I
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT
H.A. MUKTI ALI
SKRIPSI
Diajukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan(S.Pd)
Oleh
AHMAD ZAMRONI
NIM 111-11-169
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
VI MOTTO
Ilmu itu laksana harta karun di dalam sebuah
peti, jika ingin membuka peti dan membuat
sebuah ilmu itu bermanfaat, tak lain tak bukan
adalah dengan kunci, dan kunci tersebuat adalah
amal
Manusia itu bukanlah seperti hewan yang hanya
mengikuti kehidupan, pasrah pada nasib dan
tidak mau mengubah takdir. Tapi kita adalah
manusia, yang diberi akal. Dan kita adalah
VII
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Ayahanda (Supeno), ibunda (Kumakadah), adik ku (Sari dan Yumna) dan semua keluarga
2. Almamaterku IAIN Salatiga
3. Ketua Takmir dan segenap pengurus takmir masjid al-Muhajirin perum Domas Salatiga
4. Kawan-kawan Apel Ijo IAIN Salatiga 5. Sahabat-sahabati PMII Komisariat Salatiga
6. Rekan-rekan kerja beserta pemilik usaha di Wisma Agra
7. Semua kawan dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu
VIII
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan pertolongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa sholawat serta salam penulis haturkan kepangkuan baginda Rasulallah Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya kelak di yaumul qiyamah.
Tanpa bantuan dari berbagai pihak, tentunya skripsi ini tidak akan bisa selesai, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Suwardi, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Siti Ruhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Dra.Sri Suparwi, M.A selaku dosen pembimbing akademik.
5. Mohammad Ali Zamroni M,A. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan dukungan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar sampai selesai
6. Bapak dan Ibu, serta adik-adikku yang memberikan perhatian, kasih sayang, dukungan, semangat dan do’a serta pengorbanan siang dan malam tanpa mengenal lelah
X
ABSTRAK
Zamroni, Ahmad. 2016. Konsep Pendidikan Islam Menurut H.A. Mukti Ali. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam.Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Mohammad Ali Zamroni M,A
Kata Kunci : Konsep Pendidikan Islam, Relevansi.
Arus globalisasi sungguh memberikan dampak ke semua aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam aspek pendidikan. Negara dapat dikatakan maju apabila memiliki sistem pendidikan yang baik. Pendidikan di Indonesia sempat ramai dengan perubahan kurikulum 2013, yang mana menimbulkan banyak perdebatan kepada para tokoh pendidikan yang dinilai bagus, namun lingkup pendidikan di Indonesia belum siap untuk menerapkan dengan berbagai alasan. Kembali ke masa lalu yaitu pada masa Orde Baru, menyimak kembali seorang tokoh Pluralis Indonesia yang juga manjabat sebagai Menteri Agama, yaitu Mukti Ali. Beliau adalah salah satu pemikir pendidikan Islam yang juga menjadi Dosen Kehormatan Perbandingan Agama di IAIN Yoryakarta pada masa itu. Tentu beliau memiliki sudut pandang pendidikan yang berbeda dengan tokoh lainnya.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mencari tahu bagaimana peran Mukti Ali dalam dunia Pendidikan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan penting dalam pembahasan skripsi ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan menurut Mukti Ali. (2) Bagaimana relevansinya terhadap pendidikan di Indonesia. (3) bagaimana implikasi konsep pendidikan Mukti Ali terhadap pendidikan Islam Indonesia.
XI DAFTAR ISI
Sampul ...I Lembar Berlogo ...II Persetujuan Pembimbing ...III Lembar Pengesahan ...IV Surat Pernyataan Keaslian ...V Motto ...VI Halaman Persembahan ...VII Kata pengantar ...VIII Abstrak ...X Daftar Isi ...XI Daftar Lampiran ...XIII
BAB I : Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ...9
C. Tujuan Penelitian ...9
D. Kegunaan Penelitian ...10
E. Penegasan Istilah ...10
F. Metode Penelitian ...11
G. Sistematika Penulisan ...13
BAB II : Biografi Mukti Ali ...16
XII
B. Riwayat Pendidikan Mukti Ali ...18
C. Karier Politik Mukti Ali ...25
D. Karya Ilmiah Mukti Ali ...29
BAB III : Pemikiran Mukti Ali ...31
A. Konsep Pendidikan Mukti Ali ...31
B. Metodologi Studi Islam Mukti Ali ...44
C. Kebijakan Mukti Ali dalam Dunia Pendidikan Islam ...48
BAB IV : Pembahasan ...54
A. Relevansi Konsep Pendidikan Islam Mukti Ali terhadap Pendidikan Islam di Indonesia ...54
B. Relevansi Metodologi Studi Islam Mukti Ali...58
C. Relevansi Kebijakan Mukti Ali ...60
D. Signifikansi Konsep Pendidikan Islam Mukti Ali ...65
E. Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia ………...67
BAB V : Penutup ...72
A. Kesimpulan ...72
B. Saran-saran ...73
XIII
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Pembimbing
Lampiran 2
Lembar Konsultasi
Lampiran 3
Nilai SKK
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi menimbulkan dampak menyeluruh ke dalam aspek kehidupan, termasuk dalam ranah pendidikan, dimana semua negara berkompetisi untuk menghasilkan generasi muda yang unggul dan berprestasi. Pendidikan juga menjadi sebuah potensi utama dari suatu negara, karena dapat dipastikan jika sebuah negara memiliki manajemen pendidikan yang bagus, maka negara tersebut pasti termasuk dalam kategori negara maju.
Menurut Oemar Malik (2011: 3), pendidikan mengajarkan manusia untuk memiliki moral, sebagai pengontrol kehidupanya, terutama ketika mereka hidup bermasyarakat. Karena Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikandiri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara memadai dalam kehidupan masyarakat.
2
sempit, pendidikan adalah suatu proses untuk mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi atau lembaga-lembaga lain.
Siti Meichati (1975: 5) berpendapat “Banyak memang yang berlainan pendapat tentang pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti. Salah satu diantaranya mengatakan bahwa pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya, yaitu suatu cita-cita atau tujuan yang menjadi motif cara suatu bangsa berfikir dan berkelakuan, yang dilangsungkan turun temurun dari
generasi ke generasi”.
Para era globalisasi ini pula terdapat dua dampak yang akan secara otomatis kita terima, seolah menjadi satu paket kemajuan zaman. Dalam sisi positif kita dapat dengan mudah berhubungan dengan teknologi yang menjanjikan kita sebuah informasi instan dan mudah kita cari di internet. Namun dalam sisi negatif dapat menimbulkan sikap ketergantungan terhadap sesuatu yang belum pasti faktanya. Seolah terdoktrin oleh faham-faham sesat yang belum jelas referensinya.
3
dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberikan pengertian mengenai pendidikan, yaitu sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Setiap bangsa tentu akan menyatakan tujuan pendidikannya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang sedang diperjuangkan untuk kemajuan bangsanya. Walaupun masing-masing bangsa memiliki tujuan hidup berbeda, namun secara garis besar, ada beberapa kesamaan dalam berbagai aspeknya. Pendidikan bagi setiap individu merupakan pengaruh dinamis dalam perkembangan jasmani, jiwa, rasa sosial, susila, dan sebagainya.
4
Tetapi, keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling memengaruhi guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan yang diinginkan). (3)Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan pembentukan diri secara utuh. Maksudnya, pengembangan segenap potensi dalam rangka penentuan semua komitmen manusia sebagai individu, sekaligus sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan. (4)Aktivitas pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. (5)Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkannya berkembang.
5
Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang luas. Disebutkan dalam beberapa poin diantaranya adalah (1).Setiap proses perubahan menuju ke arah kemajuan dan perkembangan berdasarkan pada ruh ajaran Islam. (2).Perpaduan antara pendidikan jasmani, akal (intelektual), mental, perasaan (emosi), dan rohani (spiritual). (3).Keseimbangan antara jasmani-rohani, keimanan-ketakwaan, pikir-dzikir, ilmiah-amaliah, material-spiritual, individual-sosial, dan dunia-akherat. (4).Realisasi dwi fungsi manusia, yaitu peribadatan sebagai Hamba Allah (Abdullah) untuk menghambakan diri semata-mata kepada Allah dan fungsi kekhalifahan sebagai khalifah Allah (khalifatullah) yang diberi tugas untuk menguasai, memelihara, memanfaatkan, melestarikan, dan
memakmurkan alam semesta (rahmatallil’alamin) (M.Rokib, 2009:
22).
Namun jika kita melihat realita pendidikan Islam saat ini, sungguh jauh dari kejayaan pada masa lampau. Dimana pendidikan Islam sempat menjadi puncak peradaban pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid. Mampu menjadikan Baghdad sebagai kota pendidikan dunia yang terdapat sebuah perpustakaan yang menjadi referensi pengetahuan dunia pada masa itu.
6
melangkah ke depan dan terus membenahi pendidikan Islam ke arah yang lebih baik. Dengan mempelajari metode-metode pendidikan pada masa lampau, sesungguhnya dapat menjadikan sebuah wacana dan referensi para pemikir pendidikan Islam.
Musthofa Rahman dalam bukunya (2001: 2), memahami
pendidikan Islam, tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata
“pendidikan”. Karena selain sebagai predikat, Islam juga merupakan
subtansi dan subjek penting yang cukup komplek. Karenanya, untuk memahami pendidikan Islam berarti kita harus melihat aspek utama missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi Pedagogis. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah, sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia sempurna. Islam sebagai agama universal telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan bahagia yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan kehidupan manusia.
7
Dalam sebuah pemikirannya, Mukti Ali memberikan perombakan dalam dunia pendidikan Islam, yaitu dengan memprakarsai pendidikan Pesantren, Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyyah serta sekolah agama lainnya untuk bernaung dalam lembaga Departemen Agama. Meskipun sudah masuk dalam lembaga Departemen Agama pada masa itu, akan tetapi terkadang terjadi sebuah perbedaan pendapat, dimana Departemen Agama seolah berdiri sendiri dan bersaing dengan Departemen Pendidikan Nasional. Seolah ada Dualisme Pendidikan di dalam satu negara pada saat itu.
Mukti Ali juga merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, beliau juga penggagas pluralisme di Indonesia. Pluralisme sebenarnya bukan berarti kita mempercayai kepercayaan agama lain, akan tetapi kita menghargai penganut dan mencaricara bagaimana untuk bisa hidup bersama di dalam satu negara Indonesia.
Beliau juga termasuk salah satu tokoh yang sangat mengunggulkan model pendidikan di pesantren. Karena menurutnya sistem weton dan sorogan merupakan sebuah pembelajaran yang efektif. Di pesantren juga sangat diwajibkan kepada semua santri
untuk memiliki sikap tawadhu’ kepada kyai dan para ustadz. Karena
8
Dewasa ini lahirlah sebuah kurikulum baru yang diharapkan dapat merubah wajah pendidikan indonesia, yang sebelumnya terlalu fokus pada materi dan teori belaka, lalu dengan disusunnya kurikulum baru ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi yang utuh antara sikap, keterampilan dan pengetahuan. Kurikulum ini adalah kurikulum 2013.
Sempat menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan Indonesia, dimana terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini menuntut para pengajar untuk lebih kreatif dalam menyampaikan materi, para guru juga harus bisa menjadi teladan atau contoh bagi para muridnya, karena kurikulum 2013 ini juga mendapat sebutan sebagai kurikulum pengembangan karakter.
Sempat dipraktikkan oleh sebagian sekolah-sekolah, namun implikasi kurikulum ini tidak hanya membutuhkan tenaga pengajar yang memahami kurikulum ini saja, akan tetapi juga membutuhkan banyak sarana dan fasilitas penunjang pembelajaran yang harus disediakan pihak sekolah, supaya mudah dalam penyampaiannya. Dan tahun 2015 kemarin kurikulum ini ditarik kembli oleh Menteri Pendidikan karena di nilai banyak sekolah belum mumpuni untuk menerapkannya.
9
berpotensi untuk mengembangkan peserta didik menjadi generasi yang tak hanya pintar masalah pengetahuan, namun juga santun dalam perilaku, seolah menggambarkan karakter Bangsa Indonesia.
Berangkat dari problematika tersebut di atas, penulis
termotivasi untuk mengangkat Skripsi dengan tema “KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT H.A. MUKTI ALI".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep pendidikan Islam menurut H.A. Mukti Ali? 2. Bagaimanakah metodologi studi Islam H.A. Mukti Ali?
3. Bagaimanakah relevansi konsep pendidikan menurut H.A. Mukti Ali?
4. Bagaimanakah implikasi konsep pendidikan Islam menurut H.A Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsep pendidikan Islam menurut H.A. Mukti Ali 2. Mengetahui metodologi studi Islam H.A. Mukti Ali
3. Mengetahui relevansinya terhadap pendidikan di Indonesia saat ini
10 D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu
1. Manfaat Teoritisyang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah menambah wawasan kita mengenai pendidikan Islam dari pemikiran Mukti Ali
2. Manfaat Praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat mendorong para pembaca untuk dapat merelevansikan pemikiran pendidikan Islam Mukti Ali dalam kehidupan sehari-hari.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalah pahaman dan kekaburan dalam penafsiran judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini agar dapat dipahami secara konkrit dan lebih operasional. Adapun batasan istilah tersebut adalah :
1. Konsep
Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstrasikan
dari peristiwa konkrit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998: 205)
2. Pendidikan Islam
11
dan again yang terjemahannya “membimbing”. Dengan demikian
Paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan anak” (Sudirman, 1989:
4).
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang (Tirtaraharjo, 2008: 263).
Islam adalah ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia akhirat (http://duniaislam.org/08/08/2016/pengertian-islam diakses pada 16 Februari 2016 pukul 13:08).
Pendidikan Islam ialah “Segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam” (Achmadi, 1992: 20).
F. Metode Penelitian
Ada tiga model metode penelitian yang akan penulis gunakan dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:
1. Pendekatan Penelitian
Skripsi ini menggunakan pendekatan metode Library
12
objek penelitiannya dicari melalui beragam informasi kepustakaan (buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, koran/artikel majalah, dokumen) dan lain sebagainya.
2. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah studi kepustakaan yakni pengumpulan data-data dengan cara mempelajari, mengutip teori-teori dan konsep-konsep dari sejumlah literatur, baik buku, artikel ataupun karya tulis lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Dengan data primernya adalah buku yang berjudul Lima tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ditulis oleh Muhammad Damami dan buku yang
berjudul “Beberapa persoalan Agama Dewasa Ini” karya Mukti
Aliserta data sekundernya adalah buku-buku yang relevan dengan bahan penelitian, misalnya Ilmu Pendidikan, Modernisasi politik keagamaan masa orde baru, ilmu perbandingan agama di Indonesia dan masih banyak buku lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam menganalisi data yang telah dikumpulkan menggunakan beberapa metode, antara lain:
13
Pada bab II penulis membahas tentang konsep pendidikan Islam yang secara umum kemudian penulis khususkan lagi pada nilai-nilai pendidikan Islam menurut Mukti Ali
b. Metode Induktif. Berpikir induktif berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta/peristiwa khusus itu ditarik ke faktayang bersifat umum (Sutrisno,2002:42). Metode induktif digunakan untuk menganalisis pada bab III tentang permasalahan yang akan diteliti yaitu analisis masalah yang bersifat khusus, kemudian diarahkan pada penarikan kesimpulan yang bersifat umum. Pada bab III penulis membahas tentang konseppendidikan Islam menurut Mukti Ali kemudian penulis menyimpulkan bahwa konsep pendidikan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi skripsi ini secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini ke dalam beberapa bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan
14 D. Kegunaan Penelitian E. Penegasan Istilah F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan BAB II : Biografi H.A. Mukti Ali
A. Silsilah Keluarga H.A. Mukti Ali B. Riwayat Pendidikan H.A. Mukti Ali C. Karier Politik H.A. Mukti Ali D. Karya-karya H.A. Mukti Ali
BAB III : Deskripsi Pemikiran H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan
A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
C. Kebijakan H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan Islam
BAB IV : Relevansi Pemikiran H.A. Mukti Ali Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
A. Relevansi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali B. Relevansi Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali C. Relevansi Kebijakan H.A. Mukti Ali dalam Bidang
Pendidikan Islam
15
E. Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
16 BAB II
BIOGRAFI H.A. MUKTI ALI A. SILSILAH KELUARGA H.A. MUKTI ALI
Di ujung timur dataran tinggi kapur utara yang tandus, ada sebuah kota kecil yang bernama Cepu. Kota yang ditengahnya membentang sungai Bengawan Solo ini menjadi pembatas bagian tengah dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama masa pemerintahan colonial, setidaknya hingga awal abad ke-20, Cepu pernah terkenal karena lading minyaknya yang banyak dan produktif. Meskipun dewasa ini pemerintah masih mengelola beberapa sumur minyak yang masih bisa ditemukan di sana-sini, tingkat produktifitasnya sangat rendah. Tak heran, banyak lading minyak yang terlantar dan akhirnya dikelola penduduk setempat secara kecil-kecilan. Membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan darat kea rah barat dari Surabaya, atau sekitar 30 menit kea rah timur dari kota Blora, Cepu menandai suatu titik wilayah areal hutan jati yang luas, kering, disekellingi sawah-sawah tanpa pengairan (Muhanif, 1998: 271)
Abdul Mukti Ali lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada 23 Agustus 1923. Meninggal di Yogyakarta, 5 Mei 2004 pada umur 80 tahun. Adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada
Kabinet Pembangunan Jilid II. Ia juga terkenal sebagai ulama’ ahli
17
beragama di Indonesia sesuai dengan sikap Bhineka Tunggal Ika atau
istilah yang sering dipakai “setuju dalam perbedaan”. Ia juga terkenal
sebagai cendekiawan muslim yang menonjol sebagai pembaharu pemikiran Islam(https:id.m.wikipedia.org/wiki/Mukti_Ali?.html diakses pada 23 Maret 2016)
Dengan nama kecil Boedjono, iaadalah anak kelima dari tujuh saudara. Ayahnya Idris atau Haji Abu Ali, nama yang digunakan setelah menunaikan haji, adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses. Ia dikenal sebagai orang tua santri yang saleh dan dermawan, khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan di kota Cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri, merupakan tradisi yang turun temurun telah diwarisi keluarga Mukti Ali (Munhanif, 1998: 272)
18
Sementara itu, keluarga H. Abu Ali semuanya asli Cepu (Damami, 1998: 221-222)
Melihat sejenak kehidupan beliau, Mukti Ali adalah tokoh yang mengalami masa kehidupan pra-kemerdekaan Republik Indonesia, sampai masa Reformasi. Sungguh cendekiawan Islam yang hidup pada zaman yang lengkap. Sempat menjadi Menteri Agama, memberikan pengalaman yang mumpuni untuk melakukan pembeharuan pendidikan Islam, terutama pola piker mengenai agama. Yang memang tugas dari Menteri Agama bukan hanya mengayomi agama Islam saja, akan tetapi, peran Mukti Ali dalam keagamaan sangatlah vital, dimana beliau sangat setuju dengan pluralisme dan menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Sungguh pemahaman yang dewasa jika kita melihat sudut pandang bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
B. RIWAYAT PENDIDIKAN H.A. MUKTI ALI
Meskipun tingkat pendidikan Abu Ali sangat rendah, diperolehnya hanya dari mengaji kitab di Pesantren di Cepu, ia adalah orang tua yang keras menyuruh anaknya untuk sekolah. Abu Ali mendatangkan ngaji untuk anak-anaknya ke rumah mengajarkan
al-Qur’an dan ibadah. Disinilah, Boedjono memperlihatkan sikap yang
19
menjadi HIS. Pada usia yang sama, ia juga terdaftar sebagai siswa Madrasah Diniyyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung siang hari. Di kedua sekolah ini, Boedjono dikenal sebagai seorang siswa yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya waktu itu, selain ia memperlihatkan nilai mata pelajaran yang gemilang, Boedjono juga dipandang sebagai anak dari sebuah keluarga kaya yang bersikap biasa saja.
Delapan tahun kemudian, Boedjono menamatkan sekolah HIS dan mendapatkan sertifikast pegawai pemerintah Belanda (Klein
Ambtenar) di Cepu. Pada pertengahan 1940, Boedjono laludikirim
ayahnya belajar di pondok pesantren Termas, Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya. Tidak jelas mengapa Abu Ali lebih mengutamakan memasukkan anaknya ke pondok dari pada meneruskannya ke sekolah Belanda (Munhanif, 1998: 273)
Pondok pesantren Termas didirikan oleh seorang ulama’
bernama K.H. Abdul Manan (1830-1862). Pondok ini terletak jauh di pelosok desa, yang ketika itu sukar sekali dicapai dengan kendaraan bendi sekalipun. Umumnya untuk sampai ke pondok pesantren itu harus berjalan kaki beberapa lama. Sejak tahun 1930-an, bahkan sebelumnya, pondok pesantren tersebut sudah sangat popular, sebanding dengan popularitas pondok pesantren Lasem di bawah
pimpinan K.H. Ma’sum (ayah K.H. Ali Ma’sum) dan K.H. Cholil,
20
dan pondok pesantren Pademangan Bangkalan, Madura, dibawah pimpinan K.H. Moh. Cholil. Pondok pesantren Termas terkenal dengan ilmu alatnya. Di sini kitab-kitab ahlul bait pondok pesantren ini adalah karena keberhasilan salah seorang putra K.H. Abdul Manan, bernama Muhammad Mahfudh. Menjadi putra Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram, Mekkah, dengan sebutan Syaikh Mahmudh al-Turmusi. Syaikh ini juga telah berhasil menampilkan diri sebagai pengarang berbagai kitab yang menjadi acuan dibebrapa Negara Arab dan pesantren-pesantren di Nusantara. Dengan begitu popularitas pondok pesantren Termas semakin meluas. Di pondok pesantren seperti inilah, Boedjono mulai belajar mengaji (Damami, 1998: 226-227)
21
kemudian hari bisa mengapresiasi khazanah intelektual Islam klasik dn akhirnya membentuk luasnya pandangan keagamaan. Tetapi, pesantren Termas bukan satu-satunya tempat pendidikan agamanya. Beberapa pesantren lain turut membentuk wawasan kegamaannya adalah Tebuireng, Rembang (yang secara khusus mengajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), Pesantren Lasem dan Padnangan, Jawa Timur. Boedjono melewatkan belajarnya di pesantren-pesantren itu biasanya dalam bentuk mondok beberapa bulan, yang diadakan pada bulan Ramadhan dan Syawal (Muhannif, 1998: 274)
Selama nyantri di pondok Termas itu ada beberapa peristiwa yang dirasakannya tidak dapat terhapus selama hidupnya. Peristiwa yang dimaksud antara lain soal penggantian namanya. Suatu saat, salah seorang kyai di Termas, yaitu Kyai Abdul Hamid Pasuruan, yang nama kecilnya sebelum menjadi kyai adalah Abdul Mukti, berbincang-bincang dengan Boedjono, dan waktu itu Kyai tersebut menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan Abdul Mukti. Perintah penggantian nama itu oleh Boedjono dirasakan sebagai suatu kehormatan, sekaligus tantangan dan tanggungjawab moral untuk
menjaga “nama” tersebut. Sejak itulah, dia mengubah namanya
menjadi Abdul Mukti Ali, nama “Abdul Mukti” diambilnya untuk
memenuhi perintah gurunya dan nama “Ali” diambil dari potongan
22
Peristiwa yang kedua berkaitan dengan keputusannya untuk mengubur keinginannya aktif di perkumpulan tarekat. Tampaknya keluarga Mukti Ali yang mempunyai tradisi keagamaan yang dekat-dekat dengan tasawuf (ayahnya dan kakak tertuanya adalah pengikut
jama’ah tarekat Qoddariyah di Cepu) berpengaruh padanya untuk ikut
aktif di pengajian tarekat Naqsabandiyyah, yang dipimpin K.H. Hamid Dimyati, di pondok Termas. Setelah sekian lama mengamalkan ajaran tarekat itu, Kyai Dimyati tiba-tiba menasehatkan agar Mukti Ali meninggalkan amalan kegiatan tarekat (Muhannif, 1998: 275)
Sesungguhnya ada hal lain yang mengesankan Abdul Mukti Ali adalah hubungannya dengan K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan K.H. Hamid Dimyati. Ketika itu Abdul Mukti Ali ingin sekali menjadi hafidh (penghafal) al-Qur’an. Sudah biasa dia menamatkan al-Qur’an yang tiga puluh juz itu hanya dalam jangka waktu 6 sampai 7 jam. Tetapi K.H. Abdul Hamid melarangnya. Kyai itu menasehatkan agar Abdul Mukti Ali menjadikan al-Qur’an sebagai wiridannya, bukan harus dihafalkannya. Maksud wiridan di sini adalah keharusan membacanya secara rutin, terus menerus dan ajeg, walaupun sedikit,
Nabi memang pernah bersabda: “Para sahabat bertanya kepada Nabi:
“Amal apa yang disukai Allah? Nabi menjawab: Amal yang ajeg
walaupun kadarnya sedikit”. Nasehat K.H. Hamid Pasuruan, yang
23
setelah salat Maghrib. Seluruh anggota keluarganya (Isteri, anak dan menantu) setiap lepas salat maghrib diajarinya membaca al-Qur’an dengan betul, dijelaskan arti dan tafsirannya kalau dirasakan perlu dan sebagainya, rutin tiap hari. Kebiasaan membaca al-Qur’an setelah salat maghrib ini dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarganya. Membaca al-Qur’an ini sampai sekarang tetap dijadikan wiridannya, termasuk menjadi wiridan istri, anak dan menantunya, bahkan insya Allah sampai anak cucunya (Damami, 1998: 230)
Setelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri. Ia memutuskan Fakulas Agama sebagai pilihannya. Dan di STI inilah yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (http:www.academia.edu:Mengubah_dan Membentuk_IAIN:Profil_Mukti_Ali diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:41)
24
terjadinya pertempuran antara pada tahun 1949. Jiwa patriotismenya terpanggil untuk ikut terjun dalam medan pertempuran sebagai anggota pasukan tentara Angkatan Perang Sabil (APS) di bawah pimpinan K. H. Abdurrahman dari Kedungbanteng
Setelah kedaulatan negara Republik Indonesia kembali diakui, Mukti Ali menerimana tawaran orang tuanya untuk naik haji dengan syarat beliau diizinkan untuk tinggal belajar di Mekkah dan Madinah.Tiba di Mekkah tahun 1950, namun karena kondisi masyarakat Mekkah pada saat itu dari segi pendidikan tidak lebih baik dari umumnya masyarakat Indonesia. Beliau memutuskan untuk hijrah ke negara lain. Atas saran H. Imron Rosyadi, SH. Konsul Haji Indonesia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari belajar di Mekkah karena situasi politik yang ditimbulkan oleh kerasnya gerakan Wahabi di Arab. Mukti Ali lantas mempertimbangkan untuk ke Mesir.
25
untuk meneruskan studinya ke McGill Universitas Montreal, Kanada tahun 1955.
Di Universitas McGill, beliau mengambil spesialisasi ilmu perbandingan agama. Pemahaman beliau tentang Islam berubah secara fundamental. Perkenalannya dengan metode studi agama-agama dan professor- professor studi Islam, khususnya Wilfred Cantwell Smith adalah awal dari semua itu.
Beberapa tahun setelah kembalinya ke Indonesia, beliau bergumul dalam wilayah pendidikan dengan merintis dan memperkenalkan disipilin ilmu perbandingan agama hingga berhasil menjadikannya sebagai jurusan baru dikalangan mahasiswa IAIN; Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960. Dan pada tahun 1971 beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama menggantikan K. H. Muhammad Dachlan; tokoh NU, yang belum habis masa jabatannya. (
http://dorokabuju.blogspot.co.id/2016/08/mukti-ali-ijtihad-dan-pembaharuannya.html diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:47)
C. KARIER POLITIK H.A. MUKTI ALI
26
(PTAIN), di Yogyakarta, yang keduanya kemudian menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Ini semua berkat pertemuannya dengan K.H. Faqih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai Menteri Agama, lalu ditugasi memimpin Biro Administrasi Departemen (Munhanif, 1998: 284-285)
Sejak awal mengajar di IAIN, Mukti Ali sendiri memilih mengajarkan Ilmu Perbandingan Agama. Bagi masyarakat muslim di Indonesia hingga tahun 1950an, mempelajari ilmu ini adalah suatu fenomena baru, bahkan dilingkungan masyarakat yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi sekalipun. Sehingga tugas utama bukan sekedar mengajarkan suatu disiplin, tetapi sekaligus memperkenalkannya.
Pada awal 1963, ia mulai menetap di Yogyakarta, karena minatnya pada dunia akademik ini pula, dia berjumpa, berkenalan dan merelakan rumahnya dijadikan tempat berkumpul bagi sekelompok anak muda dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ingin membawa angin segar dalam pemikiran keagamaan Islam.
Anak-anak muda itu menobatkan Mukti Ali sebagai “Bapak
Pelindung” bagi gerakan mereka yang kelak pada awal tahun 1971
27
Anwar dan Syu’bah Asa. Merka mengundang Nurcholis Majid,
Utomo Dananjaya atau WS. Rendra, tak jarang pula orang-orang non-Muslim untuk berdiskusi di rumah Mukti Ali (Ahmad Wahid, 1983: 37)
Pergumulan di dunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain di lingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi Menteri Agama, Ia adalah dosen di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Di lembaga pendidikan agama tinggi itu ia pernah memangku jabatan Pembantu Rektor III bidang urusan public tahun 1964, dari situ ia dipercaya menjabat sebagai Menteri pada Oktober 1971 (Muhanif, 1998: 286)
Ketika Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama, terdapat beberapa masalah dalam lingkup kenegaraan, diantara permasalahan tersebut adalah
1. Pembangunan atau konsep pemangunan
Selama ini, apa yang disebut pembangunan itu sering dipahami dengan pembangunan ekonomi saja. Kalau hal itu yang terjadi, maka hal itu akan mengulangi kesalahan pembangunan di Barat yang akhirnya berdampak negatif terhadap kehidupan orang Barat sendiri. Misalnya saja, banyak orang Barat yang merasa teralienasi oleh kemajuan yang mereka capai secara ekonomis yang di dukung oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
28
Sebenarnya usaha untuk menuju kerukunan ini sudah dirintis pada zaman K.H.M. Dachlan saat menjadi Menteri Agama. Waktu itu dipertemukan para tokoh agama untuk membicarakan kemungkinan menciptakan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Kalangan tokoh Islam merasa keberatan terhadap kemungkinan penyebaran agama di tengah orang yang telah Islam, sedangkan dari kalangan Protestan dan Katholik merasa bahwa menyebarkan agama itu merupakan panggilan agamanya, karena agamanya memang mengajarkan demikian. Akhirnya pendapat merek tidak bisa bertemu. Singkatnya, macetlah usaha itu.
Apa yang telah di rintis Menteri Agama sebelumnya ini telah dilanjutkan oleh Mukti Ali, namun dengan warna pertemuan yang berbeda, kalau dahulu yang di undang adalah tokoh-tokoh agama, sekarang yang dianjurkan berdialog adalah para ahli agama (akademisi di perguruan tinggi, semacam IAIN, Seminari, Sekolah Tinggi Teologi dan semacamnya).
3. Masalah Intern umat Islam, yaitu Pendidikan Islam
29
kekayaan ilmu pengetahuan umum para siswa relatif tidak mencukupi untuk ikut ujian saringan masuk fakultas-fakultas umum tersebut (Damami, 1998: 269-262)
D. KARYA ILMIAH H.A. MUKTI ALI
Disamping menjadi Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Mukti Ali memiliki banyak pengalaman bidang-bidang keagamaan di dalam maupun luar negeri. Mukti Ali dikenal sebagai cendekiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sekitar 32 buku. Diantaranya yang paling popular adalah:
1. Pengantar Ilmu Perbandingan Agama (1959 dan 1987) 2. Pemikiran Keagamaan di dunia Islam (1990)
3. Masalah-masalah Keagamaan Dewasa ini (1977)
4. Mengenal Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) 5. Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979)
6. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Anggota Dewan Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an)
7. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Anggota Dewan Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an)
30
Selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
1. Muhammad Iqbal, tentang jatuhnya manusia dari surge dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder
2. “Kebudayaan dalam Pendidikan Nasional” dalam Muhajir, Evolusi strategi kebudayaan
3. “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia
4. “Ilmu Perbandingan Agama dan Kerukunan Hidup Antar Umat
beragama” dalam Samuel Pardede 70th
DR. TB. Simatupang, saya adalah orang yang beruntung (http://rgstudies.blogspot co
id/2016/08/mukti-ali.html diakses pada 7 Februari 2016 pukul
31 BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN H.A. MUKTI ALI A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
Peran seorang tokoh dalam kancah pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan sangat berarti, ini menandakan bahwa keilmuan secara
dinamis berkembang melalui hasil “ijtihad” para tokoh. Mereka meluangkan
waktu untuk berfikir dan mengartikulasikan gagasan-gagasannya untuk kemudian disosialisasikan. Niatan utama mereka adalah proses kesinambungan pola pikir dan membentengi matinya pengetahuan.
Dan salah seorang tokoh yang telah terbukti melalui tindakannya untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia adalah Mukti Ali. Dengan memangku jabatan Mementrian Agama, tentunya beliau mendapatkan posisi yang strategis untuk mengolah pola pikirnya menjadi sebuah ide yang kemudian diaplikasikan melalui kebijakan-kebijakannya untuk perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Dan berikut adalah penjelasan mengenai konsep pendidikan Islam:
1. Menurut Al-Qur’an Dan Hadis
Tugas manusia yang pertama adalah menjadi hamba Allah yang taat, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Adz-Dzariyat 56, yang artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mengabdi (ibadah) kepada-Ku.“ Manusia diperintah untuk
32
Dalam rangka menjalani tugasnya tersebut, Allah telah membekali dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam firman-Nya “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya…”(Q.S. Al-Baqarah: 31). Inilah cikal bakal ilmu pengetahuan
yang diajarkan kepada manusia pertama dari Sang Pemilik Ilmu. Selain kepada nabi Adam AS., Allah SWT juga memberikan hikmah (kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan) kepada para nabi dan rasulnya. Kepada sebagian rasul pula, Allah menurunkan kitab suci sebagai sumber ilmu pengetahuan. Firman Allah:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqoroh:151).
Dalam beberapa ayat-Nya pula, Allah telah memberikan tempat yang istimewa kepada muslim yang memiliki ilmu.
33
tidak terbatas pada kaum muslim-muslimin saja, akan tetapi dari kaum non-muslim pun dapat mengambil sedikit pesan dalam al-Qur’an yang kemudian di praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mukti Ali dalam buku karangan Damami (1998 231) menjelaskan
bahwa “pendidikan agama yang terpenting bagi keluarga terutama anak
-anak adalah mendisiplinkan mereka mendirikan sholat dan dapat membaca al-Qur’an dengan fasih dan memahaminya. Konsep pendidikan menurut Mukti Ali adalah bagaimana seorang pelajar dapat bersikap disiplin terhadap ibadah dan kewajibannya dalam menuntut ilmu. Itu semua dilakukan bukan atas dasar untuk mendapatkan pujian ataupun nilai yang baik, akan tetapi murni dari dalam hati lillahi ta’ala.
Selain al-Qur’an, pendidikan Islam juga berdasarkan pada hadis, berikut adalah hadis mengenai pendidikan Islam:
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang
34
musyrik.” Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana
pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab:
“Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.”(H.R. Abu
Dawud)
Setiap anak dilahirkan atas fitrohnya yaitu suci tanpa dosa, dan apabila anak tersebut menjadi yahudi atau nasrani, dapat dipastikan itu adalah dari orang tuanya. Orang tua harus mengenalkan anaknya tentang sesuatu hal yang baik yang harus dikerjakan dan mana yang buruk yang harus ditinggalkan. Sehingga anak itu bisa tumbuh berkembang dalam pedndidikan yang baik dan benar.
Rasulullah Bersabda:
“Hamid bin Abdirrahman berkata, aku mendengar Muawwiyah
berkata, aku mendengar Rasulullah saw Bersabda:” Barangsiapa yang
dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik, maka Allah akan
memberikan kepadanya pengetahuan dalam Agama, sesungguhnya aku
adalah orang yang membagi sementara Allah adalah sang pemberi,
umat ini tidak akan pernah berhenti menegakkan perintah Allah, dan
tidak akan medhoroti mereka, orang-orang yang menentangnya sampai
datang hari kiamat.” (HR.Bukhori).
35
masalah agama maka akan semakin baik pula akhlak dan perilakunya yang puncaknya bisa mengantarkannya menjadi orang yang takut kepada Allah semata. Kalau dewasa ini kita sering melihat seseorang yang dalam pengetahuan agamanya namun dia justeru makin tenggelam dalam kesesatan, itu dikarenakan ia salah dalam mengaplikasikan ilmunya. Dia hanya pandai beretorika namun hampa dari pengamalan. Imam Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata,” Bahwa yang dikatakan orang Alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, namun yang dinamakan
orang alim adalah orang yang bias mengamalkan ilmunya.” Rasulullah
memberikan peringatan kepada kita dengan sabdanya “ barangsiapa
makin tambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia
semakin bertambah jauh dari Allah swt.” Bahkan Allah dengan tegas
mengatakan bahwa yang disebut ulama hanyalah orang yang takut kepadaNya semata, ”Innama Yakhsyallaha min ibaadihil ulama”.
2. Menurut UUD 45
Indonesia adalah negara demokrasi, dimana terdapat banyak keaneragaman suku, bahasa, agama, adat dan sebagainya. Mukti Ali berangkat sebagai Menteri Agama tentu tidak hanya fokus pada perkembangan pendidikan Islam saja, akan tetapi seluruh agama juga bernaung dalam tanggungjawab Menteri Agama.
UUD 45 menjadi dasar negara Indonesia, yang didalamnya
tercantum kalimat “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
36
mengutamakan pendidikan sebagai pembentuk generasi masa depan yang produktif dan dapat bersaing didunia dan dapat terlibat dalam upaya untuk mentertibkan kehidupan di dunia ini.
Dalam undang-undang No.20 Tahun 2003 menjelaskan tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I mengenai ketentuan umum, menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-undang Pemerintah Republik Indonesia, 2003)
Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
37
Dari pengertian pendidikan, pendidikan nasional, sistem pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan
bahwa ‘pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.
38
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Mukti Ali yang terkenal sebagai salah seorang tokoh pluralis Indonesia juga sependapat dengan Pasal 4 ayat 1 dinyatakan;
”Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Jadi pendidikan
39
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan (Undang-undang Republik Indonesia, 2003).
Pasal 12 ayat 1 di sebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama”. Pasal 12 ayat 1 di atas ternyata menegaskan bahwa
penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kalau kita mencermati pasal di atas semua peserta didik berhak mendapatkan pelajaran atau materi pendididkan agama dalam hal ini tak terkecuali agama Islam. Bahkan kalaupun mayoritas peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut minoritas tetap saja harus mendapatkan pendidikan agama yang di ajar oleh guru yang seagama. Akan tetapi pasal ini masih belum sepenuhnya di setujui oleh semua pihak
40
kerukunan dan kesatuan bangsa, tidak ada pilihan lain masyarakat sebaiknya mentaati ketentuan itu.
Pasal 17 ayat 2, dan pasal 18 ayat 3 “Pendidikan dasar berbentuk
sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat”. “Pendidikan
menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”.
Dari pasal di atas dapat di ambil pemahaman bahwa pendidikan agama Islam di samping di ajarkan di SD ada tempat/lembaga pendidikan khusus yang banyak mengajarkan tentang agama Islam yaitu MI. Begitu pula tidak hanya di SMP/SMA tetapi pendidikan agama Islam lebih khusus lagi ada pada MTs, dan MA. Ternyata lembaga pendidikan Islam merupakan bagian dari jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dari sistem pendidikan nasional.
41
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Mengacu pada pasal di atas, pendidikan keagamaan/pendidikan agama Islam dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal seperti di sekolah atau madrasah. Jalur non formal seperti di masjid, surau atau tempat lain yang bisa digunakan untuk menyampaikan pendidikan Islam. Jalur informal seperti anak-anak yang mengaji dirumah dengan orang tuanya.
42
Diniyah biasanya didirikan oleh masyarakat sehingga memiliki banyak nama yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam perjenjangan juga banyak perbedaan ada diniyah awaliyah/ula/ibtidai. Ada diniyah tsanawiyah/wustha/mutawasithah. Ada
diniyah ulya/’ali/taujihi. Kementerian Agama telah memberikan nama
-nama madrasah diniyah tersebut yaitu madrasah diniyah awaliyah
(MDA), madrasah diniyah wustha (MDW) dan madrasah diniyah ’ulya
(MDU). Masalahnya apakah masyarakat bersedia diseragamkan, karena masyarakat sendiri yang mempunyai inisiatif untuk mendirikannya tanpa campur tangan Kementerian Agama, atau kadang memang masyarakat tidak mau dicampuri oleh unsur lain atau karena mungkin masyarakat tidak tahu ketentuan tersebut disebabkan oleh tidak adanya sosialoisasi. Sesungguhnya untuk memudahkan pemberdayaan, memberikan bantuan, administrasi dan lain-lain yang seharusnya memiliki nama yang sama.
Dengan pendidikan keagamaan tersebut sebenarnya bertujuan agar nilai-nilai agama dapat di amalkan oleh peserta didik sehingga tujuan pendidikan yang di selenggarakan di Indonesia dapat terlaksana yaitu dapat mengangkat harkat dan martabat negara Indonesia menjadi negara yang bermartabat. Adapun hal-hal yang secara teknis belum diatur dalam pasal tersebut tentunya akan diatur dengan peraturan pemerintah. 3. Menurut Kearifan Lokal (lingkup pesantren)
43
Mukti Ali berada dalam kehidupan pesantren. Memang di pesantren pada umumnya hanya diajarkan pengetahuan agama, namun Mukti Ali juga memperdalam pengetahuan umum.
Menteri Agama setelah Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul
“Pembinaan pendidikan agama” (R.I, tt: 41) menyatakan bahwa dalam
sejarahnya mengenai pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan R.I, pesantren senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah senantiasa setelah kemerdekaan pesantren masih mendapat tempat di hati masyarakat. Ki Hajar Dewantoro selaku tokoh pendidika Nasional dan menteri pendidikan menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
44 B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
Metode menurut Koentjaraningrat adalah suatu hal yang terdapat dalam aspek keilmuan yang dilekatkan pada masalah sistem, dalam makna metode (Methodos) dapat dipahami sebagai sehubungan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja yang digunakan untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1994: 7).
Dengan kata lain, metode dapat dipahami sebagai suatu upaya yang berkaitan dengan cara kerja sistematis yang bersifat ilmiah untuk mencapai pemahaman. Dalam mempelajari studi agama, Mukti Ali memiliki beberapa metode, diantaranya:
1. Pendekatan sosio-historis
Pendekatan ini merupakan perpaduan antara aspek sosiologi dan sejarah yang melekat di dalam penggunaannya. Dalam hal ini, Mukti Ali melihat aspek sosial pada suatu masyarakat sangat penting untuk digunakan didalam pendekatan studi agama. Selain itu terdapat pula aspek historis yang menjadi bagian lain di dalam pendekatan ini. aspek historis digunakan Mukti Ali untuk melihat suatu fenomena berdasarkan sisi sejarahnya. Hal ini ditempuh guna mencapai pemahaman dalam menganalisa suatu ajaran atau fenomena kepercayaan serta kebudayaan berdasarkan waktu terjadinya.
45
nuzul (Al Quran ) adalah sebuah kesatuan yang mutlak bagi sebuah studi Al-Quran untuk dapat memahaminya secara mendalam. (Mukti Ali, 1991: 25).
Menurut Mukti Ali (1990: 323) Selain dalam studi Islam terdahulu, telah terdapat asbabun nuzul (Al-quran) dan asbababul wurud (hadits) yang menurutnya merupakan metode dasar dalam studi Islam. Dalam asbabun nuzul terdapat aspek pemahaman sosio-historis yang melatarbelakangi mengapa suatu ayat tersebut turun. Dalam ilmu tafsir asbabun nuzul merupakan metode untuk memahami bagaimana riwayat suatu ayat Al-Quran turun.
2. Pendekatan Tipologi
Kemudian selain daripada pendekatan yang terdapat diatas, Mukti Ali juga menggunakan pendekatan tipologi. Dalam memahami studi agama, Mukti Ali menawarkan pendektan tipologi ini yang tentunya dapat diterapkan dalam studi Islam yang didalamnya berisikan lima aspek dalam mengidentifikasinya, yaitu:
a. Aspek Ketuhanan
Dalam memahami studi agama, terutama Islam tentunya kita harus terlebih dahulu memahami konsepsi ketuhanannya. Bagaimana sifat ketuhanan dalam Islam kemudian kita bandingkan dengan agama lainnya.
46
Yang kedua dalam memahami studi Islam tentunya dibutuhkan pemahaman mengenai Al-Quran sebagai sumber pedoman dan hukum bagi agama Islam.
c. Aspek Kenabian
Dalam studi Islam dibutuhkan pula pemahaman mengenai sifat Muhammad sebagai Nabi dan menjadi utusan di dalam Agama Islam. Dalam hal ini Mukti Ali mementingkan aspek kenabian ini dalam studi Islam yang dimaksudkan bahwa aspek kenabian ini penting untuk dikaji, namun bukan berarti bahwa agama islam adalah mohammedanisme sebagaimana orang – orang menyamakannya dengan Yesus Kristus, Budhisme yang dibawa Gautama Budha dan Confucianisme yang berasal dari pemikiran Confucius (Mukti Ali, 1991: 49).
d. Aspek Kondisi Kejayaan Nabi
Pada aspek ini dimaknai sebagaimana untuk membandingkan kondisi kejayaan atau turunnya seorang Nabi di suatu agama kemudian dipahami pada agama lain pula.
e. Aspek Orang-orang Terkemuka
47
menghasilkan khulafaur Rasyidin sebagai kajian aspek orang-orang terkemuka tersebut (Mukti Ali, 1991: 37-44).
3. Pendekatan Scientificcum Doctrine
Secara harfiah pendekatan ini terdiri dari dua aspek penting, yaitu
scientific dan doctrine. Scientific memiliki makna bersifat ilmiah dan
doctrine dipahami sebagai suatu ajaran atau doktrin. Dengan kata lain,
dalam pendekatan ini, Mukti Ali ingin menerapkan metode ilmiah yang disatukan dengan doktrin atau ajaran – ajaran yang terkandung dalam suatu agama, khususnya dalam studi Islam. Dalam hal ini, Mukti Ali ingin mencoba menerapkan agar metode ilmiah dapat dijadikan alat untuk meneliti suatu agama.
Contoh implikasi dalam pemikiran Mukti Ali ini terlihat dari cara beliau mencoba mengembangkan pendidikan madrasah serta Institut Agama Islam agar sejajar dengan institusi pendidikan yang umum dengan catatan bahwa keduanya mampu menerapkan metode ilmiah.
48
C. Kebijakan H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan Islam
Berikut adalah kebijakan-kebijakan Mukti Ali dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia:
1. Modernisasi Lembaga Pesantren
Sempat menjadi Menteri Agama pada masa Orde Baru, Mukti Ali melakukan beberapa pengamatan pendidikan dipesantren, yang mana terdapat 5 komponen pendidikan di dalamnya, yaitu:
a. Pengajaran dan pendidikan agama.
b. Ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
c. Kepramukaan, dimana pendidikan dan disiplin agama dapat dilakukan dengan perantaraan kegiatan pramuka. Memang pramuka adalah organisasi pendidikan, diluar pendidikan sekolah dan diluar pendidikan keluarga, yang paling baik.
d. Kesehatan dan olahraga. Ini perlu ditingkatkan di pondok pesantren yang kurang mengambil perhatian terhadap kesehatan dan olahraga ini. e. Kesenian yang bernafaskan Islam (Mukti Ali, 1987: 21).
49
pembinaan pondok pesantren dalam bidang pertanian dan perikanan. Kerja sama itu juga dilakukan dengan departemen-departemen lain, yang intinya ditujukan dengan untuk memberikan pembinaan-pebinaan menejerial bagi pengelola lembaga pendidikan Islam (Abuddin, 2012: 352)
2. SKB Tiga Menteri, No. 6 Tahun 1975 dan No.037/U/a975
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri atau dikenal sebagai SKB Tiga Menteri, No. 6 Tahun 1975 dan No.037/U/a975. Dalam SKB Tiga Menteri tersebut ditegaskan:
a. Agar ijazah madrasah di semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang singkat
b. Agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas
c. Agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran Agama.
50
pengakuan masyarakat terhadap keberadaan lembaga pendidikan Islam di masa mendatang semakin kuat (Abuddin, 2012: 352-353)
3. Ide-ide pembaharuan Islam
Sebagai menteri agama, memang Mukti Ali mengeluarkan beberapa Peraturan Menteri Agama (Permenag) dan Keputusan-keputusan Menteri (Kemen Agama), namun jarang yang membahas mengenai pendidikan Islam, mungkin hanya SKB Tiga Menteri yang terlihat sangat fokus membahas mengenai pendidikan dan kesetaraan pesantren terhadap pendidikan umum.
Namun, Mukti Ali juga memberikan wawasan kepada kita mengenai ide-ide pembaharuan Islam, diantaranya adalah
a. Ijtihad
Dalam menghadapi keadaan dunia yang serba berubah dengan cepat, ada orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan prinsip-prinsip lama dengan berdalih bahwa al-Qur’an menyatakan seperti itu, begitu juga dengan sunnah Nabi. Mereka menyatakan bahwa itu adalah cara untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Ajakan ini
kadang-kadang menarik karena diletakkan dalam bingkai “pemurnian”,
“keaslian” dan sebagainya. Tetapi sikap seperti itu adalah “reaksi” yang
51
Kelompok pemikiran seperti di atas, tidak menyadari betapa cepat dan kuatnya gelombang serbuan peradaban modernisasi yang tak terbendung telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia.
Bagi Mukti Ali sendiri, perubahan itu bukanlah sesuatu yang harus ditakuti ataupun dihindari karena itu adalah sesuatu yang mustahil. Sebagaimana ungkapan beliau :
Abad kita adalah abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan cepat merata keseluruh ujung dan pojok dunia. Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif, yang dengannya itu terjadi transformasi sosial dan kultural yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama. Transformasi yang sedemikian itu membawa masalah-masalah yang sulit, disertai krisis pertumbuhan (Mukti Ali, 1991: 158)
b. Relasi agama dan negara
Sebagai Menteri Agama yang baru, Mukti Ali dihadapkan pada agenda modernisasi politik Orde Baru yang memcoba memisahkan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan yang terkesan mengarah pada pembentukan negara sekuler. Hal itu dalam pandangan umat Islam akan semakin meminimalisir dan menghilangkan peran dan hak dalam penentuan kebijakan di pemerintahan.
52
terhadap upaya untuk mendekatkan hubungan umat Islam dengan pemerintahan Orde Baru. Kepada para ulama dan politisi Muslim, ia menyakinkan iktikad baik pemerintah Orde Baru untuk membina kehidupan beragama. Pemerintah, dalam hal ini Departeman Agama, akan memberikan keluasan, bahkan membantu, umat Islam mengerjakan semua kewajiban agama.
Usaha itu terlihat jelas, ketika beliau mencanangkan berbagai program kegiatan keagamaan, seperti disekolah, penjara, rumah sakit, kantor-kantor pemerintah, dan sebagainya. Begitu pula kebijakan untuk mengembangkan seni baca al-Qur’an (MTQ Tingkat Nasional) dan LPTQ di tingkat propensi, kodya, kabupaten dan kecamatan. Pembentukan MUI sebagai lembaga aspirasi umat Islam. Penyusunan UUD Perkawianan 1974, walaupun dalam proses dialog yang cukup panjang dan menegangkan adalah sederet usaha yang tidak sedikit (
http://dorokabuju.blogspot.co.id/mukti-ali-ijtihad-dan-pembaharuannya.htmldiunduh-padasenin 15 agustus 2016 pukul 09:36)
c. Dialog antar umat beragama
53
menjabat sebagai Menteri Agama ketegangan antara Islam dan Kristen memcapai puncaknya.
Melihat kondisi di atas, beliau secara maksimal melakukan upaya-upaya yang memungkingkan terjadinya pertemuan dan dialog antara pemeluk umat beragama.Walaupun beliau juga yakin bahwa kebijakan dialog antar-umat beragama semacam itu belum tentu akan membuahkan hasil perdamaian yang total antara komunitas-agama di negara seperti Indonesia.Tetapi, ia percaya bahwa pasti ada sekelompok sosial-keagamaan tertentu yang bisa diharapkan memberi sumbangan terhadap berjalannya dialog antar-umat beragama. Maka beliau menghidupkan kembali forum musyawarah umat-beragama yang ada pada masa K. H. Muhammad Dachlan, yang mandeg karena tidak adanya kesepakatan.
Disamping melakukan usaha-u=saha dialog melalui forum-forum umatberagama beliau juga memperkenalkan ilmu Perbandingan Agama -sesuatu yang belum populer- dikalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa IAIN, yang dewasa ini telah menjadi salah satu mata kuliah
yang banyak diminati oleh mahasiswa
(
54 BAB IV
RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM H.A. MUKTI ALI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
Mukti Ali adalah seorang cendekiawan muslim di masa Orde baru, selain sebagai cendekiawan, beliau juga merupakan seorang Menteri Agama yang menjabat pada tahun 1971. Merupakan posisi yang strategis, dimana sebagai seorang pemikir pendidikan Islam, beliau juga mempunyai wewenang untuk membuat sebuah kebijakan ataupun peraturan yang bersumber dari ide-ide dan pemikiran Mukti Ali.
Dibahas sedikit dalam penegasan istilah mengenai pengertian konsep yang mengambil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998: 205).Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstrasikan dari peristiwa konkrit.
Dalam pemahaman ini, konsep bisa berarti sebagai rancangan, yaitu rancangan mengenai pendidikan Islam dalam perspektif Mukti Ali yang terbagi menjadi 3 poin penting, yaitu:
1. Menurut Al-Qur’an dan hadis
55
ditanamkan pada keluarga, terutama kepada anak, karena degan kedisiplinan, dapat mengajarkan kepada anak mengenai manajemen waktu, terutama dalam beribadah.
Dalam ibadah, terutama sholat, semua HambaNya telah melakukan komunikasi batin. Walaupun kita tidak bisa mendengar, melihat ataupun berbicara dengan Allah, akan tetapi dengan memaknai bacaan-bacaan sholat, kita dapat merasakan kedekatan kita kepadaNya. Allah itu dekat dengan hamba ketika ia berdoa. Jadi selalu yakinlah bahwa Allah mendengar doa dan akan mengabulkan doa tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al
Baqarah: 186)
56 2. UUD Republik Indonesia
UUD merupakan dasar dari negara Indonesia. Dengan UUD, segala peraturan dibuat secara musyawaroh melalui sistem demokrasi. Dengan UUD, demokrasi di negara Republik Indonesia ini berjalan dengan baik. Dimana terdapat tiga perangkat pemerintah, Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Ketiganya menjadi tiga perangkat penggerak demokrasi negara di Indonesia.
Inipun berlaku dalam dunia pendidikan, khusunya di sekolah. Kepala sekolah, guru-guru, dewan pengawas dan pemelihara sekolah. Di kelaspun demikian, ada ketua kelas yang mengatur keorganisasian kelas, ada guru yang memberi pelajaran dan ada murid-murid yang sedang belajar.
Dalam kutipan Undang-undang Republik Indonesia (2003)
dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Memberikan penjelasan kepada kita bahwa pendidikan itu:
a. Harus berjalan secara demokrasi
57
jawaban yang malah menyesatkan siswa, seolah terlihat sebagai guru yang serba bisa, tapi nyatanya tidak demikian. b. Pendidikan tidak mengenal diskriminasi
Ini menjadi kewajiban dimana pun lembaga pendidikan berdiri. Karena tugas utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika masih terdapat deskriminasi, mungkin hanya oknum-oknum tertentu dan walaupun itu masih terjadi di dunia pendidikan Indonesia, sungguh sesuatu yang harus di hilangkan. Karena Indonesia itu satu dasad negara Pancasila yang tidak mengenal diskriminasi dan penindasan
c. Pendidikan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia Hak asasi manusia adalah suatu kewajiban yang harus di jaga dan dipelihara. Dalam dunia pendidikan, hak seorang siswa untuk mendapatkan pembelajaran harus terpenuhi, hak siswa untuk mendapatkan fasilitas yang memadai juga harus terpenuhi, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagai siswa, bahkan hak untuk hidup, artinya sudah tidak berlaku lagi yang namanya kekerasan guru terhadap murid ataupun sebaliknya.
3. Menurut Kearifan Lokal
58
pesantren. Dalam sebuah kutipan buku Rusli (1991: 134)“...pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, dan semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya...”
Dari kutipan di atas, sesungguhnya apa yang disebut pendidikan pesantren sudah berkembang dan berjalan menurut perkembangan zaman. Jadi tidak ada lagi istilah pesantren kolod atau semacamnya, karena pendidikan Islam di Indonesia se kelas pesantren pun sudah memodifikasi sistem pendidikannya. Meskipun masih ada pesantren-pesantren yang masih menggunakan sistem pendidikan lama, namun intinya, pendidikan Islam di Indonesia selalu melangkah ke depan menuju ke arah globalisasi.
B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
Dalam penjelasan bab 3, Mukti Ali menjabarkan metode-metode mengenai 3 pendekatan studi Islam
1. Pendekatan sosia-historis