• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SUMBANGAN MATA KULIAH PEMBINAAN

C. Pembahasan Data Penelitian

2. Katekis Profesional

a. Pemahaman mengenai Profesional

Dewasa ini orang sudah hidup dalam masyarakat di mana jasa diberikan dan dinikmati dalam kategori pelayanan profesional. Dalam istilah profesional tersirat pengertian-pengertian berikut: pertama, bahwa pelayanan yang diberikan dapat diandaikan mutunya; kedua, orang tersebut hidup dari pekerjaan yang bersangkutan; ketiga, ada usaha terus menerus untuk meningkatkan mutu

pelayanan dengan mencari apa yang dibutuhkan orang banyak (Putranta, 1990: 129).

Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia didapat keterangan bahwa profesional mengandung arti: bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sering juga profesional dilawankan dengan amatir, sehingga profesional dihubungkan dengan bayaran sedangkan amatir tidak.

Profesionalitas dimengerti sebagai keahlian, keterampilan, pengetahuan, kompetensi tertentu. Dalam hal katekis profesional dan profesionalitas tidak selalu dihubungkan dengan pekerjaan (sebagai mata pencaharian). Mengapa? Karena kalau dihubungkan dengan pekerjaan yang menjadi kekuatan adalah hubungannya dengan aturan (transaksi) sehingga yang menjadi target adalah keuntungan materi (profit). Kenyataan profesi katekis tidak selalu berarti sebagai pekerjaan untuk mata pencaharian; tidak sedikit orang yang menjadi katekis demi melayani Tuhan. Justru keistimewaan katekis adalah karena dalam menghayati pekerjaannya unsur yang pokok adalah iman dan panggilan (Mujiyono, manuskrip, 2005). Hal ini juga telah dipahami oleh alumni II IPPAK-USD ketika diwawancarai penulis. Ia mengatakan:

Konsekuensi orang memilih bidang profesi pengembang hidup rohani jangan menuntut banyak mengenai imbal- imbal jasa yang sama sekali tidak bersinggungan dengan rohani atau misalnya ‘aku mau bekerja, mau dibayar berapa?’ saya selalu menghindarkan diri dari sebuah pertanyaan yang tidak sehat sebagai seorang katekis dengan pertanyaan semacam itu. Maka berapa pun yang saya peroleh dari kontribusi yang saya lakukan dalam karya saya, selalu saya syukuri. Itu yang membua t saya merasa terbantu dan sampai sekarang pun saya menghayati ini menjadi bagian dari perjalanan karier saya (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni II, hal. 25).

Profesional dan profesionalitas selalu berhubungan dengan keahlian. Ada dua macam keahlian, yakni ahli sistematik dan ahli terapan. Para ahli sistematik pada dasarnya kuat dalam konsep dan teori namun biasanya kurang kuat dalam praktek. Sebaliknya ahli terapan yang kuat pada prakteknya. Mereka menguasai langkah operasional dan trampil dalam bidangnya.

Katekis yang adalah pembina atau pendidik iman bukanlah seorang teoritas. Mereka seharusnya ahli dalam keterampilan. Ilmu atau teori dan konsep-konsep (yang biasanya diperoleh dalam pendidikan formal) sangat penting sebagai referensi karya dan kadang-kadang dapat menjadi senjata untuk menjadi lebih percaya diri. Namun senyatanya sikap, komitmen dan keterampilan menggeluti kenyataan yang dihadapi dan tuntutan lapangan jauh lebih menentukan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang alumni IPPAK-USD yang berkarya sebagai guru di sekolah, ia mengatakan demikian:

Katekis profesional bukan dia mengetahui ilmu yang begitu tinggi tapi bagaimana hal yang sudah dia dapat dari mata kuliah itu diterapkan dalam pelayanannya. Misalnya saya sebagai katekis bukan terjun di paroki tapi di sekolah (SMP). Letak profesionalnya di mana saya bisa menyampaikan materi itu kepada anak bukan hanya menerangkan tapi bagaimana bisa kembali menjadi milik anak juga. Saya berusaha supaya mata pelajaran agama itu bukan hanya sekedar untuk dihapalkan tapi anak bisa hidup beriman dalam konteks yang nyata (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni III, hal. 29).

Alumni ini mau menunjukkan bahwa dalam kenyataannya, menjadi guru agama Katolik memang lebih dari sekedar sebuah profesi atau pekerjaan untuk mencari mata pencaharian. Dalam karya itu terkandung iman dan panggilan. Guru agama katolik bukan hanya sekedar pelaksana suatu kurikulum. Mereka pengemban tugas mulia sebagai pendidik iman di dunia persekolahan.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa karya katekis bukanlah melulu profesi dalam arti harus mendapat imbalan setimpal, melainkan panggilan. Namun panggilan hidup ini mempunyai aspek-aspek profesional, dalam arti bahwa pelayanan harus diberikan dengan landasan keterampilan yang handal dan bahwa hal- hal yang berhubungan dengan aspek material dari pelayanan ini mendapat perhatian jemaat luas seperlunya (Putranta, 1990: 134).

b. Gambaran Katekis Profesional

Semakin kuatnya profesionalisme dalam masyarakat tercermin dalam gejala spesialisasi, tuntutan akan ijasah yang relevan dan penghargaan terhadapnya. Hal ini juga diungkapkan oleh alumni IPPAK-USD yang berkarya di Bimas Katolik, ia mengatakan demikian:

Sebenarnya yang dikatakan profesional adalah mereka yang lulus dari akademis, misalnya dari kateketik... Profesional menurut saya mampu di bidangnya, secara konsep dia punya latar belakang pendidikan kateketik, tahu seluk beluknya, metode, ajaran visi- misi, berbagai bahan yang harus diberikan demi perkembangan iman umat. Pengalaman saya bekerja di Surabaya, saya dihargai karena ada ijasah kateketik, tapi jangan sampai terjebak di situ karena seorang profesional tidak harus diukur dari ijasah (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni IV, hal. 31).

Berkaitan dengan pernyataan di atas, pada umumnya dari segi pendidikan katekis di Indonesia bisa digolongkan dalam katekis berijasah dan katekis tak berijasah. Dari segi sumber penghidupannya mereka bisa digolongkan atas katekis keuskupan atau paroki dan katekis yayasan (sekolah). Dalam usaha untuk menempuh ilmu pendidikan agama Katolik, tersirat motivasi entah untuk memberikan pelayanan keteketik yang bermutu demi pemenuhan kebutuhan jemaat, entah untuk bisa mendapatkan lapangan pekerjaan penghidupan yang

sepadan lewat katekese, atau kedua-duanya. Umumnya mereka yang bekerja sebagai katekis dalam yayasan- yayasan pendidikan menyandarkan penghidupan mereka pada profesi guru agama di sekolah, kemudian di luar waktu kerja bisa menyumbangkan tenaga untuk paroki atau stasi. Sedangkan katekis-katekis purna waktu keuskupan atau paroki menyandarkan penghidupan mereka pada imbalan yang diberikan oleh keuskupan atau paroki.

Kiranya lebih tepat kalau profesionalisme di dalam bidang kerasulan seperti katekis menekankan pentingnya aspek komitmen terhadap karya kerasulan, terutama di dalam bidang pengetahuan yang memadai mengenai pokok-pokok ajaran, pengetahuan akan bahasa dan budaya setempat, keterampilan untuk menyampaikannya, dan lebih- lebih hidup sesuai dengan pewartaan tersebut (Hardono, 1990: 141).

Beberapa penjelasan di atas segaris dengan visi Prodi IPPAK-USD yaitu mewujudkan katekis yang bijaksana dan berilmu. Maka jelaslah bahwa profesional berhubungan dangan spiritualitas katekis yang selalu didambakan, diwujudkan dan dikembangkan Prodi IPPAK-USD. Spiritualitas ini menyadarkan para mahasiswa bahwa profesi katekis sungguh-sungguh merupakan panggilan. Inilah motivasi sekaligus kekuatan dan keunggulan seorang katekis akademis. Keadaan konkret dari dunia ini yang semakin dipadati dengan berbagai bidang profesi, maka pada bulan Desember 2005 yang lalu telah ditandatangani Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional untuk Guru dan Dosen, yang berbunyi demikian:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1, UU No.14 Th. 2005)

Pada intinya UU tersebut hendak meningkatkan penghargaan terhadap profesi guru dan dosen sekaligus menegaskan pentingnya profesionalitas mereka. Ada 4 kompetensi yang dituntut supaya guru betul-betul profesional, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. 4 kompetensi guru yang profesional dapat dipahami sebagai subkompetensi dari spiritualitas katekis. Berikut ini penulis akan menguraikan ke empat kompetensi tersebut dengan singkat dan jelas:

1) Kompetensi pedagogi

Secara sederhana, kompetensi pedagogi dapat dirumuskan sebagai kemampuan/keterampilan guru mengelola pembelajaran peserta didik, merancang dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi hasil belajar, dan mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya (Sarkim, manuskrip, 2007: 5).

Untuk membantu orang belajar beriman perlulah digunakan metodologi yang tepat. Di sini pantaslah digarisbawahi mengenai kompetensi pedagogi bagi pendidikan iman: pertama, konteks belajar. Sebelum memulai pembelajaran, guru mengajak murid untuk mengidentifikasikan kesiapan murid yang akan belajar, seberapa jauh pengetahuan murid tentang apa yang akan dipelajari dan konteks lingkungan di mana belajar akan dilakukan. Kedua, perencanaan. Pada langkah ini guru bersama murid merencanakan kegiatan belajarnya bersama-sama. Ketiga,

pengalaman/implementasi rencana. Pengalaman adalah setiap aktivitas yang melibatkan seluruh pribadi manusia, baik pikiran hati, maupun kehendaknya. Setiap pengalaman ada data dan fakta yang dipahami secara kognitif, yang sekaligus menumbuhkan reaksi efektif dalam diri orang yang mengalaminya. Pengalaman dapat terjadi secara langsung, misalnya ketika seseorang mengalami sendiri tanah longsor, polusi udara, tawuran pelajar, demo mahasiswa dan sebagainya, atau secara tidak langsung, misalnya melalui bacaan, simulasi, menonton film, atau video (Sarkim, manuskrip, 2007: 6).

Bagian keempat adalah refleksi. Tugas pengajar adalah membantu para pelajar dalam mengadakan refleksi dengan merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengembangkan kesadaran pelajar serta mendorongnya untuk mengikutsertakan pandangan orang lain dalam pertimbangannya. Di sini pengajar dituntut untuk menghindari segala keinginan untuk memaksakan pandangannya, melakukan manipulasi atau indoktrinasi. Semua bantuan harus diberikan oleh pengajar dengan menghormati sepenuhnya kebebasan para pelajar. Refleksi akan matang dan subur bila menghasilkan keputusan, keterlibatan, dan tindakan yang konkret sesuai dengan pilihan batin para pelajar. Dan bagian kelima adalah pengembangan atau evaluasi. Dalam pedagogi Ignasian, evaluasi mencakup pertumbuhan intelektual dan seluruh pribadi pelajar menyangkut sikap, prioritas-prioritas, dan tindakan-tindakan yang mencerminkan pribadinya sebagai manusia bagi sesama. Sarana-sarana evaluasi yang dapat dipergunakan, di samping yang sudah lazim, misalnya adalah wawancara pribadi, evaluasi diri siswa terhadap profil pribadi yang ideal, mempelajari catatan harian siswa, memperhatikan

kegiatan-kegiatan dalam waktu luang dan pelayanan suka rela yang mereka lakukan bagi orang lain. Evaluasi juga dapat dilakukan terhadap keyakinan-keyakinan dan keputusan-keputusan yang pernah dibuat oleh pelajar untuk mengarahkannya kepada keyakinan dan keputusan yang lebih matang serta kepada kesadaran akan perlunya bertumbuh dan berkembang secara terus menerus. Hubungan saling percaya dan saling menghargai antara pengajar dan pelajar amat menentukan dalam proses pertumubuhan pelajar (Sarkim, manuskrip, 2007: 6).

Tentu saja, belajar beriman tidak hanya terjadi dalam proses pengajaran agama saja, pengajaran beriman terjadi dalam konteks hidup jemaat sendiri, dalam komunitas, namun demikian bantuan guru agama merupakan bantuan yang penting dalam proses beriman.

2) Kompetensi Profesional

Menurut pengertian dari pasal 10 Undang- undang Guru dan Dosen No.14 Th. 2005 kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Profesionalitas katekis atau guru agama ditentukan dalam tiga hal, yaitu keahlian, keterampilan, dan pengetahuan. Menyangkut tentang ketiga hal tersebut, seorang alumni yang diwawancarai penulis juga mengatakan:

Ngomong-ngomong soal profesionalitas itu sebenarnya cukup kompleks. Katekis akan berurusan dengan beberapa pilar. Pilar pertama, kita di didik dari segi intelektualitas... Kemudian pilar kedua adalah spiritualitas lebih pada kedalaman hidup rohani artinya bahwa bagaimana kadar relasi kita

dengan Tuhan menjadi bagian terintegrasi di dalam kerangka pembentukan profesionalitas seorang pewarta atau katekis itu. Berikutnya pilar ketiga menyangkut kepribadian... Pilar keempat menyangkut ‘skills’ yaitu keterampilan tehnis dan metodologis (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni II, hal. 25).

Profesionalitas bukan terutama menyangkut status, melainkan fungsi. Profesionalitas katekis atau guru agama Katolik harus selalu dihubungkan dengan tugasnya. Atas nama profesionalitas katekis akademis dituntut untuk:

a) Memiliki pengetahuan yang memadai

Pengetahuan merupakan aspek penting dalam pendidikan iman. Dengan pengetahuan yang dimiliki orang diharapkan dapat mempertanggungjawabkan imannya. Katekis bertugas membantu umat atau peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan iman yang cukup. Oleh karena itu seorang katekis dituntut pengetahuannya luas. Bagaimana ia dapat memberikan kalau ia sendiri tidak memiliki? Pengetahuan minimal yang harus dikuasai adalah materi ajar yang terkandung dalam kurikulum. Lebih dari itu katekis selayaknya belajar terus untuk menambah pengetahuan baik pengetahuan umum (ilmu manusia/human sciences) maupun pengetahuan keagamaan (ilmu gerejawi), terutama hal- hal yang aktual. Pengetahuan umum ini meliputi ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu pendagogi, dan lain- lain. Sedangkan pengetahuan keagamaan meliputi ilmu kateketik, ilmu pastoral, ilmu teologi, ilmu moral, ilmu Kitab Suci, ilmu hukum gereja, dan ilmu liturgi.

Untuk itu katekis akademis dituntut untuk mengembangkan budaya belajar baik secara pribadi maupun bersama dalam pertemuan-pertemuan pembinaan

serta kesempatan lain. Pokoknya katekis harus memiliki spiritualitas studi yaitu sikap dasar seseorang yang siap belajar terus, juga kalau terasa berat dan sudah tidak muda lagi, sebagaimana kata orang: “guru yang baik adalah pelajar yang baik”.

b) Memiliki Keterampilan

Telah dikatakan bahwa profesi katekis akademis tergolong pada ahli terapan. Ini berarti menyangkut soal tindakan operasional: keterampilan memproses pembelajaran dan katekese. Keterampilan ini sangat penting agar pelajaran agama maupun katekese menjadi menarik/menyenangkan, efektif dan membuat agama bermakna bagi hidup umat dan peserta didik. Keterampilan hanya dapat dimiliki dengan berlatih dan mencoba terus- menerus bila perlu mau berguru pada orang lain.

Sekarang, di jaman maju ini tersedia banyak sarana modern yang pasti besar manfaatnya untuk mengembangkan pembelajaran dan katekese agar lebih menarik dan efektif. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi katekis.

3) Kompetensi Kepribadian

Telah dikatakan bahwa katekis hadir di tengah jemaat maupun di sekolah bukan terutama karena memiliki kompetensi, tetapi karena iman dan karena panggilan untuk menjadi pewata Injil. Maka selayaknya katekis berjuang terus untuk dapat menghayati semangat kerohanianNya Tuhan Yesus Sang Gembala yang sanggup memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh 10:11) dan

yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk 10:45).

Menjadi pewarta Injil tidak hanya terjadi ketika tatap muka dalam proses pembelajaran agama berlangsung. Pribadi katekis sendiri seharusnya menjadi peristiwa Kabar Gembira itu. Pribadi bagaimana yang dimaksud? Seorang katekis harus memiliki pribadi ya ng mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, serta berakhlak mulia. Sering terdengar bahwa kata guru berarti digugu dan ditiru, yaitu dipercaya dan diteladani. Idealnya, seluruh kepribadiannya, sikap dan mentalnya patut dicontoh. Hal ini juga telah dipahami oleh mahasiswa IPPAK-USD ketika diwawancarai penulis. Ia mengatakan:

Menurut saya, katekis profesional seseorang yang bisa menjadi teladan dan contoh yang baik di lingkup masyarakat, keluarga, maupun pribadinya. Bisa menjalankan dan mewartakan firman Tuhan pada sesamanya dengan ikhlas (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden II, hal. 9).

Selain itu, katekis diharapkan seorang yang kharismatis, yaitu dapat menggerakkan orang lain dengan kekuatan pribadinya, sehingga kewibawaan tidak lagi dicari-cari atau dibuat-buat. Memang sulit bagi manusia untuk menyempurnakan diri, tetapi harus berani mencoba memulainya, menyuguhkan citra katekis dan guru agama Katolik kepada peserta didik dan jemaat, sehingga profesi yang telah dipilih menjadi amat agung, berwibawa dan membahagiakan “orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama- lamanya” (Dan 12:3).

4) Kompetensi Sosial

Dalam berkarya, katekis atau guru agama Katolik ditujukan kepada manusia yang utuh dengan segala keadaannya, waktu berkarya paling sedikit delapan jam per hari. Dengan demikian, sepertiga dari hari katekis dihabiskan di tempat karya. Untuk itu, katekis perlu memiliki kompetensi sosial yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Pasal 10, UU No.14 Th. 2005).

Kemampuan katekis akademis untuk dapat berelasi dengan orang lain, meliputi unsur kehangatan, empati, dan simpati. Dengan kesediaan dan kemampuan berkomunikasi itu, katekis dapat bertukar pikiran, berdialog, dan bersambung rasa dengan mereka. Selain itu, ia dan umat (peserta didik) juga dapat merasa saling mengerti, memahami, menerima, mengakui, menghargai sehingga mendapat peneguhan yang merupakan salah satu faktor penting bagi kesejahteraan hidupnya. Berkat kecakapan berkomunikasi dengan umat, ia dapat berteman dan bersahabat dengan umat.

Telah dikatakan pada bab sebelumnya bahwa pembinaan spiritualitas yang perlu dikembangkan oleh mahasiswa IPPAK calon katekis dalam rangka meningkatkan dan menjaga semangat mewartakan salah satunya adalah spiritualitas siap bekerjasama dengan rekan, sebagai dan dalam tim. Cakap bekerja sama berarti bersedia dan mampu bekerja sama dengan umat. Dengan kecakapan kerja sama, katekis mampu menciptakan hubungan dan kesepakatan

kerja yang saling menguntungkan dan mendukung. Untuk mendukung hubungan dan kerja sama dengan umat, ia perlu memiliki kecakapan untuk mengelola konflik. Katekis dan umat adalah manusia yang berbeda pribadi, berbeda latar belakang pengalaman, pendidikan, sosial-ekonomi, budaya, dan pandangan hidup. Karena itu, konflik dengan umat bukan hal yang mustahil. Maka, kesediaan dan kemampuan untuk mengelola konflik menjadi penting. Dengan kesediaan dan kemampuan itu, ia tidak hanya mampu mengatasi konflik, tetapi juga mampu memanfaatkan konflik untuk memperkuat dan mempererat hubungan dan kerja sama katekis dengan umat (Hardjana, 2002: 23-24).

Bertolak dari beberapa uraian di atas maka jelaslah bahwa nilai- nilai yang terkandung di dalam 4 kompetensi guru profesional tersebut telah dikembangkan dalam mata kuliah pembinaan spiritualitas. Ini berarti mata kuliah pembinaan spiritualitas telah banyak memberikan sumbangan yang penting bagi mahasiswa dalam rangka mewujudkan katekis yang berspiritualitas dan profesional.

Dokumen terkait