• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SUMBANGAN MATA KULIAH PEMBINAAN

C. Pembahasan Data Penelitian

1. Katekis Berspiritualitas

Seperti yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya, bahwa Prodi IPPAK-USD melakukan usaha yang nampak pada misi yang diembannya yaitu bertujuan untuk memperkembangkan manusia secara serentak dalam 4H, yakni rasionalitas (head), relasi (heart), tindakan (hand) dan kepercayaan atau rasa aman (home). Usaha ini diwujudkan salah satunya melalui mata kuliah pembinaan

spiritualitas. Pentingnya pembinaan spiritualitas diberikan kepada para mahasiswa agar dapat menjadi seorang katekis yang memiliki spiritualitas mendalam, kuat, kokoh dan setia serta mampu mempertanggungjawabkan seluruh hidupnya pada Tuhan dan sesama. Dengan demikian, katekis menjadi siap dan tangguh menghadapi tantangan jaman sekarang ini dan tidak mudah jatuh dalam pergaulan bebas.

Mengapa spiritualitas penting untuk dijadikan pusat atau inti hidup seorang katekis? Dalam hal ini Danah Zohar (2001: 4) mengatakan:

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar atau pokok: mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup saya? Sebagai katekis, pertanyaan semacam ini tentu banyak muncul dari umat yang dilayani juga dari dirinya sendiri. Jawaban atas pertanyaan yang demikian memerlukan kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga dapat membantunya untuk menemukan makna dan nilai dari seluruh pengalaman hidupnya. Mengingat pentingnya kecerdasan spiritual bagi seseorang, maka hendaknya para katekis menjadikan kecerdasan spiritual sebagai pusat terdalam dalam hidupnya dan menjadi manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.

Kecerdasan spiritual yang bertumpu dalam diri seseorang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang dipergunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai- nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai- nilai baru. Pemahaman ini, didukung juga oleh responden V dalam wawancara yang mengatakan:

Pada saat tertentu orang mulai berpikir ketika mengalami kesulitan, terbentur dengan sesuatu pasti mencari-cari pegangannya misalnya seseorang dipermalukan, pasti rasionalitasnya ‘tabah aja’. Nah nilai tabah itu didapat dari spiritualitas yang tersimpan di alam bawah sadar. Pada saat orang terbentur dengan kenyataan yang tidak diharapkan, pada saat itu orang secara sadar juga mencari pegangan itu, begitu (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden V, hal. 12).

Melalui pembinaan spiritualitas para mahasiswa dibina dan dididik untuk menjadi pribadi yang matang, mandiri dan dewasa yang pada gilirannya melahirkan hidup yang berkualitas. Hidup yang berkualitas ini tentu pada gilirannya menjadi pribadi yang berspiritualitas dan profesional dalam pelayanannya. Berbicara mengenai katekis yang berspiritualitas, Adisusanto (1992:101) mengatakan bahwa “Seorang katekis harus memiliki spiritualitas yang mendalam, yakni hidup dalam Roh, yang membantunya untuk bisa memperbaharui diri secara terus- menerus sesuai dengan jati dirinya yang khas.”

a. Gambaran Katekis Berspiritualitas

1) Perlunya spiritualitas dan hakikat spiritualitas bagi katekis

Telah dikatakan bahwa katekis harus memiliki spiritualitas yang mendalam, yaitu harus hidup dalam Roh Kudus, yang membantu mereka untuk memperbaharui diri secara terus menerus dalam menghayati identitas khususnya

sebagai seorang katekis. Di sini, spiritualitas diharapkan menjadi daya dorong yang membangun suatu motivasi baru dan khusus dalam dirinya karena menjadi katekis merupakan sebuah panggilan yang menuju kesucian hidup dan digerakan oleh Roh Kudus serta dinilai sebagai tugas perutusan ke tengah Gereja untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Katekis juga mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai nabi, imam dan raja. Bagi katekis yang sudah berkeluarga, menjalani hidup perkawinan mereka merupakan bagian integral dari spiritualitas mereka, sekaligus menjadi saksi yang tetap bagi nilai perkawinan kristiani mereka. Spiritualitas katekis juga dikondisikan oleh panggilan kerasulan mereka, maka perlu memiliki ciri-ciri hidup, antara lain: terbuka terhadap sabda Tuhan, terhadap gereja, dan terhadap dunia, mempunyai kehidupan yang autentik, semangat misioner, dan devosi kepada Bunda Maria (CEP, 1997: 22-23).

2) Keterbukaan terhadap dunia

Menyadari akan tugasnya sebagai pewarta sabda Tuhan, maka diharapkan dalam menjalankan tugas sucinya seorang katekis perlu memiliki sikap rohani yang mendasar yaitu keterbukaan diri. Hal- hal pokok yang berhubungan dengan sikap keterbukaan ini, antara lain: keterbukaan terhadap Tritunggal yang berdiam dalam lub uk hati terdalam setiap orang dan memberi makna pada kehidupannya yaitu dengan keyakinan, kriteria, skala nilai, keputusan, relasi tindakan dan sebagainya. Berikutnya adalah keterbukaan terhadap gereja yang selalu setia mewartakan kehadiran Tuhan dalam dan melalui perayaan-perayaan liturgi Gereja. Dan sikap keterbukaan misioner terhadap dunia sebagai tempat bersemai,

bertumbuh dan berkembangnya sabda Tuhan, yakni dalam diri orang-orang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus (CEP, 1997: 23-26).

3) Keut uhan dan keaslian hidup

Dalam mengemban tugasnya sebagai pewarta sabda Tuhan, seorang katekis pertama-tama harus mampu menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai- nilai sabda Tuhan itu dalam hidupnya. Perlu dipahami bahwa apa yang diajarkan oleh para katekis bukan semata- mata ilmu dari segi kemanusiaan dan juga bukan pendapat pribadi mereka, tetapi diyakini sebagai iman Gereja yang menjadi pusat dan sumber pewartaan mereka. “Ia menetapkan dua belas orang untuk mengikuti Dia dan untuk diutus-Nya memberikan Injil” (Mrk 3:14).

Sedangkan keaslian hidup berarti para katekis harus memelihara hidup doa atau menjalin hubungan dengan Tuhan, merefleksikan pengalaman akan Tuhan dan kesetiaan akan tindakan Roh Kudus. Keaslian hidup berarti adanya intensitas tertentu dan keteraturan batin serta lahiriah, yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi pribadi maupun keluarga dari setiap orang. Secara rohaniah, seorang katekis perlu berkembang dalam keberanian dan kedamaian untuk membawa damai sejahtera dan sukacita (CEP, 1997: 26-27).

b. Cara Katekis Memupuk Spiritualitas 1) Kehidupan rohani yang mendalam

Katekis dipersiapkan untuk mengembangkan hidup rohani orang lain, tentu ini menjadi sesuatu yang sangat mutlak bahwa kehidupan rohaninya sendiri

juga harus ditata. Konsekuensi orang memilih bidang profesi pengembang hidup rohani berarti mampu menghayatinya sebagai berkat dan rahmat dari Tuhan serta harus mempunyai kehidupan rohani yang mendalam.

Cara terbaik untuk mendalami hidup rohani adalah melalui kehidupan sakramen dan kehidupan doa yang tekun. Bertolak dari kehidupan sakramen, ada tiga pilar yang selalu ditekankan untuk katekis. Pilar pertama, katekis harus menghadiri Ekaristi secara teratur atau setiap hari agar imannya semakin kuat dan kokoh, bersatu dengan umat dan mempersembahkan diri dengan penuh syukur kepada Allah. Pilar yang kedua adalah menghayati liturgi dalam rangka perkembangan pribadi dan membantu memberi pemahaman kepada umat yang kurang memahami makna liturgi. Sedangkan pilar ketiga adalah menerima sakramen tobat, di mana katekis harus sering memohon ampun atas segala kesalahan yang telah dilakukan demi pembaharuan hidup dan memotivasi panggilan sebagai katekis yang beriman mendalam. Selain kehidupan sakramen, katekis juga perlu melaksanakan kehidupan doa yang tekun. Bentuk doa bisa bermacam- macam, namun yang perlu diperhatikan secara khusus adalah meditasi, doa pribadi dan retret rohani. Dengan hidup doa dan sakramen ini, katekis memperkaya kehidupan batinnya dan memperoleh kedewasaan rohani yang diperlukan oleh perannya yaitu mengembangkan hidup rohani orang lain (CEP, 1997: 45-48).

2) Devosi Kepada Bunda Maria

Mengamati peranan Maria dan panggilan khususnya, Maria melihat Putra Allah “bertambah besar dalam hikmat dan rahmat” (Luk 2:52). Namun dalam perkembangan lebih lanjut justru suasana menjadi berubah bahwa Bunda Maria adalah murid Yesus yang pertama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh St. Agustinus, bagi Bunda Maria menjadi murid-Nya adalah jauh lebih penting daripada menjadi ibu-Nya.

Kiranya katekis sadar untuk membangun relasi yang mendalam dengan Bunda Maria sebagai murid Yesus yang pertama dan sekaligus sebagai Katekismus Hidup, sebagai ibu dan model keteladanan bagi para katekis dalam karya pewartaan. Hendaknya dalam hal spiritualitas katekis perlu diperkaya dan diperkuat dengan devosi kepada Bunda Maria yang telah dipilih oleh Allah, disucikan untuk mengandung dan melahirkan Sang Juru Selamat umat manusia (CEP, 1997: 29-30).

Dokumen terkait