• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT PENDIDIKAN H.A. MUKTI ALI

Meskipun tingkat pendidikan Abu Ali sangat rendah, diperolehnya hanya dari mengaji kitab di Pesantren di Cepu, ia adalah orang tua yang keras menyuruh anaknya untuk sekolah. Abu Ali mendatangkan ngaji untuk anak-anaknya ke rumah mengajarkan

al-Qur’an dan ibadah. Disinilah, Boedjono memperlihatkan sikap yang

sungguh-sungguh untuk belajar. Pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik Belanda yang belakangan pada 1941

19

menjadi HIS. Pada usia yang sama, ia juga terdaftar sebagai siswa Madrasah Diniyyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung siang hari. Di kedua sekolah ini, Boedjono dikenal sebagai seorang siswa yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya waktu itu, selain ia memperlihatkan nilai mata pelajaran yang gemilang, Boedjono juga dipandang sebagai anak dari sebuah keluarga kaya yang bersikap biasa saja.

Delapan tahun kemudian, Boedjono menamatkan sekolah HIS dan mendapatkan sertifikast pegawai pemerintah Belanda (Klein

Ambtenar) di Cepu. Pada pertengahan 1940, Boedjono laludikirim

ayahnya belajar di pondok pesantren Termas, Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya. Tidak jelas mengapa Abu Ali lebih mengutamakan memasukkan anaknya ke pondok dari pada meneruskannya ke sekolah Belanda (Munhanif, 1998: 273)

Pondok pesantren Termas didirikan oleh seorang ulama’

bernama K.H. Abdul Manan (1830-1862). Pondok ini terletak jauh di pelosok desa, yang ketika itu sukar sekali dicapai dengan kendaraan bendi sekalipun. Umumnya untuk sampai ke pondok pesantren itu harus berjalan kaki beberapa lama. Sejak tahun 1930-an, bahkan sebelumnya, pondok pesantren tersebut sudah sangat popular, sebanding dengan popularitas pondok pesantren Lasem di bawah

pimpinan K.H. Ma’sum (ayah K.H. Ali Ma’sum) dan K.H. Cholil,

20

dan pondok pesantren Pademangan Bangkalan, Madura, dibawah pimpinan K.H. Moh. Cholil. Pondok pesantren Termas terkenal dengan ilmu alatnya. Di sini kitab-kitab ahlul bait pondok pesantren ini adalah karena keberhasilan salah seorang putra K.H. Abdul Manan, bernama Muhammad Mahfudh. Menjadi putra Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram, Mekkah, dengan sebutan Syaikh Mahmudh al-Turmusi. Syaikh ini juga telah berhasil menampilkan diri sebagai pengarang berbagai kitab yang menjadi acuan dibebrapa Negara Arab dan pesantren-pesantren di Nusantara. Dengan begitu popularitas pondok pesantren Termas semakin meluas. Di pondok pesantren seperti inilah, Boedjono mulai belajar mengaji (Damami, 1998: 226-227)

Dari pondok pesantren Termas inilah, tahap lain dari perjalanan hidup Boedjono muda bermula. Ia diterima belajar di tingkat menengah di pondok pesantren ini, yang metode belajarnya menggunakan system madrasah, yaitu sistem sekolah yang menggunakan kelas yang menyerupai sistem pendidikan Belanda. Saat itu, tidak banyak pesantren di Jawa yang menggunakan sistem belajar seperti itu. Kendatipun demikian, Boedjono tidak hanya belajar di sekolah pesantren, tetapi diwajibkan mengikuti kegiatan ngaji kitab, dengan sistem sorogan (bacaan) atau bandongan (diskusi). Materinya terdiri dari Fiqih, hadis, tasawuf dan akhlak. Di masa-masa kemudian, Boedjono merenungkan bahwa, lewat pendidikan di pondok inilah ia

21

kemudian hari bisa mengapresiasi khazanah intelektual Islam klasik dn akhirnya membentuk luasnya pandangan keagamaan. Tetapi, pesantren Termas bukan satu-satunya tempat pendidikan agamanya. Beberapa pesantren lain turut membentuk wawasan kegamaannya adalah Tebuireng, Rembang (yang secara khusus mengajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), Pesantren Lasem dan Padnangan, Jawa Timur. Boedjono melewatkan belajarnya di pesantren-pesantren itu biasanya dalam bentuk mondok beberapa bulan, yang diadakan pada bulan Ramadhan dan Syawal (Muhannif, 1998: 274)

Selama nyantri di pondok Termas itu ada beberapa peristiwa yang dirasakannya tidak dapat terhapus selama hidupnya. Peristiwa yang dimaksud antara lain soal penggantian namanya. Suatu saat, salah seorang kyai di Termas, yaitu Kyai Abdul Hamid Pasuruan, yang nama kecilnya sebelum menjadi kyai adalah Abdul Mukti, berbincang-bincang dengan Boedjono, dan waktu itu Kyai tersebut menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan Abdul Mukti. Perintah penggantian nama itu oleh Boedjono dirasakan sebagai suatu kehormatan, sekaligus tantangan dan tanggungjawab moral untuk

menjaga “nama” tersebut. Sejak itulah, dia mengubah namanya menjadi Abdul Mukti Ali, nama “Abdul Mukti” diambilnya untuk memenuhi perintah gurunya dan nama “Ali” diambil dari potongan

22

Peristiwa yang kedua berkaitan dengan keputusannya untuk mengubur keinginannya aktif di perkumpulan tarekat. Tampaknya keluarga Mukti Ali yang mempunyai tradisi keagamaan yang dekat-dekat dengan tasawuf (ayahnya dan kakak tertuanya adalah pengikut

jama’ah tarekat Qoddariyah di Cepu) berpengaruh padanya untuk ikut

aktif di pengajian tarekat Naqsabandiyyah, yang dipimpin K.H. Hamid Dimyati, di pondok Termas. Setelah sekian lama mengamalkan ajaran tarekat itu, Kyai Dimyati tiba-tiba menasehatkan agar Mukti Ali meninggalkan amalan kegiatan tarekat (Muhannif, 1998: 275)

Sesungguhnya ada hal lain yang mengesankan Abdul Mukti Ali adalah hubungannya dengan K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan K.H. Hamid Dimyati. Ketika itu Abdul Mukti Ali ingin sekali menjadi hafidh (penghafal) al-Qur’an. Sudah biasa dia menamatkan al-Qur’an

yang tiga puluh juz itu hanya dalam jangka waktu 6 sampai 7 jam. Tetapi K.H. Abdul Hamid melarangnya. Kyai itu menasehatkan agar Abdul Mukti Ali menjadikan al-Qur’an sebagai wiridannya, bukan

harus dihafalkannya. Maksud wiridan di sini adalah keharusan membacanya secara rutin, terus menerus dan ajeg, walaupun sedikit,

Nabi memang pernah bersabda: “Para sahabat bertanya kepada Nabi: “Amal apa yang disukai Allah? Nabi menjawab: Amal yang ajeg

walaupun kadarnya sedikit”. Nasehat K.H. Hamid Pasuruan, yang

banyak orang menganggapnya setengah wali, ini tetap dipegang teguh sampai sekarang. Abdul Mukti Ali tetap disiplin membaca al-Qur’an

23

setelah salat Maghrib. Seluruh anggota keluarganya (Isteri, anak dan menantu) setiap lepas salat maghrib diajarinya membaca al-Qur’an

dengan betul, dijelaskan arti dan tafsirannya kalau dirasakan perlu dan sebagainya, rutin tiap hari. Kebiasaan membaca al-Qur’an setelah

salat maghrib ini dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarganya. Membaca al-Qur’an ini sampai sekarang tetap dijadikan

wiridannya, termasuk menjadi wiridan istri, anak dan menantunya, bahkan insya Allah sampai anak cucunya (Damami, 1998: 230)

Setelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri. Ia memutuskan Fakulas Agama sebagai pilihannya. Dan di STI inilah yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (http:www.academia.edu:Mengubah_dan Membentuk_IAIN:Profil_Mukti_Ali diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:41)

Pada masa kuliah inilah beliau bertemu dan akhirnya tertarik pada K. H. Mas Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah dan dosen yang paling dikaguminya di STI. Mukti Ali kagum dengan cara mengajar Kiyai Mas Mansur yang lebih banyak memberikan pemahaman dan penafsiran baru mengenai wawasan keagamaan. Keasyikannya belajar di STI terhenti akibat kedatangan Belanda ke Yogyakarta yang dalam perkembangan selanjutnya berujung pada

24

terjadinya pertempuran antara pada tahun 1949. Jiwa patriotismenya terpanggil untuk ikut terjun dalam medan pertempuran sebagai anggota pasukan tentara Angkatan Perang Sabil (APS) di bawah pimpinan K. H. Abdurrahman dari Kedungbanteng

Setelah kedaulatan negara Republik Indonesia kembali diakui, Mukti Ali menerimana tawaran orang tuanya untuk naik haji dengan syarat beliau diizinkan untuk tinggal belajar di Mekkah dan Madinah.Tiba di Mekkah tahun 1950, namun karena kondisi masyarakat Mekkah pada saat itu dari segi pendidikan tidak lebih baik dari umumnya masyarakat Indonesia. Beliau memutuskan untuk hijrah ke negara lain. Atas saran H. Imron Rosyadi, SH. Konsul Haji Indonesia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari belajar di Mekkah karena situasi politik yang ditimbulkan oleh kerasnya gerakan Wahabi di Arab. Mukti Ali lantas mempertimbangkan untuk ke Mesir.

Tetapi akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan.Mukti Ali dengan kemampuan yang baik dalam bahasa Arab, Belanda, dan Inggris menyebabkan beliau diterima pada program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab,Universitas Karachi. Ia mengambil program sejarah Islam sebagai spesialisasinya. Setelah menamatkan program tingkat sarjana muda, beliau melanjutkannya pada program Ph.D. di Universitas yang sama.Beberapa saat setelah itu, beliau diminta oleh Anwar Harjono; mantan sekjen Masyumi

25

untuk meneruskan studinya ke McGill Universitas Montreal, Kanada tahun 1955.

Di Universitas McGill, beliau mengambil spesialisasi ilmu perbandingan agama. Pemahaman beliau tentang Islam berubah secara fundamental. Perkenalannya dengan metode studi agama-agama dan professor- professor studi Islam, khususnya Wilfred Cantwell Smith adalah awal dari semua itu.

Beberapa tahun setelah kembalinya ke Indonesia, beliau bergumul dalam wilayah pendidikan dengan merintis dan memperkenalkan disipilin ilmu perbandingan agama hingga berhasil menjadikannya sebagai jurusan baru dikalangan mahasiswa IAIN; Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960. Dan pada tahun 1971 beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama menggantikan K. H. Muhammad Dachlan; tokoh NU, yang belum habis masa jabatannya. (

http://dorokabuju.blogspot.co.id/2016/08/mukti-ali-ijtihad-dan-pembaharuannya.html diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:47)

Dokumen terkait