allah untuk menjadikan kita baik,itu digantungkan dengan kepahaman kita menyangkut agama. Ilmu agama adalah ilmu yang berkaitan dengan akhlak, maka dengan semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap

35

masalah agama maka akan semakin baik pula akhlak dan perilakunya yang puncaknya bisa mengantarkannya menjadi orang yang takut kepada Allah semata. Kalau dewasa ini kita sering melihat seseorang yang dalam pengetahuan agamanya namun dia justeru makin tenggelam dalam kesesatan, itu dikarenakan ia salah dalam mengaplikasikan ilmunya. Dia hanya pandai beretorika namun hampa dari pengamalan. Imam Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata,” Bahwa yang dikatakan orang

Alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, namun yang dinamakan

orang alim adalah orang yang bias mengamalkan ilmunya.” Rasulullah memberikan peringatan kepada kita dengan sabdanya “ barangsiapa

makin tambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia

semakin bertambah jauh dari Allah swt.” Bahkan Allah dengan tegas

mengatakan bahwa yang disebut ulama hanyalah orang yang takut kepadaNya semata, ”Innama Yakhsyallaha min ibaadihil ulama”.

2. Menurut UUD 45

Indonesia adalah negara demokrasi, dimana terdapat banyak keaneragaman suku, bahasa, agama, adat dan sebagainya. Mukti Ali berangkat sebagai Menteri Agama tentu tidak hanya fokus pada perkembangan pendidikan Islam saja, akan tetapi seluruh agama juga bernaung dalam tanggungjawab Menteri Agama.

UUD 45 menjadi dasar negara Indonesia, yang didalamnya

tercantum kalimat “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut mentertibkan kehidupan dunia”. Ini menjadi dasar bahwa UUD 45 sangat

36

mengutamakan pendidikan sebagai pembentuk generasi masa depan yang produktif dan dapat bersaing didunia dan dapat terlibat dalam upaya untuk mentertibkan kehidupan di dunia ini.

Dalam undang-undang No.20 Tahun 2003 menjelaskan tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I mengenai ketentuan umum, menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-undang Pemerintah Republik Indonesia, 2003)

Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional dalam sisdiknas adalah: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

37

Dari pengertian pendidikan, pendidikan nasional, sistem pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan

bahwa ‘pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.

Dari rumusan di atas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

38

Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.

Mukti Ali yang terkenal sebagai salah seorang tokoh pluralis Indonesia juga sependapat dengan Pasal 4 ayat 1 dinyatakan;

”Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta

tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai

keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Jadi pendidikan

yang diselenggarakan di Indonesia ini diselenggarakan secara demokratis tanpa melihat perbedaan yang ada di masyarakat baik perbedaan agama, maupun perbedaan sosial budaya. Dilihat dari segi penyelenggaraannya, pendidikan di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua jalur), yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan di luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Sedangkan jalur pendidikan diluar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajaryang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan

39

keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan (Undang-undang Republik Indonesia, 2003).

Pasal 12 ayat 1 di sebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada

setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang

seagama”. Pasal 12 ayat 1 di atas ternyata menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kalau kita mencermati pasal di atas semua peserta didik berhak mendapatkan pelajaran atau materi pendididkan agama dalam hal ini tak terkecuali agama Islam. Bahkan kalaupun mayoritas peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut minoritas tetap saja harus mendapatkan pendidikan agama yang di ajar oleh guru yang seagama. Akan tetapi pasal ini masih belum sepenuhnya di setujui oleh semua pihak

Contoh lembaga pendidikan yang mayoritas beragama Kristen tentu keberatan bila harus menyediakan guru agama Islam, walaupun dalam lembaga pendidikan tersebut ada siswa yang beragama Islam. Karena misi didirikannya pendidikan itu biasanya untuk kepentingan agamanya. Begitu pula sebaliknya kalau di lembaga pendidikan Islam harus menyediakan pendidikan agama Kristen kerena di lembaga tersebut ada siswa yang beragama Kristen, tentu pihak LPI juga keberatan bila harus menyediakan guru agama Kristen. Tetapi untuk menjaga

40

kerukunan dan kesatuan bangsa, tidak ada pilihan lain masyarakat sebaiknya mentaati ketentuan itu.

Pasal 17 ayat 2, dan pasal 18 ayat 3 “Pendidikan dasar berbentuk

sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah

Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat”. “Pendidikan

menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”.

Dari pasal di atas dapat di ambil pemahaman bahwa pendidikan agama Islam di samping di ajarkan di SD ada tempat/lembaga pendidikan khusus yang banyak mengajarkan tentang agama Islam yaitu MI. Begitu pula tidak hanya di SMP/SMA tetapi pendidikan agama Islam lebih khusus lagi ada pada MTs, dan MA. Ternyata lembaga pendidikan Islam merupakan bagian dari jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dari sistem pendidikan nasional.

Pasal 30 ayat (1) pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memehami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal.

41

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Mengacu pada pasal di atas, pendidikan keagamaan/pendidikan agama Islam dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal seperti di sekolah atau madrasah. Jalur non formal seperti di masjid, surau atau tempat lain yang bisa digunakan untuk menyampaikan pendidikan Islam. Jalur informal seperti anak-anak yang mengaji dirumah dengan orang tuanya.

Istilah Pendidikan keagamaan itu sesungguhnya telah muncul dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud adalah meliputi madrasah, sekolah umum dengan label atau ciri khas agama. Tetapi kini ada hal yang sangat berbeda, karena istilah ini digunakan menyangkut pendidikan yang memiliki tujuan menonjol yang mempersiapkan peserta didik menjadi ahli ilmu agama. Bentuk diniyah dan pesantren yang dibedakan menjadi dua hal yang tidak sama itu kadang kurang selaras, karena dalam pesantren itu sekaligus ada diniyah. Walaupun memang kadang ada diniyah yang didirikan diluar pesantren (Undang-ungang Republik Indonesia, 1989).

42

Diniyah biasanya didirikan oleh masyarakat sehingga memiliki banyak nama yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam perjenjangan juga banyak perbedaan ada diniyah awaliyah/ula/ibtidai. Ada diniyah tsanawiyah/wustha/mutawasithah. Ada

diniyah ulya/’ali/taujihi. Kementerian Agama telah memberikan nama -nama madrasah diniyah tersebut yaitu madrasah diniyah awaliyah

(MDA), madrasah diniyah wustha (MDW) dan madrasah diniyah ’ulya

(MDU). Masalahnya apakah masyarakat bersedia diseragamkan, karena masyarakat sendiri yang mempunyai inisiatif untuk mendirikannya tanpa campur tangan Kementerian Agama, atau kadang memang masyarakat tidak mau dicampuri oleh unsur lain atau karena mungkin masyarakat tidak tahu ketentuan tersebut disebabkan oleh tidak adanya sosialoisasi. Sesungguhnya untuk memudahkan pemberdayaan, memberikan bantuan, administrasi dan lain-lain yang seharusnya memiliki nama yang sama.

Dengan pendidikan keagamaan tersebut sebenarnya bertujuan agar nilai-nilai agama dapat di amalkan oleh peserta didik sehingga tujuan pendidikan yang di selenggarakan di Indonesia dapat terlaksana yaitu dapat mengangkat harkat dan martabat negara Indonesia menjadi negara yang bermartabat. Adapun hal-hal yang secara teknis belum diatur dalam pasal tersebut tentunya akan diatur dengan peraturan pemerintah. 3. Menurut Kearifan Lokal (lingkup pesantren)

Konsep pendidikan Islam Mukti Ali menurut kearifan lokal bisa diartikan sebagai pendidikan di pesantren. Karena pada usia remaja

43

Mukti Ali berada dalam kehidupan pesantren. Memang di pesantren pada umumnya hanya diajarkan pengetahuan agama, namun Mukti Ali juga memperdalam pengetahuan umum.

Menteri Agama setelah Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul

“Pembinaan pendidikan agama” (R.I, tt: 41) menyatakan bahwa dalam

sejarahnya mengenai pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan R.I, pesantren senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah senantiasa setelah kemerdekaan pesantren masih mendapat tempat di hati masyarakat. Ki Hajar Dewantoro selaku tokoh pendidika Nasional dan menteri pendidikan menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, dan semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga diverifikasi program dan kegiatan makin terbuka serta ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Rusli, 1991: 134).

44 B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali

Metode menurut Koentjaraningrat adalah suatu hal yang terdapat dalam aspek keilmuan yang dilekatkan pada masalah sistem, dalam makna metode (Methodos) dapat dipahami sebagai sehubungan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja yang digunakan untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1994: 7).

Dengan kata lain, metode dapat dipahami sebagai suatu upaya yang berkaitan dengan cara kerja sistematis yang bersifat ilmiah untuk mencapai pemahaman. Dalam mempelajari studi agama, Mukti Ali memiliki beberapa metode, diantaranya:

1. Pendekatan sosio-historis

Pendekatan ini merupakan perpaduan antara aspek sosiologi dan sejarah yang melekat di dalam penggunaannya. Dalam hal ini, Mukti Ali melihat aspek sosial pada suatu masyarakat sangat penting untuk digunakan didalam pendekatan studi agama. Selain itu terdapat pula aspek historis yang menjadi bagian lain di dalam pendekatan ini. aspek historis digunakan Mukti Ali untuk melihat suatu fenomena berdasarkan sisi sejarahnya. Hal ini ditempuh guna mencapai pemahaman dalam menganalisa suatu ajaran atau fenomena kepercayaan serta kebudayaan berdasarkan waktu terjadinya.

Berdasarkan penerapannya di dalam studi Islam, bila menggunakan pendekatan sosio-historis ini, Mukti Ali mengatakan di dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Agama Islam tertulis bahwa asbabun

45

nuzul (Al Quran ) adalah sebuah kesatuan yang mutlak bagi sebuah studi Al-Quran untuk dapat memahaminya secara mendalam. (Mukti Ali, 1991: 25).

Menurut Mukti Ali (1990: 323) Selain dalam studi Islam terdahulu, telah terdapat asbabun nuzul (Al-quran) dan asbababul wurud (hadits) yang menurutnya merupakan metode dasar dalam studi Islam. Dalam asbabun nuzul terdapat aspek pemahaman sosio-historis yang melatarbelakangi mengapa suatu ayat tersebut turun. Dalam ilmu tafsir asbabun nuzul merupakan metode untuk memahami bagaimana riwayat suatu ayat Al-Quran turun.

2. Pendekatan Tipologi

Kemudian selain daripada pendekatan yang terdapat diatas, Mukti Ali juga menggunakan pendekatan tipologi. Dalam memahami studi agama, Mukti Ali menawarkan pendektan tipologi ini yang tentunya dapat diterapkan dalam studi Islam yang didalamnya berisikan lima aspek dalam mengidentifikasinya, yaitu:

a. Aspek Ketuhanan

Dalam memahami studi agama, terutama Islam tentunya kita harus terlebih dahulu memahami konsepsi ketuhanannya. Bagaimana sifat ketuhanan dalam Islam kemudian kita bandingkan dengan agama lainnya.

46

Yang kedua dalam memahami studi Islam tentunya dibutuhkan pemahaman mengenai Al-Quran sebagai sumber pedoman dan hukum bagi agama Islam.

c. Aspek Kenabian

Dalam studi Islam dibutuhkan pula pemahaman mengenai sifat Muhammad sebagai Nabi dan menjadi utusan di dalam Agama Islam. Dalam hal ini Mukti Ali mementingkan aspek kenabian ini dalam studi Islam yang dimaksudkan bahwa aspek kenabian ini penting untuk dikaji, namun bukan berarti bahwa agama islam adalah mohammedanisme sebagaimana orang – orang menyamakannya dengan Yesus Kristus, Budhisme yang dibawa Gautama Budha dan Confucianisme yang berasal dari pemikiran Confucius (Mukti Ali, 1991: 49).

d. Aspek Kondisi Kejayaan Nabi

Pada aspek ini dimaknai sebagaimana untuk membandingkan kondisi kejayaan atau turunnya seorang Nabi di suatu agama kemudian dipahami pada agama lain pula.

e. Aspek Orang-orang Terkemuka

Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memahami studi agama, kita perlu melakukan riset terhadap orang orang terkemuka ini yang terdapat didalam agama tertentu. Misalnya di dalam Islam, kita tentunya akan mempelajari bagaimana kepemimpinan pasca Rasulullah wafat yang

47

menghasilkan khulafaur Rasyidin sebagai kajian aspek orang-orang terkemuka tersebut (Mukti Ali, 1991: 37-44).

3. Pendekatan Scientificcum Doctrine

Secara harfiah pendekatan ini terdiri dari dua aspek penting, yaitu

scientific dan doctrine. Scientific memiliki makna bersifat ilmiah dan

doctrine dipahami sebagai suatu ajaran atau doktrin. Dengan kata lain,

Dokumen terkait