• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SUMBANGAN MATA KULIAH PEMBINAAN

B. Laporan Data Penelitian

Adapun waktu penelitian sesuai dengan rencana awal, yakni mulai tanggal 20-28 September 2008. Sedangkan tempat penelitiannya tidak semua responden bisa diwawancarai di Prodi IPPAK-USD Jl. Ahmad Jazuli no.2 Kotabaru-Yogyakarta, khususnya responden dari para alumni. Dengan demikian, terjadi perubahan tempat dari yang telah direncanakan.

Dalam praktiknya penulis tidak mengalami kesulitan dalam usaha mencari mahasiswa dan alumni yang bersedia untuk diwawancarai. Mengenai sarana pendukung data penelitian sesuai dengan rencana awal yaitu menggunakan alat perekam suara digital format MP3 dan camera digital sehingga data dari hasil wawancara bersama dengan mahasiswa maupun alumni bisa didokumentasikan dalam bentuk CD. Laporan data penelitian ini akan penulis bahas secara lebih sederhana berdasarkan temuan khusus penelitian dari variabel- variabel yang diteliti. Berikut adalah laporan selengkapnya:

1. Laporan Data Penelitian Berdasarkan Variabel-Variabel yang diteliti:

Ada tiga variabel yang diteliti pada penelitian ini, berikut adalah uraian mengenai temuan khusus data penelitian berdasarkan variabel- variabel yang diteliti:

a. Pemahaman Mahasiswa tentang Mata Kuliah Pembinaan Spiritualitas

Berhubungan dengan motivasi panggilan menjadi katekis, penulis hendak menggali sejauhmana mahasiswa memahami dan menyadari tujuan dari proses studi pembinaan spiritualitas menuju figur katekis yang berspiritualitas dan profesional, melalui responden yang telah penulis wawancarai.

Sebagian besar responden telah memahami dan menyadari tujuan dari mata kuliah pembinaan spiritualitas yaitu suatu bentuk pengembangan diri dalam hal iman, kepribadian dan memotivasi panggilan dalam rangka menjadi katekis yang berspiritualitas. Pemahaman ini diperkuat oleh pemahaman dari responden IX yang mengatakan:

Kalau menurut saya pribadi, yang menjadi tujuan pembinaan spiritualitas itu yang pertama untuk membentuk kepribadian seorang calon katekis agar lebih mandiri dan berspiritualitas (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden IX, hal. 19).

Membentuk kepribadian seorang calon katekis agar lebih mandiri dan berspiritualitas diungkapkan responden untuk menyatakan betapa pentingnya pembinaan spiritualitas bagi perkembangan iman dan kepribadiannya secara utuh menyeluruh. Lebih mendalam lagi, responden VII menyatakan bahwa pembinaan spiritualitas sebagai dasar untuk mempersiapkan diri menjadi katekis. Responden ini mengatakan:

Kalau bagi saya, pembinaan spiritualitas menjadi dasar sekali. Apalagi kita mahasiswa di bidang katekese, itu adalah dasar untuk mempersiapkan kita sebagai calon pelayan. Tanpa ini kita sama sekali tidak punya dasar, tidak kokoh begitu (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden VII, hal. 15).

Dari pernyataan responden ini, penulis dapat menemukan suatu kesamaan pandangan/pemahaman mengenai pembinaan spiritualitas sebagai inti kurikulum di Prodi IPPAK-USD yaitu sebagai tempat atau pondasi dasar bagi mahasiswa untuk menyatukan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional sehingga mereka mampu menghayati spiritualitasnya sebagai para pewarta kabar gembira. Sejauh mengalami proses studi dan pembinaan, mereka mendapat kesan bahwa arah dari proses studi dan pembinaan itu menjadikan mereka seorang katekis yang berspiritualitas.

Dari hasil wawancara bersama responden VIII, penulis juga menemukan pemahaman yang sama meskipun rumusan kalimatnya berbeda. Responden VIII ini mengatakan demikian:

Menurut saya, tujuan pembinaan spiritualitas untuk menemukan jati diri katekis itu sendiri. Karena kebanyakkan mahasiswa yang kuliah di sini itu istilahnya ‘kecemplung’ artinya bukan atas kehendak sendiri. Tapi dengan adanya pembinaan spiritualitas menjadikan kita semakin mantap untuk menjadi seorang katekis (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden VIII, hal. 17).

Pernyataan dari responden VIII ini menunjukkan bahwa melalui mata kuliah pembinaan spiritualitas mereka dapat menemukan jati dirinya, diberi kebebasan untuk memilih makna hidup yang akan menjadi orientasi tujuan hidup sehingga memampukan mereka untuk semakin mantap menjadi seorang katekis. Bagi penulis sendiri, pemahaman ini cukup mendalam yang muncul dari pengalaman nyata yang dialami mahasiswa selama menjalani proses studi.

Tujuan mata kuliah pembinaan spiritualitas semakin nampak dalam tindakan konkret yang mampu membentuk karakter pribadi yang beriman mendalam, menemukan jati diri, dan semakin memotivasi panggilan untuk menjadi katekis seperti yang diungkapkan oleh responden X, yang mengatakan:

Kalau menurut saya, tujuan dari pembinaan spiritualitas itu adalah untuk mengenal panggilan secara pribadi, apakah saya ini benar-benar ‘in’ dengan panggilan saya untuk kuliah di kateketik ini, dalam arti bahwa di situ dituntut untuk terus menggali dan memproses diri apakah saya benar-benar mempunyai spiritualitas untuk kuliah di kateketik ini. Saya sangat bersyukur dengan berbagai proses yang panjang dari semester awal hingga akhir benar-benar memotivasi diri saya untuk menjadi dan menghayati panggilan saya sebagai seorang katekis yang sejati (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden X, hal. 21).

Istilah “katekis sejati” digunakan responden untuk menggambarkan figur katekis yang benar-benar menghayati panggilannya dalam arti mau melayani umat secara tulus, apa adanya. Responden X mampu memahami tujuan pembinaan spiritualitas dalam kerangka ini. Pemahaman lain tentang pembinaan spiritualitas dalam rangka memotivasi mahasiswa untuk menjadi katekis, muncul jawaban dari dua responden yang penulis wawancarai, yaitu responden VI dan V. Responden VI mengatakan:

Kalau saya, panggilan menjadi katekis itu tidak terlalu berpengaruh dari pembinaan spiritualitas. Karena panggilan untuk menjadi katekis sudah ada sejak dulu, sebelum saya mengena l pembinaan spiritualitas (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden VI, hal. 13).

Panggilan menjadi katekis sudah ada sejak dulu, jauh sebelum responden VI ini mengenal pembinaan spiritualitas. Responden dididik dan dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang pekerjaan orangtuanya adalah katekis akademis. Berdasarkan pengalaman orangtuanya, panggilan itu pun secara perlahan ikut tertanam di dalam dirinya, kemudian dimurnikan kembali dengan menempuh

pendidikan di Prodi IPPAK-USD. Bila motivasi responden VI sudah ada sejak dulu, berbeda dengan responden V yang mengatakan demikian:

Menjadi katekis bukan impian. Kalau bukan menjadi katekis pun semua orang katolik dipanggil ke arah situ. Jadi mau termotivasi apa nggak, ya akhirnya bukan termotivasi sih, tapi semakin beriman aja (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden V, hal. 12).

Pernyataan dari responden V ini menunjukkan bahwa mata kuliah pembinaan spiritualitas belum begitu memotivasi panggilannya untuk menjadi katekis, akan tetapi melalui pembinaan ini justru menjadikan dirinya semakin beriman mendalam. Menurut pemahamannya, semua orang katolik yang sudah menerima sakramen baptis dipanggil untuk menjadi katekis atau pewarta. Bertolak dari sakramen baptis, umat katolik diutus oleh gereja untuk menyebarluaskan kabar sukacita kerajaan Allah kapan dan di manapun mereka berada. Misalnya seseorang memilih menjadi dokter, ia dapat meningkatkan kualitas hidupnya di rumah sakit, siap melayani pasiennya dengan sepenuh hati; yang memilih sebagai petani, ia dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan menggarap sawah dan ladangnya. Masing- masing dari tugas pelayanan mereka memberikan makna hidup yaitu menjadikan mereka lebih peka dan berguna bagi kehidupan keluarga nya, teman dan orang lain.

Sekarang, bagaimana dengan seseorang yang telah memilih profesinya sebagai katekis (guru agama)? Tentu saja peranannya lebih mantap, sebab dengan panggilan khususnya sebagai pembina atau pendidik iman menjadi dasar yang kuat untuk bekerja seturut kehendak Tuhan dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Oleh karena itu katekis perlu menanamkan semangat kerasulan ya ng tinggi dalam hidup. Sebagaimana diketahui bahwa

pembinaan/pendidikan iman yang baik selalu menyesuaikan dengan suasana lingkup dan kelompok didiknya. Sekolah sebagai institusi mempunyai tuntutan-tuntutan yang khas yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan lingkup paroki. Dalam tugas perutusannya yang menjadi lambang kemurnian semangat misioner adalah salib, di mana Kristus sendiri yang telah mereka kenal dan mereka imani sebagai sumber tebusan bagi umat manusia. Mengingat peran katekis begitu besar di tengah-tengah gereja dan masyarakat, maka motivasi panggilan menjadi katekis hendaknya selalu dimurnikan seperti yang diungkapkan oleh responden III. Ia mengatakan:

Pada awal semester pertama belum merasakan, tetapi seiring perjalanan waktu hingga semester ketiga ini, pembinaan spiritualitas semakin memotivasi saya, terutama menyadarkan saya bahwa ini adalah suatu panggilan dan rahmat bagi saya untuk menjadi seorang pewarta (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden III, hal. 10).

Pembinaan spiritualitas mampu menyadarkan responden III akan makna panggilan sebagai seorang pewarta yang merupakan suatu rahmat baginya. Menurut penulis ini adalah penghayatan yang begitu mendalam dari seorang mahasiswa. Dari 10 responden yang penulis wawancarai, 8 responden mengatakan bahwa pembinaan spiritualitas sungguh memotivasi panggilan mereka untuk menjadi katekis yang berspiritualitas. Hal ini menunjukkan bahwa mata kuliah pembinaan spiritualitas memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian mahasiswa serta memotivasi panggilan mereka untuk menjadi katekis.

b. Pemahaman Mahasiswa dan Alumni tentang Katekis Berspiritualitas dan Profesional

Penulis hendak menggali pemahaman mahasiswa dan alumni tentang katekis berspiritualitas dan profesional sehingga dapat mengetahui cara mereka dalam memaknainya sesuai dengan perkembangan pengetahuan umum maupun perkembangan hidup berimannya. Berikut ini adalah uraian mengenai pemahaman para responden tentang katekis berspiritualitas dan profesional.

Untuk memahami makna katekis berspiritualitas dan profesional, penulis merasa perlu untuk mengkaji hal- hal lain yang memiliki hubungan yang erat dengan katekis berspiritualitas dan profesional itu sendiri, khususnya pada para alumni. Hal- hal lain tersebut adalah apa saja yang menjadi tuntutan umat terhadap katekis zaman sekarang.

Dalam situasi masyarakat modern dewasa ini, para mahasiswa dan alumni dituntut untuk memiliki keterampilan berkatekese dengan menggunakan audio visual, mampu berkomunikasi secara verbal dan memiliki spiritualitas yang mendalam sehingga dapat menjadi teladan bagi umatnya. Seperti yang diungkapkan oleh alumni II, ia mengatakan:

...Katekis harus terampil berkomunikasi secara verbal, termasuk juga terampil dalam hal penggunaan media audio visual dalam proses karyanya. Mampu menguasai dan bisa menghidupi profesi menurut bidang ilmu yang digulatinya. Misalnya profesi sebagai guru bagaimana dia sungguh-sungguh mengenal peserta didiknya, pantas diteladan, menjadi sosok yang sungguh menjadi dambaan setiap anak didik. Kalau menjadi pelayan umat, katekis harus sungguh paham mengenai karakter umatnya yang dia hadapi atau layani. Maka spiritualitas dan kepribadian menjadi penting. Orang yang profesional harus mampu membahasakan sesuai dengan daya tangkap audiens yang kita hadapi atau layani itu (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni II, hal. 27).

Berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara, penulis melihat bahwa sebagian besar responden telah memahami makna katekis berspiritualitas dan profesional sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya masing- masing. Seperti yang diungkapkan oleh responden VIII, ia mengatakan:

Katekis profesional itu tidak hanya mencari uang, tetapi ingin membentuk iman umat yang dilandasi dengan teladan hidup kita. Jadi profesional itu harus ada keseimbangan antara perilaku kita seha ri-hari dengan ajaran yang akan kita berikan untuk umat setempat. Katekis profesional harus disertai spiritualitas yang mendalam dan menjadikannya sebagai roh untuk karya-karya kita dalam berkatekese (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden VIII, hal. 17).

Dari pemahaman di atas, penulis menemukan ada dua point penting antara lain katekis harus memiliki spiritualitas yang mendalam dan dalam memberikan pelayanan bukan semata- mata uang yang dicari. Dengan kata lain, katekis profesional lebih mengutamakan pelayanan dengan semangat dedikasi yang tinggi terhadap Gereja dan jemaat, tanpa dipengaruhi oleh keuntungan materi (profit). Pernyataan ini, didukung juga oleh responden VII yang mengatakan:

Menurut saya, katekis profesional berarti katekis yang tidak mengenal cape, tidak mengejar materi dan mempunyai semangat pelayanan. Maka seperti yang saya bilang tadi, pembinaan spiritualitas merupakan pembinaan awal untuk menjadikan kita katekis profesiona l yaitu melayani tanpa pandang bulu. Kita lihat sekarang banyak katekis mencari medan yang ringan-ringan saja tanpa tantangan, bagi saya itu tidak hidup. Misalnya kita sebagai mahasiswa pasti idealisme sekali ya, kita hanya duduk di bangku kuliah. Nah ketika kita terjun di lapangan, di suatu pemukiman yang jauh dari kota, dan kita membawa program yang berhubungan dengan audio visual, sedangkan di tempat itu listrik pun tak ada. Saya ingin melihat reaksi yang berbeda di wajah mahasiswa itu. Dia membawa idealismenya. Di tempat itu dia hanya membutuhkan model bergambar dan cerita lisan, bagaimana? Dia pasti tidak puas, dia ingin cari di kota. Bagi saya, itu tidak profesional. Karena katekis profesional tidak akan berbicara seperti itu (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden VII, hal. 15).

Istilah profesional khususnya katekis dikondisikan sebagai sikap, komitmen dan keterampilan menggeluti kenyataan yang dihadapi dan tuntutan lapangan di manapun nantinya mereka berkarya. Seperti yang diungkapkan oleh responden di atas bahwa bila menghadapi situasi tersulit sekalipun, sebagai katekis profesional harus bisa mengambil keputusan yang terbaik demi peningkatan pelayanan kerohanian terhadap umat yang dihadapi atau dilayaninya. Menyangkut hal ini, alumni I juga mengatakan demikian:

...tuntutan umat itu tidak akan banyak, tetapi kita itu dituntut apa agar kita bisa memberikan yang terbaik atau profesional untuk dunia zaman sekarang. Katekese zaman sekarang itu dituntut harus kreatif (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni I, hal. 24).

Dari pernyataan di atas, penulis melihat bahwa alumni I menggambarkan sosok katekis akademis harus mampu melihat cakrawala luas terhadap perkembangan umat dan jaman sehingga tidak menunggu tuntutan dari umat terlebih dahulu baru kemudian berubah melainkan sebelum itu terjadi katekis sudah merefleksikan mau berbuat apa dengan perkembangan jaman yang seperti ini. Seperti yang telah diungkapkan oleh alumni I di atas bahwa katekese jaman sekarang itu dituntut harus kreatif. Kekreatifan ini menuntut cara berpikir seseorang untuk menemukan nilai yang baru dalam memberikan pelayanan katekese, dan tentu saja nilai yang baru itu harus kreatif, membuat suasana menjadi lebih bersemangat sehingga audiens yang dilayani merasa semakin terbantu memperdalam hidup rohaninya.

Penulis sendiri sebagai calon katekis akademis memahami akan pentingnya kreatifitas seseorang untuk mengembangkan katekese dalam konteks jaman sekarang. Menyangkut hal ini, maka katekis dituntut untuk profesional

dalam mejalankan tugas, juga berspiritualitas mendalam mengingat profesinya sebagai pendidik iman. Istilah berspiritualitas dan profesional, adalah dua kata yang memang harus menjadi bagian dalam diri katekis. Semua responden yang penulis wawancarai mengatakan bahwa katekis berspiritualitas dan profesional menjadi sesuatu yang sangat penting dan saling berhubungan, bila kehilangan salah satunya, maka dirasakan perjalanan hidup ini menjadi tidak seimbang, terasa hampa, tidak berguna. Menurut mereka, bekal yang paling dasar untuk katekis adalah spiritualitas, ini merupakan sebuah titik temu adanya sumbangan pembinaan spiritualitas bagi mahasiswa dalam rangka menjadi katekis profesional. Bagaimana memahami titik temu ini? Pembinaan spiritualitas dikembangkan melalui kedalaman hidup rohani dan soft skills yang menjadi bagian dalam kerangka pembentukan profesionalitas seorang katekis.

c. Sumbangan Mata Kuliah Pembinaan Spiritualitas bagi Mahasiswa dan Alumni

Menggali pemahaman mengenai spiritualitas dan profesionalitas saja belum cukup untuk mengetahui bentuk-bentuk sumbangan mata kuliah pembinaan spiritualitas bagi respoden dalam rangka menjadi katekis yang berspiritualitas dan profesional. Maka, supaya data penelitian ini semakin lengkap, peneliti menggali apa saja yang menjadi sumbangan mata kuliah pembinaan spiritualitas untuk mahasiswa dan alumni dalam rangka menjadi katekis berspiritualitas dan profesional. Berikut ini adalah laporan me ngenai sumbangan mata kuliah pembinaan spiritualitas bagi responden. Berkaitan dengan bentuk-bentuk

sumbangan mata kuliah pembinaan spiritualitas bagi mahasiswa dan alumni dalam rangka menjadi katekis yang berspiritualitas dan profesional, 10 orang responden (mahasiswa) mengatakan bahwa ada sumbangannya, bahkan ada yang mengatakan sumbangannya banyak sekali. Antara lain ada yang mengatakan walaupun mata kuliah pembinaan spiritualitas hanya nol sks namun dapat menjadikan mahasiswa lebih mandiri, mampu mengolah kepribadian hingga mempunyai kesadaran penuh akan motivasi panggilannya untuk me njadi katekis yang berspiritualitas dan profesional. Kemampuan dalam mengolah kepribadian berarti pentingnya pengembangan soft skills mengenai dedikasi, tanggung jawab, sikap, loyalitas, kemampuan kerja sama, pengenalan diri, bagaimana bersikap rendah hati, setia, tidak minder dan tidak sombong. Sedangkan istilah skills itu sendiri adalah keterampilan tehnis dan metodologis yang harus dimiliki oleh katekis agar sungguh dapat membantunya dalam berkarya nanti.

Menurut penulis, adanya kesadaran mahasiswa akan panggilan hidup menjadi seorang katekis berarti kecerdasan spiritualnya telah berkembang dan berakar di dalam dirinya di mana kecerdasan ini menyatukan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual membantu seseorang dalam menemukan jati dirinya, menentukan pilihan dan makna hidup secara bebas yang akhirnya menjadi berguna baginya dan orang lain. Proses kesadaran ini memampukan mereka untuk bersikap profesional dengan bidang yang sedang digelutinya. Selanjutnya, dari seorang alumni I yang cukup lama berkarya di komisi kateketik mengatakan begini:

Seorang katekis yang mempunyai spiritualitas mendalam, itu pasti dia seorang yang profesional. Pembinaan spiritualitas membuat saya bisa

berefleksi, makin memperkaya khususnya kehidupan rohani saya, bagaimana saya memandang karya-karya saya. Karena apa toh yang diwartakan seorang katekis? Idealnya bahwa teladan hidup itulah yang diwartakan. Kalau orang ngomong soal teladan hidup, berarti dia bukan hanya sekedar profesional, kedalaman hidup spiritualitas itulah yang menjadikan dia sebagai seorang katekis (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama alumni I, hal. 24).

Berkaitan dengan hal ini, kedalaman spiritualitas seorang katekis terhadap panggilan hidup nya ikut mempengaruhi seluruh kepribadiannya, sikap dan mentalnya untuk menjadi profesional dan teladan bagi jemaatnya. Setelah mengetahui bentuk-bentuk sumbangannya, penulis mengajak para responden untuk menyumbangkan usulannya terhadap mata kuliah pembinaan spiritualitas dalam rangka mewujudkan mahasiswa menjadi katekis berspiritualitas dan profesional. Dan hasilnya, 8 orang memandang bahwa kuliah pembinaan spiritualitas harus diperbanyak segi praksisnya karena dapat mengembangkan seluruh potensi mahasiswa. Potensi itu menyangkut perkembangan religiusitas, moralitas, individualitas dan sosialitas. Sedangkan tempat pelaksanaannya kalau bisa lebih banyak di luar kampus seperti camping rohani di semester empat. Pernyataan ini, didukung juga oleh responden I dalam wawancara yang mengatakan:

Untuk bentuk dan proses kegiatannya, berdasarkan pengalaman, saya tertarik dengan pembentukan kepribadian yang disampaikan lewat kegiatan weekend maupun out bond. Saya kira bentuk ini cocok diberikan pada mahasiswa. Kalau bisa tempatnya di luar kampus, misalnya di alam terbuka agar para mahasiswa bisa bersahabat dengan alam. Kegiatan lainnya terjun ke lingkungan orang-orang miskin. Berangkat dari pengalaman tersebut kita dapat memperoleh nlai- nilai yang harus diperjuangkan dan dimaknai (lihat pada lampiran hasil wawancara bersama responden I, hal. 8).

Dari pernyataan di atas, responden I mengusulkan supaya kuliah pembinaan spiritualitas disampaikan pada mahasiswa dalam bentuk kegiatan yang di dalamnya terkandung nilai- nilai yang harus diperjuangkan dan dimaknai oleh mahasiswa. Dengan demikian para mahasiswa diharapkan semakin berproses menuju figur katekis yang berspiritualitas dan profesional. Mengingat pentingnya peranan mata kuliah ini, penulis sendiri mendapat kesan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang sebenarnya memiliki minat dan semangat yang kuat untuk mengembangkan praksis spiritualitas mereka di lapangan tetapi sejauh ini belum ada kesempatan yang tepat, kecuali pada saat pelaksanaan PPL dan KBP.

Dokumen terkait